Suara ketukan pintu mampu membuyarkan kepokusan yang terjadi selama satu jam lamanya. Dengan kedipan beberapa kali, Luke berdehem dan mengalihkan tatapannya pada dokumen yang sejak tadi ia kerjakan.
"Masuk."Satu kalimat itu telah mampu menghentikan suara berisik, berganti dengan pintu yang mulai terbuka hingga tampaklah seorang wanita yang membawa secangkir kopi kesukaan sang pria.Setelah menutup pintu kembali, wanita itu masih bergeming di tempat dengan pandangan tertuju pada sang suami yang terlihat serius dalam membaca dokumen. Menghembuskan napas sejenak sebelum ia kembali mengayunkan kaki. Dengan langkah pelan, ia tidak ingin membuat suaminya hilang konsentrasi.Setelah memastikan bahwa cangkir kopi itu telah berada di atas meja dengan aman. Si wanita melirik sebentar ke arah si pria yang sepertinya tidak menyadari kedatangannya. Ia mengulas senyum tipis sebelum akhirnya ia berbalik hendak meninggalkan sang suami.Namun, belum sempurna tubuhnya berbalik. Sebuah tangan besar merangkul pinggangnya hingga ia terjatuh ke pangkuan sang pria. Dengan raut yang masih menampakkan keterkejutan, ia menggerakkan netranya ke arah sang suami yang kini menyeringai menatapnya."Luke, apa yang kau lakukan?" tanyanya setelah meredakan debaran pada jantung. Wanita itu masih belum berhenti dalam mengusap dada."Memelukmu," jawab Luke enteng, seakan tidak merasa bersalah terhadap apa yang ia lakukan barusan.Mendengar nada yang begitu ringan, sang wanita mengerucutkan bibir. "Bagaimana jika aku jantungan tadi? Kau membuatku begitu terkejut."Tanpa signal ataupun aba-aba, sang wanita kembali dibuat terkejut ketika pria yang memeluknya itu mengecup bibirnya begitu dalam."Luke! Sudah kubilang jangan suka membuatku terkejut," sungut si wanita seraya memukul dada suaminya pelan. Sang pria malah tertawa melihat wajah kesal sang istri."Itu hukuman karena kau datang ke ruanganku secara mengendap-endap. Memangnya kau mau dituduh sebagai pencuri, hm?" Luke mengangkat satu alisnya ketika melihat wajah sang istri dipenuhi kerutan kebingungan."Aku hanya tidak ingin mengganggumu disaat kau sedang serius bekerja, Luke. Makanya aku tidak bersuara saat masuk tadi," jawab si wanita seraya meletakkan nampan ke atas meja di samping laptop.Tidak suka melihat sang istri mengalihkan pandangan dari tatapannya, Luke langsung menggapai wajah istrinya agar kembali menatapnya. "Asha, aku paling tidak suka saat kau berpaling dariku. Lagi pula, siapa yang mengatakan bahwa kau menggangguku. Malah sebaliknya, saat-saat seperti ini aku butuh energi agar pikiranku bisa lebih jernih."Asha kembali mengerutkan alisnya tanda tidak mengerti akan perkataan suaminya. "Energi? Bukankah tadi kita baru saja selesai sarapan?"
Mendengar respon yang begitu polos, Luke malah berdecak kesal. Asha semakin memperdalam kerutan seraya netranya terus bergerak menatap wajah gusar sang suami."Bukan energi itu yang ku maksud. Tapi ...." Selang keheningan sejenak, Luke mulai menurunkan pandangan ke arah bibir merah sang istri dengan tatapan berhasrat.Menyadari ke mana arah tatapan itu. Asha seketika langsung mengurai kerutan karena mulai mengerti maksud dari perkataan suaminya. Sebelum bibir mereka saling menyatu. Asha telah lebih dulu menyela."Hm, Luke. Aku baru ingat jika tadi Mama memintaku untuk memijitinya. Jangan lupa minum kopinya yah, aku akan menemui Mama dulu," seru Asha yang berusaha menjejaki lantai.Hampir saja kakinya menggapai lantai saat sang suami telah lebih dulu mengangkat tubuhnya ke atas meja. Dengan mata telah membulat sempurna, Asha berusaha menggerakkan bibir. "Luke, aku tidak bercanda. Mama sekarang pasti sedang menungguku. Biarkan aku turun, yah."Bukannya menurukan dirinya ke lantai, sang suami malah merapatkan pandangan. Hingga membuat Asha menahan napas seraya memundurkan wajah."Mimijat mertua bukanlah kewajiban. Tapi yang harus lebih diutamakan adalah melayani suaminya. Jadi, sebagai istri yang baik tidak boleh menghindar, hm." Luke memiringkan sudut bibirnya dan terus memperhatikan wajah