Aku mematut diri di cermin. Menatap bayangan sendiri. Kulepas kacamata yang sudah bertengger manis di pangkal hidung. Mengamati sebentar wajah ini tanpa kaca berbingkai dua tersebut, lalu memasangnya kembali.
Perkataan Nirmala terngiang kembali di telinga. Apa hubungannya dengan kacamata ini? Aku hanya menggunakannya saat ke sekolah saja. Lagian ke sana buat ngajar, bukan buat narik perhatian kaum Adam. Heh! Saranmu tidak perlu keturuti. Gaya pakaian seharianku juga tidak kuno, apalagi ketinggalan jaman. Penampilanku masih modis. Lebih baik jadi diri sendiri. Tidak ingin juga jadi orang lain, apalagi jadi kamu, Nir.
Kepalaku menoleh ke suara pintu yang berderit. Nirmala. Untuk apa lagi dia masuk ke kamarku sepagi ini? Apa gegara dia barusan muncul di benakku? Sepertinya aku harus memasang alarm di ponsel, sebagai pengingat untuk selalu mengunci pintu.
Kuperhatikan wajahnya sembab. Di tangannya ada lembaran tisu yang sudah lecek dan basah. Aku bergidik sendiri melihat rupanya. Mungkin itu digunakan untuk menyeka antara mata atau hidung, karena kedua indra tersebut tampak merah dan berair.
"Kamu bisa tidak, ketuk pintu dulu sebelum masuk?" Setelah melihatnya sekilas, kembali fokusku ke depan cermin.
"Salah sendiri nggak pernah ngunci?" Alisku bertaut mendengar ucapannya. Selalu aku yang salah. Ia berjalan sampai depan ranjang dan duduk di atasnya.
"Kamu tidak kerja?" Aku bertanya kembali setelah dia hanya sibuk dengan tisu yang ada di tangannya.
"Izin nggak masuk." Ia menjawab sangat ketus. Aku berpaling menghadapnya.
"Ada apa?" Mungkin dengan menanyakan maksud kedatangannya, Nirmala akan segera pergi.
"Kak May yakin mau nikah sama Pak Biru?"
"Biru?" Aku membeo ucapannya.
"Pak Biru Samudra," jawabnya kesal. Kukulum senyum melihatnya merengut. Padahal sengaja bertanya seolah tidak tahu siapa itu Biru.
Nama yang unik. Biru Samudra. Nama anaknya Bulan. Penasaran siapa nama mantan istrinya yang telah tiada itu, seunik nama mereka kah? Jauh sekali bila disandingkan denganku--Maysarah.
"Kak!"
"Kak May!"
Kuhembuskan napas kasar. "Apa?" sahutku. Tadi sempat melamun memikirkan nama si Biru.
"Kakak beneran mau nikah sama Pak Biru?" Diulangnya lagi pertanyaan tadi.
"Memang kenapa?" Kucoba tidak menatapnya dan berpura sibuk.
"Batalkan saja Kak, Pak Biru itu nggak pantas buat Kakak."
"Oh ya? Terus yang pantas siapa, Kamu?" Satu alisku terangkat.
"Eh, nggak Kak. Maksud Mala, Pak Biru itu kan duda, punya anak satu lagi. Masa Kakak mau nikah sama lelaki seperti itu. Kakak kan gadis, masa' dapat duda?"
Aku tersenyum getir mendengarnya. Memangnya ia kira aku bodoh, sampai tidak tahu kalau ia sangat menginginkan Samudra. Pembicaraannya dengan ibunya kemarin malam kudengar jelas. Mata bengkak itu menjadi bukti nyatanya.
***
"Ayolah Bu, bujuk Ayah biar batalkan rencana pernikahan Kak May dengan Pak Biru." Entah ini keberuntungan atau memang jalan Tuhan, aku selalu mendengar hal tidak terduga seperti ini. Saat ingin pergi ke arah dapur, tidak sengaja mendengar pembicaraan Nirmala dengan ibunya. Kumundurkan dua langkah ke belakang, dan mendekatkan Indra pendengaran sampai menyentuh daun pintu kamar Nirmala.
"Pak Biru? Siapa?"
"Aduh Ibu, itu Pak Samudra. Di kantor ia dipanggil Pak Biru." Nirmala mencoba menjelaskan siapa Pak Biru yang dimaksud.
