"Asha, hey. Ada apa?"
Asha langsung berkedip ketika ia mendapatkan guncangan di tubuhnya. Ia menoleh dan langsung mendapati wajah Luke yang sedikit khawatir."Ada apa, hm? Kenapa kau melamun di sini?" tanya Luke dengan lembut.Asha berdehem, berusaha menetralkan nada suaranya lalu menggeleng pelan. "Luke, tiba-tiba aku sedikit tidak enak badan. Jika kau masih ada urusan dengan rekan-rekan kerjamu, kau lanjutkan saja. Aku akan pulang sendiri.""Apa? Kau sakit, hah." Luke langsung mendaratkan tangannya ke dahi sang istri. Wajahnya semakin menyirat kekhawatiran. "Jika tadi kau memang tidak enak badan. Kenapa kau memaksa untuk pergi?"Asha hanya menerbitkan senyum tipis. "Tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing, nanti setelah pulang aku akan meminta Bibi buatkan teh jahe hangat untukku. Kau jangan khawatir.""Baiklah, ayo kita pulang," ucap Luke yang hendak menarik pergelangan tangan Asha."Hey, tapi acaranya baru saja dimulai. Rekan kerjamu pasti membutuhkanmu di sini." Asha menghentikan tarikan Luke."Tapi kau lebih membutuhkanku. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkanmu pulang sendiri, ayo." Luke kembali menarik tubuh Asha.Kini, mereka telah melesat di jalanan yang gelap. Asha hanya diam seraya memandang ke arah luar jendela. Memorinya terus berputar ke percakapan dengan Ilona tadi."Asha, apa perlu kita ke rumah sakit dulu sebelum pulang?" tanya Luke memecahkan keheningan.Asha menggeleng, wanita itu bahkan bergeming dari posisinya. Membuat Luke semakin khawatir."Kau yakin?""Aku hanya ingin pulang, Luke," jawab Asha sedikit pelan. Lelaki itu hanya menghembus napas panjang melihat istrinya yang tidak bersemangat seperti tadi.Luke kembali pokus menyetir dan membiarkan Asha dengan posisinya. Mungkin wanita itu butuh istirahat sejenak."Apa dulu Kak Ilona mencintaimu, Luke?"Dalam keheningan itu tiba-tiba Asha bersuara yang menyebabkan Luke seketika mengerem mendadak. Membuat kepala Asha hampir saja terbentur kaca mobil."Maaf, kau tidak apa-apa, hah?" Luke meraih wajah Asha, memastikan bahwa di sana tidak ada luka memar."Luke, sekarang Kak Ilona masih mencintaimu," lirih Asha.Luke yang sedari tadi terus memperhatikan dahi Asha, tiba-tiba memaku dan pandangannya turun ke netra yang kini terlihat begitu sayu."Tapi, aku mencintaimu Asha. Sekarang aku hanya menganggap Ilona sebagai ipar dari Kakakmu. Lagi pula itu sudah berlalu, jangan membahasnya lagi." Luke kembali ke kursinya dan menatap lurus ke depan."Tadi aku bertemu Kak Ilona. Dia begitu berantakan, wajahnya menyirat kesedihan yang amat dalam."Luke kembali menoleh. "Semuanya sudah berlalu Asha. Biarkan dia mencari kehidupannya sendiri. Sekarang hidupku hanya dirimu. Aku tidak ingin membahas masalalu di kehidupan sekarang.""Tapi, Kak Ilona-""Asha! aku bilang, jangan membahas yang telah berlalu!" Tanpa sadar Luke berucap dengan nada tinggi diselingi emosi yang membara di dalam dada.Asha yang mendengar itu, seketika hatinya terasa teriris. Matanya mulai berkaca-kaca. Ini adalah pertama kalinya lelaki itu membentaknya. Dengan bahu bergetar, ia langsung memalingkan wajahnya ke luar jendela.Sadar telah membuat kesalahan, Luke menarik napas dalam lalu menghembusnya. Berusaha menetralkan emosinya yang memuncak ketika Asha terus membahas tentang Ilona.Lelaki itu melirik ke arah Asha yang menghadap ke luar jendela. Ia sangat ingin menenangkan bahu yang bergetar itu. Tetapi ia mengurungkan niatnya dan kembali melajukan mobilnya. Di perjalanan pulang selanjutnya, mobil itu benar-benar hening tanpa suara.***Di ruangan lain, seorang lelaki yang menggendong wanita berusaha membuka pintu kamar hotel. Setelah terbuka, ia mendorong pintu itu lebih lebar dengan pundaknya. Kemudian berjalan masuk dan membaringkan wanita yang masih sering meracau tak jelas.Lelaki itu membuka sepatu yang dikenakan wanita itu lalu menyelimutinya hingga ke atas dada. Lelaki itu berhenti, menatap intens wajah yang telah memerah akibat alkohol yang dikonsumsi si wanita. Kedua sudut bibirnya terangkat."Kau masih wanita sama yang kukenal saat kuliah dulu. Masih dengan wajah yang manis," gumam sang lelaki seraya menyingkirkan anak rambut ke belakang