Share

5. Pindah Tugas di Rumah Direktur Utama

Bab 5.  Pindah Tugas Di Rumah Direktur Utama

======

“Om, ini Mammma Lena!”

Rena tak tahan lagi untuk tidak berisik.  Bocah   itu berlari mengejar ke arah Deva. Perbincangan lewat  telepon itu terhenti.

“Sebentar, Pa!” ucapnya seraya menutup ponselnya.

“Oom dadi nanya Mamamma, tan? Itu Mammmma Lena, Om! Ayo calim!”

“Rena! Hussst!”

Alisya benar benar merasa ketakutan. Tingkah Rena sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin putrinya berbicara begitu akrab dengan sang atasan. Soalah mereka sudah saling kenal. Bocah dua tahunan itu bahkan berani memegang tangan sang Bos, lalu menariknya mendekati Alisya.

“Ayo, Om!”

Mulut mungil itu  berkata  dengan polosnya.

“Rena! Sini, Sayang!”

Alisya menarik paksa tangan putrinya. Rena agak terseret, pegangan tangannya lepas dari tangan kekar Deva. Lelaki itu hanya membisu.

“Rena diam dulu, ya, Nak! Tutup mulutnya, ya, Sayang!” bisik Alisya membujuk.

Rena langsung menutup mulut dengan telapak tangan. Diam tak lagi bersuara.

“Maaf, Pak. Saya bersalah, karena membawa anak saat bekerja, anak saya juga mungkin telah membuat Bapak tidak nyaman. Saya benar-benar minta maaf,” ucap Alisya sesaat setelah putrinya tenang. Kepalanya menunduk dalam, menyiapkan hati dan menebalkan telinga, untuk mendengar bentakan dari sang Bos.

Lama tak ada jawaban. Deva hanya menatap Alisya dan putrinya tajam. Rena yang di tatap seperti itu, mulai mengkerut, dia bersembunyi dibalik tubuh ibunya.  Sesekali mengintip Deva, dengan telapak tangan kanan masih menutup mulut mungilnya. Kembali Deva terenyuh. Sadar, kalau sikapnya ini, telah menakuti anak kecil itu.

“Siapa nama kamu?” tanyanya memecah ketegangan.

“Lena, Om!” Spontan Rena menjawab.

Deva memalingkan wajah, sungguh hatinya tergelitik dengan sikap Rena yang begitu menggemaskan. Teringat dengan seseorang yang sangat dia rindukan. Seorang bocah perempuan yang mungkin seumuran dengan Rena.  Rasa rindu yang tetiba membuncah, membuat wajahnya seketika menjadi mendung.

“Maafkan anak saya, Pak. Saya akan menitipkannya di luar saja, agar tak mengganggu Bapak, permisi!” 

Alisya menarik tangan Rena ke luar ruangan.

“Tunggu!”

Alisya tersentak, membalikkan badan dan menunduk lagi di hadapan sang Bos.

“Jadi siapa nama kamu?” Deva mengulang sembari menggerakkan mouse laptop di meja itu.

“Alisya, Pak,” jawab Alisya sembari menekan lengan putrinya sebagai isyarat agar jangan bicara. Rena pun paham itu.

“Alisya apa?”

Deva masih menscroll data karyawan bagian pabrik di  laptop itu.

“Alisya Ambarwati, Pak.”

Deva menemukan nama itu, mulai membaca data-data tentang karyawan yang telah mengecewakannya ini dengan seksama.

“Hemh, kamu masih empat bulan kerja rupannya, baru sebulan lulus training, pantas!” ucapnya mengusap dagu kokohnya berulang-ulang. Otaknya juga berpikir keras, keputusan apa yang seharusnya dia ambil sekarang.

Andai dia tidak melihat sosok bocah yang dirindukannya di diri anak Alisya, tak akan segan dia memcat secara tidak hormat sekarang juga. Namun, sikap dan celoteh Rena  membuat  dia berpikir ulang. Itu membuat otaknya lelah.

“Sebulan lulus training, kamu sudah melanggar peraturan, apa maksud kamu?”

Ketus dia menatap tajam Alisya.

Yang ditatap hanya menunduk. Padahal ingin sekali Deva menatap wajah perempuan itu dengan jelas.  Ingin tahu wajah yang sesungguhnya, mungkin bisa sebagai pertimbangan untuk keputusannya. Karena mata adalah jendela hati. Deva ingin tahu keseriusan Alisya dalam bekerja, dengan membaca lewat matanya. Tetapi, tak sekali pun Alisya menatapnya. Kepala yang dibungkus seragam penutup plastik   berwarna biru itu saja yang tampak olehnya.

