"Maaf May, aku tidak dapat meneruskan rencana pernikahan kita, lebih baik kita akhiri saja," ucap lelaki muda berusia 27 tahunan yang berada tepat di depanku. Ia tidak berani menatap. Kami bertemu empat mata di salah satu cafe yang telah ia tentukan tempatnya.
Aku memaksakan senyum walau hati remuk bagai dipukul godam saat mendengar penuturan lelaki yang sudah melamarku dua bulan yang lalu.
"Kenapa? Apa karena Nirmala?" Sungguh berani kucetuskan nama seorang gadis cantik yang umurnya beda tiga tahun dibawahku.
"Ti--tidak, kenapa kamu bisa menduga begitu?" rutuknya tergagap.
Satu sudut bibirku tertarik ke atas. "Aku hanya menduga saja. Baik, kita akhiri hubungan ini daripada ada yang terluka," sahutku datar tanpa senyuman apalagi air mata. Cukup sudah dulu pernah menangisi hal semacam ini. Kali ini mentalku lebih siap.
Lelaki itu menatapku lekat, diam lalu menghela napas pelan seolah baru saja melepaskan sebuah beban yang berat.
***
"Tapi kenapa Nak Ibram? Kenapa memutuskan hubungan ini? Pernikahan kalian sudah di depan mata, tinggal sebulan, semuanya sedang dipersiapkan." Ayah bertanya dengan heran. Akhirnya ia mau datang setelah kuminta untuk mengatakan sendiri keputusannya membatalkan pernikahan.
"Maaf Pak, saya terlalu gegabah mengambil keputusan dengan mengiyakan perjodohan ini. Nyatanya sudah saya coba untuk mencintai anak Bapak," Ibram melirikku, "tetap tidak bisa," jawabnya dengan kepala tertunduk.
Ayahlah yang menjodohkanku dengan Ibram--anak temannya. Sejak gagal membina hubungan dengan yang sebelumnya, aku malas untuk memulai berhubungan lagi dengan lawan jenis. Kusibukkan diri untuk melupakan semua itu dengan aktif mengajar di salah satu sekolah negeri. Melihat hal ini Ayah berinisiatif mencarikanku jodoh.
"Maafkan kami Pak Wahyu, ini semua salah kami. Kami kira Ibram bisa pelan-pelan mencintai Maysarah, tapi ternyata malah menjadi beban untuknya, kami tidak ingin memaksa," timpal ibunya Ibram dengan wajah sendu.
"Baik kalau itu alasan kalian, asal setelah ini tidak ada niat kalian datang kembali ke sini untuk melamar anakku yang lain." Ucapan tegas Ayah mengejutkan keluarga Ibram.
Aku paham maksud Ayah. Dulu mantan calonku yang sebelumnya juga pernah begitu. Membatalkan perjodohan yang tinggal hitungan hari dengan alasan yang sama seperti yang Ibram sampaikan. Belum siap dan tidak cinta. Namun nyatanya, seminggu setelahnya lelaki itu datang kembali dengan tidak malu membawa lamaran kedua untuk Nirmala. Aku seperti Dejavu, masuk ke dimensi yang sama seperti sebelumnya.
"Maksudnya Pak?"tanya Bu Nilam--ibunya Ibram. "Tapi tidak ada salahnya kalau suatu hari nanti Ibram malah berjodoh dengan Nirmala, dia anak Pak Wahyu juga kan? Artinya sama saja, kita masih bisa besanan," sambungnya melanjutkan. Aku tersenyum getir mendengarnya. To the point nama itu akhirnya disebut.
"Maaf Yu, bagaimana kalau kita tukar saja pasangan Ibram. Sayang kalau semua persiapan pernikahan yang telah ada malah dibatalkan. Mumpung undangan belum disebar kita ganti nama calonnya. Ini semua karena kami salah orang, sebenarnya yang disukai Ibram itu Nirmala, bukan Maysarah. Saya rasa Nirmala juga menyukai Ibram." Ayah Ibram ikut bersuara tapi ucapannya langsung menusuk ke jantung. Dia blak-blakan mengatakan semua ini tanpa memikirkan perasaanku. Padahal sudah jelas mereka awalnya setuju anaknya dijodohkan denganku tapi sekarang ….
Raut wajah Ayah berubah tegang. Sorot mata tajam menatap ke tiga orang yang duduk di depannya dan kemudian beralih ke Nirmala. Adikku itu segera menggelengkan kepala isyarat membantah ucapan Om Jerry--ayahnya Ibram.
