Sudah hampir tiga jam Rojali meninggalkan desa. Tiga orang warga yang ikut dalam pertemuan tadi mulai gelisah. Saat ini, mereka tengah duduk di sebuah pos ronda yang terletak tak jauh dari gerbang desa. Beberapa menit sekali, salah satu dari ketiganya akan menoleh ke arah jalan.
Awan hitam sudah menumpuk di langit desa. Angin juga tak malu-malu lagi merangkak di kulit. Meski begitu, kopi yang terhidang belum sempat penghuni pos ronda jamah. Pria-pria itu sama-sama diam.
“Kata istri saya, si Asep tidak mau keluar rumah sejak dia menemukan jasad Mbah Atim,” ucap Pak Yayat memulai obrolan.
“Pasti dia syok, Pak Yayat,” timpal Aep yang beberapa kali menelan ludah karena ingin mencicipi kopi. Ia merasa segan untuk menyeruputnya di saat seperti ini, apalagi kedua pria paruh baya di dekatnya tidak ada yang menyentuh minuman itu.
“Bagaimana kalau Ustaz Rojali tidak bisa bawa orang-orang pesantren ke desa?” tanya Pak Harun yang sejak tadi duduk di sudut pos ronda, “entah kenapa perasaan saya tidak enak sejak pagi tadi.”
“Sepertinya semua penduduk desa juga merasakan hal sama, Pak. Masalahnya orang yang meninggal adalah Mbah Atim yang misterius seperti kematiannya. Kita juga tidak tau ke depannya akan bagaimana,” balas Pak Yayat.
Aep akhirnya menyeruput habis kopinya. Meski masih sore, pria itu sudah berselimut sarung. “Lalu siapa yang akan jadi pengganti Mbah Atim, Pak?” tanyanya.
Pak Yayat menarik napas panjang. “Saya mah belum mikir ke sana, Ep.” Pria itu memandang langit-langit pos ronda yang dipenuhi sarang laba-laba. Hatinya terus gelisah semenjak mendengar kematian Mbah Atim.
Aep mundur ke sudut pos ronda. Ia menyandarkan punggung bersamaan dengan helaan napas beratnya. Sebenarnya, ia hanya ditunjuk untuk menggantikan tugas sang bapak yang sakit. Kalau saja bisa menolak, ia pasti memilih untuk tetap di rumah dibanding harus duduk dalam penantian dan ketakutan.
Sebagai seorang duda yang ditinggal mati oleh anak dan istrinya, Aep jatuh dalam kubangan kesedihan hampir berbulan-bulan, membuat hidupnya hambar hingga sekarang. Ia belum mau mencari pengganti sosok istri. Meski begitu, terkadang ia bermimpi berjumpa dengan keduanya.
Seperti sekarang, Aep mengucek mata berkali-kali untuk memastikan penglihatannya. Di seberang jalan, ia melihat istri dan anaknya tengah tersenyum dan melambaikan tangan. Berkali-kali pula Aep menggeleng hingga akhirnya sebuah senyum terbit dari bibir. Didekap rindu yang membuncah, pria itu segera turun dari pos ronda.
Saat hendak menyebrang jalan, perlahan bayangan anak istrinya memudar, berganti menjadi sosok pria tua yang kini jadi perbincangan seisi desa. Mbah Atim menatap dingin padanya. Aep dengan cepat mengalihkan pandangan. Tepat saat ia menoleh kembali, bayangan penjaga makam itu tiba-tiba menghilang.
“Kunaon ari (kenapa) kamu, Aep?” tanya Pak Yayat sembari menarik Aep mundur.
“Istigfar kamu, Ep.” Pak Harun mengingatkan.
Aep menatap pria tua di sampingnya bergantian. Ia tersadar ketika bokongnya mendarat di pos ronda. Pria itu dengan cepat menggosok mata, berkali-kali melihat seberang jalan yang kini tampak kosong dari kehadiran manusia.
“Kenapa kamu tiba-tiba lari ke tengah jalan atuh?” Pak Yayat menggeleng, tak habis pikir.
“Untung kamu tidak ketabrak mobil, Ep,” susul Pak Harun.
Aep menunduk sesaat. Deru napasnya serasa berat. Entah mengapa badannya juga terasa pegal dan ingin muntah secara bersamaan. “Saya ... lihat Mbah Atim di depan jalan,” jawabnya dengan wajah pucat.
Pak Yayat dan Pak Harun saling melempar tatap. Tak ada lagi yang berbicara setelah itu sampai sebuah mobil menepi di depan pos ronda.
