Share

BAB : 5

Suara ketukan pintu membuat si pemilik kamar terbangun dari tidur nyenyaknya. Dikira pusingnya bakalan ilang, ternyata masih berasa sampai pagi. Rasanya seakan malas untuk beranjak dari tempat tidur.

Mencoba mengabaikan ketukan pintu, tapi justru malah makin terdengar jelas di pendengarannya. Hingga akhirnya bangun dan berjalan gontai menuju pintu.

Pintu terbuka, mendapati seorang wanita paruh baya tengah berdiri dihadapannya.

"Non, Nyonya bilang Non Karel harus segar bangun. Karena harus sekolah," jelasnya.

Karel mengangguk tak bersemangat saat mendengar penjelasan itu. Ya, sekolah. Rasanya begitu malas untuk sekolah. Bisa tidak, menghentikan waktu agak beberapa jam ... agar ia bisa kembali tidur.

"Iya Bik, aku ambil ponsel dulu," ujarnya.

Kembali ke dalam kamar. Merapikan rambutnya dan menyambar benda pipih yang ada di kasur. Kemudian segera keluar dari kamar, berjalan menuju ruang makan.

Sampai di sana, terlihat Kiran sudah duduk di kursi yang ada di meja makan bersama dengan suaminya.

"Pagi, Om, Tante," sapanya langsung duduk di samping Kiran masih dengan tampang mengantuk berat. Saking beratnya matanya untuk melek, berasa mau tidur sambil duduk rasanya.

"Masih ngantuk, ya," respon Kiran melihat raut muka Karel di sampingnya.

"Nanti malam ulang lagi, ya," tambah Arland terkekeh melihat tampang gadis belasan tahun itu yang terlihat sekali kalau dia memang tak baik baik saja.

"Om ngeledek aku, ya."

"Bukan ngeledek Karel, tapi hanya memberikan saran," balas Arland.

"Udah, jangan bikin dia kesal terus dong," komentar Kiran saat suaminya malah ikut ikutan meledek Karel. Kemudian beralih pada gadis yang masih menyenderkan kepala di meja dengan kedua lengan sebagai bantalannya. "Ayok, Nak ... sarapan dulu. Nanti habis sarapan biar diantar supir."

"Kak Ziel aja yang ngaterin," responnya cepat.

"Ziel udah berangkat dari tadi," ujar Kiran.

Karel yang posisinya masih malas malasan, langsung shock.

"Serius, Tante?"

"Ada kerjaan di luar kota, jadi mesti berangkat pagi pagi biar nggak terkena macet." Arland ikut memberikan penjelasan.

"Nanti kalau aku pulang, trus Papa marah gimana?" Mulai memasang wajah penuh kecemasan. Berharap kalau sama Ziel, kan lumayan bisa meredam kemarahan papanya. Lah, ini Ziel malah pergi tanpa memberitahunya.

Kembali merasa tak bersemangat lagi untuk pulang ke rumah. Apalagi berangkat sekolah.

"Kalau nggak salah, Papa kamu nggak akan marah Karel," komentar Arland.

"Tapi kata Kak Ziel aku yang salah."

"Kata Ziel?"

Memutar bola matanya. "Iya, Om ... iya aku yang salah. Makanya aku takut kena marah sama Papa. Udahlah, aku nggak mau pulang. Aku nggak mau sekolah."

"Iya, libur saja biar sekalian kena marahnya double double nanti sama Ziel," sambung Kiran memperingatkan.

Semalam ia masih merasa aman karena ada Ziel, sekarang cowok itu tak ada di sampingnya dan ia menciut. Ingin rasanya pingsan saja, biar nggak pulang ke rumah dan ketemu sama papanya.

"Buruan makan. Biar Om yang antar."

Akhirnya ia pasrah. Terserahlah, gimana nanti papanya bakalan mengomel indah padanya.

Selesai sarapan, ia pulang ke rumah diantar oleh Arland, papanya Ziel. Demi apa ia merasa takut kali ini. Kebiasaan sembunyi dibalik sosok Ziel, saat dia tak ada rasanya langsung menciut.

Mobil memasuki area pekarangan rumah setelah satpam membukakan pagar setinggi dua meter itu. Keduanya turun dan masuk ke dalam rumah yang pintu utama sudah terbuka lebar.

Bibik segera menghampiri Karel dan Arland yang datang.

"Bik, Papa mana?" tanyanya sambil celingak celinguk mencari sosok papanya.

"Tuan sudah berangkat, Non. Baru saja."

"Ke kampus?"

"Iya, Non."

"Sana mandi dan beberes, Om antar ke sekolah," ujar Arland.

"Nggak usah, Om. Aku berangkat sendiri aja," tolaknya ada penawaran Arland.

"Yakin?"

"Iya, Om."

"Yasudah, kalau gitu Om lanjut ke rumah sakit, ya."

Karel mencium punggung tangan Arland, sebelum laki laki paruh baya itu pergi dan berlalu dari hadapannya.

"Non semalam kabur lagi, ya?" tanya Bibik padanya sepergi Arland.