“Maaf, Pak. Saya terpaksa membawa putri saya, dan sungguh baru hari ini saja. Itu bukan karena sengaja menyepelekan peraturan di pabrik ini, tetapi karena saya belum menemukan tempat untuk menitipkan putri saya.  Tidak ada ada yang benar-benar mau menjaga dia.  Itu sebab saya berani melanggar peraturan kali ini. Dan saya tak pernah melakukan kesalahan selama ini, ini kali pertama.  Jadi, Bapak harusnya tak semarah ini, dengan memberikan peringatan pertama, saya kira sudah cukup.  Saya berjanji tak akan mengulang lagi. Jika saya melanggarnya, maka Bapak boleh memecat saya.”

“Kamu!”

Deva menggebrak meja.  Alisya dan Rena tersentak kaget.

“Kamu pikir kamu itu siapa, berani mengatur saya, ha! Baru bekerja empat bulan, udah berani mengatur! Suka-suka saya, ini perusahaan saya, kamu saya pecat!”

Alisya gemetar sesaat. Laki-laki angkuh di hadapannya telah berhasil membakar emosinya. Kesalahan yang dia perbuat hanyalah melanggar sebuah peraturan. Dan ini kali pertama. Namanya tidak ada di daftar karyawan yang bermasalah. Kinerja yang dia tunjukkan selama ini juga bagus. Bahkan selalu mendapat pujian dari mandornya.  Jika kesalahan yang bukan disengaja ini membuat dia dipecat, maka detik ini juga akan dia tinggalkan pabrik ini.  Tak akan ada kalimat memohon apa lagi mengemis rasa iba.  

“Terima kasih atas keputusan Bapak!  Permisi!” ucapnya membalikkan badan.

Deva terpana. Harapannya Alisya akan memohon, menangis, minta dikasihani agar jangan dipecat. Karena sesungguhnya bukan itu yang ingin dilakukannya. Dia sungguh tak tega memecat Alisya. Apalagi melihat wajah mungil Rena yang tampak ketakutan sekarang. Dengan tetap menoleh ke belakang, menatap wajah Deva, bocah kecil itu berjalan  diseret ibunya.

“Alisya, tunggu!”

Dengan menekan gengsi dan harga diri, Deva akhirnya mengalah.  Sungguh tak masuk akal, kali ini dia mengalah kepada seseorang, karyawan pabrik, buruh kasarnya. Ini di luar logikanya. Tetapi, nyata itu yang dilakukannya saat ini.

“Maaf, Pak. Saya tidak punya kasbon, kok. Jangan khawatir, upah saya bekerja dua minggu ini, tak perlu Bapak bayar.  Saya juga akan kelaur dari pabrik ini tanpa membawa apapun milik perusahaan, saya berani digeledah di gerbang nanti, permisi!” Kembali Alisya melanjutkan langkahnya.

“Bukan itu!” Deva berteriak.

“Rena memeluk paha Alisya, bocah itu semakin ketakutan mendengar suara yang menggelegar itu.

Deva tersadar, dia menyesal dengan bentakan dari mulutnya sendiri.

“Ok, aku minta maaf!”

Untuk pertama kalinya juga, lelaki itu meminta maaf kepada bawahannya. Ya, ini untuk pertama kalinya.  Kata maaf adalah kata yang sangat dia benci selama ini, tak hendak diucapkannya sepenting apapun situasinya. Tetapi, melihat wajah Rena yang ketakutan, kata itu terucap.

 “Aku belum selesai bicara, kau sudah pergi saja! Kenapa kau tidak sabar menunggu kalimatku?” sesalnya.

Alisya berbalik, menatap sang Bos dengan heran. Rena masih bersembunyi di balik pinggangnya.

“Bapak memecat saya, apa lagi yang perlu saya tunggu? Pesangon? Tidak mungkinkan?”

Alisya berkata tanpa menunduk lagi. Mata indahnya menatap lekat wajah sang Bos. Kini dia sudah dipecat, tak gentar untuk menatap tepat di bola mata lelaki itu, karena Deva bukan siapa-siapanya lagi sekarang.

Tatapan mereka beradu, Deva kini bisa melihat dengan jelas, wajah Alisya yang polos tanpa riasan, mata besar dengan bulu lentik dan alis bak ukiran. Hidung mancung, dan berhenti di bibir penuh. Bibir itu juga tanpa pewarna sedikitpun. Tetapi terlihat begitu segar, seperti kelopak bunga mawar. Beginikah wajah asli seorang wanita cantik tanpa polesan? Deva terpana sesaat.

“Deva! Bagaimana?”