“Assalamualaikum,” sapa seseorang yang duduk di kursi depan, “kami santri dari pesantren di kabupaten.”
Ketiga pria penghuni pos ronda itu serempak menjawab salam. Timbul segaris senyum saat mendengar kata pesantren. Syukurlah Ustaz Rojali berhasil membawa bantuan. Ada sekitar enam orang santri di dalam mobil, termasuk yang menyapa barusan.
Tak berselang lama, ambulans memasuki gerbang desa. Para santri dan juga ketiga pria itu mengikuti dari belakang. Jenazah Mbah Atim segera diturunkan dari ambulans saat tiba di masjid Cimenyan. Di belakang masjid sudah disiapkan peralatan untuk memandikan jenazah.
Tanpa takut, para santri lantas membawa jenazah ke belakang.
Pak Yayat yang sejak tadi tak melihat Rojali memberanikan diri bertanya, “Punteun, Ustaz Rojali masih di mana?”
“Motornya mogok,” jawab pria yang menyapa di mobil tadi.
Pak Yayat buru-buru berkumpul bersama kumpulan pria yang berdiri agak jauh dengan masjid. Entah mengapa ia merasa ada kejanggalan dari para santri itu. Meski begitu, ia tak berani bicara lebih lanjut.
Pak Yayat mendadak menegang ketika menoleh ke belakang masjid. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang saat mengingat perkataan Aep tadi. Ia jadi ragu, apakah ia harus menceritakan kalau ia juga melihat bayangan Mbah Atim yang kini tengah mengawasi proses pemandian jenazahnya, atau justru menutup mulut agar tak bersuara?
***
Hujan deras mengguyur Ciboeh sejak asar. Tak ada aktivitas yang tampak di sekitar kampung. Semua warga seolah kompak untuk tetap di rumah, mengunci pintu rapat-rapat. Biasanya, selepas waktu magrib, anak-anak akan ramai mengaji bersama Rojali di masjid. Bakda isya, sebagian warga akan berkunjung ke rumah tetangga yang memiliki televisi untuk menonton drama favorit.
Akan tetapi, malam ini terasa berbeda. Ciboeh laksana desa sunyi. Suara yang bisa didengar hanya suara ayam di bawah kolong rumah, nyanyian serangga yang bertengger di dahan pohon, pekik kodok sawah yang tengah berpesta dengan memakan anai-anai, juga suara penghuni rumah yang tengah berbisik-bisik.
Dari arah jembatan, Rojali tengah mengendarai sepeda motornya. Ia terpaksa menepi di pos ronda karena kendaraan itu tiba-tiba mogok. Helaan napasnya terdengar berat seiring dengan wajah yang tampak penat. Pakaiannya basah kuyup karena menerobos hujan.
Rojali memindai sekeliling, bermaksud meminta pertolongan. Beberapa kali ia menggosok tangan, lalu menempelkannya pada wajah. Ia kedinginan dengan kondisi perut kosong.
Rojali menyipit begitu melihat titik cahaya dari arah kampung. Dua buah kendaraan melewati tempatnya berteduh dengan kecepatan tinggi. Menyadari hal itu, Rojali tiba-tiba berdiri. Mobil polisi dan ambulans itu pasti baru saja mengantar jenazah Mbah Atim, pikirnya. Sayang, Rojali tak tahu kalau dua mobil tadi melaju tanpa sopir dan menghilang begitu melewati jembatan.
Menyadari hujan reda, Rojali segera menaiki motor kembali. Setelah percobaan beberapa kali, kendaraan roda dua itu kembali hidup. Sebelum ia melahap jalanan desa, ia sempat menoleh ke arah dua mobil tadi pergi. Syukurlah ia tak terlambat. Masih ada waktu hingga besok untuk menguburkan jenazah Mbah Atim. Lagi pula rekan-rekan santrinya masih dalam perjalanan.
Motor melintasi jalanan becek. Hati-hati sekali Rojali memacu kendaraan. Saat memasuki kampung Cigeutih, ia mendapati keheningan seperti saat pertengahan malam. Cimenyan ikut menyuguhkan pemandangan serupa. Tak ada aktivitas warga sejak ia memasuki jalanan kampung. Bahkan kucing yang seringkali ia lihat di teras masjid pun tak tampak.
Rojali memarkirkan motor di depan masjid. Tak ada tanda-tanda warga berkerumun. Saat mengecek belakang bangunan, peralatan pemandian jenazah masih di tempat semula. Bersamaan dengan motornya yang kembali melaju, sosok tanpa kepala yang mengamatinya sejak tadi tiba-tiba menghilang.
