Share

Saat Luka Itu dibiarkan Terpendam

Hari berlalu, aku pergi ke kantor seperti biasanya, sayangnya kelakuan Ardi hari ini sungguh membuatku jengkel. Dia berisik sekali terus menelepon karyawan yang berjaga di depan sampai mendekati jam pulang. Dia masih saja menelepon, tampak gelisah sekali.

“Apa sih, Di. Berisik tahu, anak orang lu suruh bulak-balik naik turun dari pagi sampai sore, nunggu apa?”

“Bini gue ulang tahun, Ini masalahnya udah pesan kue, sampai sekarang belum sampai juga, padahal sudah sore, kan panik gue.”

“Lagian kenapa pesan di situ, toko roti juga banyak. Itu depan sana enggak lihat?” Aku menunjuk pada bangunan toko roti yang berada tak jauh dari kami. Ruangan ini berada di lantai tiga jadi cukup berdiri saja, semua bangunan di sekitar sudah pasti terlihat.

“Ini kuenya beda, pas di belah keluar duitnya."

“Lagian lu kenapa pesan kue macam itu?”

“Yang penting bini gue seneng. Pasti nanti dia enggak nyangka dalemnya ada duit yang bisa ditarik, perempuan mana yang enggak suka duit, Bro.”

“Gila lu!”

“Bodo ah.” Tiba-tiba teleponnya berbunyi.

“Ya sudah bawa sini,” kata Ardi berbicara dengan ponselnya. Tak lama kue yang dinantikan itu akhirnya datang, Ardi langsung membukanya.

“Good job,” katanya. Aku hanya menggeleng melihat tingkah Ardi, tapi entah kenapa mengingat Dilra perasaan ini jadi mendadak sesak. Apalagi setelah perkataan Ardi sebelum dia pulang.

“Buat apa sih gue kerja, kalau bukan buat istri," katanya, kali ini rautnya tampak serius.

“Gue juga samalah, kerja kayak gini buat siapa lagi.”

“Bukannya duit lu di kasih Ibu semua, Dilra enggak pernah pegang duit kan?”

“Ya kan Ibu kasih dia tiap butuh apa pun.”

“Mikir Lang, kalau lo disuruh minta duit ke mertua tiap hari memang mau, gengsi ‘kan?”

“Ya ‘kan mereka lama serumah, masa masih gengsi?”

“Otak lo taruh di mana? Ibaratnya seperti ini saat lapar, posisi lo pengangguran sedangkan Dilra dengan tega suruh lu minta duit ke mertua. Bayangkan 5 tahun Dilra melakukan itu, mending kalau ibu lu mengerti. Itu duit di bagi dua sama bini lu, lah kalau enggak?”

“Pasti di bagi dua, Ibu gue enggak serakah.”

“Yakin, kalau iya kenapa bini lo sampai pinjam duit?”

“Dari mana lo tahu?”

“Ini lihat, buka juga handphone lo, baca pesan masuk terakhirnya!” Ardi tiba-tiba saja menunjukkan sebuah pesan masuk berisi peringatan bahwa Dilra telah meminjam uang dari aplikasi online. Hari sudah jatuh tempo tapi Dilra belum membayarnya, karena nomornya di simpan di ponsel Dilra pesan itu jadi di terima juga olehnya. Rupanya aku juga sama. Ya Tuhan, kamu bukan hanya membuatku marah, tapi juga malu seberapa besar kebutuhanmu sampai harus terlibat hutang berbunga seperti ini.

Sepanjang jalan aku kalut, terngiang perkataan Ardi mungkin saja benar kalau Ibu sudah tak memberikan haknya pada Dilra. Padahal sedikit lagi sampai, tapi karena jam bertepatan dengan jam pulang kerja juga orang-orang yang keluar mencari takjil. Aku jadi terjebak macet parah, hampir setengah jam hanya jalan di tempat. Aku sampai tepat saat azan magrib berkumandang.

Rumah masih gelap, jendela pun masih terbuka tak seperti biasa. Seingatku tadi Ibu dan Mia mengirim pesan, mau buka bersama di luar, jadi bisa kupastikan Dilra hanya berdua dengan Dion di rumah. Masalahnya adalah rumah itu gelap. Aku berlarian ke dalam menekan setiap skalar lampu dengan cepat, berteriak seperti orang kesetanan, mencari Dilra yang mungkin saja telah berbuat nekat. Saat langkah kian mendekat ke kamar, Dion menangis sampai menjerit-jerit. Aku mempercepat langkah, membuka paksa pintu hingga menimbulkan gebrakan di sana. Kau tahu apa yang kulihat bayi Dion terbaring di lantai. Ada bantal yang di taruh asal di dekat kepalanya. Tidak jauh dari sana di sudut kamar kami, hatiku mendadak nyeri sekali melihat keadaan Dilra yang begitu memprihatinkan. Di dekatnya ada beberapa benda yang tergeletak dengan asal. Lantai rumah kami berantakan sekali gunting, silet dan pisau dapur semua benda tajam itu berserakan di lantai, Plastik bekas obat-obatan yang entah obat apa juga turut mengacaukan keadaan kamar kami. Setelahnya lututku mendadak lemas, bagai tak punya tulang.

