Share

Bab 2

Sinar matahari yang terang menyambut pagi Ivander. Tubuhnya luar biasa lelah. Ada beberapa tanda biru keunguan di sekitar bahu dan punggungnya akibat permainan yang dilakukan Areeya semalam. Tanda yang paling terlihat adalah garis keunguan samar yang melingkari leher.

Ivander hanya bisa mendesah berat melihat bercak-bercak itu.

Ruangan tersebut tampak lenggang. Tidak terlihat Areeya di sana. Wanita itu pulang lebih dulu. Bukan pertama kali Ivander ditinggalkan sendiri. Sudah berkali-kali malah, dan setiap kali itu pula selalu ada perasaan kosong dan terhina. Meski begitu, Ivander mencoba untuk tidak terlalu peduli karena perasaan seperti itu hanya akan menghambatnya.

Ivander membiarkan air shower membasahi tubuh kekarnya. Cukup lama ia hanya berdiam dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. Termasuk ingatan tentang kejadian semalam. Bulu kuduk Ivander seketika mencuat keluar. Hanya dengan mengingatnya saja ia merinding, dan perutnya luar biasa mual.

Seketika Ivander memuntahkan isi perutnya yang hanya air.

Sebenci itu lah Ivander dengan yang dilakukan Areeya semalam. Mungkin akan beda cerita kalau ia seorang masokis.

Setelahnya Ivander menggosok seluruh tubuhnya berkali-kali sampai memerah, seolah terdapat beribu kuman yang menempel. Hal ini menjadi kebiasaan Ivander setelah melayani ‘kliennya’. Ia merasa mandi satu kali saja tidak cukup. Minimal Ivander akan membasuh tubuhnya sebanyak lima kali. Entah itu kebiasaan baik atau buruk.

Setelah mandi dan bersiap, Ivander memilih naik ke lantai atas -ke area kolam renang dan gym. Dua kegiatan yang menjadi rutinitasnya sejak dulu. Selain untuk mempertahankan bentuk tubuh, gym dan renang mampu menjernihkan pikirannya.

“Ivander?”

Ivander tengah merenggangkan otot-ototnya ketika seorang wanita menghampirinya.

“Hai!”

“Ah, hallo.” Ivander membalas sopan sapaan Irene -salah satu wanita yang pernah menggunakan jasanya.

“Aku ngga nyangka bisa ketemu sama kamu di sini, Ivander.” Irene terlihat sangat senang. Matanya bahkan berbinar ketika tatapannya jatuh pada Ivander.

Ivander mengenal Irene dari Areeya. Bisa dibilang Areeya memang sengaja mengenalkan Irene padanya. Bukan hanya Irene saja. Ada beberapa wanita yang dikenalkan Areeya, dan akhirnya menjadi ‘klien’ tetapnya.

“Ya, aku juga ngga menyangka.” Ivander menampilkan senyum bisnisnya.

“Kamu sering ke sini?” tanya Irene antusias.

Tangan wanita itu mendarat di lengan atas Ivander. Sentuhan ringan penuh makna. Ivander tentu paham maksud dari sentuhan tersebut. Namun ia mengabaikannya.

“Hanya sesekali aja.” Ivander berbohong. Ia sebenarnya sering datang ke tempat itu. Terutama setelah menghabiskan malam dengan Areeya.

Ivander menepis lembut tangan Irene yang masih saja bergelayut manja. Senyum bisnis masih belum hilang dari wajahnya. Ia sebenarnya mulai kesal karena Irene menggaggu waktu me time-nya, tetapi menolak secara terang-terangan bukan pilihan yang bijak. Bagaimana pun, Irene adalah kliennya. Bagi Ivander satu klien saja sangat berharga karena mereka merupakan ladang uang baginya.

“Aku mau berenang.”

Tanpa menunggu jawaban Irene, Ivander masuk ke dalam kolam. Dinginnya air kolam langsung menyegarkan tubuh dan pikirannya yang penat. Ia berenang beberapa putaran lalu beristirahat sejenak di pinggir kolam.

