Share

BAB : 9

"Antusias banget mau tahu alasanku begitu baik padamu." Ziel tersenyum melihat reaksi Karel yang menurutnya tak biasa.

"Jadi?"

"Tentu saja karena ..." Ziel menghentikan kata katanya. Kemudian melirik jam di nakas. "Ini sudah larut malam, Rel. Sebaiknya kamu tidur sekarang, ya."

Berasa dipermainkan oleh makhluk yang ada dihadapannya ini. Padahal kan ia penasaran. Jangan jangan Ziel baik padanya karena ada maunya. Misalnya, mau mengambil ginjalnya untuk dijual atau mau mengambil bola matanya.

"Kenapa wajahmu begitu?" tanya Ziel heran melihat wajah cemberut Karel.

"Kakak masih bertanya kenapa wajahku begini? Harusnya kamu paham situasi dan kondisi. Ish ... kamu nggak peka sekali jadi cowok," ocehnya memberengut kesal akan sikap Ziel.

Ziel menyambar tangan Karel yang hendak memukul dadanya, kemudian menahan agar tak bisa bergerak. Tak sampai di situ, ia menarik Karel hingga jatuh ke dalam dekapannya. Kemudian mengunci kedua tangan gadis itu ke arah belakang.

Dua bola mata yang ada dihadapannya, menatap dengan intens. Seakan membuat jantungnya berasa mau copot dalam sekejap.

"Apa menurutmu aku belum peka jadi cowok, hem?"

Jangankan menjawab pertanyaan Ziel, bahkan bernapas saja ia merasa seakan tak sanggup. Apa apaan situasi ini? Sikap macam apa yang dia tunjukkan hingga membuatnya kaget.

Hanya bisa diam, tanpa sanggup mengeluarkan komentar sambil menggigit bibir bawahnya. Ingin pingsan rasanya jika dihadapkan pada sosok Ziel dalam posisi yang sedekat ini.

Berusaha menghindari tatapan Ziel yang tepat berada dihadapannya.

"Bukannya kamu bilang aku nggak peka. Sekarang aku sedang bertanya, Karel. Sikapku yang mana, kamu bilang nggak bisa peka situasi dan kondisi?"

Karel tak menjawab, ia berusaha melepaskan tangannya yang dililit kuat oleh Ziel di belakang.

"Lihat aku, aku sedang bicara padamu. Kalau tidak, kamu nggak akan ku lepaskan."

Berusaha menguatkan jantungnya, saat kembali beradu pandang dengan Ziel.

"Kak, aku hanya ..." Menghentikan kata katanya kemudian menundukkan kepalanya, saat bingung mau mengatakan apa. "Maaf, aku hanya bercanda. Udah, itu saja. sekarang, lepaskan aku."

Nggak sanggup juga lama lama dikekepin kayak gini sama Ziel. Ia seperti kekurangan asupan oksigen.

Yap, akhirnya tangannya dilepaskan. Lega, setidaknya untuk kekuatan jantungnya yang entah kenapa kalau terlalu dekat dengan Ziel, seperti ada yang bermasalah. Tapi baru juga beberapa detik terlepas, tiba tiba saja Ziel malah menariknya hingga jatuh ke pelukan dia.

"K-Kakak kenapa?"

"Jangan mempermasalahkan tentang sikapku padamu lagi. Cukup terima, jika kamu suka. Apa selama ini aku kurang peka terhadap apa yang kamu rasakan? Kalau memang begitu, katakan saja. Agar aku bisa merubah. Setidaknya jangan membuatku sia sia saja di dekatmu, tapi ternyata kamu malah risih."

Apa ini sebuah mimpi yang terlalu manis? Ketika Ziel bersikap layaknya seorang cowok sempurna di matanya. Dia terlalu baik, sampai ia sendiri pun bingung dengan sikap itu. Kebaikan jenis apa yang dia berikan padanya? Ia takut, jika niat Ziel berbeda dengan apa yang ada dalam pikirannya.

"Di mataku, kamu yang paling terbaik," respon Karel singkat.

Ziel melepaskan Karel dari pelukannya. "Hmm," angguknya. "Hanya itu."

"Dari kecil hingga detik ini, saat aku ada masalah, pasti kamu selalu membantuku. Saat aku sedih, orang pertama yang paham perasaanku adalah kamu, Kak. Saat papa menyakitiku, kamu juga orang pertama yang tak terima akan hal itu. Sekarang, aku hanya bingung ... kenapa sikapmu begitu padaku? Bisa memberikanku satu alasan."

"Tidurlah," suruh Ziel yang langsung dilakukan Karel. Kemudian menyelimuti tubuh itu.

"Tapi aku masih menunggu jawabannmu, loh, Kak," komentar Karel masih tak puas.

Ziel mendekat ke arah Karel yang posisinya sudah rebahan. Kemudian menyatukan kedua jemarinya dengan jemari gadis itu hingga terkunci.

