Bab 2. Permainan Dimulai
=====
“Permisi!”
Wanita itu berlalu menuju kamarnya. Kamar yang disediakan Alisya untuknya. Dia adalah keponakan mertuanya. Sudah sangat lama ikut tinggal bersama mertuanya, bahkan sebelum Alisya dinikahi Fajar tiga tahun lalu. Orang tuanya tinggal di desa. Sejak kuliah dia tidak diizinkan nge-kos seperti mahasiswi lainnya. Itu sebab, dia tinggal di rumah Alisya juga, sejak sang mertua pindah ke rumahnya.
“Sebentar!”
Alisya akhirnya bersuara.
Perempuan yang hanya berbalut selimut tipis itu menghentikan langkah. Alisya berbalik, berjalan pelan menghampiri.
“Ikut aku!” perintahnya mendahului berjalan.
“Maaf, Sya! Maksud kamu apa?” Desy menolak mengikutinya.
Desy bahkan tetap enggan memanggil Alisya dengan sebutan ‘Kak’. Padahal usia mereka terpaut empat tahun. Desy tetap memposisikan dirinya sebagai rival dalam memperebutkan cinta Fajar.
“Ikut saja!” Alisya menarik lengannya dengan kasar.
Terpaksa wanita itu mengikuti langkahnya.
Alisya membawanya ke depan kamar mertua lalu mengetuk pelan. Wajah sang mertua tampak bingung. Namun, sesaat kemudian jadi mengetat. Terlihat kemarahan di wajah yang mulai keriput itu, karena dia merasa terganggu istirahat malamnya.
“Ada apa ini? Baru saja Mama mau terlelap, sakit kepalaku kalian buat! Tidak bisakah Mama berhenti berpikir sesaat saja! Enggak puas juga kalian nambah beban pikiranku yang sudah tua ini, ha!”
“Maaf, Ma. Sebentar saja mengganggu waktu istirahat Mama.” Alisya berkata pelan.
“Kamu itu, ya! Sekali aja pulang lebih awal, sudah mengganggu ketentraman rumah ini. Biasanya tidak pernah ada masalah malam-malam kami! Ada apa?” bentak wanita itu kasar.
“Ada apa ini?” tanya Intan keluar dari kamar ibunya sambil mengucek mata. Wanita muda itu terjaga karena mendengar teriakan ibunya.
“Intan! Kamu tidur di kamar Mama?” Alisya lebih terkejut.
“Iya, kenapa? Kakak kok heran?”
“Lho, terus yang nemani Rena tidur siapa? Kukira kamu masih belajar tadi makanya tidak berada di kamar Rena.”
“Ya, Kakaklah! Kan, kakak gak lembur malam ini! Masa aku juga yang jagain anak Kakak! Kakak, dong!” sungut Intan.
Alisya sekarang semakin paham. Ternyata adik iparnya pun sama wataknya dengan sang ibu. Sekali saja dia tak kerja lembur, semua menunjukkan protesnya. Tetapi, Alisya tidak kecewa. Justru dengan ini dia bisa membuka semua topeng yang dipakai oleh anggota keluarganya. Sekarang dia sudah mengerti apa yang sudah terjadi sebenarnya. Selanjutnya, tinggal menyiapkan cara untuk menyelesaikan semuanya.
“Sya! Udah malam, biarkan semua istirahat! Desy! Kamu ke kamar kamu aja!”
Fajar yang telah berpakaian rapi datang menyusul ke depan kamar ibunya.
Desy segera mengikuti perintah itu, tetapi Alisya spontan mencengkram lengannya.
“Sebentar, saya hanya mau bilang sama Mama, kalau Desy mencintai suami saya.” Alisya berkata datar.
“Apa maksud kamu?” Mertuanya melotot.
“Tidakkah Mama lihat dia? Keponakan Mama ini sedang telanjang. Apa perlu saya tarik selimut ini?” Alisya mencengkram selimut yang melilit tubuh Desy!”
“Terus kenapa kalau Desy tidur gak pake baju? Kamu keberatan?” Bukannya terkejut, ibu mertua justru mengumpat.
