Share

Rencana Melarikan Diri

Senja mengerjap saat cahaya menusuk retina matanya. Perih sekali. Akan tetapi, ada yang lebih menyakitkan dari itu. Bukan hanya rasa sakit, namun juga sesak yang ada.

Mengingat moment pemaksaan semalam, membuat Senja ingin mati.

Dirga telah memaksakan kehendaknya tanpa kelembutan sedikitpun. Senja yang tidak berdaya hanya mampu menangis, meronta pun menambah luka hati. 

Sudah tak terhitung berapa banyak gigitan, tamparan dan pukulan yang hinggap di wajahnya saat Dirga bermain kasar semalam. Menguasai ranjang dan memperlakukan Senja layaknya wanita malam.

Jangankan itu, ketika Senja menjerit sampai suaranya serak, Dirga tak bergeming dan sibuk meraih kepuasan sendiri.

Tidak ada kenikmatan di sana. Yang ada hanya rasa sakit dan perih yang membuat Senja menangis keras. Bukan hanya di area pinggang yang remuk, tetapi hatinya pun ikut hancur berkeping-keping.

"Kau sudah bangun?!"

Pertanyaan bodoh itu membuat Senja menengadah. Wajah yang tadi disembunyikan ditekukan lutut kini terlihat kacau dengan jejak air mata yang tak bisa disamarkan.

Senja menatap penuh kebencian pada Dirga yang telah berpakaian rapi. Bahkan rambut pirang itu yang semalam dijambak olehnya telah tersisir estetik, menambah kesan maskulin. Sayangnya, Senja tidak merasa terkesan, apalagi terpesona, justru ingin sekali mencakar wajah pria angkuh itu.

"Kenapa menatapku seperti itu?" 

Dirga duduk di sisian ranjang, membuat tubuh Senja beringsut ke samping, semakin mencengkram selimut tebal yang menutupi tubuhnya.

Mendapati reaksi demikian, Dirga mendengkus dan tersenyum remeh. "Heh, kau takut padaku?"

Nada mencemooh yang sangat kentara itu membuat Senja mendelik. "Pergi!" usirnya.

"Kau mengusirku? Ingat! Ini rumahku!"

Selalu saja Dirga membalikkan perkataan Senja, sedangkan jika kalah, pria itu langsung berbuat yang tidak senonoh seperti semalam.

"Tidak perlu menatap benci seperti itu! Aku hanya mengambil hakku."

Dirga lalu berdiri dan mengulurkan tangan untuk mengusap rambut tergerai istrinya. Akan tetapi, Senja menghindar. Dirga berdecih. "Ya, terserah saja. Toh, aku sudah melihat semuanya."

Deg! 

Pernyataan merendahkan itu membuat mata Senja kembali memanas. Tangisnya pecah dengan rancauan yang menyuruh Dirga ke luar. "Pergi, Sialan! Bedebah!"

Senja lalu mulai mengabsen nama hewan di kebun binatang. Terus memaki hingga Dirga keluar dari kamar dan menutup pintu dengan cara membantingnya. Seketika itu juga Senja terisak hebat. Merenungi hidupnya yang harus berurusan dengan Dirga, mantan adik angkatnya.

Entah apa yang salah? Senja tidak mengerti!

Mungkinkah Dirga memiliki dendam pribadi padanya?

Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Senja?

Seharusnya jika memang mendendam ialah pada Ivvona. Sebab dulu Ivvona selalu merundung Dirga.

Ivvona selalu mengejek Dirga sebagai anak pungut.

Memang Senja pun turut andil dalam pembullyan itu. Namun, ayolah perbuatannya masihlah dalam batas wajar. Lalu, kenapa justru yang tertimpa sial dan terikat dengan Dirga adalah dirinya?

Sungguh, Senja merasa ada yang salah dengan semua ini.

***

Telah lewat beberapa Minggu sejak pernikahan antara Dirga dan Senja berlangsung. Namun, dalam rentang waktu itu tak ada sedikitpun kebahagiaan yang tersisa untuk Senja.

Dirga dengan segala kekuasaannya selalu menekan Senja. Terlebih sikap posesif pria itu yang menjengkelkan. 

Selalu saja Dirga mencari-cari kesalahan untuk menghukum Senja yang kemudian berakhir di atas ranjang.

Hukuman yang selalu sukses mendorong dalam jurang kesakitan, keterpurukan, keputusasaan dan kehancuran.

Aturan dan alasan mengada-ada yang dibuat untuk bisa mendominasi tubuh Senja dalam permainan yang memabukkan.

