"apa!" Ibu terkejut mendengar siapa jati diri Samudra sebenarnya. Begitu juga dengan kami yang berada di sini. Aku bahkan tidak tahu menahu siapa sosok calon suamiku ini.
"Kenalkan Pak, saya Nirmala, anak marketing. Baru masuk dan masih dalam masa percobaan enam bulan." Tangan Nirmala masih mengambang di udara menunggu sambutan dari Samudra.
Lelaki yang sedang ditunggu sambutan tangannya ini melirikku sekilas, lalu, "Samudra," jawabnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada tanpa mengulurkan tangannya ke arah Nirmala. Aku kaget, apalagi melihat Bulan malah tertawa terkikik, melihat uluran tangan Nirmala yang tidak diterima ayahnya.
"Kayaknya Tante ini juga nggak tahu Nek, kalau bukan perempuan tidak boleh salaman," celoteh Bulan masih dengan tawa yang belum hilang. Aku sampai mengulum senyum saat Nirmala menarik tangannya dengan malu.
"Bulan. Jangan bicara kalau orang dewasa sedang ngomong, Sayang" tegur Bu Fatimah.
"Maaf, Nek, maaf Tante …." Bulan menatap Nirmala dengan lekat.
"Nirmala, Sayang. Panggil Mala juga boleh." Bulan hanya menganggukkan kepala.
"Maaf, kalau Bulan harus ikut ke dalam pembicaraan serius ini. Saya berat kalau harus meninggalkan Bulan di rumah dengan 'Mbaknya'. Kebetulan ini weekend dan Bulan libur sekolah. Makanya Bulan terpaksa ikut kami ke sini," ucap Bu Fatimah menjelaskan.
"Oh, nggak papa. Kami maklum, Bu," jawab Ayah.
"Ehm … maaf, tadi nama kamu Nirmala?" sela Samudra. Sepertinya ia penasaran.
Nirmala mengangguk cepat dengan senyum merekah saat ditanya Samudra.
"Begini. Maaf, urusan di bawah, biasanya bukan saya yang menangani. Jadi saya tidak terlalu mengenal siapa saja karyawan di kantor."
"Tapi, tetap saya ucapkan selamat bergabung di perusahaan Samudra group," sambungnya.
Nirmala tersenyum dan malah ikut duduk di samping ibunya.
"Tapi … saya kok tidak tahu kalau hari weekend begini harus ke kantor juga. Setahu saya, mau se-urgent apapun biasanya hari sebelumnya sudah dibereskan, bukan berlanjut di hari weekend. Kecuali ada kebijakan baru yang tidak saya ketahui."
Muka Nirmala seketika berubah pias. Dia seperti gelagapan buat menjawab pertanyaan Samudra.
"Itu, teman. Dia … mau li--bur besok, jadi minta laporan saya sekarang."
Kedua alis Samudra saling bertaut. "Teman? Oh … atas kepimpinan siapa?"
Mata Nirmala melebar, aku tahu Nirmala tidak menyangka bakal ditanya sedemikian detail oleh Samudra.
"Sam!" Pegangan tangan Bu Fatimah membuat Samudra terdiam.
"Nanti saja ya kita membahas itu." Samudra mengerjapkan mata dan mengangguk.
"Maaf, saya sampai lupa bukan berada di kantor," ucap Samudra. Padahal aku senang saat Samudra begitu serius menanyai Nirmala. Biar kebohongan Nirmala terbuka. Entah apa lagi yang akan dikatakannya mencari alasan.
"Tidak apa, saya senang dengan semangat Nak samudra. Itu bagus dan maaf kalau kami tidak tahu kalau kalian dari keluarga Samudra Group," ucap Ayah pada Bu Fatimah. Dapat kulihat Ayah tampak segan saat bicara.
"Iya, Bu. Kemarin Ibu Fatimah bilang kalau anaknya hanya karyawan biasa, bukan seorang CEO, kami kan jadi kaget," timpal Ibu Menambahkan.
Bu Fatimah tersenyum tipis sambil menepuk pelan bahu Samudra.
"Bagi seorang ibu, anaknya hanyalah seorang anak, mau jabatannya apa, iya kan?" Ayah mengangguk. Aku suka dengan jawaban Bu Fatimah. Benar, bagi orang tua, anak tetaplah anak, entah apa jabatannya dan bagaimana sikapnya.