“Ah, segarnya.” Ivander menyugar rambut di area keningnya ke belakang.

“Lebih segar dan menyenangkan kalau kita berenang bersama.”

Irene yang muncul tiba-tiba di sisinya mengagetkan Ivander. Wanita itu muncul seperti hantu. Ivander bahkan tidak sadar sama sekali. Ia pikir Irene tidak akan mengikutinya lagi setelah tadi ditolak secara halus. Sepertinya Irene tipe wanita yang pantang menyerah. Tipe yang sangat Ivander hindari, tetapi selalu saja dirinya bertemu dengan wanita seperti itu.

“Kamu mengagetkanku, Irene.”

“Benarkah? Tapi kamu ngga terlihat kaget sama sekali tuh.”

Ketika Irene sedikit menundukkan tubuhnya untuk masuk ke dalam kolam, kelembutannya yang padat dan besar terpampang di depan Ivander. Pikiran Ivander memerintahkan untuk segera mengalihkan pandangannya, tetapi tubuhnya tidak kuasa menolak. Ia malah memerhatikan pemandangan indah tersebut sampai akhirnya tertutup oleh air kolam.

“Kamu lihat apa?” Irene bertanya dengan nada menuduh. Namun matanya mengerling nakal.

Ivander yang ketahuan melihat hal yang tidak seharusnya berdehem canggung. “Maaf, aku ngga bermaksud … “ Ucapannya terhenti. Ivander bingung harus menjawab apa. Ia mengusap tengkuknya untuk mengurangi perasaan grogi.

“Ngga apa-apa. Aku ngga keberatan kalau kamu yang lihat. Kamu juga udah lihat aku pas telanjang bulat ‘kan?”

Bukannya marah, Irene justru semakin membusungkan dada ke arah Ivander. “Suka? Pria suka dengan yang besar dan padat ‘kan?” Dengan berani ia sedikit mengesampingkan atasan bikininya. Irene membiarkan Ivander melihat lebih jelas asetnya yang seperti akan tumpah.

Bagaimana pun Ivander seorang pria normal. Apalagi Irene sengaja meremas asetnya dibarengi desahan pelan yang mengundang. Pertahanan Ivander hampir saja runtuh. Namun ia berhasil menahan diri untuk tidak mengikuti insting liarnya. Ivander keluar dari kolam dengan sedikit terburu-buru. Ia segera mengambil pakaiannya dan masuk ke dalam ruang ganti.

“Sialan!” Umpatan Ivander lebih ditunjukkan untuk dirinya sendiri. Ia kesal dengan tubuhnya yang tidak bisa diajak bekerjasama. Mudah terpancing hanya karena rangsangan kecil.

Ivander meringis. Celana renangnya yang ketat semakin terasa sesak. Di bawah guyuran shower Ivander membiarkan tubuh panasnya agar lebih mendingin. Namun setelah sekitar 20 menit berlalu, ia masih saja merasakan panas yang tak tertahankan.

“Shit! Bagaimana bisa?” Ivander mengerang frustasi. Akhirnya ia memilih untuk menuntaskannya.

Kepala Ivander menengadah dan matanya tertutup rapat untuk meresapi yang ia lakukan. Ia bahkan lupa kalau saat ini tengah berada di tempat umum karena terlalu larut akan kenikmatan dunia. Tanpa sadar Ivander bahkan mengerang lumayan keras.

“Ivander?”

Suara lembut Irene menyentak Ivander. Sebelum menjawab panggilan Irene, ia mengatur napasnya yang memburu. Ivander sebenarnya cukup kesal karena kesenangannya diganggu, tetapi di satu sisi ia juga bersyukur Irene menghentikkan kegiatan gilanya.

Ivander berdehem pelan untuk menormalkan suaranya yang serak. “Ada apa, Irene? Kamu butuh sesuatu?”

“Tidak, tapi aku dengar kamu kaya kesakitan. Aku pikir mungkin terjadi sesuatu sama kamu. Makanya aku datangi karena khawatir.”

“Aku ngga apa-apa. Kamu ngga usah khawatir.”