istrinya yang merengut."Bukankah tadi malam kita sudah melakukannya. Apa malam ini kau masih menginginkannya?" Pertanyaannya langsung dibalas anggukan cepat dengan mata telah berbinar, membuat Asha semakin mengerucutkan bibir. "Dasar mesum," umpat Asha yang hanya direspon kekehan kecil."Aku tidak pernah bosan melakukannya selama itu denganmu." Melihat wajah sang istri yang mulai mengurai kerutan. Luke kembali mendekatkan wajah mereka hingga kehangatan seketika menyapa.Belum puas sampai di situ, Luke langsung mengangkat tubuh istrinya tanpa melepaskan tautan bibir mereka menuju ke kamar. Setelah berjalan beberapa langkah. Dengan semakin liar, si pria menutup pintu kamarnya menggunakan satu kaki. Hingga hanya menyisakan suara dentuman dari pintu yang dibanting sedikit kuat.Paginya, Asha berjalan dari dapur dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat secangkir teh madu kesukaan ibu mertua dan cemilan. Ia meletakkannya di atas meja, tepat di depan mertua. "Bu, ini tehmu," ujar Asha memberitahu. Selina Watson--ibu mertua Asha hanya berdehem dan kembali meletakkan majalah yang sedang ia baca. "Sudah ada tanda-tanda?" tanya Selina yang langsung membuat Asha bergeming. Asha tahu maksud dari pertanyaan itu. Ia pun menggeleng ragu yang membuat Selina menghembus napas gusar. "Asha, kenapa belum ada tanda-tanda? Kau sudah menikah dengan anakku selama tiga tahun, berapa lama lagi aku harus menunggu. Aku tidak akan mati dengan tenang sebelum memastikan bahwa penerus perusahaan keluarga dilahirkan!" tegas sang mertua, Asha hanya menunduk, mengatup bibirnya rapat-rapat. Ini juga bukan kehendaknya, wanita mana yang tidak menginginkan anak setelah ia menikah? "Bu, kenapa kau terus menekan istr
"Ilona, tadi kau bilang ingin ke rumah. Kenapa belum datang?" tanya Selina dari seberang telpon. Ilona menarik napas sedalam-dalamnya, berusaha menyurut emosi di dalam diri. Hatinya begitu panas di pagi hari ia harus melihat hal yang menjijikkan. "Hm, maaf Tante. Tiba-tiba, Ilona ada urusan mendadak di kantor. Mungkin lain kali, Ilona bakal nyempetin buat ke rumah," ucapnya dengan suara normal seperti tidak terjadi apapun. "Yah, padahal tadi Tante berharap banget kamu ke sini. Tante butuh teman ngobrol, nih." Alis Ilona tertaut mendengar keluhan dari seberang. "Butuh teman ngobrol? Bukankah Asha ada untuk nemenin Tante ngobrol?" "Jangan membahas adikmu itu, dia yang bikin mood Tante buruk. Menyebalkan sekali," gerutu Selina. Kedua sudut bibir Ilona seketika terangkat. Kalimat Selina barusan mampu menyiram hatinya yang tadi terasa panas. "Dulu Tante berharap banget yang nikah sama Luke adalah kamu buk
"Apa aku menganggu waktumu?" tanyanya seraya menutup pintu dan berjalan mendekati meja. Luke menoleh, ia langsung menutup berkas di hadapannya lalu menepinya di sudut meja. "Ada keperluan apa kau datang ke kantorku? Apa ada masalah?" tanya Luke sedikit tidak nyaman. Sebelum menjawab, Ilona langsung meletakkan tas kecil itu ke atas meja dan mengeluarkan sebuah kotak makan. "Apa aku harus menemuimu disaat aku ada masalah? Ini sudah waktunya makan siang, jadi aku membawa makanan kesukaanmu," ucap Ilona. "Kau tidak perlu repot-repot membawanya ke sini. Istriku telah menyiapkan semuanya." Luke membawa tas kecil lain ke hadapan Ilona. Membuat wanita itu menggertak geram. "Hm, karena Kakak ipar telah repot membawanya ke sini. Jadi, aku akan tetap menerima kebaikanmu ini. Aku akan menyuruh Dery memakannya nanti. Terima kasih." Luke sengaja memanggil Ilona dengan sebutan kakak ipar, sekedar ingin menegaskan b
Mobil putih mewah itu kini melesat di jalan yang tidak terlalu ramai kendaraan. Asha hanya menatap keluar jendela tanpa membuka suara. Pikirannya dipenuhi oleh peringatan ibu mertuanya tadi, tentang melahirkan seorang anak. Ia menghela napas gusar, mengingat keberuntungan belum memihak padanya. Sudah puluhan test pack yang ia gunakan, tetapi semuanya menampilkan sesuatu yang sama. Sama-sama mengecewakan. Ia terjingkat kaget saat sesuatu menjalar di punggung tangannya, Asha menoleh dan mendapati sang suami sedang tersenyum ke arahnya. Lelaki itu semakin menggenggam erat tangan istrinya. Meski tidak tahu apa yang sedang Asha pikirkan, ia hanya tidak ingin melihat Asha murung. "Apa ada masalah?" tanya Luke dengan lembut. Asha berdehem kemudian menggeleng, satu tangannya terangkat, memegang tangan Luke yang kini berada di atas punggung tangannya. "Tidak ada. Aku hanya penasaran kemana kau akan membawaku?" Asha mengalihkan pembi
