Share

Kedatangan ustadzah

Rose yang dijemput dari rumahnya, setelah sampai dia langsung masuk kamar. Bahkan suamiku yang bertanya pun tak digubrisnya. 

"Rose kenapa, Bu?" 

"Biasa, merajuk. Saat kami jemput tadi dia nggak mau pulang, malah Mamanya ajukan syarat yang berat," jawabku sembari duduk di kursi disamping suamiku. 

"Memangnya syarat apa?" tanya Bapak ingin tau. 

"Ya mengenai kebiasaan bangun siangnya itu. Besan minta kita nggak mengusik tidurnya, juga jangan menyuruh-nyuruh Rose kerja ini itu," kataku menghela nafas. 

"Jadi bagaimana? Apa Ibu setujui?" 

"Terpaksa, Pak. Biar Rose mau pulang, tapi Ibu juga bilang bagaimanapun Darma itu suaminya Rose lebih berhak mengatur Rose. Ibu juga akan bantu membimbingnya agar bisa berubah," kataku semangat. 

"Betul itu, Bu. Walaupun Rose menantu tapi sudah menjadi keluarga kita, anak kita ya jadi sudah tanggung jawab kita juga yang menasehati dan membimbingnya," ucap Bapak memberi dukungan. 

"Tumben Bapak dukung Ibu, biasanya cuma mencela," ucapku menyindirnya. 

Bapak cuma terkekeh melihatku, lalu menyesap kopi yang tinggal separuh. Hari ini kami berdua tidak ke sawah karena urusan Rose ini, tapi tidak apalah yang penting dia mau pulang. 

"Bapak udah makan?" tanyaku sambil berjalan ke kamar berganti baju. 

"Ya blom toh, Bu. Mau makan pake apa?" 

"Ya sudah, Ibu ganti baju dulu trus masak," kataku dari dalam kamar. 

"Bapak mau ke ladang kita dulu, mau lihat ada nggak sayur yang bisa dipanen," ujar bapak yang ku balas anggukan. 

Aku pun berjalan menuju dapur, melihat tong beras sudah kosong. Berencana mau beli, saat mau keluar rumah ditegur Darma. 

"Mau kemana, Bu?" 

"Beli beras, di tong udah habis. Ibu mau masak, Bapakmu blom makan," jawabku. 

"Sini, biar Darma aja yang beli berasnya," katanya kemudian masuk kedalam kamar. 

"Ini duitnya, Nak!" 

"Nggak usah, Bu. Pake duit Darma aja, ibu simpan aja uang ibu," tolak Darma. 

Saat Darma mau keluar, Rose memanggil. "Mas, jangan lupa beli makanan ya!" rayunya. 

"Makan aja yang kamu tau, bantu ibu masak sana!" desis Darma. 

"Ssstt, sudah kamu beli beras dan makanan buat Rose. Ingat yang ibu bilang sama kamu tadi," ucapku mengingatkan Darma harus bersabar dulu. 

Setelah Darma pergi, Rose masuk lagi ke dalam kamar. Aku pun menghampirinya di kamar. "Rose, kamu lagi ngapain Nak?" 

"Bukan urusan ibu, ngapain masuk kesini," jawabnya masih saja ketus. 

"Ibu mau masak, apa kamu nggak mau belajar masak? Biar pinter," rayuku agar Rose bisa berubah sedikit demi sedikit. 

"Nggak mau lah, apa ibu lupa pesan Mamaku tadi? Jangan suruh Rose ini itu," ujarnya sambil memainkan ponsel. 

"Ya sudah, tapi kalo nggak mau masak, kamu cuci baju ya! Lihat baju kotor Darma itu udah numpuk di keranjang," kataku menunjuk keranjang pakaian kotor disudut kamar. 

"Males lah, kemarin kenapa nggak Ibu cuci waktu Rose di rumah Mama?" 

"Nggak boleh sama Darma, kan dia punya istri. Kalo bukan kamu yang nyuci siapa lagi," aku masih berusaha bersikap lembut. 

"Ya sudah biarkan aja nggak usah dicuci," sahutnya kesal. 

"Nanti Darma nggak punya ganti untuk kerja, Rose. Apa kamu suka Darma kerja pake baju kucel dan bau? Apa kamu mau digunjing orang lagi?" jebak ku agar Rose sadar. 

"Ibu bawel banget sih! Udah sana keluar masak, nggak usah ikut campur urusanku. Atau aku adukan lagi sama Mamaku," ancam Rose mengusirku lalu menutup pintu kamarnya dan mengunci. 

Aku hanya menggelengkan kepala, sabar jangan dulu menyerah. Aku harus kuat dan tetap optimis, gumam ku dalam hati. 

Sambil menunggu Darma membeli beras, aku mulai menggoreng ikan asin dan sambal, serta sayur kangkung yang di panen dari ladang semalem. 

"Assalamualaikum ... Bu Khadijah!" panggil seseorang dari depan. 

"Wa'alaikumussalam," jawabku berjalan kedepan. 

"Aih, Bu Ustadzah. Mari masuk!" kataku mempersilahkan. 

