Share

Bab 3

Rin berjalan gontai di koridor, dia baru saja keluar dari kamarnya. Karena merasa pusing memikirkan soal ‘Eve’ dan yang waktu itu Lumiere katakan. Memang butuh waktu baginya untuk menerima semua itu.

Tampak Rin yang tidak fokus jalan, dia menabrak tembok. Tersadar sejenak lalu berjalan lagi. Di depan sana ada Rei yang melihatnya, dan menghampiri Rin.

“Nona, kau kenapa?” tanya Rei.

Rin menoleh dan tersenyum lembut. “Aku tidak apa-apa.”

“Tapi kau seperti tidak baik-baik saja."

"Aku hanya sedikit kelelahan saja, mungkin," Rin beralasan.

"Hmm... Bagaimana kalau kau ikut aku? Ayo!” Rei menarik tangan Rin tanpa persetujuan dulu.

"Kemana?"

Rei membawanya ke sebuah ruangan luas, Ballroom. Karena tempat itu senyap, ruangannya agak gelap.

“Kau harus melihat ini,” ujar Rei lalu membuka pintu yang terdapat di ruangan besar itu.

Rin mengikuti saat Rei masuk, matanya terbelalak begitu melihat pemandangan di depan matanya. Sebuah taman dengan rumput hijau dan bunga di sana. Burung dan kupu-kupu terbang di sana-sini, ini seperti di surga. Uniknya, taman ini berada di balik pintu yang berada di kastil. Rin terpesona.

“Indah sekali!”

“Ini adalah taman Eden.”

 Rin mengerjap, “Taman Eden?”

 Dia teringat saat mendengar Lumiere menyebut taman itu, waktu dia dideklarasikan sebagai Eve untuk mereka.

 “Alasan kau di sini, Lumiere sudah menjelaskannya 'kan? Taman iniah yang dipersembahkan untuk Eve kami. Sudah lama setelah 200 tahun, akhirnya terbuka kembali.”

 200 tahun? Sebenarnya umur mereka berapa? Batin Rin terkejut.

 "500 tahun." sahut Rei seakan tahu pertanyaan Rin.

 "Eeh..! 500.." Rei hanya tersenyum menimpali.

 "400 tahun lalu, kami memiliki seorang Eve taman ini. Dia adalah wanita yang sangat cantik dan hati bagai Dewi, dia seperti sosok ibu bagi kami. Keberadaannya, dunia kami jadi sangat tentram, banyak ras yang memuja karena sosok sucinya. Namun, tiba-tiba dia menghilang. Dan, beberapa ras menjadi pemberontak karena hilangnya resonan Eve,"

 "...Kami, Pangeran Devon adalah 'Penjaganya'. Kami turun menangani kerusuhan yang ada, sementara Eve kami menghilang."

 Rin terdiam mendengarnya. Tiba-tiba Rei berjalan lurus ke depan, menghampiri batu pembatas pohon berbentuk lingkaran yang di sana. Di tengahnya pohon besar yang indah berdiri subur. Rin ikut berjalan ke sana.

 Rei menyentuh pohon itu. “Nona, kau tahu apa yang istimewah hubungan antara Eve dan taman Eden ini?” tanya Rei. Rin menggeleng.

 "Apel."

 Rin memiringkan kepalanya, "Apel?"

 “Taman ini akan memberikan buah apel sucinya kepada sang pemilik, Eve-nya. Dan..."

 "...  Eve akan menjadi sosok yang agung dan bisa mengubah segalanya termasuk masa depan dan nasib. Itulah kekuatannya, berasal dari tali ikatan Eve dan taman ini."

 Rin tidak menyangka ada cerita seperti itu. Dia kira cerita itu hanya khayalan seperti buku yang dia baca waktu di perpustakaan sekolahnya dulu.

 "Aku sangat mengharapkan ramalan dari Sang Parakletos kami nyata. Nona akan menjadi Eve baru kami." Rei tersenyum lebar ke arahnya, tersirat kepercayaan dan optimisme di wajah itu. Hati Rin menyusut.

 “Baiklah, ayo kita kembali.”

 Rin mengangguk, mereka keluar dari taman itu.

