"Kalian berdua masih mau lanjut?" tanya Arland membubarkan adegan aneh dua sejoli itu.
"Aku siap siap dulu," ujar Karel langsung berlalu dari hadapan Ziel dengan langkah cepat. Takut pada Ziel dan takut telat juga untuk berangkat sekolah.
Sementara Ziel, melihat reaksi Karel malah membuatnya tersenyum di sudut bibrinya. Kenapa dia jadi secanggung itu? Apa karena memikirkan perkataan dan sikapnya semalam? Begitu besarkah pengaruh kejadian semalam pada dia?
"Papa nggak ke rumah sakit?" tanya Ziel mendapati papanya masih dengan pakaian rumahan.
"Hari ini Papa sama Mama mau ke rumah Kakek nenek kamu," jawab Arland.
Dahi Kiran berkerut pertanda bingung dengan alasan yang dikatakan suaminya. "Kok nemuin Mama sama Papa, sih. Kita, kan mau ke ..." Seketika Kiran menyadari sesuatu saat mendapatkan tatapan menohok dari suaminya. Kemudian sedikit tertawa. "Hmm ... oiya. Mama sama Papa hari ini mau ketemu sama kakek nenek kamu, Zi."
Ziel menatap ke arah orang tuanya bergantian. Tak perlu mendapatkan penjelasan lagi. Setidaknya saat keduanya memberikan alasan, terdapat keragu-raguan hingga alasan keduanya tak sinkron sama sekali.
Beberapa saat kemudian, Karel datang dengan seragam sekolah yang sudah rapi di badannya. Tak seperti penampakan tadi lagi, yang masih berantakan habis mandi.
"Sepatumu, gadis," komentar Ziel saat Karel malah belum mengenakan sepatu sekolahnya.
"Aku mau makan dulu, Kak. Lapar. Semalam kamu nggak memberiku makan, kan?" Memutar bola matanya jengah pada Ziel yang duduk di kursi di sebelahnya.
Kiran tertawa melihat putranya justru sekarang yang mendapat omelan Karel. Ya, jarang jarang Ziel jadi bahan utama kekesalan gadis ini.
"Kenapa nggak bilang padaku kalau kamu belum makan. Jadi, bukan salahku jika kamu kelaparan," respon Ziel santai, yang sibuk dengan ponsel di tangannya karena sudah selesai sarapan.
Karel meletakkan sendok dan garpunya di piring. Kemudian menatap fokus ke arah Ziel sambil bersidekap dada.
"Kak Ziel, bukannya apa yang kita rasakan nggak harus diungkapkan dulu biar semua orang tahu. Semalam aku kelaparan, tapi kamu nggak peka sekali akan rasa laparku. Masa iya aku harus koar koar dulu padamu untuk minta makan. Dasar! Nggak peka," gerutunya.
Padahal tadinya ia hanya meledek Karel, tapi kenapa gadis ini malah terlalu serius menanggapi perkataannya. Apa dia sedang berencana membalikkan kata kata yang ia ucapkan semalam?
"Kamu membalasku?" tanya Ziel.
"Siapa yang membalas. Aku kan hanya mengatakan apa yang kamu ajarkan padaku. Kenapa sekarang ..."
"Heii heii heii," lerai Kiran menghentikan aksi keduanya. "Ya ampun ... kalian berdua pagi ini kenapa, sih, hem? Mama liat ada aja yang jadi bahan untuk dipermasalahkan. Apa ada yang terjadi, hingga berniat bertengkar terus?'
Ziel diam dan kembali fokus pada ponselnya dan Karel juga kembali fokus pada sarapannya. Keduanya seolah tak berniat menjawab pertanyaan yang ditanyakan Kiran.
Alhasil, sepasang suami istri itu hanya bisa saling lempar pandang pertanda bingung.
"Papa sama Mama pergi dulu, ya. Kamu antar Karel sekolah," ujar Arland pada Ziel.
"Loh, Om sama Tante mau kemana?"
"Mau ke rumah Kakek neneknya Ziel," jawab Kiran.
Karel beranjak dari kursinya, kemudian menghampiri Kiran dan Arland. Menyambar dan mencium punggung tangan keduanya, begitupun dengan Ziel.
