Rencanaku untuk mengaku pada Friska sudah gagal, dan aku belum menemukan waktu yang tepat. Awal bulan seperti sekarang, kami harus berjibaku dengan banyak laporan. Jangankan nongki, makan siang saja kami di meja masing-masing.
Seperti sekarang, ini hari minggu dan aku harus rela berada di kantor mulai pagi. Sore nanti aku dan Pak Ryan harus sudah berangkat ke Bali. Laporan yang paling urgent aku dahulukan, dan beberapa laporan sementara aku delegasikan.Tengah asyik bergulat dengan pekerjaanku, suara ketukan pintu mengalihkan fokusku. "Masuk!" ucapku setengah berteriak.Sosok Pak Ryan muncul dari balik pintu, dengan gaya yang berbeda. Rambutnya yang biasa klimis berpomade terlihat di terurai, kaos sedikit press body berwarna hitam berpadu denga riped jeans berwarna hitam juga."Lembur?" tanyanya."I ... iya," jawabku sedikit gugup, entah kenapa.Dia berjalan ke mejaku, dan menarik kursi kemudian duduk depanku. Tanpa sadar aku masih fokus ke arah Pak Ryan"Ada apa?" pertanyaannya, seketika menyadarkanku."Pangling saja," jawabku."Ya udah, lanjutin kerjanya. Kenapa malah bengong?" "Bapak nggapain di sini?" tanyaku balik.Mana mungkin aku bisa fokus coba, tak ingin mengakuinya, tapi dia terlihat tampan, dan aku suka gayanya. Huff, ada apalagi ini. Kenapa tiba-tiba ada rasa yang tak biasa, apa aku menyukainya? Ah mana mungkin rasa itu sudah lama hilang dari hatiku."Apa aku tak boleh di sini? aku hanya ingin mengawasimu saja," jawabnya.Apa yang bisa aku katakan lagi, memilih diam lebih baik. Kembali fokus aku arahkan ke monitor didepanku. Mencoba tak menganggap hadirnya, tapi tetap saja tak bisa."Aku jemput nanti, kita berangkat bersama ke bandara," ucapnya kemudian. Sejenak kuhentikan aktifitasku."Tak perlu Pak, biar saya di antar ayah saya," jawabku, melihatnya sekilas lalu kembali ke layar monitor."Bukan tawaran, ini perintah," tegasnya lagi. Dia lalu berdiri, dan keluar tanpa berkata apapun. Aku masih menatapi daun pintu selepas pria itu menghilang di baliknya. Orang yang aneh, tapi kenapa hatiku terasa bergetar tak biasa. Setelah Mas Dipta aku tak pernah merasakan getaran seperti ini lagi. Tapi pria aneh itu, ah ... entahlah.Jam satuan, kubereskan mejaku. Aku harus mengecek kembali barang bawaan untuk nanti sore. Setelah berpamitan dengan security yang bertugas hari itu, aku melangkah menuju mobilku. Sengaja aku parkir di sisi gedung, karena memang kosong.Itu kenapa mobil parkir di tengah, langkahku terhenti. Mobil Pak Ryan menghalangi mobilku untuk keluar. Kuhela nafasku, dan kembali balik arah masuk lobby. Di sekitar masih sangat luas kenapa harus di tengah seperti itu."Kuncinya nggak di titip, Bu," jawab Rahmad, security yang bertugas siang itu. Malas sekali rasanya aku ke atas. Akhirnya aku putuskan menelponnya melalui intercom. Tak ada jawaban sampai berulang lagi.Sebuah pesan aku ketik, dan kukirim padanya. Dibaca, akan tetapi tidak di balasnya. Apa sih mau pria ini, malas sekali rasanya. Bodo ah, aku memesan taksi online dari aplikasi hijau, dan meninggalkan mobilku di kantor."Perumahan Griya Dewata ya, Pak," ucapku ke driver, setelah masuk kedalam mobil dan duduk di jok belakang. Mas Driver menjawab iya dengan ramah."Dasar keras kepala."Chat masuk ke ponselku, dari Pak Ryan, apa maksudnya coba. Tadi aku sempat tergoda pesonanya, sekarang malah sebal sekali rasanya. Dasar pria aneh. Aku hanya membaca tanpa berniat membalasnya.Jam setengah dua aku tiba di rumah, kembali