Share

3. Tak Meninggalkan Uang Sepeserpun

Bab 3 Tak Meninggalkan Uang Belanja Sepeserpun

=====

“Mama?”

Gadis kecil itu mengerjapkan mata, di dalam gendongan Alisya.

“Eh, udah bangun putri mama? Maaf, ya, mama membuat kamu terbangun!”

Agak kesulitan, wanita itu berjalan menggedong anaknya sembari menenteng tas dan kresek palstik berisi  bekal.

Tita mau te mana, Ma?”

“Kamu ikut mama kerja, Sayang, maukan?”

Holee! Mau, Ma. Tulunin Lena, aja!  Lena mau dalan aja!”

“Oh, Rena mau jalan?”

“Iyah.”

Dengan masih agak sempoyongan, anak kecil itu berjalan dengan dituntun olah ibunya menuju ujung gang, di mana bus karyawan pabrik sarung tangan telah menunggu.

“Tumben anakmu ikut?” tegur Endah, teman satu pabrik tapi beda grup.

“Iya, nih. Di rumah gak ada yang jaga.”

Alisya memangku putrinya dan meletakan semua perbekalan di lantai bus, di dekat kakinya. Saat bus berguncang melintasi jalan yang berlubang, salah satu barang bawaannya tercampak ke bawah kursi bus di bagian depan.

“Tolong, Mbak! Itu kresek berisi pakaian ganti anak saya!” pinta Alisya.

“Repot banget kamu, Sya! Kerja bawa anak! Ketahuan mandor, bisa dipecat kamu!”

Alisya terdiam.  Benar sekali apa yang dikatakan oleh salah satu temannya itu. Tetapi dia tak mungkin meninggalkan Rena di rumah. Sebentar lagi perang besar akan terjadi di rumah itu. Uang belanja, jatah  Intan kuliah, uang rokok Fajar, uang buat mengganti ongkos taksi Desy tadi malam, tak sepeserpun dia tinggalkan di atas kulkas,  seperti permintaan  mertua dan  suaminya.

Sebentar lagi salah satu penghuni rumah itu akan terbangun dan keributan akan segera dimulai. Jika Rena dia tinggal, Alisya khawatir dia akan menjadi sasaran kemarahan mereka. Itu sebab wanita itu nekad membawa Alisya hari ini.

“Ini!” 

Endah menyodorkan kresek hitam yang tercampak ke depan tadi.

“Makasih, Mbak!”

“Kenapa putrimu tidak dititip saja? Itu buat kebaikan kamu, lho. Peraturanya kita gak boleh bawa anak saat bekerja!”

“Iya, Mbak.”

Alisya menelan saliva dengan susah payah. Berpikir keras di mana dia bisa menitipkan putrinya? Tidak ada. Orang tuanya tinggal di kampung, pun dengan keluarga dari pihaknya. Yang di dekat sini semua keluarga dari pihak suaminya. Tak mungkin dia menitipkan putrinya di sana.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Susah payah dia mengeluarkan benda pipih itu dari saku tas kerja.

“Lena duduk bawah aja, Ma!”

Putrinya beringsut turun dari pangkuan, menyadari sang mama kesulitan.

“Gak apa-apa, Sayang! Sini Mama pangku aja!”

Teleponnya masih saja berdering. Alisya mengabaikan dulu putrinya yang kini duduk anteng di lantai bus.

Alisya tercekat saat melihat layar ponsel, mertuanya   menelepon.

“Hallo, Ma!” sapanya tetap sopan.

“Kamu di mana?”

“Di bus, mau kerja.”

“Turun!”

“Lho, kok turun?”

“Turun pokoknya, Fajar akan negejar kamu ke situ, udah sampai mana?”

“Untuk apa Mas Fajar ngejar saya, Ma?”

“Kamu lupa ninggalin uang belanja hari ini, ganti uang Mama tadi malam, jatah jajan Intan kuliah, juga jatah beli rokok Fajar! Kamu lupakan, ngeletakinnnya di atas kulkas?”

“Oh, iya, saya lupa,” Alisya pura-pura kaget.

“Lupa kamu bilang?”