"Nanti pulang sekolah Ziel yang jemput, ya. Atau nggak Tante minta supir saja yang jemput kamu."
"Nanti aku minta antar sama teman saja, Tante. Soalnya ada pelajaran tambahan. Mungkin agar sore aku pulangnya," jelas Karel pada Kiran sembari kembali duduk di kursinya, melanjutkan sarapan yang masih belum selesai.
Suami istri itu sudah pergi, sekarang tinggal Karel yang sedang menikmati sarapannya dan Ziel yang masih fokus pada ponselnya.
Di saat yang bersamaan, ponsel milik Karel berdering. Terlihat nama Puja di layar datar itu.
"Hallo," jawabnya.
"Lo hari ini masuk sekolah, kan?"
"Iyalah, masuk. Gue takut kena bacok kalau libur lagi," balasnya sedikit memberikan lirikan pada Ziel yang ada di sampingnya.
Lihatlah, baru juga bicara seperti itu ... lirikan lebih tajam langsung menyerangnya.
"Nanti di gerbang sekolah pasti lo bakalan disamperin sama seseorang," ujar Puja menambahkan.
Karel meletakkan sendoknya saat selesai sarapan, kemudian memberi kode pada Ziel untuk mengambilkannya minum dan meneguk beberapa tegukan.
"Siapa yang nyariin gue?" tanyanya mulai fokus pada pembicaraan dengan Puja.
"Kak Rafa."
Mendengar nama Rafa disebut, Karel malah mengarahkan pandangannya pada Ziel.
"Lo serius, Ja?" Sedikit memelankan volume suaranya dan mengindari pandangan Ziel yang menatapnya curiga.
"Lah iya. Ngapain juga gue bohong."
"Cepetan, Karel. Aku tunggu di mobil," ujar Ziel yang hanya dibalas anggukan oleh gadis itu.
Masih fokus pada percakapan dengan Puja di telepon, tapi semua itu seketika buyar saat kaget mendapat perlakukan Ziel padanya.
"Takut telat," ujar Ziel yang sedang berjongkok dihadapan gadis itu sambil membantu mengenakan sepatunya.
Haruskah ia kembali dibuat jantungan oleh sikap tak biasa Ziel? Tidak, ini sudah beberapa kali terjadi. Hanya saja kenapa semenjak semalam hatinya malah jadi aneh saat sikap Ziel terlalu manis padanya.
Karel langsung saja menutup percakapan dengan Puja begitu saja.
"Kakak ngapain?"
"Kamu kelamaan ngobrol, kita bisa terlambat," ujarnya masih sibuk memasangkan sepatu di kaki gadis yang posisinya duduk di kursi.
Sesaat kemudian, Ziel mendongakkan kepalanya menatap gadis yang memberikan tatapan fokus padanya.
"Ini masih pagi, berniat membuat fokusku jadi buyar karena tatapanmu itu?"
Sontak Karel tersentak dari lamunannya akan perkataan Ziel. Langsung beranjak dari posisi duduknya, tapi karena tak hati hati ia malah tersandung oleh kakinya sendiri dan jatuh menimpa Ziel yang posisinya masih berjongkok dihadapannya.
Keduanya jatuh di lantai, dengan posisi Karel yang berada di atas Ziel. Yap, posisi yang benar benar tak nyaman. Untung saja, tangannya bisa menahan pada kedua sisi, kalau tidak ... sesuatu yang tak disangka itu bakalan terjadi lagi.
Kedua pandangan saling beradu, seakan menelisik ke dalam manik mata masing masing. Karel tersadar, berniat langsung bangkit dari posisinya. Hanya saja niatnya tak sesuai dengan harapan, ketika Ziel malah melakukan hal sebaliknya.
"Lepasin, Kak," pintanya karena Ziel malah menahan tengkuknya, hingga tak bisa lepas. Tak sampai di situ, Ziel menariknya hingga ia akhirnya benar benar jatuh. Tadi masih bisa tertahan, tapi sekarang justru dia menariknya.
Lagi, untuk kedua kalinya Ziel melakukan hal itu padanya. Hal yang bahkan tak pernah ia duga akan pernah terjadi antara dirinya dan cowok ini.