“Udahlah, Sya! Hentikan!” Fajar membujuknya.
“Desy telanjang di kamar saya, Ma! Dia dan Mas Fajar tidur di ranjang saya!”
“Bukan begitu! Sya! Kamu kenapa, sih?” Fajar gelisah.
“Desy!” Sang mertua menatap tajam keponakannya. Desy menunduk ketakutan.
Plak!
“Tatap Tante! Kenapa kau lakukan hal memalukan ini? Di mana harga dirimu!” Sebuah tamparan mendarat di pipi gadis itu.
Sempat Alisya terkejut. Tak menyangka kalau ibu mertua mau membelanya.
Plak!
“Kamu juga Fajar! Apa yang ada di pikiranmu? Kenapa kalian senekat ini?”
Kali ini tamparan dihadiahkan juga di pipi Fajar.
Fajar bergeming. Alisya sedikit lega karena merasa kalau sang mertua ada di pihaknya. Harapan baru terbit di hatinya. Tetapi, itu hanya sesaat saja.
“Ya, sudah! Kembali ke kamar kalian!”
Alisya terpana.
Setelah perempuan paruh baya itu mengamuk, menampar kedua mahkluk durjana itu, tiba-tiba mengakhirinya dengan damai! Alisya tersadar. Rupanya semua ini hanyalah drama. Sandiwara sedang diperankan oleh para wayang yang selama beberapa bulan ini dia beri makan dengan tetesan keringatnya.
“Kamu tidak kerja lembur malam ini karena mau istirahatkan? Ya, sudah, kamu istirahat saja, Sya!” usul sang mertua. Drama rupanya masih berlanjut.
“Permisi, Tante. Saya balik kamar saya!”
Desy melangkah mundur. Segera Alisya menangkap lengan kurus putih mulus dan tak berbalut itu.
“Kamu boleh masuk ke kamarmu, tetapi bukan untuk tidur. Kuberi kau waktu sepuluh menit! Kemasi pakaianmu!” Pelan, namun sangat jelas terdengar, Alisya memerintahkan.
“Apa? Maksud kamu apa, Sya?”
Bukan Desy yang protes dan keberatan, tetapi sang mertua.
“Maaf, ini memang rumah Mas Fajar, tetapi sebagai istrinya, saya keberatan kalau Desy tetap tinggal di sini!”
“Kamu tidak bisa mengusir Desy seperti itu! Desy tinggal di sini karena ….“
Ucapan mertuanya menggantung.
“Karena apa? Karena dia keponakan Mama?”
“Bukan hanya karena itu, pokoknya kamu tak berhak mengusir Desy! Kembali ke kamarmu. Desy, sana!”
“Desy, waktumu tinggal sembilan menit!” Alisya mengingatkan.
“Alisya! Kamu tidak bisa mengusir Desy!”
“Mama mau melindungi pezina di rumah ini?”
“Mereka mungkin khilap! Mereka ….“
Kembali ucapan mertuanya menggantung.
“Mereka apa, Ma? Mereka tidak berzina Mama bilang, lalu mereka melakukan apa?”
“Cukup! Pokoknya kamu tak boleh mengusir Desy! Ini rumah Fajar! Bukan rumah kamu!”
“Baik, kalau Desy tidak boleh pergi, maka saya yang pergi!”
Alisya langsung bergerak menuju kamar utama.
“Tidak! Kamu juga tidak boleh pergi!”
Alisya tersenyum miring. Umpan sudah dimakan. Selanjutnya tinggal menjalankan misi.
“Kalau Mama tidak mau saya pergi, maka Desy harus keluar dari rumah ini!” ancam Alisya tegas.
“Tapi, apa yang harus kita katakan pada Om Leo dan Tante Rani, Sya? Mereka mengira anaknya baik-baik saja tinggal bersama kita. Mereka pikir Desy kuliah dengan baik di kota ini. Mama merasa enggak enak sama mereka, Sya!”
“Saya tidak peduli! Terserah Desy mau tinggal di mana, yang penting tidak lagi di sini!”