"Oh, memang kenapa?"
"Ibu pake nanya lagi. Coba Ibu bandingkan Kak May dengan Pak Biru, mereka itu beda jauh. Cocoknya kan sama Mala, Bu." Kugelengkan kepala saat mendengar kalimat ini.
"Sudahlah, mau gimana lagi. Ayahmu yang punya kuasa. Lagipula dia itu duda, Mala. Memang kamu mau sama dia. Udah gitu, ada anak satu. Umurmu masih muda. Pantasnya cari yang masih single, dan belum nikah."
"Nggak mau. Pokoknya Mala pengennya Pak Biru yang jadi suami Mala. Ibu juga kemarin kenapa nggak cerita jelas siapa calon Kak May. Cuma nyebut namanya doang, Samudra."
"Lah, memang ibunya bilang namanya cuma Samudra, nggak nyebut lengkap. Mana Ibu tahu." Terdengar Ibu mengelak tidak mau disalahkan Nirmala. Dasar anak keras kepala, ingin maunya sendiri.
"Kenapa nggak dikorek lebih dalam siapa Samudera itu. Terus, Ibu juga cuma bilang orangnya biasa aja."
"Hussstttt! Kecilkan suaramu. Nanti ada yang dengar."
"Habisnya Ibu ngasih info nggak lengkap, cuma setengah, itu pun nggak nyampe. Apalagi soal foto itu."
"Astaga, Mala. Namanya juga lihat dari foto, bisa saja kan dia pake apa itu namanya, filter itu ya. Biar wajah kelihatan cakep, putih, mulus. Makanya Ibu bilang biasa aja." Aku sampai menutup mulut dengan tangan, buat meredam bunyi ketawaku mendengar penjelasan Ibu. Lucu juga kalau dua beranak ini berdebat. Yang menang tentu saja si anak karena dia selalu diutamakan. Anak kesayangan. Terkadang melihat keakraban mereka membuatku merindukan almarhumah Bunda.
"Sudahlah, kamu cari yang lain aja. Masih banyak kok cowok ganteng yang lebih dari Samudera ini. Yang penting bukan duda."
"Ih, nggak mau. Ibu tahu tidak. Pak Biru itu incaran banyak wanita di kantor Mala. Dari yang kelas teri sampai kelas kakap. Kalau Mala bisa mendapatkan Pak Biru, maka bakal naik derajat Mala."
"Hah? Teri? Kakap? Itu kantor apa pasar ikan?" Kocak, aku sampai menahan napas biar nggak ketawa. Ibu benar, aku malah meragukan Nirmala kerja dimana? Beneran kantoran apa pasar?
"Ibu …! Mala serius. Maksudnya dari tingkat bawah kayak Mala, sampai tingkat eksekutif. Malahan saingan terberat Mala itu Bu Hanin."
Bu Hanin? Siapa? Aku ikut bertanya walau dalam hati.
"Segitunya ya Samudra itu? Iya emang ganteng sih. Sayang duda."
"Astaga …! Ibu buka mata selebar-lebarnya. Jangan lihat dudanya, tapi lihat sosok Pak Biru baik-baik. Sudah ganteng, kaya, eksekutif muda, dan CEO lagi. Terus Ibu lihat lebih dekat, asal Ibu tahu, Pak Biru itu kalau lewat di divisi Mala, semua cewek meleleh. Gayanya memang cool, justru itu yang bikin kami kesemsem."
Oh, gitu. Baru tahu pesona Samudra segitunya. Hm … artinya aku beruntung bisa menikah dengan lelaki seperti yang disebutkan Nirmala. Cool? Dingin? Iya sih, sikapnya memang dingin, datar atau kaku. Tidak ada senyum sedikitpun. Apa ke semua cewek juga begitu?
Astaga! Hampir saja. Untung vas bunga yang terletak di antara kamarku dengan kamar Nirmala tidak terjatuh akibat kesenggol pinggulku. Aku terkaget saat mendengar rengekan diikuti suara tangisannya. Begitulah Nirmala, dia mulai menunjukkan kekuatannya dengan cara menangis. Merengek paksa biar keinginannya tercapai.
Sudahlah. Cukup mendengarkan pembicaraan yang berujung tangisan Nirmala. Lebih baik aku fokus ke diriku sendiri. Siapkah aku menjadi nyonya Biru Samudera?