"Hampir dua bulan sejak lamaran itu kalian diam saja dan menerima semuanya. Lalu tanpa rasa bersalah datang dan bilang kami salah orang, kita batalkan perjodohan ini." Ayah menggelengkan kepala. Wajahnya menyiratkan kekecewaan. "Jer, kita ini bukan anak kecil yang bisa plin-plan berbicara, ini omongan orang dewasa, dan ini masalah besar menyangkut masa depan anakku," kilah Ayah dengan penekanan kata.
"Maaf, saya tidak setuju dan saya menolak ide gila kalian," imbuhnya melanjutkan.
"Yu, kami hanya memberikan solusi dan--"
"Pintu keluar ada di depan, apakah perlu diantar? Saya rasa tidak. Pulanglah Jer, bawa keluargamu. Saya rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan," sela Ayah menatap ke arah lain.
"Ayah." Ibu berseru dan disanggah cepat Ayah dengan mengangkat satu tangannya ke udara.
"Sombong sekali kamu mengusir kami seperti ini. Huh! Tidak sopan. Tentu saja kami lebih memilih anakmu yang Nirmala dibandingkan Maysarah. Ibunya--"
"Sudah Bu, kita pulang saja. Nggak perlu bicara panjang lebar menjelaskan. Kami pergi dan semoga putrimu itu tidak menjadi perawan tua."
Deg. Apakah tadi itu doa untukku?
Hening. Setelah kepergian keluarga Ibram suasana mendadak sepi. Ayah duduk dalam diam. Ibu dan Nirmala hanya saling tatap tidak berani berbicara. Begitupun diriku. "May masuklah ke kamarmu, akan Ayah carikan segera gantinya." Aku ingin membantah tapi tatapan tajamnya membuat bibirku kelu untuk bersuara.
***
"Sudah kubilang jangan perlihatkan Nirmala di hadapan calonnya May. Ini sudah kedua kalinya ia gagal ingin menikah, dan sebelum-sebelumnya juga begitu. Setiap melihat Nirmala, mereka lebih tertarik melamarnya dibanding Maysarah." Tidak sengaja kudengar suara Ayah sedang berbicara di dalam kamarnya. Aku yang ingin ke dapur mengurungkan niat dan terpaku di depan kamar mereka.
"Loh, apa salah anakku? Salahkan Tuhan yang menciptakan betapa sempurnanya wajah Nirmala," sanggah suara Ibu lebih tinggi.
Aku mendesah dan menyandarkan badan ke dinding. Mereka bertengkar lagi karena diriku.
"Kecilkan suaramu. Jangan sampai anak-anak kita dengar. Iya, maksudku bukan begitu, setidaknya tolong sembunyikan Nirmala dulu sampai May menikah. Aku hanya ingin melihat May menikah, baru hati ini merasa tenang," lirih Ayah berucap.
"Jangan tuduh anakku dibalik gagalnya May menikah. Mungkin saja dosa ibunyalah yang menyebabkan ini terjadi."
Lagi-lagi ibu sambungku itu menyalahkan almarhumah Bunda. Aku tak tahan mendengarnya, kuputuskan masuk kembali ke dalam kamar.
Dosa ibuku. Itulah yang sering ibunya Nirmala katakan. Entah benar ini karma atau hanya ujianMu saja, Tuhan.
***
"May, sini Nak!" Ayah memanggilku saat tiba di ambang pintu. Aku baru saja pulang dari mengajar.
Di dalam rumah ternyata ada tamu, seorang ibu paruh baya berkerudung cokelat. Ia tersenyum ke arahku. Siapa dia?
"Duduk sini, Nak," pinta Ayah. Di sampingnya juga ada Ibu yang duduk setia menemani.
"Ini Ibu Fatimah, dia ke sini ingin melamarmu untuk anaknya," jelas Ayah tersenyum semringah.
Aku menghela napas pelan. Lagi-lagi dijodohkan.
"Terserah Ayah. Kalau setuju, May ikut saja," ucapku berputus asa. Padahal baru seminggu yang lalu perjodohanku kandas, dan Ayah sudah bergerak cepat mencarikan gantinya.
"Hm … kira-kira kenapa Bu Fatimah mengajukan lamaran untuk anak saya?" Aku melirik Ayah? Maksudnya ini bukan Ayah yang carikan?
