Share

4. Rena Bersama Putra Sang Big Bos

Bab 4  Rena Bersama Putra Sang Big Bos

======

Renasya Putri Fajar, begitu nama lengkapnya. Nama pemberian dari kakek tercinta, ayah kandung Alisya.  Sebagai bentuk ungkapan syukur dan bahagia yang tiada terhingga. Atas kehadiran cucu pertama.  Sayang, mereka terpisah jarak. Sang kakek dan nenek tinggal di sebuah desa, di bawah kaki gunung nun jauh di sana. Enam jam perjalanan harus di tempuh dengan kendaraan darat. Itu sebab Rena tak bisa di titipkan bersama mereka bila Alisya bekerja.

Gadis kecil itu menatap lurus ke arah mana sang Mama berjalan.  Tak ada gentar di hatinya. Meski ditinggal sendirian di ruangan sepi itu. Dia sudah terlalu terbiasa sendirian.  Di rumah memang banyak penghuninya, tetapi dia selalu terasing dan dibiarkan sendirian.  Tak ada yang perlu ditakutkan, Rena sudah   bisa bersahabat dengan sepi, dan berteman akrab dengan sendiri. Meskipun di rumah banyak keluarga,  namun, tak ada satupun yang mempedulikannya.

Ada nenek yang selalu melotot menatapnya.  Semua tingkah laku bocah itu tak ada yang benar di matanya. Saat bangun tidur di pagi hari, Rena selalu mengulang kebiasaan yang sangat dibenci oleh sang nenek. Kebiasaan Rena mencari mamanya di kamar utama.  Tentu saja tak ditemukan lagi. Sang Mama sudah berangkat bekerja. Setelah menahan kerinduan hingga tertidur sendirian tadi malam, berharap esok pagi saat terbangun akan bertemu, ternyata hampa. Tangisnya meledak, menangis memanggil sang mama. Namun, seketika reda saat sang nenek melotot tajam, meski tanpa kata-kata. Bocah itu mengkerut menahan isak tangis tanpa suara.

Di rumah juga ada tante Intan, adik kandung sang Papa. Gadis itu selalu mencubit perutnya saat tak sengaja menyenggol barang-barang di atas meja. Bahkan pernah sekali, saat boneka kecil dan kumalnya dibuang secara sengaja oleh sang tante. 

“Boneka ini, jorok, banyak kumannya!” teriak sang tante sambil membuang benda itu ke dalam bak sampah di depan rumah.

Rena menangis memohon-mohon. Bagi bocah itu, boneka kumal itu bukanlah benda mati yang jorok. Tetapi, seorang teman bermain, teman berbicara, tempat mengadu saat sepi, saat rindu pada mama, dan yang paling penting, hanya benda itulah yang selalu setia menemaninya saat dipaksa tidur sendirian di dalam kamar. Kamar yang awalnya   teramat menakuti jiwa bocahnya, tapi kini telah terbiasa baginya.

Pahanya dicubit dengan keras oleh Intan karena menangisi benda itu. Bekasnya bahkan membiru, hingga seminggu tak juga sirna.  Tersedu dia menyender di pagar teras yang terkunci, berharap sang boneka bisa berjalan sendiri menghampirinya.

Harapannya terkabul.  Penjual somay yang sering lewat di gang rumah, merasa iba. Dengan ihklas   membantu mengambilkan boneka kumal di dalam bak sampah. Sekantung kecil somay dia hadiahkan buat sang bocah. Rena yang tak pernah merasakan    jajanan   yang menjadi idola anak-anak di komplek itu, merasa begitu bahagia. Berharap suatu saat mama akan membelikannya dalam porsi yang lebih banyak. Agar bisa makan sampai puas, itu salah satu impiannya.

Di rumah juga ada tante Desy yang selalu memarahinya bila bermain ke kamar utama.  Rena sang bocah polos, tak pernah paham apa yang dilakukan oleh Tante genit itu di kamar mamanya. Yang dia tahu, setiap dia ingin bermanja pada sang papa, wanita itu pasti akan mengusirnya.  Rena begitu iri, saat Desy membenamkan tubuh di pelukan sang papa.  Apalagi, tangan sang papa melingkar erat di pinggang gadis itu.

