Share

2

Sudah hampir tiga jam Rojali meninggalkan desa. Tiga orang warga yang ikut dalam pertemuan tadi mulai gelisah. Saat ini, mereka tengah duduk di sebuah pos ronda yang terletak tak jauh dari gerbang desa. Beberapa menit sekali, salah satu dari ketiganya akan menoleh ke arah jalan. 

Awan hitam sudah menumpuk di langit desa. Angin juga tak malu-malu lagi merangkak di kulit. Meski begitu, kopi yang terhidang belum sempat penghuni pos ronda jamah.  Pria-pria itu sama-sama diam.

“Kata istri saya, si Asep tidak mau keluar rumah sejak dia menemukan jasad Mbah Atim,” ucap Pak Yayat memulai obrolan.

“Pasti dia syok, Pak Yayat,” timpal Aep yang beberapa kali menelan ludah karena ingin mencicipi kopi. Ia merasa segan untuk menyeruputnya di saat seperti ini, apalagi kedua pria paruh baya di dekatnya tidak ada yang menyentuh minuman itu.

“Bagaimana kalau Ustaz Rojali tidak bisa bawa orang-orang pesantren ke desa?” tanya Pak Harun yang sejak tadi duduk di sudut pos ronda, “entah kenapa perasaan saya tidak enak sejak pagi tadi.”

“Sepertinya semua penduduk desa juga merasakan hal sama, Pak. Masalahnya orang yang meninggal adalah Mbah Atim yang misterius seperti kematiannya. Kita juga tidak tau ke depannya akan bagaimana,” balas Pak Yayat.

Aep akhirnya menyeruput habis kopinya. Meski masih sore, pria itu sudah berselimut sarung. “Lalu siapa yang akan jadi pengganti Mbah Atim, Pak?” tanyanya.

Pak Yayat menarik napas panjang. “Saya mah belum mikir ke sana, Ep.” Pria itu memandang langit-langit pos ronda yang dipenuhi sarang laba-laba. Hatinya terus gelisah semenjak mendengar kematian Mbah Atim.

Aep mundur ke sudut pos ronda. Ia menyandarkan punggung bersamaan dengan helaan napas beratnya. Sebenarnya, ia hanya ditunjuk untuk menggantikan tugas sang bapak yang sakit. Kalau saja bisa menolak, ia pasti memilih untuk tetap di rumah dibanding harus duduk dalam penantian dan ketakutan.

Sebagai seorang duda yang ditinggal mati oleh anak dan istrinya, Aep jatuh dalam kubangan kesedihan hampir berbulan-bulan, membuat hidupnya hambar hingga sekarang. Ia belum mau mencari pengganti sosok istri. Meski begitu, terkadang ia bermimpi berjumpa dengan keduanya.

Seperti sekarang, Aep mengucek mata berkali-kali untuk memastikan penglihatannya. Di seberang jalan, ia melihat istri dan anaknya tengah tersenyum dan melambaikan tangan. Berkali-kali pula Aep menggeleng hingga akhirnya sebuah senyum terbit dari bibir. Didekap rindu yang membuncah, pria itu segera turun dari pos ronda.

Saat hendak menyebrang jalan, perlahan bayangan anak istrinya memudar, berganti menjadi sosok pria tua yang kini jadi perbincangan seisi desa. Mbah Atim menatap dingin padanya. Aep dengan cepat mengalihkan pandangan. Tepat saat ia menoleh kembali, bayangan penjaga makam itu tiba-tiba menghilang.

Kunaon ari (kenapa) kamu, Aep?” tanya Pak Yayat sembari menarik Aep mundur.

“Istigfar kamu, Ep.” Pak Harun mengingatkan.

Aep menatap pria tua di sampingnya bergantian. Ia tersadar ketika bokongnya mendarat di pos ronda. Pria itu dengan cepat menggosok mata, berkali-kali melihat seberang jalan yang kini tampak kosong dari kehadiran manusia.

“Kenapa kamu tiba-tiba lari ke tengah jalan atuh?” Pak Yayat menggeleng, tak habis pikir.

“Untung kamu tidak ketabrak mobil, Ep,” susul Pak Harun.

Aep menunduk sesaat. Deru napasnya serasa berat. Entah mengapa badannya juga terasa pegal dan ingin muntah secara bersamaan. “Saya ... lihat Mbah Atim di depan jalan,” jawabnya dengan wajah pucat.

Pak Yayat dan Pak Harun saling melempar tatap. Tak ada lagi yang berbicara setelah itu sampai sebuah mobil menepi di depan pos ronda.

“Assalamualaikum,” sapa seseorang yang duduk di kursi depan, “kami santri dari pesantren di kabupaten.”