“Baik, besok pagi Mama akan nelpon Leo. Biar Desy cari kos-kosan saja! Mama akan beri alasan bahwa Fajar kena PHK dan terpaksa rumah ini mau kita jual. ”
“Bagus! Tapi saya mau Desy keluar malam ini juga! Saya tidak bisa bernapas kalau dia masih ada di sini!”
“Lalu dia tidur di mana malam ini! Tidak usah berlebihan begitu, Sya!”
“Saya tidak peduli, pokoknya saya mau dia keluar sekarang juga, malam ini juga!”
“Des! Kamu ke rumah Tante Anis, aja, ya! Bilang nginap semalam, besok pagi sari kos-kosan! Intan! Pesankan taksi online buat Desy!”
Alisya melangkah pergi. Ini baru permulaan! Mereka semua, harus dikembalikan ke jalan yang benar, dengan caraku tentu saja, begitu batin Alisya.
*
Mengguyur seluruh tubuh dengan air, Alisya tak merasa dingin sedikitpun. Desy dan suaminya yang berbuat zina, tetapi dia yang merasa tubuhnya kotor. Dia jijik dengan tubuhnya sendiri.
Entah berapa lama sudah hubungan sepasang durjana itu. Entah berapa kali sudah mereka melakukan perbuatan menjijikkan itu. Setelah menyentuh Desy, lalu Fajar menyentuh tubuhnya. Itu yang membuat Alisya merasa jijik pada tubunya sendiri. Tak bisa dia bayangkan, bekas perempuan lain, menyatu lagi dengan bagian tertentu di tubuhnya.
Alisya mual mengingat itu, dia memuntahkan seluruh isi perutnya. Nasi bekal dari rumah untuk makan siangnya tadi seketika keluar berikut lendir yang membuatnya bertambah mual.
Sengaja dia membawa bekal dari rumah, agar bisa irit. Supaya bisa menyarahkan gaji lengkap dengan bonus lemburnya secara utuh kepada sang mertua. Tetapi, ini balasan yang dia terima.
Bekal yang untuk jatah makan siang, sengaja dia bagi dua. Menyisakan separuhnya untuk makan malam, biar kuat saat kerja lembur. Kadang sayur dan lauknya hampir berlendir. Alisya telan dengan menghanyutkannya pakai air minum, yang penting perut bisa terisi. Begitu pikirnya. Sedikitpun dia tak menyangka, jika di rumah suaminya justru bermain lendir dengan gadis muda berstatus mahasiswa, keponakan sang mama.
“Mulai sekarang, tubuh ini tak akan pernah tersentuh lagi! Aku pastikan, Mas Fajar akan memetik buah dari apa yang dia tanam.”Lirih Alisya berbisik, di bawah guyuran air yang semakin dingin.
*
“Sya, mau ke mana?” Fajar menatap istrinya yang mengeluarkan selimut baru dari dalam lemari, lalu beranjak pergi.
“Aku tidur di kamar Rena.”
“Kenapa tidak di sini saja?”
“Maaf, kain sepre ranjang itu penuh dengan noda lendir, aku jijik tidur di situ!”
“Ok, meskipun sebenarnya tidak ada noda, tapi aku akan menggantinya. Tunggu, ya!”
“Tidak perlu. Aku mau menemani Rena. Kasihan dia tidur sendirian.”
“Aku akan minta Intan menemaninya!”
“Tidak usah, Mas. Kamu tidur saja! Selamat malam!”
“Sebentar!”
Alisya berbalik. “Apa lagi?”
“Ketika kamu mandi tadi, mama bilang kalau dia menggunakan uang simpanannya buat membayar taksi online yang mengantar Desy pergi. Ongkos plus tip buat sang supir, karena ini malam hari, takut Desy kenapa-napa di jalan.”
Alisya tersenyum miring. Jadi, ini alasan suaminya berbaik-baik membujuknya tidur di kamar itu. Agar dia mengganti uang mertua yang sudah terpakai buat membayar taksi plus tip untuk sang supir.
“Sudah laporannya? Kalau sudah, aku mau tidur, permisi!”
