Share

1

Desa Ciboeh, 1990

Ada yang berbeda pagi ini di Ciboeh, tepatnya di Kampung Cimenyan. Saat matahari mulai menyingsing di ufuk timur, pagi yang tenang tak lagi terasa. Bak angin yang berembus cepat, satu per satu warga berlarian ke arah persawahan setelah mendengar sebuah berita.

Mobil polisi sudah terparkir di sisi jalan. Tak jauh dari sana, tiga orang pria berseragam abu-abu tengah mewawancarai beberapa petani. Jalanan menuju persawahan kian riuh oleh warga yang mulai berdatangan.

Usut punya usut, para petani itulah yang pertama kali melihat jasad yang terbujur kaku itu. Dilihat dari pakaian serta ciri-ciri fisik, warga percaya jika jenazah itu adalah Mbah Atim, penjaga makam Mak Lilin.

“Saya menemukan jenazah Mbah Atim persis di sebelah sana,” tunjuk Asep ke arah sisi jalan yang dinaungi pohon pisang, “saya pikir ... ini pembunuhan.”

Mendengar penuturan Asep, warga mulai berspekulasi. Raut wajah mereka seolah mewakilkan beragam dugaan jika hal itu benar-benar terjadi. Sebagian penduduk berpikir mengenai siapa gerangan si pembunuh, setengahnya bertanya kenapa pria tua itu dibunuh, sisanya merinding dan ngeri saat membayangkan bagaimana pembunuhan itu bisa terjadi.

“Kami akan selidiki kasus ini lebih dulu,” ucap seorang polisi bertubuh tambun, “kami juga akan bawa jenazah ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi.”

“Ada keluarganya di sini?” tanya polisi yang lain. Matanya mengawasi warga yang kian ramai berdatangan. Tak ada yang menyahut.

“Kalu begitu silakan bubar!” pinta polisi yang pertama kali berbicara.

Setelah mendengar ucapan polisi, warga mulai memeninggalkan persawahan. Sebagian besar pergi dengan masih dihantui pertanyaan, sisanya bergidik ngeri mencoba melupakan kejadian.

Asep, pria yang baru memasuki usia kepala tiga itu belum beranjak saat polisi-polisi itu sudah masuk ke mobil. Ia masih terpaku di tempat. Jemarinya sejak tadi tak berhenti gemetar, sedang dahinya terus-menerus mengeluarkan keringat. Pria itu sama sekali tak berani menoleh pada bak kendaraan. Sejak tadi, ia hanya menunduk, memandangi cangkulnya yang masih bersih dari noda tanah.

Barulah saat mobil polisi mulai berjalan, Asep memberanikan diri menoleh. Sialnya, matanya malah tertuju pada jasad Mbah Atim yang ia temukan dalam kondisi tanpa kepala.

***

Pak Dede, Kepala Desa Ciboeh, mengadakan pertemuan mendadak dengan beberapa tokoh masyarakat  di kantor desa. Perkara yang sedang mereka diskusikan adalah kematian Mbah Atim yang misterius. Ada dua masalah yang timbul dari meninggalnya si penjaga makam Mak Lilin tersebut. Pertama, siapa kiranya yang bersedia memandikan, mengkafani dan menguburkan jenazah tersebut. Kedua, siapa yang akan menggantikan tugasnya sebagai kuncen.

“Kita semua bisa berdosa jika tak ada yang bersedia melaksanakan kewajiban kita pada jenazah,” ucap Rojali tegas. Tangannya terkepal kuat pada pegangan kursi.

“Saya paham, Ustaz,” timpal Pak Dede sembari mematikan rokoknya di asbak. “Tapi kalau boleh jujur, siapa pun tentu tak mau kalau harus memandikan dan mengafani jenazah tanpa kepala. Begitupun dengan Ustaz, kan?”

Rojali menghela napas panjang, kemudian mendaratkan punggung ke sandaran  kursi.

Wajah letih dan cemas tampak mendominasi paras semua pria yang tengah duduk melingkar  di aula desa. Beberapa di antara mereka tertunduk, sisanya menghisap rokok dalam-dalam, berusaha menyenyahkan ketakutan. Tak ada yang berbicara untuk sekian menit. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.

Punteun,” ujar pria berkumis yang duduk di samping Pak Dede. Yayat namanya, Kepala Dusun Cimenyan.

Semua orang seketika menoleh ke arah Pak Yayat. Merasa jadi pusat perhatian, pria kurus itu mengcengkeram kuat baju kusutnya.

“Kamu punya ide, Yat?” tanya Pak Dede.

Pak Yayat tak langsung menjawab, lebih dahulu menyeka keringat di dahi. “Punteun,” ulangnya lagi. Pria itu terlihat ragu-ragu.

“Katakan saja, Pak Yayat,” ujar Rojali.

“Bukannya ...  warga Ciboeh pernah memandikan dan mengafani jenazah-jenazah yang tak utuh sebelumnya?” Pak Yayat memandang satu per satu orang yang hadir dalam pertemuan. Bukan tanpa alasan ia berkata demikian. Pria tua itu pernah mendengar cerita itu dari istrinya yang asli orang Ciboeh. Ia sendiri memang lahir di desa ini, tetapi dirinya tumbuh dan besar di desa lain.

Pak Yayat kembali tertunduk, takut salah ucap. “Punteun.”