***
"Kak, Kak May!"
"Apalagi?" Aku sudah bersiap dengan tas tersampir di bahu.
"Tolong bilangin Ayah buat batalin rencana pernikahan Kak May dengan Pak Biru."
"Oh, itu. Minta sendiri sama Ayah. Kan kamu yang mau," jawabku sekenanya.
"Nggak mungkin Kak. Kan keputusan di tangan Kak May. Kalau Kak May menolak, maka Ayah pasti akan membatalkan perjodohan kalian." Nirmala masih ngotot memintaku membatalkan perjodohan dengan Samudera.
"Sudahlah Nir, aku mau berangkat ngajar dulu. Cus, pergi!"Kukibaskan tangan ke arahnya. Nirmala mencebik kesal. Ia melangkah keluar kamar dengan menghentakkan kaki.
Ckckckkk! Merajuk.
Maaf, Nir. Kali ini aku tidak mau menuruti kemauanmu. Tidak akan. Kecuali … Samuderanya sendiri yang menginginkannya.
Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.***"Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda."Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang
Tidak mungkin Ken--pemuja rahasiaku itu. Kalau memang ia, kenapa bisa menyukaiku dan memberikan banyak hadiah, serta untaian kata suka. Apa bagusnya aku di mata anak bau kencur ini? Penampilanku saja kalah jauh dengan siswi cantik yang sering dekat dan mengejarnya.Lagipula kalau kutanyakan tentang secret admirer itu, kurasa dia tidak akan mengaku, atau bisa jadi bukan dia. Justru malah aku yang malu karena sudah menudingnya sebagai sang pemuja rahasia. Itu memalukan. Mau ditaruh dimana mukaku saat ngajar nanti.Bukan, pasti bukan dia. Anak tengil ini tidak mungkin menyukaiku apalagi sampai mengajak menikah."Ada apa Bu? Saya ganteng. Udah biasa, Bu. Jangan melihat saya seperti itu, saya malah tambah ganteng jadinya. Kan Bu May bisa lihat sendiri kalau banyak cewek pada ngejar saya." Ken memuji dirinya sendiri karena kutatap intens. Nyesel rasanya menatapnya be
"Ken, Rio. Pulang ke rumah ya! Jangan keluyuran lagi dengan masih mengenakan seragam sekolah," perintahku pada dua anak didik yang salah satunya masih menatapku penuh tanya. Aku berlalu masuk ke dalam mobil duduk di samping Nirmala.Aku menatap lekat perempuan yang masih mengenakan pakaian kerja di sampingku ini."Bingung ya Kak, kenapa aku bisa berada di dalam mobil ini?" tanyanya sesuai dengan apa yang bersarang di benakku.Nirmala tersenyum sambil mendekatkan badannya lebih maju ke arahku."Pak Biru minta khusus aku buat nemani Kakak. Takut selera Kakak terlalu biasa atau rendahan." Nirmala tersenyum saat mengatakannya. Saat dia menekankan kata rendahan, aku tahu dia sedang mengejekku."Kenapa Kak? Masih tidak percaya?" Aku melengos dengan menatap ke depan."Atau perlu kuhubungi Pak Biru dan bilang calon istrinya t
Kami diajak ke lantai atas dengan ruangan yang terlihat lebih besar dibandingkan lantai bawah."Maysarah. Sini Nak, sudah ditunggu dari tadi." Bu Fatimah berseru memintaku menghampirinya yang duduk di sofa berbentuk huru L. Beliau tidak duduk sendiri. Ada lelaki berpakaian unik yang wajahnya pernah kulihat di tivi sebagai host sebuah reality show."Oh ini calon mantu Bu Fatimah. Cucok. Setengah bule, ye," ucap Desainer ternama yang tenar dengan nama Chandra Gunawan menatap ke arah Nirmala.Calon ibu mertuaku itu mengernyit. Sedang Nirmala tersenyum jumawa, besar kepala karena pasti yang ditebak sang desainer adalah dirinya."Maysarah ini, calon mantu saya. Tolong dandani dia dengan gaun pengantin yang sudah saya pesan tempo itu sama kamu," ujar Bu Fatimah merangkulku hangat menyanggah tebakan sang desainer."Eh maaf, salah orang ya. Eyke kira yang ono, dan
