"Di sana nanti, jangan pernah melepas tanganku!" ucap Mas Ryan, tangannya menelusup di antara celah tanganku. Di lingkarkannya kedua tangan, dan dagu sedikit dia topangkan di bahuku.Aku tersenyum, melihatnya dari pantulan kaca, selalu begitu. Sebentar lagi dia akan bilang, jangan dandan menor, jelek, aku tidak suka. Setelah nya bibir nakal itu akan menghapus lipstik dengan ciumannya."Lihat, apa-apaan ini," ucap Mas Ryan seraya memutar tubuhku. Tangan kanannya menangkup daguku. "Menor, jelek, aku nggak suka," lanjutnya. Belum aku menjawab apapun, dia sudah menangkap bibir merahku, dan menghapus lipstik yang aku kenakan."Kebiasaan," ucapku manyun, sambil membersihkan lipstik yang menempel pada bibirnya dengan tanganku. "Kay, dasarnya sudah cantik dari lahir," selorohku."Makanya nggak usah dandan berlebihan.""Ini sudah yang paling soft, Sayang." Ulahnya membuatku gemas, jadi pengen … gigit."Abisin sekalian," ucapku membalas perlakuannya, mengembalikan ciuman yang baru saja dia beri
••"Masih ngantuk?" tanya Mama pagi itu saat mendapatiku beberapa kali menguap saat menyiapkan sarapan."Dikit." Aku menjawab sambil menuang air panas ke dalam cangkir yang sudah berisi gula dan kopi."Hmm … lembur ya," goda Mama kemudian yang membuat wajahku menghangat dan menjadi salah tingkah."Ihh … mama," balasku yang disambut tawa oleh Mama."Ya nggak apa-apa kan, malu-malu kayak baru nikah aja." Bukannya berhenti mama malah semakin menggodaku."Kan biar Prilly cepet ada temannya." Aku beralasan, meski sebenarnya tak perlu juga. Kami sudah cukup paham akan hal ini."Iya … iya kudu rajin bikinnya biar cepet gol, ehhh," goda Mama lagi sambil tertawa, aku hanya menggulum senyumku.Semenjak menikah aku merasakan semakin dekat dengan keluarga, mungkin karena aku juga lebih banyak waktu. Kedekatan keluargaku dan Mas Ryan juga menambah kebahagiaan tersendiri. Begitu beruntungnya aku memiliki mereka semua yang selalu mendukungku."Mama antar kopi Papa ke teras dulu," pamit Mama kemudian
"Kenapa kayak kesal gitu?" Mas Ryan langsung dapat membaca perubahan raut wajahku saat aku kembali ke meja."Mas tau Kay ketemu siapa?" tanyaku sambil menarik kursi dan duduk di samping Mas Ryan. Mas Ryan menggeleng, "Nggak tau kan belum cerita, memangnya siapa Sayang?""Fanny." Aku menjawab dengan nada teramat kesal."Hmm …." Mas Ryan hanya bergumam."Dia sepertinya terobsesi sama Mas," ucapku sambil menatap wajah Mas Ryan."Sayang, kamu percaya aku kan?" tanya Mas Ryan yang langsung aku jawab dengan anggukan. "Abaikan! Tak perlu aku menjelaskan apapun kamu sudah tahu bagaimana perasaanku."Mas Ryan meraih tanganku yang berada di atas meja dan menggenggamnya. Matanya menatapku dengan tatapan yang ku artikan cinta. Teduh dan terasa adem membuatku merasa lebih tenang.Aku percaya padanya dan dia benar, bahkan kata-kata tak akan mampu menggambarkan. Semua Mas Ryan tunjukkan dengan bukti bukan kata-kata. Tak ada sedikitpun ragu atau curiga dalam hatiku. Hanya saja melihat kelakuan perem
Waktu berjalan cepat tak terasa sudah setengah tahun lebih aku dan Mas Ryan menikah. Hampir tak ada pertengkaran ataupun perdebatan berarti. Semua cenderung manis bagiku. Pekerjaan, keluarga, semuanya berjalan selaras dan menjadi lebih baik."Papi, kapan pulang Mi?" tanya Prilly. Malam ini dia minta tidur denganku. Mas Ryan ada meeting di Jakarta, sudah tiga hari, selesai malam ini. Besok pagi, dia naik penerbangan pertama."Besok pulang, kangen ya?" godaku, Prilly mengangguk dan tersenyum."Sebentar sayang, ya. Mami kekamar mandi." Tanpa menunggu Prilly menjawab, aku langsung ke berlari ke kamar mandi. Perutku mual sekali, apa yang tadi aku makan, sekarang keluar semua. Ada apa denganku, tak biasanya seperti ini. Mungkin masuk angin, saja.Aku segera kembali ke kamar, mengambil minyak kayu putih dan memblurkannya di perut dan tengkukku."Mami, sakit?" tanya Prilly terlihat cemas."Masuk angin, paling sayang. Tidur yuk." Aku naik kembali ke ranjang. Merebahkan tubuhku, memeluk tubuh p