"Seperti yang sudah ku katakan berulang kali padamu. Mejelaskan dan mengungkap perasaan, tak perlu harus lewat kata kata dan memberikan penjelasan panjang, kan."

"Ya, bisa dari perbuatan dan ..."

Belum selesai Karel bicara, semuanya terhenti saat sebuah ciuman sekilas menerpa bibirnya. Ingin mati karena kaget rasanya mendapat perlakuan seperti ini dari Ziel. Saking kagetnya, bahkan tangannya spontan mencengkeram tangan Ziel.

"Itu jawaban untuk semua pertanyaanmu," ujar Ziel.

Masih diam membatu, seakan bibirnya dikunci oleh Ziel untuk tak bisa berkata kata dan hanya jadi penerima dan pendengar yang baik.

"Setelah ini, jangan bertanya lagi akan semua sikapku padamu. Jangan mempertanyakan kenapa aku terlalu perduli dan menjadikan kamu yang paling utama. Tapi jika kamu sudah paham dan mengerti kenapa aku begini, di saat itu juga aku meminta balasan darimu. Jadi mulai sekarang, cukup terima apa yang ku berikan."

Melepaskan pegangannya di kedua tangan Karel. Mengelus lembut pipi itu dan beranjak pergi dari sana.

"Tidur yang tenang ... jangan terlalu memikirkan kata kataku barusan," ujarnya sembari melangkah pergi.

Tersadar saat suara pintu kamarnya tertutup. Seakan baru sadar dari mimpi. Tapi ia yakini yang barusan terjadi adalah sebuah kenyataan.

Meneguk salivanya yang seolah tertahan dari tadi di tenggorokan. Meletakkan telapak tangan di dada, merasakan detak jantungnya yang sepertinya sedang mengalami pergolakan hebat. Menggigit bibirnya, sembari berpikir panjang.

Menarik napasnya panjang, berusaha menenangkan pikiran buasnya yang mulai aneh aneh.

"Rel, mohon kondisikan hati dan perasaan lo. I-ini nggak seperti apa yang lo pikirkan." Menepuk jidatnya sendiri. "Tapi, sikap dia barusan ... kata katanya barusan bikin ..."

Menarik selimutnya hingga menutupi hingga bagian kepala. Tidak, ini tak mempan sama sekali. Kembali membuka selimut dan menarik bantal ... kemudian menyembunyikan wajahnya dibalik benda itu.

Bermasalah dengan papanya dan sekarang giliran Ziel yang membuat hatinya bermasalah.

---000---

Bangun tidur langsung mandi dengan secepat kilat. Tadinya ia tidur lagi, tapi tiba-tiba keingat kalau ini di rumah Kiran dan arland. Yakali ia bermalas-malasan. Bisa kena omel ia oleh anak si pemilik rumah ini.

Mandi, berbenah diri dan ... ia mengingat sesuatu yang penting. Seragamnya sekolahnya tak ada di sini, jadi gimana dirinya bisa sekolah?

Dengan tanktop dan hot pants, bahkan rambutnya saja masih acak acakan belum disisir habis mandi ... langsung saja ngacir lari keluar kamar. Lanjut menuju ruang makan, di mana saat sampai sudah ia dapati Kiran dan Arland sedang sarapan.

"Tante, seragamku nggak ada. Peralatan sekolahku juga nggak ada," rengeknya dengan wajah menyedihkan.

Belum juga pasangan suami istri itu menjawab, tiba-tiba Ziel datang menghampiri dengan sebuah paper bag dan juga tas ransel di tangannya.

"Lain kali, kalau mau minggat, persiapkan barang bawaan. Biar nggak ngerepotin," ujar Ziel menyerahkan barang barang itu ke tangan Karel.

Memasang wajah antusias saat apa yang ia harapkan, tiba-tiba dihadapkan padanya. senyuman merekah seketika tercetak di wajah yang masih natural itu. Saking naturalnya, rambutnya saja masih mode singa belum disisir.

"Hwaaa ... makasih, Kak," ucapnya langsung saja heboh dan bersiap memeluk Ziel. Tapi niatnya terhenti saat cowok itu menghentikannya.

"Jangan berniat memelukku ... kamu belum mandi, kan," komentar Ziel.

"Enak saja. Aku sudah mandi loh ini," berengut Karel tak terima.

"Belum ada perubahan, itu berarti belum mandi." Menatap Karel dari atas hingga bawah.

"Ini masih pagi, loh, Kak ... mau baku hantam denganku?"

Ziel malah berjalan mendekat ke arah Karel. "Yakin, mau melawanku?" tanyanya balik dengan tatapan yang tak biasa.

Tadinya masih normal, tapi kenapa saat Ziel begini jantungnya kembali seakan bermasalah. Jangan sampai otaknya berkelana memikirkan hal yang tidak tidak lagi. Ini masih pagi, hari masih panjang ... yakali ia berasa canggung berhadapan dengan cowok ini. Tidak tidak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status