 “Kenapa kau menunjukkan taman itu padaku?” tanya Rin, mereka berdua berjalan di koridor.

 Rei diam sejenak, lalu akhirnya menjawab. “Itu karena... Bukankah kau itu yang akan jadi Eve-nya, Nona Rin? Kenapa kau malah bertanya?” Rei tiba-tiba berubah respon, tapi nadanya seperti bercanda.

 “Yaa.. Itu, bukankah terlalu awal untuk menunjukkannya padaku? ... Maksudku, itu belum pasti aku Eve-nya. Eh, tidak, maksudku.. aku...” Rin menjadi gugup sendiri.

 Terdengar suara tawa lirih dari Rei, “Nona, kau pesimis ya.”

 “Eh?”

 “Ramalan dunia kami selalu tepat. Jadi, alangkah baiknya kau juga percaya itu. Karena itu sudah digariskan,” kata Rei yakin.

 Rin tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia menatap Rei yang fokus ke depan. Gadis itu memang belum sepenuhnya yakin karena yang dikatakan Rei soal “Ramalan dan Eve” itu masih tabu baginya. Terlebih itu di dunia yang bukan dari dia berasal.

*****

 Setelah keluar dari Taman Eden yang dipertunjukkan oleh Rei kemarin, Rin berpikir untuk menerima kenyataan yang tertuju padanya, terhadap dunia bawah ini dan para pangeran. Yaitu menjadi Eve.

 Saat ini, Rin berada di perpustakaan. Mencari buku yang ia cari, ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Kemarin, saat setelah dari taman, ia mendengar dari tiga pelayan yang sedang mengobrol di lorong tengah.

 “Apa benar nona yang dibawa pangeran adalah ‘Eve’ itu?” Salah satu pelayan yang membawa lap.

 “Katanya memang,” timpal pelayan satunya

 “Haa~ semoga saja. Soalnya, selain pangeran kita membutuhkan Eve untuk masa depan, mereka juga butuh pengantinnya juga kan?” timpal pelayan yang satunya lagi.

 “Tentu saja, seorang Eve dunia bawah akan sekaligus menjadi pengantinnya. Bukankah itu takdir seorang Eve?”

 Percakapan itulah yang ia dengar. Ternyata masih ada yang hal lain yang belum ia tahu, para pangeran juga tidak mengataknnya soal itu, makanya ia memastikannya sendiri. Apa yang dimaksud ‘Pengantin seorang Eve’.

Setelah mencari-cari dari rak satu ke rak lain, masih belum ia temukan. Saat pindah ke rak paling belakang, ia mendapati buku berjudul “Phantom Bride” yang tertera di sampul hitam buku itu.

Buru-buru ia membukanya, matanya meniti hampir seluruh isi buku, sangat jeli hingga tak mau tertinggal satu katapun. Kemudian ia tercengang, tangannya menutupi mulutnya.

 “Mustahil!”

 Buku yang ia baca tanpa sadar terjatuh dari pegangannya dan menimbulkan suara ‘bugh’.

 “Ugh, apa itu tadi?”

 Rin mendengar suara yang melenguh, ia celingukan. Sepertinya ada orang lain selain dirinya yang di perpustakaan ini.

 “Ah, ternyata kau kak Rin.”

 Rin menoleh, mendapati Alan yang melongok dari samping raknya. Agar Alan tidak curiga tentang buku yang ia baca, dia cepat mengambil dan menyelipkan buku itu di rak depannya.

 “Alan, kau disini juga.”

 “Yaa, aku hanya mencari tempat buat tidur, disini paling enak. Oh, dan tadi aku mendengar suara benda terjatuh, aku jadi terbangun,” Alan menutupi mulutnya yang menguap dengan tangannya.

 “Maafkan aku, aku membangunkanmu,” lirih Rin bersalah.

 “Tak apa.” Lalu Alan memasang senyum licik, “Tapi sebagai gantinya, kau harus ikut denganku.”

 **

 “Kau harus memegangnya seperti ini.”

 “Eh, seperti ini?”

 “Aduh, bukan kak Rin. Tapi seperti ini!”