"Nak Maysarah mungkin lupa dengan saya, tapi saya tidak." Keningku mengerut mendengarnya.
"Saya Bu Fatimah, ibu yang pernah kamu selamatkan saat kecopetan di jalan. Kamu juga yang mengantarkan saya pulang karena saya masih syok waktu itu." Kerutan di dahiku bertambah mencoba mengingat.
Oh, ya. Baru ingat waktu itu karena menolong Ibu ini aku hampir gagal ikut ujian CPNS.
"Iya, Bu. Saya baru ingat. Maaf," ucapku dengan tersenyum tipis. Ya ampun itu kejadian hampir setengah tahun yang lalu, kok ibunya masih ingat?
"Lalu apa hubungannya ingin melamar Maysarah?" timpal Ibu.
"Saya ingin mencarikan istri untuk anak saya yang seperti Maysarah ini. Baik. Mau menolong orang asing tanpa pamrih. Entah kenapa hati saya tertuju padanya, saya tahu rumah Maysarah karena waktu itu sempat bertanya alamatnya, iya kan Nak?" Kuanggukkan kepala pelan. Iya mungkin, kejadiannya sudah lama dan aku hampir melupakannya.
"Maaf, anak Ibu sendiri gimana? Suka atau terpaksa? Kami tidak ingin ia memutuskan rencana pernikahan ini nantinya di detik terakhir." Bu Fatimah malah tersenyum.
"Dia pasti setuju. Anak saya menyerahkan masalah ini sama saya, dia orangnya penurut. Soal pekerjaan, Alhamdulillah hidup Maysarah bakal terjamin, hanya saja anak saya itu …."
Semua fokus ke Bu Fatimah. Menunggu lanjutan ucapannya. Ada apa dengan anaknya Bu Fatimah?
"Kenapa Bu Fatimah?" tanya Ibu tidak sabaran."Anak saya itu duda anak satu," lanjutnya. Ayah langsung melirikku, kuhela napas panjang tidak tahu harus menjawab apa. Semua keputusan kuserahkan ke Ayah. Kalaupun Ayah setuju, maka aku pun ikhlas menerima.Kalau boleh memilih, aku akan menolak. Bukan karena mendengar dia duda, tapi lebih ke rasa trauma yang belum hilang. Aku masih takut, masih terbayang kegagalan yang telah lalu. Lebih tidak tega melihat Ayah yang bersikeras mencarikanku calon suami."Kami boleh ketemu anak Ibu? Setidaknya kami ingin melihat dan menilai seperti apa dia. Saya rasa ini hal yang lumrah bukan?" Pertanyaan Ayah dianggukkan kepala oleh Bu Fatimah. "Orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, apalagi untuk pendamping hidup. Saya pun tidak dapat memutuskan sekarang, izinkan kami
"May!""Astagfirullah," lirihku berucap sembari mengelus dada. Linda.Ternyata Linda yang menepuk bahuku dari belakang. Bikin kaget saja."Eh, kamu kenapa May tegang begitu? Kayak habis lihat setan saja. Ini di siang bolong loh May, jangan bilang aku setannya." Linda memundurkan kursi di sebelahku untuk duduk."Nggak. Nggak kok. Aku kaget saja." Kutempelkan jari telunjuk ke bibir isyarat diam pada Linda. Temanku ini terlihat bingung dengan mengernyitkan keningnya."Ada a--""Kak May!" Aku dan Linda refleks menoleh ke asal suara. Nirmala, jadi benar dia orang yang ada di sebelah tempatku duduk, yang hanya dibatasi dengan dinding partisi kaca."Kakak ada di sini, sedang apa?" Nirmala bertanya
Sejak aku tahu kebusukan hati Nirmala, sejak saat itu pula aku berhenti bersikap baik padanya. Tak ada senyum hangat untuk sang adik durjana.Kurang apa aku padanya? Setiap apa yang diinginkannya, selalu kupenuhi. Setiap dia ada kesulitan juga selalu ku tolong. Bahkan boneka kesayangan dulu, ku ikhlaskan untuknya karena dia menginginkannya, padahal boneka itu satu-satunya kenangan dari almarhumah Bunda.***Aku mau boneka itu, Bu …!" Rengekan Nirmala tak berhenti, saat melihat boneka kecil Teddy bear kesayangan yang berada di pelukanku."Itu kecil sayang, nanti Ibu beli yang besar sekali, iya kan Ayah?" Bujuk Ibu dengan mengerlingkan mata ke arah Ayah. Lelaki--ku itu mengangguk."Nggak! Aku mau