Rena juga ingin di peluk papa. Kalau mama bekerja, tak bisa memeluk Rena, kenapa papa tidak menggantikannya. Kenapa yang papa peluk justru tante Desy?  Papa memeluk Tante Desy, persis seperti Papa pernah memeluk Mama.  Apakah tante Desy juga istri papa? Atau, apakah Tante Desy itu   anak Papa seperti aku? Kalau iya, gentian, dong, pa, peluknya. Rena kesepian, gak punya teman. Bocah itu,   berjalan sempoyongan meninggalkan kamar utama dengan tangis tertahan.

Desy juga selalu memaksanya mandi sendiri di pagi dan sore hari.  Padahal, Rena sangat takut masuk kamar mandi sendirian.  Mata polosnya sering melihat sesuatu yang bergelantungan di dinding kamar mandi, lidahnya menjulur-julur, seolah hendak menjilat tubuh kecilnya.    Gadis kecil itu berlari ke kamar utama, mengadu pada sang Papa. Desy mengejar dengan hadiah cubitan di sekujur badannya. 

Sesegukan Rena mengadu pada sang Papa, lelaki itu hanya berucap “Makanya jangan nakal!”  lalu fokus lagi ke dalam permainan  game online di ponselnya.

Mengingat suasana di rumah seperti itu, Rena tak henti tersenyum saat ini.  Di sini, dia bisa bermain bersama bonekanya. Tak ada yang melototi, tak ada yang memisahkan dia dengan bonekanya, tak  ada yang mencubiti seluruh badannya.

Di sini, justru ada cemilan, suatu hal yang langka baginya.  Jajanan yang dibeli oleh mama dan tante Rika di warung seberang pabrik sebelum masuk ke sini tadi pagi. Dan yang paling penting, sesekali dia bisa intip Mama yang sedang bekerja  di aula besar dan luas itu. Itu, yang membuat Rena sangat bahagia hari ini.

“Meooong … meooooong …!”

Rena tersentak, seekor anak kucing mendekatinya. Mulai mengendus jajanan yang tengah dinikmati olehnya.

“Nis! Mau? Tamu mau? Tini! Bagi tita, ya!”

Rena membagi dua makanannya. Dengan lahap sang kucing menghabiskan kerupuk rasa  udang itu. 

“Mau yagi? Ini, bagi yagi?”

Rena membagi dua lagi bagiannya. Kembali sang kucing melahapnya dengan cepat.

“Yah, abis, deh. Nanti beyik Mama yagi, ya! Tini main tama Lena!”

Makanan habis, kucing pun berlalu. 

Merasa mendapat teman baru, Rena tak hendak melepasnya. Berlari kecil dia mengejar makhluk imut itu. Sang kucing berlari keluar dari ruangan locker, Rena tetap mengikutinya.

“Nis, tunduin Lena! Nis! Tini! Danan pelgi! Nis …!”

Bug!

Gadis kecil itu terjerembab jatuh.  Sepasang kaki yang panjang, bersepatu mengkilat dan teramat mewah, telah ditubruknya. Mata si bocah hanya awas mengikuti kaki kucing berwarna belang itu berlari, tanpa menghiraukan ada serombongan yang tengah berjalan ke arahnya.  Rombongan Big Bos, putra sulung sang pemilik pabrik, Deva.

Ada yang terasa perih, di lututnya.  Lantai pabrik yang agak kasar, meninggalkan goresan berwarna merah di lutut kecilnya. Rena meringis sambil mengipasi lutur lecet itu dengan embusan napasnya.

“Uuuf uuuuf uuuuuf!”

Mulut mungil itu tak henti mengembus.  Tak ada tangis, tak ada air mata.   Rena sudah terlalu terbiasa merasakan sakit.  Perih ini memang terasa menyiksa, tetapi hanya sesaat saja, begitu  batinnya.

Pemandangan tak lazim itu, membuat Deva, awalnya emosi. Bagaimana bisa ada seorang anak kecil berkeliaran di dalam pabrik. Mesin-mesin raksasa berkekutan besar tengah bekerja, begitu berbahaya bagi nyawa si anak.

Namun, begitu melihat tontonan di hadapan, hatinya seketika luluh.

“Maaf, Pak Deva, ini tak seperti yang Bapak lihat, sepertinya anak ini tersesat masuk ke dalam pabrik, dia bukan anak  karyawan, sama sekali bukan.”  Ridwan, sang manager produksi segera bertindak. Dicengkramnya tangan Rena lalu menarik tubuh anak itu agar menyingkir.

“Lepaskan!” perintah sang Bos.