telinga."Luke kenapa kau begitu tega padaku, tidakkah kau lihat betapa aku mencintaimu," racau Ilona yang membuat sang lelaki mengendurkan senyum."Lalu kenapa kau juga tidak bisa melihat bahwa aku begitu mencintaimu, Ilona. Kenapa yang selalu dipikiranmu hanya Luke?"Lelaki itu begitu kecewa, dengan hembusan panjang ia bangkit dan melangkah pergi. Namun sebelum tubuhnya benar-benar keluar dari kamar. Ilona kembali meracau."Sean, si brengsek. Kenapa kau selalu menggangguku, hah? Kenapa kau selalu berada di sekitarku di saat aku dalam mood buruk? Apa kau mencoba untuk menghiburku? Mencoba menjadi pangeran berhati baik." Ilona terkekeh, matanya masih terpejam.Kalimat itu mampu mengembalikan senyum di bibir Sean. Ia berbalik dan kembali mendekati Ilona. "Aku senang kau menyebut namaku, itu artinya di hatimu ada sedikit aku. Ilona, aku akan terus berada di sampingmu, menjagamu dan berusaha membuatmu bahagia. Meski kau masih mengataiku lelaki brengsek."Menjelang siang hari, Asha berjalan ke balkon utama. Tidak sengaja ia melihat ke halaman depan rumah, tampak seorang wanita berambut pendek dengan beberapa paper bag di tangannya."Kak Ilona," batin Asha.Ibu mertuanya datang dari dalam, tampak begitu hangat ketika menyambut kedatangan Ilona. Setelah itu, Selina langsung mengajak Ilona duduk di kursi halaman depan."Asha!" teriak Selina yang langsung membuat Asha beranjak turun dari balkon ke lantai bawah."Iya, Bu," sahut Asha setelah sampai di halaman depan."Sha, Bi Weni lagi belanja ke pasar. Jadi, tolong kamu bikinin minum untuk Ilona, yah. Jarang-jarang Kakakmu datang ke rumah setelah Luke menikah," ucap Selina tampak begitu senang dengan kedatangan Ilona.Asha mengangguk, sebelum ia masuk ke dalam. Asha sempat melirik ke arah Ilona, raut wanita yang ditatap masih sam
Sekali lagi Asha menarik napas sedalam-dalamnya kemudian berkata dengan suara netral. "Ceraikan aku dan nikahilah Kakakku."Seketika pelukan itu mengendur bersamaan dengan wajah Luke yang membeku. "Kau bercanda?" tanya Luke dengan nada tak percaya.Lelaki itu langsung membalikkan tubuh sang istri menghadapnya. Terlihat wajah putih itu sedikit memerah. "Apa yang kau katakan? Kau sadar dengan perkataanmu barusan, hah?" Luke menguncang-nguncang tubuh Asha yang tidak berdaya.Wanita itu langsung mendongak, menatap dengan berani kedua manik suaminya. Di bawah sana tangannya tergenggam erat, berusaha menguatkan diri untuk mengeluarkan suara."Aku tidak bercanda dan aku sadar dengan ucapanku tadi, Luke. Jadi, kumohon ceraikan aku.""Tidak!" sergah Luke dengan cepat. Kedua matanya telah memerah akibat menahan amarah."Asha, apa kar
Setelah membuka pintu, sesaat Luke mematung ketika melihat punggung seorang wanita yang tidak asing di matanya. Selang beberapa saat, kedua sudut bibirnya perlahan naik. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai menutup pintu kembali dan berjalan tanpa mengeluarkan suara. Wanita itu langsung menggeliat geli saat tangan kekar merayap di pinggangnya. Tetapi, sesaat kemudian. Ia mulai bernapas lega dan membiarkan lelaki itu tetap di posisi nyamannya. "Kau dari mana saja?" tanya Asha yang tetap sibuk mengeluarkan kotak makan dari dalam tas kecil. "Kau sudah lama menunggu?" Alih-alih menjawab, Luke malah melontarkan pertanyaan. Gelengan kepala si wanita sebagai jawabannya. "Aku merindukanmu," ujar Luke tiba-tiba yang berhasil membuat kedua alis wanita tertaut. Asha melihat wajah Luke dengan ekor matanya. Lelaki itu sedang memejamkan mata seraya mengendus-endus membaui. "Belum satu hari kau ke kantor, Luke. Kenapa kau sudah
"Apa! Kau mandul?" teriak Selina di atas keterkejutannya ketika membaca laporan hasil pemeriksaan kesuburan. Selina menggerakkan bola matanya ke arah Asha yang kini tengah menunduk dalam. Rasa panas perlahan menaik diselingi dengan kerutan tebal di dahi ketika tahu bahwa apa yang baru saja dibaca olehnya memanglah benar. "Bagaimana mungkin ini bisa terjadi di dalam keluarga Watson? Seorang menantunya bisa mengalami kemandulan," ujar Selina setelah melemparkan kertas yang telah ia remuk ke sembarang arah. Napasnya menderu hebat, panik memikirkan masalah besar yang baru saja menghampiri. Sedang Asha tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, lidahnya terlalu keluh walau sekedar mengatakan maaf. Belum juga bisa menemukan solusi, Selina mendesah kasar kemudian melemparkan bokongnya ke sofa. Wajahnya masih menyirat kepanikan dan kekhawatiran akan ancaman keluarga Watson yang tidak bisa melahirkan penerus. Beberapa saat kalut dala