Orang-orang dalam pertemuan berbagi pandangan satu sama lain.

“Pak Yayat,” ucap Pak Iwan, Kepala Dusun Cigeutih, “sepertinya Pak Yayat belum tahu mengenai keseluruhan cerita itu. Nyatanya, cerita yang kita dengar tentang kejadian beberapa puluh tahun lalu itu, tidak semua diceritakan orang tua kita. Hanya sedikit saja dari kita yang mengetahui kebenarannya.”

Perkataan Pak Iwan diamini oleh warga lain. Terlalu sulit untuk mengurai kembali cerita lama itu dalam pertemuan ini. Saat ini, mereka dituntut untuk mencari solusi dari permasalahan ini dalam waktu cepat.

“Tak ada satu orang pun yang akan sepenuhnya sanggup memandikan dan mengafani jenazah yang tak utuh,” lanjut Pak Iwan, “lagi pula kita tak seberani orang tua kita dulu.”

Rojali atau orang-orang di desa memanggilnya Ustaz Rojali, sebenarnya hanya pria lajang berumur 26 tahun, lulusan pesantren di kabupaten. Ia bekerja sebagai mandor di kebun sayur milik pesantren di desa ini. Usai dari kebun, kegiatannya tak jauh dari mengajari anak-anak mengaji serta memimpin acara keagaamaan.

Di antara para tokoh masyarakat yang sedang berdiskusi, Rojali sebenarnya yang paling muda. Hanya saja karena warga desa menghargai ilmu agama dan sumbangsihnya pada desa, ia masuk daftar tokoh penting di Ciboeh. Maka benar bila Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu.

“Apa tak sebaiknya kita meminta bantuan ke kecamatan?” usul Pak Yayat yang langsung memecah keheningan.

Pak Dede terkekeh sesaat. Senyum sinis timbul di sudut bibirnya. Ia bahkan sampai terbatuk-batuk setelah mendengar saran tersebut. Lucu sekali, pikirnya.

“Jangan banyak berharap sama orang kecamatan,” jawab Pak Dede, “saya tahu betul bagaimana mereka. Mereka cuma akan pura-pura simpati dengan permasalahan kita. Selebihnya mereka tidak akan peduli. Lihat jalan desa! Sudah berpuluh-puluh kali saya minta bantuan mereka untuk masalah ini, dan yang mereka bisa lakukan hanya memberi janji kosong.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan, Ustaz?” tanya Pak Harun, Ketua RW di Cimenyan.

Pak Dede menghabiskan kopinya dalam satu tegukan, lalu meletakkan gelas ke meja dengan agak kuat. Sejenak perhatian semua orang tertuju padanya. Pria paruh baya itu berdecak kesal karena merasa diabaikan. Dibanding bertanya pada dirinya, orang-orang ini malah lebih berharap banyak pada Rojali yang usianya sebaya dengan anaknya. Kurang ajar memang si ustaz mentahan itu.

“Jika semua setuju, saya akan minta tolong pihak pesantren di kabupaten,” ucap Rojali seraya menegakkan kembali posisi duduknya.

“Kami setuju,” sahut hampir seluruh hadirin.

Pak Dede yang ingin menolak tak kuasa berbuat banyak. Ia hanya bisa pura-pura terbatuk seraya mengetuk meja dengan jari.

“Kalo begitu saya akan berangkat siang ini juga.” Rojali sedikit membenarkan letak peci. Waktu zuhur sebentar lagi tiba.

Rojali keluar dari kantor desa ketika pertemuan selesai digelar. Kesepakatan akhir dari diskusi ini adalah Pak Dede bersama warga lain akan mengurus persiapan pemakaman jenazah Mbah Atim selama ia pergi ke kabupaten. 

Rojali mengembus napas panjang, menatap awan hitam yang bergerombol di langit. Entah mengapa aliran udara yang berpapasan dengan kulit membuat hatinya menjadi tak nyaman.

Pukul satu siang, Rojali berangkat menuju kabupaten. Selama perjalanan, pikirannya terus saja tertuju pada sosok Mbah Atim. Menurut cerita yang ia dengar, kuncen Mak Lilin itu adalah  pendatang yang tak diketahui asal muasalnya. Pria itu secara sukarela menawarkan diri sebagai penjaga kuburan meski tanpa diberi imbalan. Jarang sekali pria tua itu tampil dalam rapat-rapat yang diadakan desa dan warga. Aktivitasnya tak jauh dari kawasan makam seolah hidupnya terkunci di sana.

Selama dua tahun Rojali menetap di Ciboeh, hanya beberapa kali dirinya bertemu dan berbicara dengan Mbah Atim. Jika tak sengaja berjumpa, pria tua itu hanya bertanya kabar dan basa-basi lainnya. Hampir semua pertemuan itu terjadi saat di pemakaman.

Rojali memacu kendaraannya lebih cepat. Ia sedikit mengencangkan jaket. Perjalanan ini akan memakan waktu cukup panjang.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Yuyun Yuningsih
serem serem nama kawasan nya. menyan. boeh, getih.
goodnovel comment avatar
Ramdani Abdul
Keep reading kak
goodnovel comment avatar
Widya Nugraeni
nasib si Ujang gimana ya habis jatuh dari jembatan yang bawahnya banyak batu2an .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status