"Saya tidak suka mengumbar jabatan atau pekerjaan Samudra. Kecuali kalian bertanya mendetail, baru saya beritahu. Kebanyakannya juga, orang tahu lebih dulu sebelum saya katakan."
Itu artinya, keluarga Bu Fatimah bukan orang biasa. Bukan orang sembarangan. Samudra group? Aku memang tidak tahu apapun tentang perusahaan itu. Yang kutahu itu perusahaan besar dan Nirmala berhasil masuk kerja di sana.
"Sepertinya kita harus saling mengenal lebih dalam lagi kalau seandainya jadi satu keluarga. Maaf juga di pertemuan pertama, saya tidak banyak bertanya. Saya pikir ada baiknya bertemu langsung dengan orangnya--Nak Samudra. Biar lebih tahu apa keinginan mereka." Ayah menatapku dan Samudra secara bergantian.
"Pak Wahyu benar. Mereka memang harus saling mengenal. Namun saya pastikan Samudra setuju dengan pilihan saya. Kalau dari pihak kami tidak ada masalah. Bulan juga suka kan sama Tante May?" Bulan yang ditanya menganggukkan kepala dengan seulas senyum manis. Bibirku ikut tertarik ke atas melihatnya. Anak ini benar-benar manis, tidak banyak tingkah. Dari tadi dia cuma duduk diam mendengarkan obrolan orang dewasa yang mungkin belum dimengerti penuh olehnya.
"Jadi tidak ada masalah kan kalau May menikah dengan Samudra?" Ayah melirikku lagi.
"May, gimana?" tanyanya.
"May, terserah Ayah saja. Kalau Ayah menyukai Samudra, maka--"
"Tunggu, jadi Pak Biru akan menikahi Kak May?" Nirmala ikut nimbrung.
"Nirmala, kamu masih di sini? Katanya mau kerja?" Hatiku bersorak gembira mendengar Ayah menegur Nirmala.
"Oh, iya. Yah. Mala lupa. Kalau gitu Nirmala pergi ya?" Aku sampai mengernyit mendengarnya. Kalau mau pergi ya pergi saja. Untuk apa bertanya. Apa dia minta dicegat?
"Pergilah Sayang, tapi sebentar saja jangan lama-lama. Ibu takut keadaanmu tambah parah." Aku tersenyum samar mendengar perkataan ibunya. Apa Ibu tidak tahu bukan kalimat itu yang diinginkan Nirmala.
"Iya, Bu. Mala cuma sebentar." Aku tahu Nirmala begitu berat untuk pergi, tampak dari sudut bibirnya yang melengkung ke bawah, ia juga menatap Samudra. Yang Kusuka, Samudra terlihat acuh. Dia sangat berbeda dari laki-laki lainnya yang pernah dekat denganku. Biasanya di pertemuan pertama, para lelaki itu selalu terpesona dengan Nirmala. Dari yang kuperhatikan, Samudra tidak begitu sering menatap ke arah Nirmala. Malah aku yang malu sering tertangkap basah suka mencuri pandang padanya. Entah apa yang ia pikirkan tentangku? Padahal aku hanya ingin tahu reaksinya saat bertemu Nirmala, itu saja, tidak lebih.
Dengan langkah gontai akhirnya Nirmala pergi juga.
"Maaf sampai lupa. Itu tadi namanya Nirmala, anak kami. Mungkin bingung melihat perbedaan May dan Mala. Kebetulan saya dan Ibu--" Ayah menatap Bu Denok. "Kami menikah dengan membawa anak masing-masing dari pernikahan sebelumnya. Sedangkan dari kami berdua, tidak ada."
"Iya, memang sangat berbeda. Saya tidak ingin bertanya, karena segan."
"Kok kita jadi nggak enakan ya." Ayah terkekeh, Bu Fatimah pun juga ikut tertawa kecil menimpali Ayah.
"Jadi bagaimana? Lamaran Samudra diterima kan?"
Ayah kembali melirikku. Hanya senyum tipis yang kuberikan. "Karena May menyerahkan keputusan di tangan saya, maka saya rasa tidak ada hal yang memberatkan saya untuk menolak lamaran Samudra. Iya kan Bu?" Ayah menoleh ke arah Ibu.