“Iya, maksud Mama, kamu jangan lupa menggantinya! Kamukan, berangkat pagi-pagi sekali, sebelum semua orang bangun. Jadi letakkan saja beserta uang belanja besok, juga jatah jajan dan uang bensin Intan kuliah di atas kulkas, begitu pesan Mama. Jatah uang rokok aku juga sekalian.”
Alisya tersenyum lagi, kali ini makin miring. Sayang sekali, Fajar tak bisa menangkap maknanya.
*
Pagi itu, Alisya terbangun saat terdengar azan Subuh. Setelah menunakan kewajiban dua rekaat, dia berkemas. Mempersiapkan bekal bekerjanya hari ini, juga putrinya Rena.
Saat terdengar klakson bus jemputan di ujung gang, segera Alisya meraih putrinya ke dalam gendongan. Dia berjalan ke luar rumah dengan penuh semangat tanpa meninggalkan uang belanja, jatah uang bensin Intan kuliah, dan jatah uang rokok buat Fajar.
*****
Bersambung.
Bab 3 Tak Meninggalkan Uang Belanja Sepeserpun ===== “Mama?” Gadis kecil itu mengerjapkan mata, di dalam gendongan Alisya. “Eh, udah bangun putri mama? Maaf, ya, mama membuat kamu terbangun!” Agak kesulitan, wanita itu berjalan menggedong anaknya sembari menenteng tas dan kresek palstik berisi bekal. “Tita mau te mana, Ma?” “Kamu ikut mama kerja, Sayang, maukan?” “Holee! Mau, Ma. Tulunin Lena, aja! Lena mau dalan aja!” “Oh, Rena mau jalan?” “Iyah.” Dengan masih agak sempoyongan, anak kecil itu berjalan dengan dituntun olah ibunya menuju ujung gang, di mana bus karyawan pabrik sarung tangan telah menunggu. “Tumben anakmu ikut?” tegur Endah,
Bab 4 Rena Bersama Putra Sang Big Bos ====== Renasya Putri Fajar, begitu nama lengkapnya. Nama pemberian dari kakek tercinta, ayah kandung Alisya. Sebagai bentuk ungkapan syukur dan bahagia yang tiada terhingga. Atas kehadiran cucu pertama. Sayang, mereka terpisah jarak. Sang kakek dan nenek tinggal di sebuah desa, di bawah kaki gunung nun jauh di sana. Enam jam perjalanan harus di tempuh dengan kendaraan darat. Itu sebab Rena tak bisa di titipkan bersama mereka bila Alisya bekerja. Gadis kecil itu menatap lurus ke arah mana sang Mama berjalan. Tak ada gentar di hatinya. Meski ditinggal sendirian di ruangan sepi itu. Dia sudah terlalu terbiasa sendirian. Di rumah memang banyak penghuninya, tetapi dia selalu terasing dan dibiarkan sendirian. Tak ada yang perlu ditakutkan, Rena sudah bisa bersahabat dengan sepi, dan berteman akrab dengan sendiri. Meskip
Bab 5. Pindah Tugas Di Rumah Direktur Utama ====== “Om, ini Mammma Lena!” Rena tak tahan lagi untuk tidak berisik. Bocah itu berlari mengejar ke arah Deva. Perbincangan lewat telepon itu terhenti. “Sebentar, Pa!” ucapnya seraya menutup ponselnya. “Oom dadi nanya Mamamma, tan? Itu Mammmma Lena, Om! Ayo calim!” “Rena! Hussst!” Alisya benar benar merasa ketakutan. Tingkah Rena sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin putrinya berbicara begitu akrab dengan sang atasan. Soalah mereka sudah saling kenal. Bocah dua tahunan itu bahkan berani memegang tangan sang Bos, lalu menariknya mendekati Alisya. “Ayo, Om!” Mulut mungil itu berkata dengan polosnya. “Rena! Sini, Sayang!” &n
Bab 6 Menumpang di Mobil Pria Angkuh ======== Alisya mengeluarkan semua barang-barangnya dari dalam locker lalu memasukkan semuanya ke dalam kantongan kresek besar. Tak ada tas atau semacamnya. Tak apa, tak ada yang perlu digengsikan. “Syukurlah kita berdua tak dipecat, aku mendapat surat peringatan, dan kamu dipindah tugaskan. Baik-baik bekerja di tempat yang baru, ya! Tetap semangat!” Sang Mandor grup memeluk Alisya. “Maafin aku, Kak! Hampir saja Kakak terkena masalah karena aku.” “Sudah! Tidak apa-apa. Jaga putrimu, ya!” “Salam sama teman-teman, ya, Kak! Bilang sama Rika, nanti aku telpon pas rehat!” “Iya.” “Dadah Ante!”
