"May!"
"Astagfirullah," lirihku berucap sembari mengelus dada. Linda.
Ternyata Linda yang menepuk bahuku dari belakang. Bikin kaget saja.
"Eh, kamu kenapa May tegang begitu? Kayak habis lihat setan saja. Ini di siang bolong loh May, jangan bilang aku setannya." Linda memundurkan kursi di sebelahku untuk duduk.
"Nggak. Nggak kok. Aku kaget saja." Kutempelkan jari telunjuk ke bibir isyarat diam pada Linda. Temanku ini terlihat bingung dengan mengernyitkan keningnya.
"Ada a--"
"Kak May!" Aku dan Linda refleks menoleh ke asal suara. Nirmala, jadi benar dia orang yang ada di sebelah tempatku duduk, yang hanya dibatasi dengan dinding partisi kaca.
"Kakak ada di sini, sedang apa?" Nirmala bertanya dengan gugup. Dari gaya bicaranya aku tahu dia pasti menduga kalau aku sudah mendengar semua percakapannya barusan.
"Kenapa? Memang tidak boleh ya aku ada di sini? Kamu sendiri ngapain ada di sini juga?" balasku bertanya padanya.
"Eh, anu … nggak kok Kak. Boleh, siapa yang larang," jawabnya cengengesan dengan menggaruk kepala.
"Nir, Kakak Lu ternyata a--" Nirmala ngegas menarik lengan temannya ke belakang badannya. Aku pun dapat menangkap ia memberi kode pada teman-temannya yang lain untuk diam. Mereka semua tampak salah tingkah terutama Nirmala. Diantara tiga temannya yang ada disini, dua diantaranya sering berkunjung ke rumah.
"Lin, yuk kita pergi. Kita cari tempat lain saja," ajakku dengan menarik tangan Linda tanpa memperdulikan Nirmala dan temannya.
"May memangnya ada apa? Itu tadi Nirmala--adikmu. Kok kamu kayak--"
"Hussstttt!" Isyaratku menyuruh Linda diam dengan memotong ucapannya. Tanganku masih menarik tangannya dengan kuat, memaksanya mengikutiku. Badan Linda sempoyongan kutarik paksa.
"Kak May!"
"Kak May tunggu!" Panggilan Nirmala tidak kugubris. Aku terus menarik Linda mengikuti langkah panjangku. Meninggalkan Nirmala yang masih berteriak, berusaha mengejar.
"May. May, kamu kenapa? Tuh, adikmu manggil!" Teguran Linda hanya angin lalu yang lewat begitu saja. Mataku tetap fokus menuju tempat parkiran kendaraan roda dua.
"Eh, salah. Tuh motorku sebelah sana. Tungguin aku, jangan ditinggal!" Linda berlari ke arah tempat motornya terparkir.
Aku yang sudah siap duduk dengan helm terpasang kuat di kepala segera menghidupkan starter motor melajukan kendaraan menembus jalan raya. Motor Linda mengikuti dari belakang. Sempat kulirik dari kaca spion, Nirmala yang tampak ngos-ngosan berhenti mengejarku dengan berkacak pinggang karena sudah lelah tak sanggup mengejar.
***
Kami sampai di sebuah cafe yang letaknya sekilo lebih jaraknya dari cafe yang pertama kudatangi. Cafe dimana awal aku tahu wajah asli adikku.
Rasanya sakit. Hati ini bagai diiris sembilu, luka tak terperih, saat tahu adik yang kuanggap seperti adik kandung sendiri, tega menusukku dari belakang, dan itu hanya didasari oleh rasa irinya pada kasih sayang ayah. Pantas semua laki-laki yang mendekat, selalu berpaling ke Nirmala. Awalnya aku berpikir positif karena Nirmala memang lebih cantik dariku, tapi makin ke depannya terasa janggal. Kenapa laki-laki yang ingin serius menikahiku membatalkan rencana pernikahan kami di detik terakhir hari H-nya. Kalau mereka memang lebih tertarik kepada Nirmala, kenapa tidak dari awal saja melamarnya, bukannya malah melamarku.