aku mengecek barang bawaanku. Semua sudah aku siapkan. Emh, ada yang lupa, aku takut datang bulan di sana. Walau biasa telat lebih baik aku berjaga-jaga."Mam, beli es krim ya," pinta Prilly, aku mengajaknya ke A**amart dekat rumah. Kami pergi mengunakan sekuter matic."Sayang, kamu di sini dulu pilih es krimnya, mama mau ambil uang dulu ya," ucapku ke Prilly, dia berdiri di depan freser melihat es krim yang berjajar di dalamnya.Ada dua orang di depanku, jadi harus mengantri menunggu giliran. Setelah menarik uang dari ATM yang terletak di bagian dalam, aku kembali ke Prilly. Langkahku terhenti, saat kulihat ada sosok tak asing bersama Prilly."Om mirip papaku," ucap gadis kecilku dengan mimik wajah ingin menangis. Dadaku bergetar hebat, aku bergeming bersembunyi dibalik rak aneka jajanan."Oh ya, memangnya papanya adek dimana?" "Papa di surga," jawab Prilly, tampak wajahnya memerah. "Hai, anak cantik jangan menangis. Om belikan eskrim, mau yang mana?"Prilly mengelengkan kepalanya."Kata mama, nggak boleh," "Mamanya mana?" Aku mundur dan bersembunyi dibalik rak. Ku harap Mas Dipta tak melihatku, detak jantungku semakin kencang."Ya sudah maaf, Om buru-buru ya, jangan nanggis lagi, anggap saja Om papa kamu," Kembali kuintip, Mas Dipta mengusap kepala Prilly pelan, kemudian berlalu. Prilly bergeming memandangi pria yang dia sebut mirip papanya itu. Seketika hatiku bagai diiris sembilu, bahkan dia tak melepas pandangannya sampai mas Dipta masuk ke mobilnya.Air mataku luruh seketika, apa yang ada dalam benak gadis kecilku itu sekarang. Segera aku mengusap air mataku dan menghampiri Prillyku yang masih terdiam."Mama ada papa, ada om mirip sekali dengan papa, Ly rindu papa," ucap Prilly, butiran bening turun ke pipi lembut itu, seketika ku memeluk gadis kecilku itu. Tak perduli beberapa pasang mata melihatku."Papa sudah bahagia di surga kan ma?" Bibir mungil itu bertanya di tengah isaknya, aku hanya mampu mengangguk, tak ada sepatah katapun keluar dari bibirku. Rasanya sakit sekali Ya Tuhan, melihat air mata malaikat kecilku itu."Sudah, jangan nangis lagi," ucapku, mengusap pipinya yang basah, tangan kecil itu menangkup wajahku, mengusap pelan pipiku yang basah. Kuraih tubuh mungil itu dan mendekapnya erat. "Mama juga jangan sedih, nanti papa ikut sedih," ucapan prilly semakin membuat sesak dadaku. Aku kehilangan kendali untuk sesaat. Segera kuatur rasaku, menenangkan hatiku."Hai, gadis kecil mama mau es krim yang rasa apa?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Senyum manis terkembang, tangan mungilnya menunjuk beberapa varian rasa. Walau dadaku masih terasa sesak, aku tetap mecoba terlihat ceria. Beberapa jajanan aku tambahkan ke dalam keranjang belanjaan. Setelah membayar kami bergegas pulang."Mama, ada tamu," ucap Prilly menunjuk sebuah mobil yang terparkir di depan pagar.Motor matic kuparkir di belakang mobil, karena tak bisa masuk. Tidak di kantor, tidak di rumahku sendiri kelakuannya sama, mengganggu jalan."Assalamualaikum, " teriak Prilly saat masuk rumah, disambut jawaban dari ayahku dan pria itu. Prilly yang semula setengah berlari, melambatkan langkahnya."Salim dulu, sama temannya mama," pinta ayah ke Prilly, gadis kecilku itu langsung mendekat dan mencium punggung tangan pria itu. Pria itu mengusap lembut kepala Prilly. Pandangannya beralih ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. Dia terlihat tak kaget saat Prilly disebut sebagai anakku."Kamu, tidak bersiap?" tanyanya padaku sopan."Iya," jawabku singkat.Aku tak ingin mempertanyakan maksud kedatangannya, atau mengutarakan kekesalanku padanya. Tak lucu juga kan? Kalau kami ribut di hadapan keluargaku. Aku beranjak ke kamar, bersiap dan mengecek bawaan sekali lagi."Itu ... kepala cabang yang baru?" tanya mama yang datang dengan botol