"Kita harus segera ke dokter." Mas Ryan menyeka bulir bening yang mengembun di sudut matanya. Yah … lelakiku itu menangis sama seperti aku."Mas baru datang pasti masih capek, sebaiknya Mas rehat dulu," ucapku seraya merapikan kerah baju Mas Ryan."Nggak Sayang, aku nggak capek. Pokoknya habis ini kita ke dokter. Aku mau pastikan semuanya baik-baik saja." Mas Ryan menangkup kedua pipiku dengan tangannya. Aku mengangguk pelan sebagai bentuk persetujuan atas kemauannya.Sebuah kecupan Mas Ryan berikan di keningku, cukup lama. Entah mengapa ada sesak yang tiba-tiba hadir. Kenangan buruk masa lalu terlintas begitu saja. Kenangan saat aku tau sewaktu hamil Prilly. Masa dimana aku begitu terpuruk dan hancur."Kamu kenapa?" tanya Mas Ryan saat menyadari perubahan dalam diriku."Nggak …." Sebuah senyuman aku ulas untuk menutupi rasa pahit dan nyeri yang tiba-tiba hadir."Ada apa?" Mas Ryan terlihat tak puas dengan jawabanku dan dia kembali menanyakan keadaanku."Hanya ingat dulu waktu hamil P
Yang hamil siapa yang ngidam siapa mangga muda siapa, aku menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Malam-malam begini mau cari mangga dimana coba, lagian ada-ada aja kelakuannya. Aku yang ngandung malah Mas Ryan yang mabuk, mulai dari sewaktu di rumah sakit yang katanya mual, begitu juga saat membau sop daging Mama Jani. Aku memang pernah mendengar ada yang demikian, tapi, aku kira hanya omong kosong saja. Akan tetapi, saat mendapati keadaan Mas Ryan sepertinya hal itu tengah terjadi.“Yang muda, Sayang. Yang masih mengkal dicocol cabe yang digerus sama garam terus kriuk kriuk gitu.” Kembali Mas Ryan menambahkan.“Iya, tapi, malam gini cari mangga muda di mana coba,” balasku pada Mas Ryan. “Padahal biasanya mas kan nggak suka yang asem-asem.”“Nah itu dia, aku juga berasa aneh. Tapi, beneran pengen banget makan itu.”“Hmm … ya udah tidur dulu aja, besok pagi Kay tanyain sama temen-temen ada nggak yang punya pohon mangga,” ucapku kemudian.“Belum jam sembilan, Sayang.” Mas Ryan
LUKA“Jangan tertawa.” Aku melempar kesal gulungan tisu kecil ke arah Friska yang sedari tadi tertawa mendengar ceritaku.“Lucu banget sumpah,” ucap Friska di sela tawanya.“Dih.” Aku berdecih pelan, “Apanya yang lucu coba, sekarang kelakuannya sudah persis bayi besar.”Kembali Friska tergelak. Sahabatku itu tidak berhenti tertawa saat aku menceritakan kelakuan Mas Ryan sekarang. Hampir setiap malam selalu muncul ide-ide aneh dalam pikirannya, entah itu ingin makan ini atau itu. Pernah juga meminta kapur barus untuk dibau dan itu harus yang putih kecil. Pernah melarangku mandi karena suka bau keringatku. Bagiku itu semua aneh-aneh dan hal yang dulu dia tidak suka sekarang sebaliknya.“Daripada kamu yang mabuk sama ngidam, kan mending dia saja.” Friska beralasan.Iya benar juga sih, daripada aku yang mengalami hal-hal seperti itu. Akan tetapi, kalapun aku ngidam tidak akan separah itu sepertinya. “Silahkan pesanannya.”Obrolan kami terhenti saat seorang pelayan resto mengantarkan mak
“Sayang, aku tadi makan siang sama Friska,” ceritaku pada Mas Ryan saat kami sedang menikmati segelas minuman hangat di balkon kamar.Aku dan Mas Ryan seperti biasa duduk di sofa dan saling menyandar, biasanya kami akan saling bercerita tentang kegiatan kami hari ini. Dengan cara seperti itulah aku dan Mas ryan membangun komunikasi antara satu dengan yang lainnya.“Pantesan dia telat tadi siang,” ucap Mas Ryan kemudian. Mereka memang masih berada di satu kantor yang sama.“Dia cerita masalah Danu, suaminya.” Aku memulai membuka obrolan.“Kenapa suaminya?”Aku mulai bercerita tentang poin-poin nya saja apa yang sedang Friska hadapi sekarang dan juga saran-saran yang aku berikan kepada sahabatku itu. Mas Ryan menanggapinya dengan sesekali manggut- manggut dan sesekali menyeruput kopinya.“Iya mereka kan nggak ada kendala, sudah bener sih saran kamu,” ucap Mas Ryan kemudian.“Eh … kamu nggak cerita apa-apa kan ke dia?” tanya Mas Ryan sambil kembali menoleh ke arahku.“Emm ….” Aku terdiam