"Kamu kenapa sih, galau begitu? Bertengkar sama Nirmala. Soal laki-laki yang--"
"Bukan itu. Namun lebih parah," jawabku menyela perkataannya.
"Parah? Maksudnya?"
Kuhela napas panjang seakan sulit untuk mengatakannya. Kalimat kenapanya itu sulit tersampaikan ke Linda. Aku bingung, apa masalah keluarga ini harus kuungkapkan juga ke orang asing? Walaupun notabennya dia adalah sahabat sendiri. Aku takut salah menilai orang lagi.
"Kenapa May, cerita dong. Kamu selalu cerita ke aku dan aku selalu menjadi pendengar terbaikmu." Linda membujuk ingin tahu.
"Nanti ya, Lin. Kasih aku waktu. Aku tidak apa kok. Oh ya, kamu mengajak ke cafe tadi mau ngomong apa?" Kualihkan pembicaraan mengenai Nirmala. Senyum kuulas selebar mungkin biar Linda percaya.
"Nanti saja deh, mood kamu lagi nggak baik. Yang ada kamu akan menolak yang akan kuajukan nanti," timpalnya membuatku penasaran.
"Ih, apaan sih. Memangnya kamu mau mengajukan apa? Ada hubungannya dengan sekolah?" Aku dan Linda mengajar di satu sekolah. Kurasa apa yang ingin dibahas Linda berkaitan dengan sekolah.
"Bukan. Nantilah kalau mood kamu lagi baik, senang, baru kuajukan. Kamu nggak akan nyesal deh." Lagi omongan Linda membuat kerutan di dahi bertambah. Dia mengerlingkan matanya ke arahku.
"Terserah lah. Aku lagi nggak bisa mikir."
Kami pun membahas masalah lain. Yang Tidak ada kaitannya dengan kehidupanku. Linda bercerita tentang dirinya sendiri. Ada saja hal yang bisa dijadikannya cerita. Kali ini cerita lucu yang ia sodorkan. Aku tahu maksudnya Linda ingin menghibur, dan itu berhasil. Sepanjang cerita aku selalu tertawa dibuatnya.
"Kak, kita harus bicara!" Baeu pulang, belum sempat pintu kamar kubuka ada tangan yang mencengkram lenganku. Nirmala.
"Apa?" jawabku ketus. Seketus mungkin agar dia tahu aku sedang marah.
Nirmala celingukan. Mungkin ia takut didengar oleh ayah atau ibunya.
Didorongnya tubuh ini sampai masuk ke dalam kamar.
"Apaan sih Nir? Keluar! Aku tidak ingin bicara." Tunjukku mengarah ke pintu menyuruhnya keluar.
"Urusan kita belum selesai! Apa yang Kakak dengar di cafe itu tidak benar, cuma salah paham." Nirmala mencoba menjelaskan tapi aku takkan percaya.
"Salah pahamnya dimana?" Tantangku dengan melipat kedua tangan di dada.
"Itu, tadi itu cuma bercanda. Leli memang begitu, suka nanya nggak jelas dan aku tadi cuma asal ceplos, percayalah Kak," pintanya dengan wajah melas.
Sayang, sekarang aku tidak ingin tertipu lagi dengan wajah sok polosnya.
"Sudahlah Nir, aku sudah dengar semuanya. Dengan jelas. Telingaku nggak tuli. Jadi keluar sebelum aku teriak," ancamku masih dengan menunjuk pintu.
"Kak, please. Itu cuma salah paham. Jangan cerita ke ayah ataupun Ibu. Kalau Kakak mau, biar kubujuk Mas Ibram buat nikahi Kakak."
Aku tersenyum getir mendengar penjelasan Nirmala. Memangnya dia pikir aku apa? Tempat penampungan mantan kah? Mana mungkin aku menikah dengan lelaki yang sudah menolakku itu.