"Terima kasih," jawab ustadzah Aisyah. 

"Tumben, ustadzah Aisyah kemari. Ada apa gerangan toh?" tanyaku setelah tamu duduk dan menghidangkan minum. 

"Maaf kalo kedatangan saya mengganggu, Bu Khadijah," ucapnya sungkan. 

"Nggak apa-apa kok, saya juga baru siap masak," jawabku tersenyum. 

"Begini loh, Bu. Hari Jumat nanti ada pengajian di rumah saya, jadi saya minta bantuan Bu Khadijah untuk memasak. Karena saya tau masakan Bu Khadijah paling enak di kampung ini," puji Ustadzah Aisyah. 

"Ustadzah bisa aja, masakan saya sederhana kok dibilang enak," ujarku malu. 

"Bener loh, bahkan ibu-ibu yang lain juga bilang sama saya. Jadi mau kan Bu Khadijah bantu saya?" tanyanya berharap. 

"Baiklah, Ustadzah. Saya akan bantu semampunya, semoga masakan saya sesuai selera," jawabku luluh. 

"Insya Allah sesuai selera, Bu Khadijah jangan takut ntar kalo nggak habis bisa dibawa pulang nanti," kata Ustadzah tersenyum. 

Ustadzah meminum teh yang aku hidangkan, lalu celingukan mencari sesuatu. "Oh ya, menantunya kemana Bu?" 

"Lagi istirahat di kamar, apa perlu saya panggil?" tanyaku. 

Ustadzah Aisyah mengangguk, aku berjalan menuju kamar Rose dan mengetuk pintunya. "Rose, buka pintunya. Ada tamu yang ingin ketemu kamu." 

"Ibu apa-apaan sih! Ganggu aja terus, berisik tau nggak!" teriak Rose dari dalam. 

Aku tersenyum kecut saat pandanganku beralih ke Ustadzah Aisyah yang terkejut mendengar teriakan Rose. 

"Rose, Ustadzah Aisyah ingin ngobrol sama kamu. Keluar lah!" kataku terus mengetuk pintunya. 

Akhirnya pintu dibuka, nongol wajah masam Rose dibalik pintu. "Ada apa rupanya?" 

Aku menarik tangan Rose agar duduk dan mengobrol dengan tamu. Kulihat Ustadzah Aisyah terus tersenyum walaupun wajah Rose jutek. 

"Nak Rose, maaf mengganggu istirahatnya," kata Ustadzah mengawali pembicaraan karena Rose cuma diam. 

"Sudah tau tapi tetap aja mengganggu," sindir Rose. 

Aku menjawil tangannya dan berbisik, "Jangan gitu, nggak sopan. Beliau seorang Ustadzah, harus kita hormati." 

Rose merengut dan aku meminta maaf atas kelakuan Rose barusan. 

"Sudah nggak apa-apa, saya cuma ingin bilang Insya Allah Jumat ada pengajian di rumah saya, kamu datang ya bersama Ibumu," ajak Ustadzah merayu Rose. 

"Nggak mau, aku malu. Ini semua gara-gara Ibu yang udah bilang keseluruh kampung," kata Rose menohok hatiku. 

"Memangnya malu kenapa?" tanya Ustadzah Aisyah tak mengerti. 

"Tanya aja sama Ibu ini, udahlah aku nggak mau, Ibu aja yang datang. Permisi!" sahut Rose beranjak pergi lalu masuk ke kamar lagi. Suara debum pintu ditutup terdengar kuat. 

Lagi-lagi aku harus menahan malu atas kelakuan menantuku itu, tapi Ustadzah Aisyah tidak permasalahkan. Beliau memang berjiwa besar dan berhati lembut. Sudah banyak orang yang insyaf atas bimbingannya. Semoga saja dengan ikut pengajian Rose bisa berubah, tapi mengajaknya itu yang sulit karena dia tidak mau keluar rumah. 

"Maaf ya Ustadzah Aisyah, sebenarnya Rose sudah jadi gunjingan orang kampung makanya dia nggak mau keluar rumah," kataku menghela nafas. 

"Ada masalah apa ya, Bu?" 

"Saat itu ada tetangga yang datang, lalu melihat Rose masih tidur. Makanya berita itu tersebar," jawabku.

"Mengapa mereka bisa begitu? Apa Rose memang suka bangun siang?" tebak Ustadzah Aisyah. 

Aku mengangguk, kemudian menceritakan kebiasaan buruk Rose itu juga syarat dari Mamanya yang membuatku harus tambah sabar dan kuat menghadapi Rose. 

"Saya salut pada kesabaran Bu Khadijah, semoga Allah SWT memandang niat ibu. Doa yang makbul itu ya doa orang tua pada anaknya. Terus semangat dan berdoa ya, Bu! Insya Allah saya bantu membimbingnya, mengadakan pengajian  ini tujuannya agar semuanya mendapat ilmu dan hidayah," ucap Ustadzah Aisyah menerangkan. 

Setelah puas mengobrol, Ustadzah Aisyah pamit dan titip salam untuk Rose. Aku mengantar sampai ke pintu depan dan meminta doanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status