"Sayang, jangan begini, Mas mohon.”

“Mas salah Dil, jangan menghukum dirimu sendiri, berhenti Dilra!"

Aku mendekatnya pelan sembari menggendong bayi Dion, yang malah tertawa melihatku, apa dia pikir ini lucu? Ibumu bahkan terlihat begitu memprihatinkan sayang. Bayi itu kuletakan di ranjang. Kuputuskan untuk menjauhkannya saja, menghindari kemungkinan terburuk mengingat kondisi Dilra sekarang. Dia terus mengamit dengan cepat. Tatapannya menerawang seperti orang ketakutan, sembari terus memeluk lututnya sangat erat.

“Sayang kasih tasbihnya ke Mas.” Dia tak menjawab, masih tenggelam dalam pikirannya yang entah apa.

“Sayang, Mas ambil dionnya ya.” Dilra tak bereaksi sama sekali, masih terus mengamit dengan cepat, memindahkan biji tasbih dengan lebih cepat lagi. Aku berusaha melepaskan tasbih itu dari lengannya tapi sulit sekali.

“Dil Sayang, lepas ya!” Dia masih tak peduli.

“Dilra!” Tasbih itu akhirnya putus, bijinya berserakan di lantai, aku menarik dengan paksa, bahkan telapak tangannya sampai membekas karenanya. Sekali lagi bayi Dion menangis, dan itu selalu jadi penawar, seolah di memanggil ibunya untuk kembali. Dilra terkesiap, lantas aku memeluknya erat. Saat itu Dilra hanya diam, tapi aku yakin dia telah kembali. Mungkin masih bingung dengan yang terjadi, aku kembali mengeratkan pelukannya mengabaikan Dion yang terus menjerit karena tak lekas di angkat.

“Aku mau gendong Dion.”

“Biar Mas yang gendong Dion, kamu di sini aja.” Dilra menurut, aku memang sedikit memaksa, saat dia berusaha bangkit berdiri berupaya mendahuluiku untuk menggendong Dion aku kembali mendudukkannya di bawah.

“Kayaknya dia haus, di beri ASI sambil tiduran aja Dil.” Dilra segera duduk di ranjang, kuberikan bayi itu padanya, bisa kulihat Dion menyesap ASI dengan kuat bagai orang kehausan saja.

“Dia kayaknya haus banget.” Dilra tak menjawab hanya melirik ke wajah bayinya. Sebenarnya aku hanya berusaha mengajaknya bicara. Meski sebenarnya aku ingin sekali bertanya keadaannya, tapi mengingat kondisinya, aku yakin sekali itu tak akan berhasil,  malah mungkin membuatnya kembali pada kondisi tadi.

“Sudah makan belum,” tanyaku, sayangnya Dilra tak merespon lagi. Entah kenapa mataku malah memanas, bukan karena terus diabaikan tapi melihat Dilra. Dia begini karena aku. Aku yang memintanya pada Ibu dan Bapaknya berjanji untuk membuatnya bahagia, tapi apa yang terjadi sekarang sungguh membuatku merasa gagal dan tak berguna. Aku berbaring di sampingnya merengkuhnya dari belakang, mengusap lembut perutnya, perut yang sudah tak lagi indah dan kencang seperti saat dia masih perawan.

“Maaf, maafkan Mas, maafkan Mas Dilra,” bisikku pelan. Dilra masih diam.

“Mas enggak akan lagi membuat kamu seperti ini, Mas mohon maafkan Mas.”

“Sudah ya, sayang maafkan Mas.” Sejenak Dilra masih tetap tak mau bereaksi, tapi bisa kurasakan perlahan tangannya mulai bergerak hingga berakhir dengan bertumpu pada punggung tangan milikku, lalu dia mulai terisak seketika bahunya berguncang hebat.

“Enggak apa-apa sayang, jangan dipendam sendirian, menangis saja tumpahkan semuanya.” Hampir 10 menit kami bertahan dengan posisi seperti ini. Urung sudah niatku untuk menanyakan perihal uang yang dia pinjam lewat aplikasi pinjaman online, aku terus memeluknya sampai isaknya mereda. Dilra mulai membalikkan badannya kami saling menatap sekarang.

Komen (14)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
suami bodoh...bisa2 gila Dilra klo begitu terus...
goodnovel comment avatar
Ike Rahma
dihhhhhh.....suaminya bego pisan....jengkel bgt...
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Luruh airmataku melihat sakitnya dilra
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status