“Ada apa ini sebenarnya?” tanya Rojali sembari memindai keadaan. Ia mulai mencium gelagat tak beres. Mengelilingi kampung dengan kondisi masuk angin tentu membuat kepala Rojali kian pusing, terlebih ia berusaha menyemai jawaban dari kondisi desa. Di pesantren, ia menunggu Kiai hingga dua jam. Setelah bertemu, pemuda itu harus berbasa-basi lebih dahulu dengan sang pemilik pesantren. Tak elok rasanya jika berbicara langsung pada inti masalah. Rojali menghela napas panjang, kemudian masuk ke rumah untuk mengganti baju dan mengganjal perut dengan ubi rebus. Setelahnya, pemuda itu bergegas menuju kediaman Pak Dede yang berada di tengah Kampung Cimenyan. Tampilan rumahnya mencolok karena kebanyakan kediaman warga masih berupa panggung. “Pak Dede,” panggil Rojali setelah mengucap salam. Rojali mengetuk hingga beberapa kali. Pemuda itu akhirnya memutuskan pergi setelah tidak melihat tanda-tanda penghuni rumah akan membuka pintu. Ia kemudian berkunjung ke ruma
Mobil yang Rojali dan para santri naiki tengah melumat jalanan perkampungan. Akses jalan yang buruk membuat kendaraan bergoyang beberapa kali. Tak ada yang berbicara semenjak si kuda besi melaju. Dari tempatnya duduk, pemuda itu melihat bila cahaya lampu dari rumah warga mulai menghilang.Rojali menyandarkan punggung ke kursi. Sesekali pemuda itu memijat kepala. Sungguh, ia akan sangat malu bila sampai Kiai mendengar berita ini. Karena ketidakberdayaannya, masalah ini bisa terjadi.“Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, Kang,” ucap santri yang tengah mengemudi, “menurut saya, Kang Rojali sudah berjuang sebisanya.”Rojali mengembuskan napas berat, lantas mengangguk. Pemuda itu segera memakai peci begitu mobil menepi di gerbang pekuburan.Rojali dan rombongan santri mulai menapaki kawasan kuburan. Saat sampai di lokasi, Pak Yayat, Pak Harun, Aep serta beberapa aparat desa sudah berada di sana lebih dahulu.“Apa kita b
Rojali menghela napas berat begitu merebahkan diri di kasur. Ia menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. Pandangannya menerawang pada tirai jendela yang sesekali tertiup angin. Hujan kembali mengguyur Ciboeh semenjak sore.Para santri sudah kembali ke kabupaten sejak siang. Mereka akan mengabarkan masalah ini pada Kiai secepatnya. Malu sebenarnya, tetapi Rojali tak punya pilihan lain. Di sisi lain, jemaah di masjid mendadak menghilang. Setiap kali ia mengumandangkan azan dan mengimami salat, sajadah hanya akan diisi angin dan debu.Tubuh Rojali bergerak ke samping, menatap lantai papan. Malamnya hanya diisi dengan lantunan ceramah dari radio tua yang bertengger di bilik kayu. Kejadian hari ini benar-benar menguras akal dan fisiknya.Pihak desa beserta tokoh masyarakat menyerahkan semua permasalahan ini pada kepolisian. Semua mengangguk setuju tanpa terkecuali dirinya. Pembunuhan dan pencurian jenazah adalah sesuatu yang tak bisa ditangani oleh wa
Hujan kembali mengguyur Ciboeh sejak siang dan baru reda saat isya. Rojali sendiri hanya keluar untuk azan di masjid dan memimpin salat, meski pada kenyataannya tak ada satu pun warga yang datang ke surau. Saat subuh tadi, ia bangun telat dan tak sempat mengumandangkan azan. Tubuhnya menggigil dengan kepala yang teramat pusing. Mungkin karena efek masuk angin kemarin, ditambah beban pikiran yang menumpuk semenjak kasus kematian Mbah Atim. Ustaz muda itu lebih banyak berbaring di kasur seharian ini. Rojali menerawang seisi kamar. Angin kencang sesekali menerjang jendela, mnggoyang-goyangkan tirai ke kanan dan kiri. Pikirannya masih tertuju pada kejadian subuh tadi. Saat terbangun, ia mendapati dirinya terbaring di atas sajadah dengan kondisi bersimbah keringat. Perihal kejadian pertemuan dengan pocong berkafan hitam itu, ia meyakini jika hal itu sebatas mimpi. Rojali menggeleng beberapa kali, menarik selimut hingga sebatas dada. Suara derit kasur