“Buka dulu pintunya. Aku mau mastiin kamu baik-baik aja.”

Ivander bisa saja membuka pintunya, tetapi penampilannya saat ini sangat kacau dan kentara sekali kalau ia dalam keadaan sangat bergairah. Akhirnya Ivander memilih untuk mengabaikan Irene, dan kembali membiarkan tubuhnya diguyur shower.

Namun yang tidak disangka Ivander adalah Irene bisa membuka pintu ruang gantinya. Wajah cantik wanita itu tersenyum senang seolah berhasil mendapatkan jackpot. Sedangkan Ivander hanya bisa terbengong dengan wajah yang kentara sekali sedang kebingungan.

“Bagaimana kamu …. bisa buka pintunya?”

 “Pakai ini.” Irene memperlihatkan hairpin di tangan kanannya pada Ivander. Wajah wanita itu tidak terlihat bersalah sama sekali padahal yang dilakukannya termasuk tindakan kriminal, meski tindakan Ivander juga termasuk pelanggaran moral.

Alarm peringatan di kepala Ivander entah kenapa berbunyi keras. Tiba-tiba saja ia teringat perkataan yang pernah disampaikan Areeya saat mengenalkan Irene padanya dulu.

‘Irene punya sifat obsesif dan posesif yang berlebihan -terutama pada sesuatu yang sangat disukainya. Sebaiknya kamu sedikit berhati-hati dengannya. Dia pernah terkena kasus yang bisa membuat bulu romamu merinding, Ivander … ’

Ivander pikir ucapan Areeya itu hanya candaan untuk menakutinya saja karena wanita itu mengatakannya dengan wajah santai. Namun siapa sangka ternyata ucapan tersebut adalah nasihat baik untuknya. Ivander menyesal menganggapnya hanya sebagai angin lalu.

“Tapi itu ngga penting, yang di bawah sini lebih penting kan?” Remasan lembut di pangkal pahanya membuat Ivander tersentak lalu mendesis pelan.

Ivander mendorong bahu Irene dengan cukup kuat agar keluar dari ruang ganti. Namun baru satu langkah wanita itu terdorong, Ivander malah didorong balik dengan tenaga yang lebih besar. Reaksi motoriknya yang lambat membuat Ivander berakhir menubruk dinding.

Irene terkekeh lembut di telinga Ivander. Ia lalu berbisik dengan penuh percaya diri, “tertangkap! Asal kamu tahu, aku ini dulu atlet Taekwondo.” Kedua lengan Irene mengalung mesra di leher Ivander. Bibirnya mencium lembut bibir pria idamanannya tersebut.

Meski diserang dengan ganas, Ivander tidak membalas ciuman Irene. Ia memilih menunggu Irene lengah dan terbuai lalu berniat melepaskan diri saat ada kesempatan. Namun hal tersebut terpaksa ia urungkan ketika di balik pintu, pengawal Irene muncul, dan memberikan gestur seakan mengancamnya.

“Daripada melawan bukannya lebih mudah buat kamu nikmati ini?” Irene berbisik lembut di telinga Ivander.

Ivander tertawa kosong. “Kamu benar. Lebih mudah buat nikmati saat ini, tapi … apa kamu masih bisa bilang seperti itu kalau aku lakukan ini?” Tanpa peringatan Ivander menarik lepas bagian bawah bikini Irene.

Irene yang terlalu kaget hanya bisa terperangah sembari melingkarkan lengan ke leher Ivander ketika tubuhnya diangkat oleh pria itu. Ia pun memekik tertahan merasakan dirinya terisi sangat penuh.

Kekagetan Irene tidak berhenti sampai di situ.

Pintu bilik kamar mandi terbuka lebar dan Ivander membawa Irene keluar dari sana sembari menggaulinya dengan posisi koala.

“Kamu ngga penasaran? Kira-kira pengawalmu akan bereaksi seperti apa melihat majikan mereka dalam keadaan seperti ini?” Ivander dengan sengaja menekan pinggulnya agar semakin dalam menyentuh Irene.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status