"Ini untukku?" "Tentu saja. Aku akan membantumu memasangkannya." Luke berdiri dan berjalan ke arah Asha kemudian memasangkan kalung itu ke leher jenjang istrinya. Asha menunduk dan memegang manik mutiara itu. "Kau suka?" Lagi-lagi Asha hanya mengangguk senang. Akhirnya Luke kembali bisa membuat Asha melupakan kegusarannya. "Kau tau. Sengaja aku memesan manik dengan bentuk hati. Manik itu mewakilkan hatiku. Asha aku benar-benar telah memberikan seluruh hatiku padamu." Asha bergeming, tangannya terus mengusap lembut manik itu. Lalu ia memegang tangan suaminya. "Dan aku akan menjaga hatimu dengan baik. Terima kasih Luke atas semua cintamu." Luke mengeluarkan semua oksigennya lalu membalas pegangan itu. "Asha ingatlah, tidak peduli apapun yang akan terjadi. Kita akan tetap bersama. Melewatinya bersama, hm." Asha hanya mengangguk. Bersamaan dengan itu, petasan kembang api menyala b
"Kenapa istriku ini berdandan begitu cantik?" ucap Luke seraya memeluk Asha dari belakang. Ia menatap ke seluruh penampilan istrinya dari pantulan cermin. Asha hanya tersenyum simpul lalu kembali melanjutkan memakai anting-anting di telinga kanannya. Setelah itu beralih memegang tangan suaminya yang berada di pinggangnya. "Kau cemburu?" Luke hanya mengangguk lemah dengan terus memanyunkan bibirnya. "Aku tidak rela kecantikan istriku ini dipertonton begitu saja di depan orang banyak." Asha berbalik setelah menaikkan kedua sudut bibirnya dan membiarkan tangannya terkalung manja di leher jenjang sang suami. Wanita itu menatap intens bola mata di hadapannya. "Mereka hanya bisa melihat, sedang kau adalah pemilik semua yang ada padaku. Benarkan?" "Kau menghiburku?" "Tentu saja tidak. Ini memang kenyataannya, kan? Bahwa aku adalah milikmu. Luke Watson," bisik Asha di dekat telinga suaminya.
Ilona langsung menghempaskan jeratan di lengannya. "Karena aku membencimu!"Asha terkejut. "Membenciku? Kenapa? Apa salahku hingga Kakak bisa membenciku?"Ilona menyunggingkan senyum miring seraya melipatkan kedua tangannya. "Salahmu? Banyak Asha, terlalu banyak hingga tidak sanggup mengatakannya satu per satu. Yang pasti kau adalah orang yang mengambil semua kebahagiaanku."Asha hanya diam dengan kerutan tebal di dahinya. Ia tidak mengerti dengan kalimat Ilona barusan."Sejak kecil, kau selalu mendapatkan perhatian lebih dari Ayah dan Ibu. Merebut piala fashion show waktu SMA yang seharusnya milikku. Dan yang lebih penting adalah kau merebut lelakiku!"Asha mendongak, menatap lekat ke arah mata Ilona yang telah memerah. "Lelaki?" tanyanya dengan bingung.Ilona tertawa renyah lalu mengacak rambutnya dengan kasar. Hatinya te
"Asha, hey. Ada apa?" Asha langsung berkedip ketika ia mendapatkan guncangan di tubuhnya. Ia menoleh dan langsung mendapati wajah Luke yang sedikit khawatir. "Ada apa, hm? Kenapa kau melamun di sini?" tanya Luke dengan lembut. Asha berdehem, berusaha menetralkan nada suaranya lalu menggeleng pelan. "Luke, tiba-tiba aku sedikit tidak enak badan. Jika kau masih ada urusan dengan rekan-rekan kerjamu, kau lanjutkan saja. Aku akan pulang sendiri." "Apa? Kau sakit, hah." Luke langsung mendaratkan tangannya ke dahi sang istri. Wajahnya semakin menyirat kekhawatiran. "Jika tadi kau memang tidak enak badan. Kenapa kau memaksa untuk pergi?" Asha hanya menerbitkan senyum tipis. "Tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing, nanti setelah pulang aku akan meminta Bibi buatkan teh jahe hangat untukku. Kau jangan khawatir." "Baiklah, ayo kita pulang," ucap Luke yang hendak menarik pergelangan tangan Asha. "Hey, tapi acarany