“Maaf, ya, Ma! Sepertinya kalian harus makan apa adanya aja hari ini, ya! Tadi saat membuat bekal kerja, saya liat masih ada telur di kulkas tiga biji. Nah, dadar itu aja, Ma! Tapi harus irit, ya.  Harus cukup untuk sekalian makan malam kalian. Maaaaaaf, banget, lho, Ma!”

“Gila, kau anggap apa kami makan hanya dengan lauk seperti itu?  Gembel? Iya?”

“Ya, enggak, Ma. Tapi, kalau harus begitu, mau gimana?”

“Aku akan utang aja di warung si Mumun. Nanti malam kamu singgah situ sepulang lembur, langsung bayar!”

Alisya terdiam.  Mertuannya ternyata punya jalan keluar. Tapi, Alisya tak kurang akal, setelah ini, dia akan menelpon semua pemilik warung di sekitar rumahnya, berpesan agar tak  ada yang memberi izin   kepada mertuanya untuk  mengutang.

“Eh, kok diam?”

“Gak apa-apa, Ma.”

“Trus, itu, jatah harian si Intan sama jatah rokok si Fajar, aku duluanin pake uang simpananku. Nanti sore kamu ganti.  Intan tiga puluh rebu, Fajar tiga puluh rebu, ongkos taksi Desy tadi malam tiga pulu lima rebu, totalnya seratus rebu.  Harusnya Sembilan puluh lima rebu, sih.  Lima rebunya anggap aja bunganya. Jelas?”

Alisya bergeming.  Mencoba mencerna semua kalimat itu. Sama sekali dia tak paham jalan pikiran ibu mertuanya. Untuk biaya anaknya sendiri, kenapa dia yang dibebani, coba?  Kalau jatah rokok Fajar, masih masuk akal karena dia adalah istrinya, dan sang suami masih belum mendapatkan pekerjaan baru.   Tapi, jatah kuliah Intan? Bukankah mertuanya masih punya uang simpanan?

Tersadar perempuan itu, kalau dirinya ternyata telah diperas sedemikian kejamnya selama ini.

“Ingat, Sya! Ini uang simpanan Mama. Harus kau ganti! Dua hari lagi ada arisan keluarga besar Mama. Besok mau belikan baju baru mau dipake di acara itu, paham!”

Telepon diputus.

Suatu tekat kini terpatri di hati Alisya. Tak ada cara lain lagi selain berpisah dari Fajar.

*

“Rena tunggu di sini, Sayang! Jangan lasak, ya! Mama kerja!” titah Alisya mengingatkan putrinya, setelah selesai menyuapi anak itu dengan nasi goreng yang dibawanya dari rumah tadi.

“Iya, Ma. Lena duduk di cini, aja,” ucap bocah dua tahun itu sambil duduk di lantai, menyandarkan tubuh mungilnya di locker sang bunda.

“Pokoknya Rena gak boleh ke mana-mana. Kalau ketahuan sama Bos Mama, kita bisa diusir, deh!” Alisya membelai kepala putrinya. Rasa pilu menyeruak di hatinya.

“Iya, talau diucin, tita ndak bica mamam yagi, ndak bica beyik dadan, ndak bica beyik boneta, tayak punya Celin.”

Alisya memeluk putrinya, erat, seketika luruh titik air bening dari kedua sudut matanya. Segera menyeka, khawatir sang putri menyadari tangisnya.

“Sya! Ayo! Mesin udah mulai dihidupkan itu, kalau telat, ntar potong gajikan, sayang!”

Rika teman SMA-nya, juga temannya satu grup mengingatkan.

“Iya.”

Alisya melepas putrinya, langsung berbalik dan meninggalkan gadis kecil itu dengan berat hati.

“Tinggal dulu, ya, anak cantik. Kalau lapar, makan jajanannya itu, ya! Jangan ke mana-mana, lho!” Rika megusap kepala Rena.

“Iya, Ante!”

Bocah kecil itu tersenyum sambil melambaikan tangan. Boneka kecil dan kumal dia dekap dengan sebelah tangannya.