Bukan hanya sekujur anggota badan yang terasa remuk dan ngilu setiap melakukan hubungan kasar itu. Namun, mental Senja pun mulai terjun bebas.

Senja berubah menjadi sosok pendiam. Tidak lagi berani untuk membalas dan beradu argument dengan Dirga.

Senja tak ubahnya boneka hidup!

Boneka yang ada hanya untuk menjadi pajangan. Dimainkan setiap hari jika ingin. 

Boneka yang tidak memiliki perasaan!

Sama seperti kali ini, lagi-lagi Dirga mencari alasan untuk menghempaskan tubuh Senja ke ranjang dan mengukungnya dalam kendali.

Setelah puas dengan permainannya, Dirga bangkit, meninggalkan Senja dalam kekacauan.

Seperti malam ini, lagi dan lagi Dirga mencari kesalahan Senja. Setelah selesai dengan kabut hitamnya, Dirga duduk di sofa kamar dengan tangan menyulut sebatang rokok.

"Bagus sekali. Akhir-akhir kau banyak diam!" Pujian yang dilontarkan Dirga tidak digubris oleh Senja. Gadis itu ....

Bukan!

Dirinya bukan lagi seorang gadis. Kepolosannya telah terenggut sejak malam itu. Senja sibuk mengancing kemeja putih polosnya. Kemudian menata rambut awut-awutan bekas jambakan Dirga.

Dirga menyeringai. "Apa akhirnya kau sadar akan takdirmu?"

Pernyataan angkuh Dirga membuat kegiatan Senja terhenti. Dia menatap kosong suaminya. "Anggap seperti itu jika membuatmu senang."

Balasan bernada datar dari Senja membuat Dirga termenung. Kemudian memilih bangkit dan mengambil jas hitamnya yang berserakan di lantai.

"Hari ini aku ada pekerjaan. Jika kau butuh sesuatu panggil saja pelayan."

Alis Senja memincing curiga. Sorot matanya melirik ke arah jam bulat di nakas meja. Terlihat di sana jarum jam yang pendek berada di angka 10. Sedangkan yang panjang berada di angka 12.

"Sebenarnya apa pekerjaanmu? Ini sudah sangat larut."

Kegiatan Dirga yang sedang memakai sabuk terhenti. Lalu, menatap Senja yang tadi bertanya. "Kau mulai penasaran, Hm?" godanya tersenyum miring.

Senja membuang muka. Merasa malu sendiri. Padahal ia bertanya demikian bukan karena mulai tertarik pada kehidupan pribadi Dirga. Justru sebaliknya Senja sedang mencari celah yang bisa digali. Mencari tahu kelemahan pria yang sampai mati pun tidak akan dianggap suami olehnya.

"Lupakan saja! Anggap aku tidak bertanya," kata Senja berupa bisikan.

Dirga tertawa kecil. "Yaa ... aku pun tidak bisa menjawabnya, sih."

"Kenapa?" 

Senja yang penasaran tanpa sadar mencondongkan tubuhnya ke depan. Namun, detik berikutnya langsung kembali mengubah posisi saat rasa perih membuatnya meringis. Senja mengumpat dalam hati. Meruntuki permainan gila Dirga yang selalu kelewatan batas. Seberapa besar stamina iblis satu itu?

"Kau baik-baik saja?" Dirga bertanya lirih, terselip nada cemas di sana. "Apa aku bermain terlalu kasar tadi?"

Senja membeku. Haruskah Dirga bertanya sefrontal itu? Sungguh, tak tahu malu.

"Jangan salahkan aku. Tubuhmu begitu menggoda, aku tidak tahan."

Mendengar balasan fulgar dari suaminya, Senja mendelik. "Terima kasih! Kuanggap itu pujian" sindirnya membuat Dirga tertawa terbahak-bahak

Dirga kemudian melangkah menuju pintu keluar. Sebelum meraih gagang pintu Dirga kembali berbalik menatap istri manisnya.

"Ingat, Senja! Selama aku pergi jangan coba-coba untuk kabur dari sini, mengerti?" peringat Dirga dengan suara rendah. Tatapan matanya begitu dingin.

"Ya, aku mengerti!" Senja membalas acuh tak acuh.

"Cih, seperti aku bisa kabur saja dengan banyaknya bodyguard yang berjaga di luar rumah."

Mendengar gerutuan Senja, Dirga tersenyum puas. "Bagus! Sebaiknya memang begitu karena aku tak ingin menyakitimu lebih jauh. Bagaimanapun kau adalah pahlawanku."

Senja termenung, membiarkan Dirga pergi meninggalkannya. 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status