Plak!Aku sampai terdorong saat Ibu memberikan sebuah tamparan di pipi. Kaget, baru saja tiba di rumah dan masuk ke dalam ruang tamu, tiba-tiba Ibu datang dan langsung menamparku begitu saja.Sakit. Perih dan panas masih terasa bekasnya menjalar di pipi ini. Ada apa dengannya? Kenapa bisa Semarah itu padaku?"Gimana? Sakit kan? Seperti itulah rasa sakit yang dirasakan oleh Mala, May." Masih dengan wajah merah padam dan napas memburu, Ibu mengatakan semua itu padaku. Jujur, aku tidak paham dengan apa yang dimaksud olehnya."Apa maksud Ibu?" tanyaku masih dengan mengusap bekas tamparan kerasnya. Aku terduduk di kursi tamu. Menatap dengan tajam ke arah Nirmala yang tersenyum samar di hadapanku."Pake nanya lagi! Ngapain kamu ajak adikmu ke butik dengan alasan minta temenin? Hah! Kalau ujung-u
"Tinggal menghitung hari. Ayah sudah menyebar undangan untuk keluarga terdekat, jauh hari sebelumnya. Ayah sangat bersemangat. Nggak sabar menunggu hari H-nya." Ayah tampak antusias saat berkata. Senyum semringah selalu menghiasi bibir tebalnya."Nah, sisanya tinggal tetangga dekat dan lingkaran pertemanan kita. Terutama kamu May. Kartu undangan bisa kamu bagikan buat teman-teman di sekolahmu. Apa kamu sudah cerita?""Belum Yah. Mungkin hari ini," jawabku penuh kebimbangan takut pernikahan ini batal lagi."Bismillah, May. Kalau memang Samudra jodohmu, insyaAllah bakal dilancarkan Allah, jalan kalian. Percayalah. Jangan lupa berdoa." Ternyata Ayah memperhatikan raut wajahku. Ia mencoba menenangkanku"Iya, Yah. InsyaAllah." ucapku disertai anggukkan kepala.***&nb
Aku ingin berlari mengejar langkah Ken, tapi tidak jadi karena ada security yang memandangku sedari tadi. Di seberangku berdiri juga ada segerombolan anak yang masih berada di halaman sekolah, entah apa yang mereka tunggu hanya ngobrol saja tampaknya. Saat memanggil Ken, mereka ikut menatap ke arahku, karena tidak ingin membuat mereka berpikir yang tidak-tidak, maka kuputuskan kembali ke parkiran. Setelah mengambil motor, segera kulajukan kendaraan beroda dua tersebut meninggalkan halaman sekolah.Aku tidak langsung pulang, tapi mampir sebentar ke sebuah kedai bakso yang tidak jauh dari sekolah. Lapar, aku belum makan siang. Sekalian ada yang ingin kupastikan terlebih dulu daripada menduga-duga dan tidak tenang di jalan.Kado dari Ken. Aku kepikiran dengan kado yang sering kudapatkan di kolong laci meja guru. Kenapa sama persis modelnya seperti yang diberikan Ken. Apa jangan-jangan &helli
Kuhapus cepat air mata yang membasahi pipi. Penglihatanku mengabur akibat menangisi peristiwa lampau. Kupelankan laju kendaraan takut kenapa-napa di jalan. Kembalinya Bara malah membuka kenangan buruk waktu itu. Potongan pembicaraan terakhir kami terlintas kembali di benakku. Rasa sakit itu muncul lagi. Luka yang ia torehkan masih terasa sampai hari ini. Lalu dengan mudahnya dia bilang tadi minta maaf, menyesal, telat Bar. Luka itu masih menganga dan belum sembuh. Jadi jangan harap hatiku terbuka untuk memberikan kata maaf itu padamu."May, kemari! Ayah ingin bicara." Aku yang baru sampai rumah dikejutkan oleh suara Ayah yang duduk di ruang tamu. Entah kenapa, dari nada bicaranya terdengar marah."Duduk!" titahnya lagi. Kuperhatikan rumah ini terlihat sepi. Kemana dua pasangan kompak itu berada? Ibu dan Nirmala."Ini apa!" Ayah menunjukkan sebuah gambar di ponse