 Rin dan Alan sibuk dengan ‘cara memasang tongkat bisbol’. Mereka berdua berada di sebuah lapangan rumput yang terletak di belakang kastil.

Seperti yang Alan pinta di perpustakaan tadi, dia menyuruh Rin untuk ikut dengannya, dan disinilah yang Alan maksud. Rin diminta untuk menemani pangeran bersurai perak itu untuk menjadi partner bisbol, permainan kesukaan Alan.

 “Itu sudah lumayan, coba sekarang pukul bola ini,” Alan melemparkan bola kasti ke arah Rin dengan kecepatan sedang, karena masih belum lancar, pukulan gadis itu meleset, dia malah memukul udara.

 “Fokusmu kurang, kak Rin.”

 “Ini pertama kalinya ... aku bermain bisbol” Rin memasang ceringisan ngilu.

 Rin memang tidak pernah memainkannya, saat di dunia manusia, sekolahnya ada klub bisbol tapi dia tidak mengikuti karna terlalu fokus belajar dan bekerja. Jadi, Alan mengajarinya agar bisa menjadi partner-nya. Sayang, Rin bukan tipe yang cepat belajar.

 Agar tidak mengecewakan Alan yang sudah mengajarinya, Rin berusaha agar bisa cepat bermain. Dengan Alan sebagai pembimbingnya sekaligus pitcher, gadis itu terus mengayunkan tongkat.

 “Waaw, kau sudah bisa kak, pukulanmu bahkan sudah sempurna!” puji Alan dengan memberi jempol pada Rin.

 "Syukurlah..” Rin jadi lega. Teryata belajar bisbol tidak sesulit itu, pikir Rin.

 “Baik, sekarang pakai pukulan kecepatan tinggi ya.” Rin mengangguk menyetujui Alan.

 Alan bersiap melempar, Rin memasang kuda-kuda untuk memukul. Lalu, bola datang dengan kecepatan tinggi, saat dekat dengannya, Rin memukul tepat di tengah tongkat, mekulunya dengan kuat, membuat bolanya melambung tinggi ke langit.

 “Waah, tingginya...” Pandangan Alan mengikuti terbangnya bola, hingga bola itu hilang di balik pohon.

 Bugh... “Adaw!”

“Oi, siapa yang memukul bola padaku!”

 Mereka berdua mendengar suara itu, berasal dari balik pohon tadi, lalu menghampiri pemilik suara. Orangnya di atas rerumputan, sedang mengusap-usap kepalanya, di sampingnya ada bola kasti yang Rin lempar. Ternyata mengenai orang ini.

 “Ah... Damian. Sepertinya, bolanya menyukaimu.”

 Yang dimaksud menoleh, mukanya terlihat kesal dengan tangannya masih memegang kepalanya, mungkin karena itu tempat dimana bola mengenainya. Padahal dia sedang tiduran disini, namun karna terlempar bola, momen nyamannya terganggu.

 “Siapa yang melempar bola ini?” tanya Damian creepy sambil menunjuk bola.

 Rin sebagai orang yang melemparnya, merasa bersalah. “Anu.. aku minta maaf, itu salahku.”

 Damian berdiri, tangan kanannya memegang bola. “Jadi kau yang melemparnya? Gadis ramalan.”

 “A-apa kau tidak apa-apa?”

 Damian hanya diam, wajahnya datar memandangi Rin beberapa saat, seperti seikit kesal. Lalu pangeran rambut blonde itu membuang mukanya seperti seorang gadis yang sedang ngambek, lalu memberikan bola itu kepada Alan yang sedikit terkejut waktu memperhatikan Damian. Damian pun pergi tanpa kata meninggalkan mereka bedua yang sedang bertanya-tanya.

“Dia marah ya?” Rin memandangi Damian yang berjalan menjauh. Wajahnya menyiratkan bersalah.

Sedangkan Alan menahan tawa dengan menutupi mulutnya, “W*-wajahnya.. merah. Hahaha...”

“Eh, apa dia baik-baik saja? Apa karena bolanya terlalu keras? Itu pasti sakit, aku sangat menyesal.” Rin sepertinya gagal paham, pikir Alan. Akhirnya membuat tawa pangeran bersurai perak itu meledak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status