Bab 8 Berikan Uang Itu Sama Ibumu! Aku Tidak Membutuhkannya!
"Dek, hari ini Mas Gajian. Ini jatah buat Adek," Mas Galih menyodorkan lima lembar uang berwarna merah ke hadapanku.
Fyuuuuh...
Aku menghela nafas.
"Mas, kasih ajah sama Ibu," ujarku.
"Apa? Kamu nggak mau terima?" Mas Galih menyipitkan mata.
"Bukan tidak mau menerima, tapi memang seperti kata Ibu, Ibu yang lebih berhak menyimpan dan mengolah uangmu. Ya sudah. Serahkan saja sama ibu semuanya, Mas. Tanggung juga ngasih ibu sembilan juta lima ratus ribu. Genapin ajah jadi sepuluh juta. Pas kan gajimu segitu." Jawabku santai.
"Dek, kenapa bicara begitu? Apa Adek tidak suka apabila gajiku dipegang sama ibu? Dek, mohon mengerti, Mas menyerahkan sebagian besar gajiku untuk ibu, itu karena beliau yang bisa mengatur dan menghandle semua kebutuhan dan pengeluaran di rumah ini. Anggaran di rumah ini tidak bisa dibilang kecil, Dek," Mas Galih menjelaskan.
"Oh begitu," tanggapku pendek.
"Iya, Sayang. Ibu sudah sejak dulu terampil mengelola keuangan keluarga. Tidak mungkin kendali keuangan di rumah ini digantikan oleh orang lain, termasuk kamu, Dek. saya tahu betul kamu pasti akan kewalahan dan kecapean sendiri jika harus diserahkan tanggung jawab itu. Makanya Mas menyerahkan gaji kepada ibu supaya bebanmu menjadi ringan,"
"Hmmm..." Aku berdeham panjang.
"Dek, Mas mohon Adek mengerti. Bukan Mas tidak mau menyerahkan uang gaji Mas sama kamu secara keseluruhan. Tapi demi Tuhan, Mas cuma ingin meringankan pekerjaanmu. Dan uang yang lima ratus ribu ini terserah kamu mau menggunakannya untuk apa saja. Ini mutlak hakmu," ucap Mas Galih lagi.
"Bukankah dengan begini kamu akan lebih bisa menikmati waktu? Tidak perlu capek-capek memikirkan uang belanja, mengatur uang buat bayar listrik serta air, dan sebagainya." Sambung Mas Galih seolah tidak putus-putusnya.
Aku tetap diam menyimak semua kata-kata yang diucapkan oleh Mas Galih.
"Dek, percayalah mas sayang sama kamu. Mas ingin memberikan yang terbaik buat kamu. Mas juga tidak ingin merepotkan kamu dengan memikirkan rincian-rincian kebutuhan rumah tangga. Makanya Mas menyerahkan tugas tersebut semuanya sama ibu." Kembali terdengar Mas Galih berbicara.
Lagi-lagi aku menghela nafas panjang. Tidak habis pikir mengapa bisa cara berpikirnya seperti itu.
Padahal selama ini Mas Galih tidak tahu, jikalau uang lima ratus ribu yang ia serahkan padaku pun kebanyakan dipinta kembali sama ibunya.
"Dek, tolong terima uang ini ya!"
Mas Galih menyodorkan uang tersebut ke tanganku, aku tetap bergeming.
"Tidak usah mas, terima kasih. Kasih aja uang lima ratus ribu ini sama ibu. Bukannya aku mau menolak, tapi memang buat apa Mas menyerahkan uang ini padaku kalau ujung-ujungnya akan kembali kepada ibu juga,"
Aku kembali menyerahkan lembaran-lembaran uang itu ke genggaman Mas Galih.
"Mengapa begini, Dek. Uang lima ratus ribu ini sudah cukup banyak untuk kebutuhan pribadi Adek," tutur Mas Galih tanpa merasa bersalah.
Ingin rasanya ku mengeluarkan kata-kata umpatan dari mulut ini. Dari mana bisa dia berpikir jika uang segitu sudah cukup banyak dalam jangka waktu satu bulan? Hanya saja sebagai perempuan aku masih berusaha untuk menjaga pola berbicara yang seharusnya.
"Tolong terima uang ini, Dek. sepertinya Adek patut bersyukur bisa memegang uang sebanyak ini," ucapnya lagi.
Spontan saja ucapannya membuatku kesal. Banyak dari mana uang segitu? Bahkan untuk ukuran ekonomi di rumah ini saja, buat makan seminggu pun tak cukup.
"Mas, tidak usahlah terlalu banyak bicara lagi. Serahkan uang itu sama Ibu," Sergahku.