Seseorang masuk ke dalam ruangan. Berpakaian setelan jas yang sangat rapi dan wangi.  Usianya paruh baya, garis wajahnya terlihat keras dan sangat berwibawa, mirip dengan Deva.

Alisya tak mengenalnya. Dia memang tak pernah bertemu orang-orang penting pemilik pabrik tempatnya bekerja.  Tetapi, melihat kemiripan kedua lelaki ini, sepertinya dia adalah sang direktur utama.

“Ada lagi yang ingin Bapak sampaikan? Kalau tidak, saya permisi!”  Alisya mengundurkan diri.

“Hem, siapa wanita ini?” 

“Namanya Alisya, Pa. Dan itu putrinya.”

Lelaki paruh baya itu menatap lekat wajah Alisya dan Rena. Lama tatapannya berlabuh di wajah Rena. Bocah dua tahunan itu menyita perhatiannya.

Rena makin menyembunyikan diri di balik tubuh ibunya. Hilang sudah segenap kelincahan dan celotehnya sejak mendengar teriakan Deva tadi. Kini tatapan sang direktur utama yang tajam dan penuh selidik, menambah ketakutannya.

“Jadi keputusannya?” tanya sang Papa.

“Saya memecatnya! Papa setuju?”

Deva berkata tegas.

Lelaki itu mengernyit keras.

“Pasti dia punya alasan sehingga membawa anak saat bekerja! Jangan mengambil keputusan secara gegabah!”

“Semua punya alasan, Pa! Aturan ya, tetap aturan. Dia melanggarnya!  Masih sebulan lepas training, lho!”

“Baik, siapa nama kamu tadi?”

Sang direktur kembali menatap Alisya.

“Alisya, Pak.”

“Kamu saya pindahkan tugas saja, ya! Mulai besok datang ke rumah. Ini alamatnya!”

Sang direktur menyerahkan sebuah kartu nama.

“Maksud …  Bapak?”

Alisya terperangah.

“Ya, di rumah butuh tenaga kerja. Kamu boleh bawa anak. Sebenarnya, anakmu yang paling dibutuhkan malah.”

“Saya enggak ngerti.”

“Istri saya butuh perawat.”

“Tapi saya bukan perawat, saya –“

“Ya, kamu buka perawat. Tapi tugas kamu hanya menemaninya.  Membujuknya makan teratur, menemaninya berjemur di pagi hari, itu saja.”

“Terus, Bapak bilang anak saya yang paling dia butuhkan, maksudnya apa?”

“Dia sedang sakit karena baru saja kehilangan cucu.  Putri Deva. Seumuran putri kamu. Mungkin kehadiaran putri kamu, bisa mengembalikan semangat hidupnya.”

Alisya tercekat. Pantas, sikap kedua laki-laki ini sangat aneh setiap melihat putrinya. Rupanya ini alasannya. Dan itu juga yang membuat Deva sangat emosi, karena keselamatan Rena berbahaya bila bermain di lokasi pabrik. Trauma kehilangan anak membuat emosinya meledak.  Meski kehilangan bukan karena kematian. Ya, putri Deva dibawa pergi olah istrinya. Pengadilan memenangkan hak asuh anak jatuh pada pada mantan istrinya. Itu yang membuat Deva dan keluarga besarnya merasa sangat kecewa.

“Kamu mau bekerja di rumah saya?” tanya sang direktur sedikit membujuk.

“Pa, pembantu di rumah sudah kebih dari cukup!” protes Deva, membuat hati Alisya ciut.

“Alisya bukan dijadikan pembantu! Kamu jangan salah persepsi!  Dia hanya dipindah-tugaskan. Namanya tetap tercatat sebagai karyawan pabrik, paham kamu?”

Deva terdiam, tak lagi membantah.

Alisya merasa lega. Setidaknya namanya tetap berstatus karyawan, bukan dipecat meski tempat kerjanya berpindah tempat.

“Bagaimana?”

Sang Direktur menatapnya lekat.

“Baik, Pak. Saya bersedia.”

Direktur utama tersenyum lega. Sementara wajah Deva mengetat. Tetapi keputusan tetap berada di tangan sang papa. Deva tak bisa berbuat apa-apa.

*****

Bersambung.

Komen (15)
goodnovel comment avatar
Eridha Turnip
Cerita Yang Saya Bagus. ada Konflik Yg timbul Antara Bos Tua, Bos Muda dan Sang Pelayan beserta Anakmya.
goodnovel comment avatar
sagitarius0115
kebenaran selalu milik orang yang berduit saat ini
goodnovel comment avatar
fauziah
menarik dan mantap ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status