"Ya, saya setuju aja. Biar Ayah tenang, nggak suka marah-marah lagi karena--"
"Bu …!" tegur Ayah.
"Eh, iya. Terserah Ayah saja. Ibu manut sama seperti May." Ibu nampak mengontrol ucapannya.
"Alhamdulillah … kalau begitu. Nanti kita bicarakan lagi bagaimana kedepannya." Bu Fatimah tersenyum ke arahku.
"Hore! Bulan jadi punya bunda ya Nek?" Bu Fatimah mengangguk. Namun berbeda dengan Samudra. Sedari tadi sikapnya masih sama, datar saja. Senyum pun tidak. Bahkan dari awal bertemu, dia tidak pernah tersenyum sama sekali.
Dia sebenarnya setuju atau terpaksa setuju, demi memenuhi keinginan ibunya? Yang terlihat sangat antusias hanya Bu Fatimah--ibunya. Tidak Samudra. Kalau memang seperti itu, pernikahan seperti apa yang akan kujalani nantinya?
Aku mematut diri di cermin. Menatap bayangan sendiri. Kulepas kacamata yang sudah bertengger manis di pangkal hidung. Mengamati sebentar wajah ini tanpa kaca berbingkai dua tersebut, lalu memasangnya kembali.Perkataan Nirmala terngiang kembali di telinga. Apa hubungannya dengan kacamata ini? Aku hanya menggunakannya saat ke sekolah saja. Lagian ke sana buat ngajar, bukan buat narik perhatian kaum Adam. Heh! Saranmu tidak perlu keturuti. Gaya pakaian seharianku juga tidak kuno, apalagi ketinggalan jaman. Penampilanku masih modis. Lebih baik jadi diri sendiri. Tidak ingin juga jadi orang lain, apalagi jadi kamu, Nir.Kepalaku menoleh ke suara pintu yang berderit. Nirmala. Untuk apa lagi dia masuk ke kamarku sepagi ini? Apa gegara dia barusan muncul di benakku? Sepertinya aku harus memasang alarm di ponsel, sebagai pengingat untuk selalu mengunci pintu.
Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.***"Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda."Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang
Tidak mungkin Ken--pemuja rahasiaku itu. Kalau memang ia, kenapa bisa menyukaiku dan memberikan banyak hadiah, serta untaian kata suka. Apa bagusnya aku di mata anak bau kencur ini? Penampilanku saja kalah jauh dengan siswi cantik yang sering dekat dan mengejarnya.Lagipula kalau kutanyakan tentang secret admirer itu, kurasa dia tidak akan mengaku, atau bisa jadi bukan dia. Justru malah aku yang malu karena sudah menudingnya sebagai sang pemuja rahasia. Itu memalukan. Mau ditaruh dimana mukaku saat ngajar nanti.Bukan, pasti bukan dia. Anak tengil ini tidak mungkin menyukaiku apalagi sampai mengajak menikah."Ada apa Bu? Saya ganteng. Udah biasa, Bu. Jangan melihat saya seperti itu, saya malah tambah ganteng jadinya. Kan Bu May bisa lihat sendiri kalau banyak cewek pada ngejar saya." Ken memuji dirinya sendiri karena kutatap intens. Nyesel rasanya menatapnya be
"Ken, Rio. Pulang ke rumah ya! Jangan keluyuran lagi dengan masih mengenakan seragam sekolah," perintahku pada dua anak didik yang salah satunya masih menatapku penuh tanya. Aku berlalu masuk ke dalam mobil duduk di samping Nirmala.Aku menatap lekat perempuan yang masih mengenakan pakaian kerja di sampingku ini."Bingung ya Kak, kenapa aku bisa berada di dalam mobil ini?" tanyanya sesuai dengan apa yang bersarang di benakku.Nirmala tersenyum sambil mendekatkan badannya lebih maju ke arahku."Pak Biru minta khusus aku buat nemani Kakak. Takut selera Kakak terlalu biasa atau rendahan." Nirmala tersenyum saat mengatakannya. Saat dia menekankan kata rendahan, aku tahu dia sedang mengejekku."Kenapa Kak? Masih tidak percaya?" Aku melengos dengan menatap ke depan."Atau perlu kuhubungi Pak Biru dan bilang calon istrinya t