Ridwan terkejut. Ada rasa takut yang mendera di hatinya. Deva adalah putra pimpinan yang terkenal paling arogan dan angkuh.  Sifat perfeksionis melekat pada dirinya. Semua harus terlihat sempurna, bila ada yang tak sesuai keinginannya, maka bersiaplah menanggung akibatnya. Bisa jadi tamatlah riwayat Ridwan kali ini. Deva pasti akan memecatnya.

“Maaf, Om. Lena ndak nengaja! Lena mo ngejan meong. Maafin Lena, Om!” Rena mendongak, menatap lurus dan lekat tepat di mata Deva. Mata jernih dan tatapan polos itu, semakin membuat hati Deva tersentuh.

“Nama kamu Lena?” tanyanya sembari berjongkok, menyeimbangkan tinggi tubuh mereka.

Butan, Om, nama taya Le … na.”

“Iya, Lena?”

Butan, Om. Le  le le na!”

Bibir Rena bersusah payah mengeja namanya.  Namun, tetap gagal menyebut huruf R.  Itu membuat Deva semakin gemas.  Jelas-jelas Deva mengikuti ucapan sang bocah, tetapi tetap dibantah olehnya.

“Ok, Gak apa-apa. Entah siapapun nama kamu, enggak masalah. Sekarang Om mau tanya, kamu ke sini sama siapa?”

“Mammma.”

“Mama? Mama kamu?”

Rena manggut-manggut.

“Di mana mama kamu?”

Telja, tuh, di dayam!”

Rena menunjuk ke ruangan di mana para karyawan sedang bekerja.

Ridwan dan rombongan pucat pasi.  Bagaimana mungkin seorang buruh kasar berani membawa anak sambil bekerja, habislah semua!  Begitu pikiran yang berkecamuk di benak mereka.

“Oh, Mama kamu bekerja di dalam? Yang mana mama kamu, boleh tunjukin ke Om?”

Boyeh, ayuk, Om!”

Rena memegang telunjuk Deva. Pemuda itu terkesiap saat merasakan jemari mungil itu menyentuh kulit jarinya.

“Ayuk, Om!” Rena menarik tangan Deva lagi.

“Iya, ayuk!”  

Deva menggenggam tangan mungil itu sambil berjalan masuk.

“Itu, Mammma, Om!”

Rena menunjuk Alisya.

“Mammmmma …!”

Semua mata tertuju kepada Rena, Alisya terkejut. Wajahnya pucat pasi seketika. Sang mandor berjalan mendekatinya.

“Siapa anak kecil itu?”

“Putri saya, Kak.”

Gemetar suara Alisya.

“Kenapa bisa ada di sini? Habislah kitaaaaa!” bisik sang Mandor geram bercampur putus asa, lalu berlari kecil menghampiri sang putra Big Bos itu.

“Kamu yang megang grup itu?” tanya Deva dengan nada dingin. Alisnya yang tebal saling menaut.

“Iya, Pak, siap, saya yang salah.  Lalai mengawasi anggota saya.”

“Saya jadi hilang mood mengontrol yang lainnya!  Suruh perempuan itu menghadap saya!” perintah Deva, seraya melepas tangan mungil Rena.

Rombongan itu berbalik, lalu berjalan tergesa mengikuti langkah panjang  sang putra Direktur Utama.

***

Alisya menggenggam erat tangan putrinya, berdiri kaku di depan seorang laki-laki angkuh yang tengah duduk membelakanginya.  Pemuda itu tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya.

Alisya berusaha menenangkan Rena, menempelkan telunjuk di bibirnya, sebagai isyarat agar jangan berisik. Rena menurut, menutup mulut dengan tangan mungilnya.

“Iya, Pa. Bagaimana Deva enggak emosi! Anak kecil umur dua tahunan berkeliaran di pabrik!  Berlarian ke sana ke mari lalu menabrak Deva.  Coba bayangkan kalau dia berlari ke arah gudang mesin. Apa yang akan terjadi, coba! Makanya, aku berencana pecat saja mandor sama karyawan tak tau aturan itu, Papa setujukan?”

Alisya tersentak kaget!

“Om, ini Mammma Lena!”

Rena tak tahan lagi untuk tidak berisik.

*****

Bersambung.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Siti Rohmah
jangan dipecat, kasihan
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Kok sedih sihh
goodnovel comment avatar
Kamisah Buk Mes
tidak semua pimpinan kejam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status