“Ternyata manis juga, ya,” ujar Ziel tersenyum, sesaat setelah Karel memaksa ciuman itu terlepas.“Kamu jahat, Kak,” berengut Karel dengan wajah kesal langsung bangkit dari posisinya yang masih berada di atas badan Ziel. Dengan cepat langsung menyambar tas sekolahnya dan berlalu pergi begitu saja.Ziel malah tersenyum puas saat melihat aksi cemberut Karel atas sikapnya.“Dia ngambek,” ujarnya bangun.Menyambar kunci mobil dan ponselnya di meja. Kemudian segera berlalu menyusul Karel yang sudah lebih dulu menuju mobil.Waktunya sudah mepet, jika menunggu taksi, bisa bisa ia beneran telat nyampe sekolah. Alhasil, rasa kesalnya pada Ziel akan ia tahan untuk beberapa menit perjalanan.“Kamu kenapa, sih?” tanya Ziel tak langsung melajukan mobilnya.“Jangan banyak nanya. Buruan jalan ... nanti aku telat,” responnya masih dengan nada kesal.Dia pikir sikapnya tadi bisa dilupa
“Dia masih di rumah,” ujar Arland saat turun dari mobil bersama Kiran.“iya,” sahut Kiran membenarkan perkataan suaminya, karena mendapati kendaraan milik Leo masih ada di halaman.Keduanya mengetuk pintu utama, hingga seseorang terdengar dengan langkah cepat mengarah ke pintu ... hingga akses masuk itu terbuka lebar.“Tuan, Nyonya,” ujar Bibik yang menyambut keduanya.“Leo mana, Bik?”“Ada di dalam, Tuan,” jawab wanita paruh baya itu mengarahkan.Arland dan Kiran langsung saja masuk, berjalan menemui Leo yang mereka dapati sedang duduk di ruang keluarga. Yang membuat keduanya kesal adalah ... putrinya kabur dari rumah, sedangkan dia masih sibuk mengurus pekerjaan.Memang benar tebakan Ziel, jika orang tuanya sedang berbohong perihal tujuan keduanya. Buktinya, saat ini ... sebelum menuju ke kantor, ia mampir di kediaman Leo karena curiga.Memarkirkan kendaraannya di lu
Ziel segera berlalu dari kediaman Leo dengan langkah cepat. Rasanya begitu panas terus berada dihadapan laki laki yang bahkan tak memiliki perasaan sama sekali.Setengah perjalanan, rasa hatinya masih saja tak tenang ... hingga akhirnya menghentikan laju kendaraannya. Mengambil sebuah botol kaca berukuran kecil di samping kursi dan mengeluarkan beberapa butir pil di dalamnya. Setidaknya ia merasa sedikit tenang dengan benda benda ini.Ponselnya berdering, saat ia lihat ternyata mamanya lah yang menelepon. Apalagi kalau bukan mempertanyakan tentang sikapnya tadi.“Ya, ma?”“Ziel, kamu di mana? Kita perlu bicara.”“Aku mau ke kantor. Nanti saja bicaranya di rumah, Ma.”“Tapi ini ...”“Daah, Ma.”Langsung saja menutup percakapan di ponsel, kemu
Seperti yang ia katakan tadi pagi, kalau hari ini akan ada pelajaran tambahan. Yap, tepat saat jam menunjukkan pukul 5 sore barulah kelas usai. Tak semua kelas, hanya saja terkhusus untuk siswa dan siswi kelas 3.Raut murung tercetak di wajah Karel saat keluar dari kelas. Sebuah amplop di tangannya, jadi masalah yang sedang ia pikirkan saat ini.Kebingungannya sedikit tersentak saat rengkuhan lengan Rena mencapai pundaknya.“Lo bawa mobil?” tanya Rena.“Gue tadi diantar, soalnya mobil lagi bermasalah,” jawabnya memberikan alasan.“Gue anter, ya,” ujar Puja.Tadinya ingin berkata tidak, tapi surat undangan di tangannya membuat pikirannya kembali berubah.“Oke,” jawabnya akan ajakan Puja.Jadilah, ia diantar oleh Puja. Seperti biasa, Puja paling berani hanya sekadar mengantar sampai pagar jika sore begini. Karena dia tahu, jika di waktu ini papanya ada di rumah.Puja dan Kare