"Iya, Bik. Aku kabur bahkan nggak berniat untuk pulang lagi. Itu lebih menyenangkan daripada diam di dalam rumah ini," responny datar dan lanjut berjalan malas menuju kamar.

"Non ..."

"Jangan menggangguku. Hari ini aku mau istrirahat."

"Non nggak sekolah?"

Pertanyaan itu ia abaikan. Terus berjalan menuju kamar dan langsung mengunci pintu dari arah dalam.

Tak ada niatan untuk berangkat sekolah hari ini. Rasanya masih pusing dan tentunya kesal. Ya, ia memang takut ketemu papanya. Tapi tidak berharap juga di saat ia pulang laki laki yang ia panggil papa itu justru malah tak ada. Pergi pagi, pulang malam. Begitu saja terus, sampai sampai dirinya merasa dilupakan sebagai seorang anak. Atau, malah sudah tak dianggap anak.

Menyambar ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Ren, lo udah di sekolah?"

"Udah, ini baru nyampe."

"Ijinin gue, ya. Hari ini nggak masuk. Lagi nggak enak badan," jelasnya pas Rena.

"Lo sakit?"

"Masih pusing."

"Papa lo semalam nggak ..."

"Papa udah ke kampus," sambungnya langsung. Karena pasti sobatnya itu bakalan khawatir dengan dirinya yang bakalan kena omel.

"Oh, oke. Ntar gue temuin guru buat ijinin elo."

"Thank's."

Yap, seperti keinginannya tadi ... hari ini tak berminat sekolah. Ingin tidur dan istirahat seharian. Toh, nggak akan ada juga yang akan mengomeli dan memaksanya untuk bangun. Papanya? Sudah jelas, kan ... beliau sudah berangkat ke kampus bahkan sebelum dirinya balik ke rumah. Padahal tadi berharap dirinya disambut rasa khawatir. Tidak, bahkan omelan pun mungkin akan lebih bermakna daripada diabaikan begini.

Benar benar tertidur, tak memikirkan masalah yang tadinya membuat otaknya rada snewen. Hal yang biasa, sih, sebenarnya ... hanya saja jika terlalu ia pikirkan justru malah membuatnya sedih dan sakit hati.

Sebuah ketukan pintu terdengar di depan kamarnya. mengabaikan, karena ia yakini jika pelakunya adalah Bibik. Ya, siapa lagi di rumah ini selain wanita paruh baya itu.

"Ck, Bik! Apa, sih ... aku lagi istirahat!" teriaknya tak berniat untuk bangun.

"Non, Den Ziel nelpon. Katanya minta Non Karel nelpon balik!"

"Iya, iya ... nanti aku telpon!'

"Sekarang, Non!"

Rasanya benar benar bikin kesal, kan ... saat tidur nyenyak malah digangguin. Didiamkan, Bibik malah makin menjadi jadi di depan pintu kamar.

"Iya, Bik! Ini aku telpon!"

Setelah mendapatkan balasan darinya, barulah gedoran dan teriakan di depan pintu kamarnya terhenti.

Menyambar benda pipih yang ada dibalik bantal. Terlihat rentetan pangggilan tak terjawab dari sosok yang di maksud Bibik barusan di layar datar itu. Siapa lagi kalau bukan Ziel. Entah apa yang sedang dia pikirkan hingga menghubunginya hingga puluhan kali.

Baru juga mau menelpon balik, tapi Ziel lebih dulu menghubunginya. Menggeser tombol bergambar gagang telepon itu.

"Ya, Kak."

"Mau memintaku untuk pulang sekarang dan mengomelimu langsung, ya!"

Karel sedikit menjauhkan posisi ponsel dari indera pendengarnya saat omelan itu langsung menyerang.

"Apa sih, Kak?"

"Kenapa nggak sekolah? Kenapa nggak menjawab teleponku?"

Merebahkan badannya di kasur. "Aku malas sekolah. Tadi aku lagi tidur, ponsel ku silent."

"Malas?"

"Aku lagi kesal. Tidak, lebih tepatnya aku lagi sedih, aku mau nangis. Nangis, hingga bisa melupakan kekesalanku. Biasanya berhasil. Udah, itu saja yang mau ku lakukan."

"Om Leo marah?" pertanyaan Ziel sedikit lembut.

Karel menggeleng sambil terisak. Mencoba agar isakan tangisnya tak terdengar oleh Ziel. "Enggak, Kak. Papa nggak marah, malah aku belum ketemu sama Papa. Gimana aku mau kena marah." Terkekeh dibalik isakan tangisnya.

"Rel ..."

"Udah, Kak. Aku nggak kenapa kenapa. Sekarang aku mau mandi. Sampai ketemu nanti. Bye!"

Langsung menutup percakapan dengan Ziel begitu saja tanpa menunggu balasan dari cowok itu. Kemudian sesuai dengan perkataannya tadi, ia langsung menangis sejadi jadinya. Mengeluarkan semua perasaan yang seakan sedang menyerang hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status