"Ayo!" ucapnya setelah menerima kartu pintu kamarnya. Aku berjalan mengekorinya. Kamar kami bersebelahan sama-sama di lantai dasar, menghadap ke kolam renang. Ini lebih seperti resort, dengan taman yang sangat luas."Kamu tidak lapar?" tanyanya padaku, saat aku akan masuk ke kamarku. "Kita cari makan selepas ini," lanjutnya."Iya," jawabku singkat.Kamar yang nyaman, melihat tempat tidur bersprei putih itu ingin rasanya segera menghempaskan badanku. Aku meletakan semua bawaanku dan menuju kamar mandi. Kamar mandinya juga tak kalah keren, ah kampungan sekali diriku. Tapi ini benar-benar nyaman sekali.Selepas membersihkan diri dan sholat aku mengecek ponselku yang bergetar dari tadi. Pak Ryan terlihat menelponku beberapa kali. Ih, tak sabaran sekali orang ini. Pesan masuk darinya, dia menunggu di dekat kolam renang."Apa selalu begitu perempuan, ribet," ucapnya saat melihatku datang. Aku menarik kursi dan duduk di
Bertemu dengannya kembali, bukanlah hal yang aku inginkan, apalagi dalam situasi seperti ini. Kenapa pria itu selalu membawa masalah untukku, dan fakta terburuknya adalah, aku masih mencintainya. Tapi bukan berarti aku ingin kembali bersamanya. Luka ini terlalu dalam, dan sulit bagiku melupakan semua yang pernah terjadi.Pesan masuk di ponselku, baru aku akan membalasnya, panggilan Video Call masuk, senyum sahabatku nampak begitu manis. Aku membalasnya dengan senyum yang sama.Friska memberitahu, kalau Mas Dipta juga akan ke Bali, karena itu dia memberi nomor ponselku padanya. "Aku ada pesan beberapa barang, mau nggak temenin Mas Dipta belanja? Dia bilangnya malas, baru mau pas aku mau minta tolong kamu buat temenenin dia," ucap Friska dengan gaya manjanya."Kenapa kamu nggak pesen ke aku aja langsung, kan aku bisa pergi sendiri. Malas tau jalan sama cowok, pa lagi cowok orang," jawabku, Friska tertawa."Dah, kam
"Mamaku bilang apa?""Aku tak paham, beliau minta aku sabar ngadepin kamu," jawabku."Oh, ya udah.""Maksudnya?""Tak ada maksud apa-apa," jawabnya."Terus?" "Iya, iya, tempo hari mamaku tanya, apa aku sudah dekat dengan seorang wanita, daripada ditanyain terus, aku jawab sudah. Aku juga nggak tau, kenapa kamu yang terlintas dalam benakku," jawabnya"Hah ...." aku melongo mendengar jawabannya. "Ya, nggak tau, spontan saja aku nyebut nama kamu," ucapnya lagi."Terus, darimana tau soal Prilly?" tanyaku, aku cukup penasaran dengan hal ini."Pak Ashar, aku sengaja bertanya padanya. Darinya aku tau tentangmu."Pembicaraan kami terhenti saat pelayan datang membawa pesanan kami. Setelah menyajikan di meja dan mengucapkan selamat menikmati, mereka kembali pergi."Bukan hanya kamu, semua supervisor aku tau semua, bukankah ak