Seminggu berlalu setelah kejadian penemuan jasad Mbah Atim. Pihak kepolisian masih kesulitan untuk mengungkap misteri dan siapa dalang di balik pembunuhan sang penjaga makam tersebut. Di sisi lain, warga Ciboeh mulai kembali beraktivitas setelah beberapa hari mengurung diri di rumah.Suara azan asar saling bersahutan di langit Ciboeh. Selain sebagai pertanda memasuki waktu salat, nyatanya lantunan tersebut menjadi salah satu pengingat bila warga tak boleh berlama-lama berada di luar rumah.Para petani tampak tergesa-gesa berjalan di pematang sawah, menarik kerbau tak sabaran sembari sesekali memecutnya dengan tali. Pangkalan kembali sepi dari tukang ojek, yang tersisa hanya kulit kacang dan bungkus rokok. Sementara itu, ibu-ibu berteriak memanggil anak-anak untuk segera pulang ke rumah. Pelototan, jeweran dan pukulan sandal dijadikan senjata untuk menakut-nakuti.Ciboeh masih terus berbenah meski belum sepenuhnya kembali ke keadaan semula. Nyatanya, ketakutan it
Rojali sontak terkejut dengan pertanyaan barusan. “Saya pulang sendiri, Za. Mungkin kamu salah liat.”“I-iya kali.” Reza menyisir rambut dengan jari, lalu menoleh ke samping. Ia yakin kalau dirinya tak salah lihat, tetapi di sisi lain, tak mungkin juga Rojali berbohong. Aneh.“Tapi ...” Ucapan Rojali menggantung. “... saya merasa kalau motor saya jadi berat pas pulang tadi.”Aep yang mendengarnya seketika mundur dan membelah jarak Rojali dan Reza. Ia berjalan di tengah keduanya, tak bila peduli rokoknya harus jatuh ke genangan air. “Punten, Ustaz,” ucapnya.“Za,” panggil Aep pelan setelah meneguk saliva beberapa kali. “Memang ... bagaimana ciri-ciri orang yang kamu liat tadi?”Reza mengembus napas kuat. Jantungnya mendadak berdebar kencang. “Orang itu ... pake pakaian serba hitam. Tapi ...” Pria berjaket itu menjeda. “... saya tidak
Satu bulan berlalu semenjak kejadian pembunuhan Mbah Atim. Pihak kepolisian terpaksa menutup kasus dengan alasan sulitnya menemukan bukti dan mengungkapkan identitas pelaku. Di sisi lain, warga Desa Ciboeh perlahan menata hidup baru. Aktivitas yang sempat terkendala, mau tak mau kembali digarap. Mereka tak bisa selamanya akan berdiam diri di rumah dan hidup dalam ketakutan. Kehidupan harus tetap berjalan, meski mereka dipaksa berdamai dengan misteri yang sampai saat ini belum menemukan titik terang.Dalam teriknya matahari siang, beberapa truk mulai memasuki gerbang desa, melibas jalan berbatu, melewati perumahan penduduk. Beberapa kali mobil tampak bergoyang, berusaha stabil dan berdamai dengan jalan yang penuh lubang.Aktivitas warga Kampung Cigeutih teralihkan beberapa saat. Para wanita yang tengah berkumpul di teras depan sengaja berpindah ke sisi jalan, menyaksikan bagaimana truk-truk itu kian masuk ke perkampungan. Anak-anak berteriak sembari melambaikan tangan.
Warung milik Euis sudah dijejali para pria sejak pagi. Kopi yang mereka pesan hanya tinggal tersisa ampas hitam. Bakwan, pisang goreng, dan cireng sudah berkali-kali habis diembat, menyisakan beberapa buah gorengan dan minyak menggenang di koran yang dijadikan alas piring. Asap rokok tampak meliuk-liuk seiring dengan obrolan yang kian menghangatkan pagi.“Kalian sudah dengar belum kalau Ustaz Rojali dan si Reza ditemukan pingsan di selokan?” tanya pria berselandang sarung, Mahmud namanya. “Sekarang mereka sedang dirawat di puskesmas.”“Kok bisa, Kang? Bagaimana kejadiannya?” Euis yang tengah menggoreng gorengan lantas mengecilkan kompor. Wajah cemasnya kentara sekali. Saking panik mendengar Rojali kecelakaan, ia sampai tak sadar membawa spatula dan saringan ke kerumunan.“Katanya ... mereka berdua dikejar pocong,” bisik Mahmud, tetapi suaranya masih bisa didengar orang-orang di sekitar warung.“Astagfi