Kelopak mata yang masih tertutup itu terus berkedut lantaran cahaya memenuhi sekitaran mata. Perlahan kelopak itu naik hingga wajah yang masih tertidur pulas memenuhi netranya. Lelaki itu mengulas senyum saat matanya telah terbuka sempurna. Luke menggerakkan tangannya untuk memainkan rambut wanitanya dengan mata terus memandang lekat wajah itu. "Kau masih saja terlihat cantik meski tertidur," ucapnya pelan. Namun, siapa sangka. Kalimat itu malah membuat pipi sang wanita spontan memerah. Membuat lelaki itu menyatukan alis, belum sampai tiga detik, lelaki itu kembali mengangkat sudut bibirnya dengan alis telah terpisah. "Kenapa pipi istriku ini tiba-tiba memerah? Apa dia baru saja menguping pembicaraanku dan sedikit malu untuk membuka mata?" gumam Luke yang sebenarnya sedang menguji si wanita. Tidak bisa lagi menahan kepura-puraan, wanita itu menggeliat lalu membenamkan wajahnya ke dalam dada sang suami. Tentu saja mengundang tawa pelan
"Luke, bisa kita pergi sekarang?" Dua sejoli yang masih bergeming saling tatap itu pun mengerjap. Namun, Luke masih belum merubah posisinya. Asha melihat ke arah Ilona di belakang Luke dengan senyum kaku. Kernyitan tercipta di dahi Asha ketika Luke masih belum beranjak dan malah terus memandangnya. "Luke, kenapa kau masih terus mengurungku di sini? Kita harus segera pergi, bukan?" tanyanya. Untuk sesaat Luke masih bergeming dengan tatapan lembutnya. Setelah berusaha mengajak hatinya untuk kerja sama, akhirnya kepala itu mengangguk dengan berat. "Baiklah." Luke melepaskan tangannya dari mengunci tubuh istrinya. Kemudian Asha langsung beranjak ke pintu belakang dan membiarkan Ilona duduk di bangku depan. Namun, sebelum hal itu terjadi, suara bass si lelaki menghentikan setiap langkah dua wanita itu. "Asha, kau mau ke mana?" tanya Luke setelah membuka pintu depan sebelah pengemudi. "Tentu saja masuk ke mobil," jawabnya seraya telu
Asha mengalihkan perhatiannya ke deretan gaun di hadapannya setelah memastikan jika Ilona telah masuk ke ruangan ganti. Bibirnya terus melengkung tinggi saat ia mengamati satu per satu gaun yang dirancang dengan luar biasa. "Melihat semua gaun-gaun ini membuatku jadi teringat saat kita menikah dulu," ucap Asha dengan memori berputar saat tiga tahun yang lalu. Di mana sebuah gaun putih berkilauan terbalut di tubuhnya, berjalan anggun menuju altar. Seolah hari itu ia adalah ratu dari segala ratu, sungguh momen yang tidak akan pernah terlupakan. "Lihat, Luke. Bukankah gaun-gaun di sini begitu cantik. Rasanya aku ingin mencoba semua gaun ini," lanjutnya lagi dengan kekehan kecil. Saat keheningan masih menyapa, spontan kedua alisnya menyatu heran. "Luke, kau mendengarku. Akhh-" serunya meringis sembari mengelus dahi tepat saat tubuhnya berbalik. Netranya beranjak ke atas, terlihat sang pelaku memasang wajah tanpa dosa. Seakan perlakuannya tadi adalah hukum
Seorang lelaki berjas putih, berkali-kali memeriksa dengan teliti kaki di hadapannya. Tetapi, berkali-kali juga alisnya menyatu. Setelah menghembus napas panjang, lelaki itu mendesah dan menegakkan netranya ke arah pasien yang mengaku sakit kaki. "Nona, saya lihat, kaki Anda baik-baik saja. Tidak ada gejala memar ataupun terkilir. Lalu kenapa Anda menampakkan wajah kesakitan?" Tahu bahwa ia tidak akan bisa membohongi seorang dokter, Ilona akhirnya merubah wajah sejujurnya. "Benar, kaki saya memang tidak sakit." Spontan sang dokter langsung membelalakkan mata dengan ekspresi terkejut. Selang beberapa saat ia kembali mengendurkan garis wajah dan menyingkirkan tangannya dari kaki tersebut. "Kenapa Anda berbohong, Nona? Saya yakin, orang seperti Anda tidak akan mungkin melakukan hal sia-sia seperti ini. Bukankah itu hanya membuang waktu?" Tampak Ilona berdecak samar seraya memutar bola matanya. Ia mengeluarkan oksigen dari paru