Tenang, Kay ... tenang. Kutarik nafasku dalam dan menghembuskannya perlahan. Kenapa dia ada di sini juga? Secepat ini. Untung report sudah selesai aku kerjakan. "Iya kan?" tanya Pak Ryan lagi. Aku hanya mengangguk pelan. Tak lama berselang, panggilan masuk ke ponselku, dari Mas Dipta. Aku hanya membiarkan ponsel yang kuletakkan di sebelah laptop bergetar dan berpedar."Kenapa tidak diangkat?" tanya Pak Ryan terlihat ingin tahu.Menghindarinya bukan jalan keluar, aku ambil ponsel yang sedari tadi bergetar itu dan kemudian menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan dari Mas Dipta. "Sepertinya tempat kita menginap sama, Friska mengatakan kamu menginap juga di Jalan Kartika," ucap Mas Dipta langsung selepas menjawab salam."Sama, atau memang sengaja disamakan?" tanyaku mencoba tenang. Terdengar tawa di sana. Aku sudah memperkirakan memang sebuah kesengajaan.Pak Ryan sesekali melih
"Kamu dimana?" tanya Pak Ryan di sambungan telepon kemudian."Di tempat kita kencan semalam," jawabku sambil melihat Mas Dipta, ekspresi wajahnya berubah. Tak ada jawaban dari Pak Ryan, panggilan pub sudah diakhirinya. Ya Tuhan, dadaku terasa sesak sekarang. Aku menjadi tegang, tak mungkin aku menghubunginya kembali untuk memastikan."Siapa pria itu?""Atasanku di kantor, Ryan," jawabku.Tanganku terasa dingin, rasanya tegang sekali, apa salahnya menjawab iya atau tidak, jadi aku juga tau apa yang akan kuperbuat selanjutnya. Ini main tutup saja."Kay, beri aku kesempatan, satu kali saja. Aku akan buktikan, rasa ini tulus adanya, aku benar-benar mencintaimu, aku janji tak akan mengecewakanmu lagi."Aku hanya menggeleng pelan."Kay, aku masih bisa merasakan, ada cinta dimatamu untukku, jangan membohongi diri sendiri. Belum terlambat untuk kita dapat memulai semua kembali. Kalau kamu merasa tak nyaman dengan Friska, kita pindah, kita mulai kehidupan baru kita,"
"Namanya juga cari suami, ya menikahlah," balasku pada pertanyaan pria itu.Pria itu terdiam. Entah apa yang dia pikirkan. Matahari tepat di atas kepala. Walau tempat kami duduk tertutup, akan tetapi tetap saja terasa panas."Panas … balik yuk!" Aku bangun dari duduk. Pria itu pun juga mengikuti langkahku. Sebelum ke kamar aku mampir ke resto untuk membayar pesananku tadi. Hanya saja ternyata Mas Dipta sudah membayarnya. Kami beranjak keluar dari restoran, berjalan bersisian menuju ke kamar hotel. Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam, tanpa ada pembicaraan apa-apa lagi."Makasih ya." Aku berhenti dan mengucapkan terima kasih sesampainya kami di depan kamarku."Kita bener jadi pacar kan?" tanya Pak Ryan kemudian."Ihh apaan sih kan cuma sandiwara," ucapku tak habis pikir "Sudah ah, bercandanya nggak lucu kalau sampai didengar orang yang kita kenal dikira beneran," lanjutku."Ya udah ... ntar kalau ketemu mantan kamu, aku bilang kita hanya pura-pura." Pak Ryan
"Rasaku, tidaklah lebih penting dibanding yang lain. Kalau mas memang ingin memperbaiki semua, lanjutkan hubungan mas dengan Friska, balas ketulusannya dengan ketulusan juga. Aku akan lebih mudah mengatasi masalahku dengannya."Aku menangkupkan kedua tanganku, memohon mantan suamiku ini bisa mengerti serta memahamiku."Aku tak mencintai Friska.""Kenapa memilihnya? kenapa mau menikahinya? kenapa memberi harapan padanya? kalau memang mas tak memilki perasaan padanya, kenapa mas suka sekali mempermainkan perasaan orang lain? orang yang tulus mencintai mas," ucapku mulai kesal."Aku melihat sosokmu dalam dirinya, untuk beberapa hal kalian mirip sekali. Tapi dia bukanlah dirimu, dan sekarang aku bertemu kembali denganmu, sosok yang benar-benar aku cari dan aku inginkan," jawab Mas Dipta, aku tak suka dia menatapku seperti itu. Tatapan memohon dan meminta, tatapan penuh cinta, terbaca sekali darinya."Kay, aku hanya butuh iya darimu. Kita akan bisa menghadapinya bersama. M