Ketiga pria penghuni pos ronda itu serempak menjawab salam. Timbul segaris senyum saat mendengar kata pesantren. Syukurlah Ustaz Rojali berhasil membawa bantuan. Ada sekitar enam orang santri di dalam mobil, termasuk yang menyapa barusan.

Tak berselang lama, ambulans memasuki gerbang desa. Para santri dan juga ketiga pria itu mengikuti dari belakang. Jenazah Mbah Atim segera diturunkan dari ambulans saat tiba di masjid Cimenyan. Di belakang masjid sudah disiapkan peralatan untuk memandikan jenazah.

Tanpa takut, para santri lantas membawa jenazah ke belakang.

Pak Yayat yang sejak tadi tak melihat Rojali memberanikan diri bertanya, “Punteun, Ustaz Rojali masih di mana?”

“Motornya mogok,” jawab pria yang menyapa di mobil tadi.

Pak Yayat buru-buru berkumpul bersama kumpulan pria yang berdiri agak jauh dengan masjid. Entah mengapa ia merasa ada kejanggalan dari para santri itu. Meski begitu, ia tak berani bicara lebih lanjut.

Pak Yayat mendadak menegang ketika menoleh ke belakang masjid. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang saat mengingat perkataan Aep tadi. Ia jadi ragu, apakah ia harus menceritakan kalau ia juga melihat bayangan Mbah Atim yang kini tengah mengawasi proses pemandian jenazahnya, atau justru menutup mulut agar tak bersuara? 

***

Hujan deras mengguyur Ciboeh sejak asar. Tak ada aktivitas yang tampak di sekitar kampung. Semua warga seolah kompak untuk tetap di rumah, mengunci pintu rapat-rapat. Biasanya, selepas waktu magrib, anak-anak akan ramai mengaji bersama Rojali di masjid. Bakda isya, sebagian warga akan berkunjung ke rumah tetangga yang memiliki televisi untuk menonton drama favorit.

Akan tetapi, malam ini terasa berbeda. Ciboeh laksana desa sunyi. Suara yang bisa didengar hanya suara ayam di bawah kolong rumah, nyanyian serangga yang bertengger di dahan pohon, pekik kodok sawah yang tengah berpesta dengan memakan anai-anai, juga suara penghuni rumah yang tengah berbisik-bisik.

Dari arah jembatan, Rojali tengah mengendarai sepeda motornya. Ia terpaksa menepi di pos ronda karena kendaraan itu tiba-tiba mogok. Helaan napasnya terdengar berat seiring dengan wajah yang tampak penat. Pakaiannya basah kuyup karena menerobos hujan.

Rojali memindai sekeliling, bermaksud meminta pertolongan. Beberapa kali ia menggosok tangan, lalu menempelkannya pada wajah. Ia kedinginan dengan kondisi perut kosong.

Rojali menyipit begitu melihat titik cahaya dari arah kampung. Dua buah kendaraan melewati tempatnya berteduh dengan kecepatan tinggi. Menyadari hal itu, Rojali tiba-tiba berdiri. Mobil polisi dan ambulans itu pasti baru saja mengantar jenazah Mbah Atim, pikirnya. Sayang, Rojali tak tahu kalau dua mobil tadi melaju tanpa sopir dan menghilang begitu melewati jembatan.

Menyadari hujan reda, Rojali segera menaiki motor kembali. Setelah percobaan beberapa kali, kendaraan roda dua itu kembali hidup. Sebelum ia melahap jalanan desa, ia sempat menoleh ke arah dua mobil tadi pergi. Syukurlah ia tak terlambat. Masih ada waktu hingga besok untuk menguburkan jenazah Mbah Atim. Lagi pula rekan-rekan santrinya masih dalam perjalanan.

Motor melintasi jalanan becek. Hati-hati sekali Rojali memacu kendaraan. Saat memasuki kampung Cigeutih, ia mendapati keheningan seperti saat pertengahan malam. Cimenyan ikut menyuguhkan pemandangan serupa. Tak ada aktivitas warga sejak ia memasuki jalanan kampung. Bahkan kucing yang seringkali ia lihat di teras masjid pun tak tampak.

Rojali memarkirkan motor di depan masjid. Tak ada tanda-tanda warga berkerumun. Saat mengecek belakang bangunan, peralatan pemandian jenazah masih di tempat semula. Bersamaan dengan motornya yang kembali melaju, sosok tanpa kepala yang mengamatinya sejak tadi tiba-tiba menghilang.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Nareswari Keniten
baru 2 bab uda ke kunci aja, mana dapetin koinnya ribet, musti bayar,, kalo gini kan jd males baca ya ngabisin duit ...
goodnovel comment avatar
W..A
duhh baru dua bab loh ini woy
goodnovel comment avatar
Yuyun Yuningsih
padahal kan biasa nya pihak rumah sakit bisa kok di minta buat mandiin jenazah. secara itubkan mayat setelah autopsi oleh pihak polisi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status