"Dek, ada apa denganmu? Apakah Adek marah karena ibu tidak memberi uang buat beli gamis baru? Sabar Dek, pakaian ibu masih banyak, gamis dan dasternya Mas lihat masih bagus bagus. Begitu juga dengan pakaian Mbak Megan, banyak yang tidak terpakai lagi. Dan juga tidak kalah bagusnya sama pakaian ibu. Bukankah ibu sudah memberikannya padamu? Kalau sudah begitu, buat apa beli yang baru? Seperti kata Ibu, itu namanya pemborosan, Dek,"
"Cukup, Mas. Saya bilang tidak usah banyak bicara. Tidak ada sangkut pautnya sama daster dan gamis bekas itu. Cukup berikan semua uang itu sama ibu sana ...! Aku tidak membutuhkannya ...!"
Bab 9 Istrimu Hanyalah Beban Bagimu, Galih! "Galih, istrimu itu sudah keterlaluan. Dia sungguh-sungguh telah menjadi pembangkang sekarang," ujar Bu Farah dengan muka bersungut kesal. "Maksudnya bagaimana ya Bu?" Galih bertanya. "Maksud ibu, istrimu sudah berani melawan ibu dengan ucapan yang kasar. Menolak permintaan ibu, padahal kau tahu ibu cuma meminta tolong padanya untuk memasak. Lihat di dapur, bahan-bahan makanan yang sudah ibu beli masih berada utuh di dalam kulkas tanpa tersentuh olehnya," ucap Bu Farah berapi-api. Fyuuh... Galih menghirup udara perlahan. Hatinya semakin bimbang dengan ucapan sang ibu. "Apa benar Kiara bersikap sebegitu buruknya sama ibu?" tandas Galih. "Kamu masih tidak percaya juga? Alangkah b*dohnya kamu! Ramuan apa yang telah Kiara sodo
Bab 10 Dia Wanita Yang Akan Menggantikan Posisimu Aku baru saja selesai mandi ketika kudengar suara deru mobil masuk ke halaman. Tapi itu bukan deru mobil mertua ataupun mobil Mas Galih. Soalnya aku kenal betul suara mobil mereka. Kusibak tirai jendela, melihat siapa yang datang. Oh ternyata Bu Farah dan seorang wanita cantik dan menawan. Siapa dia? Ah peduli amat kucoba untuk masa bodoh. Benar saja, sebentar kemudian, suara high heel mereka beradu dengan lantai marmer menimbulkan bunyi khas yang kian mendekat memasuki rumah. "Kiara, tolong buatkan minuman. Ini ibu ada tamu istimewa!" Terdengar suara Bu Farah memberikan perintah seperti biasanya. "Kiara, tolong cepat ya, tidak pakai lama. Ibu tak suka perempuan yang suka bersikap lambat. Jangan lupa juga hidangkan makanan diatas m
Bab 11 Aku Tidak Mau Lagi Ditindas! "Kalau Ibu merasa Celine tidak pantas mengerjakan pekerjaan dapur termasuk dalam menghidangkan makanan, berarti ibu yang harus melayaninya, bukan aku," imbuhku cepat. Berusaha aku melapangkan dada dengan kenyataan yang dibuat oleh Bu Farah. Nyata-nyata beliaulah yang memperkeruh rumah tangga kami. Mengotori rumah tangga anaknya sendiri dengan menghadirkan orang ketiga. Dengan kekuatan hati yang telah ku bangun, aku siap dengan kenyataan. Baiklah, Bu Farah. Ternyata memang ini yang kau inginkan. "Bu, silakan ibu ingin menjodohkan Mas Galih sama Celine. Aku tidak masalah. Tapi satu yang juga harus ibu tahu, aku bukan pembantu dan tidak mau diperlakukan seperti pembantu. Oleh karena itu Ibu jangan pernah memerintahku sesuka hati seperti selama ini," tandaku tegas dan lugas. &nbs
Bab 12 Menikah Lagi, Tak Perlu Izin Istri! "Galih, ibu ingin bicara sama kamu!" Bu parah mendekati Galih. "Kiara, bisa kamu menyingkir dulu aku ingin bicara empat mata sama Galih!" Bu Farah memberi isyarat tangan kepada Kiara yang tengah duduk di sebelah galih untuk segera pergi. "Kalau kalian yang ingin bicara, berarti kalian yang harus menyingkir, bukan aku." Jawab Kiara ketus. "Kiara...?" Galih mengernyitkan dahi dengan keketusan sikap Kiara. "Kenapa Mas? Ada yang salah?" timpalku. "Coba kalau bicara itu baik-baik, apalagi sama ibu," "Iya aku tahu, tapi ibumu dulu yang bicara tak sopan apa salahnya aku membalas." Ucapku seraya menyeruput teh panas. "Sudahlah tidak usah pedulikan dia, Galih. Dia memang pembangkang. sekarang, ayo ikuti ibu. Ada hal penting yang in