Alisya mungkin sangat sedih menempatkan putrinya di dekat locker seperti itu, tetapi sungguh berkebalikan dengan perasaan sang putri.  Rena sangat bahagia bisa ikut mamanya ke pabrik. Meski tak bisa bersama-sama, tetapi dia bisa dekat dengan sang bunda. Dari pada di rumah, tak diurus, tak dipedulikan, sama sekali tak pernah dianggap ada oleh nenek, tante Intan, tante Desy, dan papanya. Belum lagi siksaan fisik yang sering dia terima. Itu sebab bocah itu tiada henti tersenyum bahagia.

*

“Yang semangat kerjanya semua! Hari ini Bos besar mau turun ke lapangan. Dia mau meninjau langsung ke pabrik.  Pokoknya saat dia masuk nanti, kalian tak ada yang terlihat malas, ya! Ini ada hubungannya dengan usulan perwakilan buruh kemarin tentang kenaikan gaji. Mohon kerja samanya, ya!” Sang Mandor menyemangati.

“Siaaap, Kak!” Serempak grup Alisya menjawab.

“Kamu gak lembur nanti malam?” tanya Rika setelah sang mandor berlalu.

“Enggaklah, anakku enggak mungkin kubawa lembur juga, iyakan?”

“Parah banget, sih, keluarga lakikmu, sampai-sampai kamu gak tenang ninggali dia di rumah?”

“Iya, tadi malam saat aku pulang cepat, aku dapatin Rena tidur sendirian.  Anak sekecil itu, lho! Berarti memang begitu selama ini. Aku memang enggak pernah ngecek kamarnya setiap pulang lembur, karena udah kecapean. Miris liat putriku diperlakukan seperti itu.”

“Iya, anakmu itu juga tampak kurang sehat, deh. Badannya kurus banget, kulitnya kusam, dan maaf, Sya. Tadi saat aku belai kepalanya ….“

Rika menggantung ucapannya.

“Kenapa, Ka?” Alisya penasaran.

“Maaf, tapi, ya, Sya! Di kepala anakmu, banyak kutu rambut!”

“Astaga!” Alisya tersentak.

“Maaf, lho, Sya! Aku gak bermaksud menghina.”

“Enggak apa-apa, Ka. Aku memang enggak pernah sempat mengecek kepala Rena. Bahkan aku tak sadar kalau dia sering garuk-garuk kepala.”

“Kamu terlalu fokus kerja. Di hari yang seharusnya kamu istirahat pun, kamu lembur. Kapan waktu kamu memperhatikan putrimu?”

“Iya, tagihan bulanan kami banyak banget, Sya. Saat di PHK, mobil Mas Fajar ditarik perusahaan, Mas Fajar seperti orang gila meraung-raung.  Mertuaku mengusulkan membeli mobil sendiri dengan cara dicicil. Aku terpaksa menyanggupinya.  Aku stres dengan tagihan mobil, listrik, air, belum lagi biaya sehari-hari. Itu sebab aku harus lembur setiap ada kesempatan. Kuharap, anakku diurus dengan baik oleh nenek ataupun tantenya. Ternyata, tidak.”

“Baguslah, kalau sekarang kamu sudah sadar. Berhenti berbakti kepada keluaga enggak punya hati itu! Kau layak bahagia, Sya, juga putrimu! Tinggalkan keluarga itu!”

“Iya, Ka. Itulah tekatku sekarang.”

“Sssst! Jangan ada yang ngobrol! Bos menuju kemari! Konsentrasi semua!”

Sang Mandor mengingatkan.

Semua fokus menekuni tugas mereka, tak ada yang  bersuara lagi.

“Mammmmmma …!”

Kaget, semua mata tertuju ke sumber suara. Bocah dua tahun itu tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Tangan mungilnya berada di dalam genggaman sang Bos Besar, pemilik perusahaan sarung tangan terkenal itu.

*****

Bersambung.

Komen (15)
goodnovel comment avatar
Beni Hamuri
emang gaji buruh pabrik sarung tangan brp bisa buat bayar2 segitu banyak?? ...
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
pasih gilaa
goodnovel comment avatar
Syarif Hidayat
tembak aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status