Kami diajak ke lantai atas dengan ruangan yang terlihat lebih besar dibandingkan lantai bawah."Maysarah. Sini Nak, sudah ditunggu dari tadi." Bu Fatimah berseru memintaku menghampirinya yang duduk di sofa berbentuk huru L. Beliau tidak duduk sendiri. Ada lelaki berpakaian unik yang wajahnya pernah kulihat di tivi sebagai host sebuah reality show."Oh ini calon mantu Bu Fatimah. Cucok. Setengah bule, ye," ucap Desainer ternama yang tenar dengan nama Chandra Gunawan menatap ke arah Nirmala.Calon ibu mertuaku itu mengernyit. Sedang Nirmala tersenyum jumawa, besar kepala karena pasti yang ditebak sang desainer adalah dirinya."Maysarah ini, calon mantu saya. Tolong dandani dia dengan gaun pengantin yang sudah saya pesan tempo itu sama kamu," ujar Bu Fatimah merangkulku hangat menyanggah tebakan sang desainer."Eh maaf, salah orang ya. Eyke kira yang ono, dan
Plak!Aku sampai terdorong saat Ibu memberikan sebuah tamparan di pipi. Kaget, baru saja tiba di rumah dan masuk ke dalam ruang tamu, tiba-tiba Ibu datang dan langsung menamparku begitu saja.Sakit. Perih dan panas masih terasa bekasnya menjalar di pipi ini. Ada apa dengannya? Kenapa bisa Semarah itu padaku?"Gimana? Sakit kan? Seperti itulah rasa sakit yang dirasakan oleh Mala, May." Masih dengan wajah merah padam dan napas memburu, Ibu mengatakan semua itu padaku. Jujur, aku tidak paham dengan apa yang dimaksud olehnya."Apa maksud Ibu?" tanyaku masih dengan mengusap bekas tamparan kerasnya. Aku terduduk di kursi tamu. Menatap dengan tajam ke arah Nirmala yang tersenyum samar di hadapanku."Pake nanya lagi! Ngapain kamu ajak adikmu ke butik dengan alasan minta temenin? Hah! Kalau ujung-u
"Tinggal menghitung hari. Ayah sudah menyebar undangan untuk keluarga terdekat, jauh hari sebelumnya. Ayah sangat bersemangat. Nggak sabar menunggu hari H-nya." Ayah tampak antusias saat berkata. Senyum semringah selalu menghiasi bibir tebalnya."Nah, sisanya tinggal tetangga dekat dan lingkaran pertemanan kita. Terutama kamu May. Kartu undangan bisa kamu bagikan buat teman-teman di sekolahmu. Apa kamu sudah cerita?""Belum Yah. Mungkin hari ini," jawabku penuh kebimbangan takut pernikahan ini batal lagi."Bismillah, May. Kalau memang Samudra jodohmu, insyaAllah bakal dilancarkan Allah, jalan kalian. Percayalah. Jangan lupa berdoa." Ternyata Ayah memperhatikan raut wajahku. Ia mencoba menenangkanku"Iya, Yah. InsyaAllah." ucapku disertai anggukkan kepala.***&nb
Aku ingin berlari mengejar langkah Ken, tapi tidak jadi karena ada security yang memandangku sedari tadi. Di seberangku berdiri juga ada segerombolan anak yang masih berada di halaman sekolah, entah apa yang mereka tunggu hanya ngobrol saja tampaknya. Saat memanggil Ken, mereka ikut menatap ke arahku, karena tidak ingin membuat mereka berpikir yang tidak-tidak, maka kuputuskan kembali ke parkiran. Setelah mengambil motor, segera kulajukan kendaraan beroda dua tersebut meninggalkan halaman sekolah.Aku tidak langsung pulang, tapi mampir sebentar ke sebuah kedai bakso yang tidak jauh dari sekolah. Lapar, aku belum makan siang. Sekalian ada yang ingin kupastikan terlebih dulu daripada menduga-duga dan tidak tenang di jalan.Kado dari Ken. Aku kepikiran dengan kado yang sering kudapatkan di kolong laci meja guru. Kenapa sama persis modelnya seperti yang diberikan Ken. Apa jangan-jangan &helli