Bab 13 Lihatlah, betapa borosnya Istrimu!" "Iya Bu. Perkataan ibu memang tidak ada salahnya. Tapi aku masih punya nurani. Rasanya tidak pantas aku menikahi wanita lain di tengah kehamilan istri sahku." Jawab Galih lagi. Megan dan ibunya semakin kesal saja dengan jawaban Galih yang masih saja berusaha untuk menyinggung masalah nurani. "Kau selalu saja bicara soal nurani, coba kau pikir, apakah istrimu punya nurani? Tidak, Nak. Ibu rasa istrimu itu adalah wanita yang tidak punya sopan santun. Lihatlah tingkahnya! Sekarang dia malah ingin bertingkah bak seorang bos di rumah ini. Wanita seperti seperti itu yang ingin kau ukur dengan nurani? Sangat tidak pantas," ucap Bu Farah mulai geram. "Ucapan ibu benar, Galih. Jujur ya, aku saja muak mendengarmu bicara mengait-ngaitkan Kiara dengan hati nuranimu. Kiara itu wanita yang tidak memikirkan masa depan. Buat apa kamu te
Bab 14 Uang Adikmu, Mana Cukup Buat Shopping! "Mbak, dugaan kalian salah!' sambar Galih cepat. "Tidak usah banyak pembelaan, Galih. Mengapa kau sekarang amat bod*h. Di bod*hin sama Kiara, ya?" Serobot Megan dengan congkaknya. "B*doh sekali kau Galih, seenaknya saja diperalat sama istri. Sampai rela kalau uangmu dihabiskan Kiara buat berfoya-foya bershoping ria," cibir Kiara berniat untuk mempengaruhi Galih. "Hei, Mbak Megan! Siapa juga yang membodohi adikmu ini? Mbak menuduhku? Hati-hati bicara, Mbak! Aku tidak pernah berbelanja seperti ini menggunakan uang adikmu! Huuuh... uang adikmu yang hanya lima ratus ribu mana cukup untuk membeli barang-barang seperti ini," Kiara balas mencibir. "Hey, darimana kau bisa nerbelanja sebanyak itu jika tidak da
Bab 15 Rencana Mertua dan Ipar busuk "Dek, maafkan Ibu dan Mbak Megan ya," Mas Galih menghampiriku yang sedang menata baju-baju dan sebuah tas bermerk yang baru saja kubeli. "Lain kali Mas mohon sama kamu, jangan lagi bicara sembarangan di depan mereka. Kamu tahu sendiri kan bagaimana sifat keduanya? Mereka sangat tidak mau diganggu. Apalagi caramu tadi sangat menguji kesabaran mereka," Mas Galih menasehatiku. Fyuuuuh... Aku menghela nafas. "Mas, aku tidak mungkin berkata kasar pada mereka jika mereka tidak memulai," jawabku. Aku tidak peduli jika Mas Galih tak suka dengan ucapanku. "Dek, Mas mohon. Maklumi saja ibu dan Mbak Megan. Sifat mereka memang begitu. Lihat selama ini, jikalau kamu tidak meladeni, rumah ini terasa damai tanpa perselisihan kalian. Mengalah tidak ada salahnya, Dek," ucap Mas Gali
Bab 16 Ingat Mbak, Jangan Main-main Denganku! "Enak saja kau ingin pergi berfoya-foya, lihat dapur masih berantakan, cepat sana beresin!" Perintah Megan bak seorang majikan yang sedang memberi perintah pada asistennya. "Enak saja, kamu pikir aku babu apa? Kalau mau ke rumah kalian rapi, ya bersihin aja sendiri! Aku ada urusan!" Kiara berucap tanpa takut. "Astaga, Kiara! Terbuat dari apakah hatimu ini? Dikasih tau baik-baik malah ngeyel! Tugasmu belum selesai, beresin dulu rumah, baru kamu boleh pergi!"ucap Megan kembali. "Mbak kira semua pekerjaan rumah ini semuanya tugasku? Begitu? Sorry mbak, masih banyak pekerjaan lain yang lebih baik daripada tugas gratisan seperti itu!" tanggap Megan. "Apa katamu? Tugas gratisan? Astaga Kiara! Punya otak dibuat untuk mikir! Bukan untuk ngeyel sembarangan. Kau k