Segera membawa Karel kembali pulang ke rumah. Jujur saja, hatinya begitu terasa teriris jika mendapati gadis ini terus menangis tanpa henti. Tak ada ada yang terucap dari bibir itu, hanya air mata dan isakan tangis yang jadi perantara.Turun dari mobil dan membawa gadis itu masuk. Yap, tatapan sendu, bahkan bulir air mata itu terus saja turun bergelinding di pipinya.Arland dan Kiran yang mendapati keduanya datang, segera menghampiri dengan raut cemas. Ya, cemas karena dari tadi keduanya menghubungi Ziel dan Karel, mereka bahkan tak menjawab panggilan telepon satupun.“Karelyn, kamu kenapa, Nak. Apa yang terjadi?” tanya Kiran cemas dan khawatir karena mendapati gadis itu datang dalam keadaan menangis. Bahkan matanya sembab.Tak mendapat jawaban dari Karel, kini pandangan Arland dan Kiran terarah pada Ziel.“Ada apa, Zi?”“Om sama Tante selama ini tahu, kan ... kenapa Papa mengabaikanku?”“Maks
Sudah satu jam ia menunggu kedua orang tuanya kembali, tapi belum ada tanda tanda mereka akan pulang. Mencoba menelpon pun justru keduanya tak ada yang merespon sama sekali.Ziel berjalan menuju dapur, menghampiri Bibik yang sedang beberes.“Bik.”“Ya, Den?”“Aku mau nyusul Mama Papa. Karel udah tidur, kalau ada apa apa langsung hubungi aku, ya,” jelasnya.“Baik, Den,” sahut wanita paruh baya itu paham.Ziel segera bergegas untuk pergi, tapi ketika hendak memasuki mobil, niatnya terhenti mendapati sebuah mobil yang memasuki area rumah. Ya, kendaraan milik orang tuanya.Mengurungkan niatnya dan menunggu di teras.“Papa sama Mama dari mana?”Tak mendapatkan jawaban, tapi melihat wajah mamanya, ia yakini jika wanita paruh baya itu habis mennagis. Matanya masih tampak merah.“Mama nangis?”“Ada sesuatu yang ingin papa bicarakan sama k
Matanya masih terpejam, saat jantungnya terasa berdetak tak karuan. Kejadian barusan, seakan benar-benar sudah berada di depan matanya.Sebuah sentuhan di kepalanya, membuat fokusnya langsung beralih. Membuka matanya dan kaget saat dihadapkan pada seseorang yang terlihat kesakitan dihadapannya.Ringisan itu membuatnya langsung kaget dan segera beranjak dari posisinya yang ternyata ia sadari berada di dekapan Ziel.“Kak Ziel, Kakak ... Kakak kenapa? Kakak baik-baik saja, kan,” tangisnya langsung pecah, apalagi saat mendapati darah segar mulai mengalir dari arah belakang kepala cowok yang tengah berada dalam pangkuannnya itu.“Jangan seperti ini, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, ku mohon.”Menangis sejadi jadinya ketika genggaman tangan Ziel di tangannya terasa semakin mengerat. Dia batuk, diiringi oleh darah yang keluar dari mulutnya hingga perlahan tangan itu melemah dan benar-benar tak sadarkan diri.“Ka
Dokter memberikan izin untuk bisa menemui Ziel di ruang ICU. Hanya saja tak boleh berbarengan, alias harus gantian. Kiran mendapat giliran yang pertama kali masuk dan menemui putranya. Lanjut dengan Arland dan hingga akhirnya Karel.Ragu, itulah yang dirasakan Karel saat hendak melangkah masuk menemui cowok itu. Tapi ia ingin benar benar memastikan terlebih dahulu, bagaiamana kondisi Ziel saat ini.“Sayang, kamu masuk dulu, ya. Om sama Tante mau menemui dokter,” ujar Kiran pada Karel saat gadis itu hendak masuk.“Iya, Tante.”Setelah mendapatkan ijin dari dokter, ia masuk diantar oleh seorang suster jaga. Tangannya gemetar, hawa dingin dan aroma obat-obatan yang makin kuat seakan menyerangnya. Saat melangkah masuk, hingga pintu ruangan itu terbuka ... suara monitor mulai terdengar di indera pendengarannya. Ya, suara yang menurutnya menak