Bab 7. Pertengkaran Dengan Mertua========Gontai Alisya berjalan, menjingjing barang barangnya. Otaknya sibuk berpikir tentang watak putrinya. Kenapa Rena cenderung ngelawan. Bahkan dia berani membantah perintah Alisya. Sang bunda tidak tahu, kalau kesakitan dan kekasaran yang diperbuat anggota keluarganya selama ini pada putrinya, telah merubah watak lemah lembut menjadi kasar dan pendendam. Rena mulai mendendam pada Deva.“Eh, tumben udah pulang? Kamu enggak lembur?” Mama mertua menyambut di depan pintu.“Tidak, Ma.” Alisya menjawab singkat, langsung berjalan menuju kamar utama.“Itu barang-barang kerja pabrik kamu, kok, di bawa pulang semua?” Sang Mertua mengekori.“Ya, saya gak ker
Bab 8. Stop Menjadi Sapi Perah=====“Aku akan pergi dari sini! Berhenti mengharapkan aku menjadi sapi perah kalian!”Alisya memeluk putrinya sambil berjongkok. Meniup dan mengusap bekas cengkaraman sang nenek yang membiru di tangan mungil sang putri.“Mas Fajar! Sayang! Lho, kok, ada Alisya? Dia gak kerja?”Desy berdiri kaku di ambang pintu. Semua melongo, suasana semakin tegang.Tak ada yang berani memulai pembicaraan. Sang mertua bahkan berhenti meringis kerena kesakitan bekas gigitan Rena.Fajar memucat. Desy mematung.“Masuk kamar dulu, Sayang! Rena tunggu Mama di kamar, ya!” Alisya menggendong putrinya masuk ke dalam
Bab 9. Menunda Minta Talak=======“Keputusan yang sangat tepat, Alisya!” Wanita paru baya itu tersenyum culas.“Ya, keputusanku menunda meminta talak, memang langkah yang paling tepat saat ini. Tapi ini hanya menunda. Perlu Mama ketahui, aku akan mencari cara yang paling tepat untuk menyampaikan hal ini pada orang tuaku di kampung.”“Lakukan saja, kalau kau mau cepat-cepat jadi anak yatim!” ancam mertuanya.“Dan kamu, Mas! Meski aku menunda perpisahan kita, aku tetap menganggap kalau kamu bukan suamiku lagi. Jadi, gak perlu main kucing-kucingan untuk memasukkan kekasihmu ini ke dalam kamar! Silahkan saja! Karena aku sudah tak peduli!”“Alisya
Bab 10 Mulai Membangkang Kepada Suami dan Mertua======“Kak, dipanggil Mas Fajar!” Intan mengetuk pintu kamar Rena. Alisya tengah menidurkan putrinya di dalam.“Sebentar!” Alisya memastikan putrinya pulas. Setelah yakin, wanita itu melangkah keluar, bukan karena patuh, tetapi karena tak ingin menambah masalah bila dia membangkang.Keluarga benalu itu tengah makan malam rupanya. Mereka berkumpul di meja makan.“Rena mana?” Ramah sang mertua menyambutnya. Tumben, dia perhatian kepada cucunya. Pasti ada maunya. Mungkin mertuanya berpikir sekarang semua sudah baik-baik saja, karena Alisya gagal meminta pisah tadi siang. Namun, bagi Alisya ini bukan suatu kekalahan, melainkan awal dari perjuangan.“Dia sudah tidur.