"Sudahlah keluar. Aku tidak ingin bicara apapun." Kudorong paksa tubuhnya keluar kamar.
"Oke aku keluar. Tidak perlu didorong begini!"
. "Kak, aku harap Kak May tidak mengadukan semua ini sama Ayah atau …." Kepalanya celingukan mengitari seisi ruangan. "Kakak akan menyesal!"
Hah! Mataku melebar mendengarnya. Dia yang bersalah, malah aku yang diancam.
Maaf, Nir. Aku tak takut!
Sejak aku tahu kebusukan hati Nirmala, sejak saat itu pula aku berhenti bersikap baik padanya. Tak ada senyum hangat untuk sang adik durjana.Kurang apa aku padanya? Setiap apa yang diinginkannya, selalu kupenuhi. Setiap dia ada kesulitan juga selalu ku tolong. Bahkan boneka kesayangan dulu, ku ikhlaskan untuknya karena dia menginginkannya, padahal boneka itu satu-satunya kenangan dari almarhumah Bunda.***Aku mau boneka itu, Bu …!" Rengekan Nirmala tak berhenti, saat melihat boneka kecil Teddy bear kesayangan yang berada di pelukanku."Itu kecil sayang, nanti Ibu beli yang besar sekali, iya kan Ayah?" Bujuk Ibu dengan mengerlingkan mata ke arah Ayah. Lelaki--ku itu mengangguk."Nggak! Aku mau
Hari yang disebutkan Ayah, akhirnya tiba juga. Bu Fatimah akan datang bersama Samudra, anaknya. Lucunya Nirmala jatuh sakit tepat di hari ini. Bagiku dia hanya pura-pura saja agar tetap berada di rumah. Entah apa yang akan direncanakannya, aku sudah berpasrah diri kalau memang laki-laki yang bernama Samudra itu bukan jodohku. Mungkin Tuhan sedang mempersiapkan jodoh terbaikNya."Biarlah dia tetap di rumah. Ibu malah khawatir kalau dia harus diungsikan ke tempat lain. Lagian Ayah kan tahu, Nirmala ini kalau sakit, orangnya manja banget. Dikit-dikit Ibu." Ibu menatap Nirmala dengan penuh cinta. Diusapnya lembut rambut bergelombang Nirmala. Ia terbaring lemah di tempat tidur dengan berselimutkan sampai batas leher."Memang kamu sakit apa, Nir? Kok mendadak," tanyaku menyelidik."Ehm ... Nggak tahu, tiba-tiba n
"apa!" Ibu terkejut mendengar siapa jati diri Samudra sebenarnya. Begitu juga dengan kami yang berada di sini. Aku bahkan tidak tahu menahu siapa sosok calon suamiku ini."Kenalkan Pak, saya Nirmala, anak marketing. Baru masuk dan masih dalam masa percobaan enam bulan." Tangan Nirmala masih mengambang di udara menunggu sambutan dari Samudra.Lelaki yang sedang ditunggu sambutan tangannya ini melirikku sekilas, lalu, "Samudra," jawabnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada tanpa mengulurkan tangannya ke arah Nirmala. Aku kaget, apalagi melihat Bulan malah tertawa terkikik, melihat uluran tangan Nirmala yang tidak diterima ayahnya."Kayaknya Tante ini juga nggak tahu Nek, kalau bukan perempuan tidak boleh salaman," celoteh Bulan masih dengan tawa yang belum hilang. Aku sampai mengulum senyum saat Nirmala menarik tangannya dengan malu.&nbs
Aku mematut diri di cermin. Menatap bayangan sendiri. Kulepas kacamata yang sudah bertengger manis di pangkal hidung. Mengamati sebentar wajah ini tanpa kaca berbingkai dua tersebut, lalu memasangnya kembali.Perkataan Nirmala terngiang kembali di telinga. Apa hubungannya dengan kacamata ini? Aku hanya menggunakannya saat ke sekolah saja. Lagian ke sana buat ngajar, bukan buat narik perhatian kaum Adam. Heh! Saranmu tidak perlu keturuti. Gaya pakaian seharianku juga tidak kuno, apalagi ketinggalan jaman. Penampilanku masih modis. Lebih baik jadi diri sendiri. Tidak ingin juga jadi orang lain, apalagi jadi kamu, Nir.Kepalaku menoleh ke suara pintu yang berderit. Nirmala. Untuk apa lagi dia masuk ke kamarku sepagi ini? Apa gegara dia barusan muncul di benakku? Sepertinya aku harus memasang alarm di ponsel, sebagai pengingat untuk selalu mengunci pintu.
Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.***"Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda."Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang
Tidak mungkin Ken--pemuja rahasiaku itu. Kalau memang ia, kenapa bisa menyukaiku dan memberikan banyak hadiah, serta untaian kata suka. Apa bagusnya aku di mata anak bau kencur ini? Penampilanku saja kalah jauh dengan siswi cantik yang sering dekat dan mengejarnya.Lagipula kalau kutanyakan tentang secret admirer itu, kurasa dia tidak akan mengaku, atau bisa jadi bukan dia. Justru malah aku yang malu karena sudah menudingnya sebagai sang pemuja rahasia. Itu memalukan. Mau ditaruh dimana mukaku saat ngajar nanti.Bukan, pasti bukan dia. Anak tengil ini tidak mungkin menyukaiku apalagi sampai mengajak menikah."Ada apa Bu? Saya ganteng. Udah biasa, Bu. Jangan melihat saya seperti itu, saya malah tambah ganteng jadinya. Kan Bu May bisa lihat sendiri kalau banyak cewek pada ngejar saya." Ken memuji dirinya sendiri karena kutatap intens. Nyesel rasanya menatapnya be
"Ken, Rio. Pulang ke rumah ya! Jangan keluyuran lagi dengan masih mengenakan seragam sekolah," perintahku pada dua anak didik yang salah satunya masih menatapku penuh tanya. Aku berlalu masuk ke dalam mobil duduk di samping Nirmala.Aku menatap lekat perempuan yang masih mengenakan pakaian kerja di sampingku ini."Bingung ya Kak, kenapa aku bisa berada di dalam mobil ini?" tanyanya sesuai dengan apa yang bersarang di benakku.Nirmala tersenyum sambil mendekatkan badannya lebih maju ke arahku."Pak Biru minta khusus aku buat nemani Kakak. Takut selera Kakak terlalu biasa atau rendahan." Nirmala tersenyum saat mengatakannya. Saat dia menekankan kata rendahan, aku tahu dia sedang mengejekku."Kenapa Kak? Masih tidak percaya?" Aku melengos dengan menatap ke depan."Atau perlu kuhubungi Pak Biru dan bilang calon istrinya t
Kami diajak ke lantai atas dengan ruangan yang terlihat lebih besar dibandingkan lantai bawah."Maysarah. Sini Nak, sudah ditunggu dari tadi." Bu Fatimah berseru memintaku menghampirinya yang duduk di sofa berbentuk huru L. Beliau tidak duduk sendiri. Ada lelaki berpakaian unik yang wajahnya pernah kulihat di tivi sebagai host sebuah reality show."Oh ini calon mantu Bu Fatimah. Cucok. Setengah bule, ye," ucap Desainer ternama yang tenar dengan nama Chandra Gunawan menatap ke arah Nirmala.Calon ibu mertuaku itu mengernyit. Sedang Nirmala tersenyum jumawa, besar kepala karena pasti yang ditebak sang desainer adalah dirinya."Maysarah ini, calon mantu saya. Tolong dandani dia dengan gaun pengantin yang sudah saya pesan tempo itu sama kamu," ujar Bu Fatimah merangkulku hangat menyanggah tebakan sang desainer."Eh maaf, salah orang ya. Eyke kira yang ono, dan