Hari yang disebutkan Ayah, akhirnya tiba juga. Bu Fatimah akan datang bersama Samudra, anaknya. Lucunya Nirmala jatuh sakit tepat di hari ini. Bagiku dia hanya pura-pura saja agar tetap berada di rumah. Entah apa yang akan direncanakannya, aku sudah berpasrah diri kalau memang laki-laki yang bernama Samudra itu bukan jodohku. Mungkin Tuhan sedang mempersiapkan jodoh terbaikNya."Biarlah dia tetap di rumah. Ibu malah khawatir kalau dia harus diungsikan ke tempat lain. Lagian Ayah kan tahu, Nirmala ini kalau sakit, orangnya manja banget. Dikit-dikit Ibu." Ibu menatap Nirmala dengan penuh cinta. Diusapnya lembut rambut bergelombang Nirmala. Ia terbaring lemah di tempat tidur dengan berselimutkan sampai batas leher."Memang kamu sakit apa, Nir? Kok mendadak," tanyaku menyelidik."Ehm ... Nggak tahu, tiba-tiba n
"apa!" Ibu terkejut mendengar siapa jati diri Samudra sebenarnya. Begitu juga dengan kami yang berada di sini. Aku bahkan tidak tahu menahu siapa sosok calon suamiku ini."Kenalkan Pak, saya Nirmala, anak marketing. Baru masuk dan masih dalam masa percobaan enam bulan." Tangan Nirmala masih mengambang di udara menunggu sambutan dari Samudra.Lelaki yang sedang ditunggu sambutan tangannya ini melirikku sekilas, lalu, "Samudra," jawabnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada tanpa mengulurkan tangannya ke arah Nirmala. Aku kaget, apalagi melihat Bulan malah tertawa terkikik, melihat uluran tangan Nirmala yang tidak diterima ayahnya."Kayaknya Tante ini juga nggak tahu Nek, kalau bukan perempuan tidak boleh salaman," celoteh Bulan masih dengan tawa yang belum hilang. Aku sampai mengulum senyum saat Nirmala menarik tangannya dengan malu.&nbs
Aku mematut diri di cermin. Menatap bayangan sendiri. Kulepas kacamata yang sudah bertengger manis di pangkal hidung. Mengamati sebentar wajah ini tanpa kaca berbingkai dua tersebut, lalu memasangnya kembali.Perkataan Nirmala terngiang kembali di telinga. Apa hubungannya dengan kacamata ini? Aku hanya menggunakannya saat ke sekolah saja. Lagian ke sana buat ngajar, bukan buat narik perhatian kaum Adam. Heh! Saranmu tidak perlu keturuti. Gaya pakaian seharianku juga tidak kuno, apalagi ketinggalan jaman. Penampilanku masih modis. Lebih baik jadi diri sendiri. Tidak ingin juga jadi orang lain, apalagi jadi kamu, Nir.Kepalaku menoleh ke suara pintu yang berderit. Nirmala. Untuk apa lagi dia masuk ke kamarku sepagi ini? Apa gegara dia barusan muncul di benakku? Sepertinya aku harus memasang alarm di ponsel, sebagai pengingat untuk selalu mengunci pintu.
Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.***"Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda."Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang
Tidak mungkin Ken--pemuja rahasiaku itu. Kalau memang ia, kenapa bisa menyukaiku dan memberikan banyak hadiah, serta untaian kata suka. Apa bagusnya aku di mata anak bau kencur ini? Penampilanku saja kalah jauh dengan siswi cantik yang sering dekat dan mengejarnya.Lagipula kalau kutanyakan tentang secret admirer itu, kurasa dia tidak akan mengaku, atau bisa jadi bukan dia. Justru malah aku yang malu karena sudah menudingnya sebagai sang pemuja rahasia. Itu memalukan. Mau ditaruh dimana mukaku saat ngajar nanti.Bukan, pasti bukan dia. Anak tengil ini tidak mungkin menyukaiku apalagi sampai mengajak menikah."Ada apa Bu? Saya ganteng. Udah biasa, Bu. Jangan melihat saya seperti itu, saya malah tambah ganteng jadinya. Kan Bu May bisa lihat sendiri kalau banyak cewek pada ngejar saya." Ken memuji dirinya sendiri karena kutatap intens. Nyesel rasanya menatapnya be