POV Author
Ternyata belum siap aku,
Kehilangan dirimu.
Belum sanggup untuk jauh darimu.
Yang masih s'lalu ada dalam hatiku.
Tuhan, tolong mampukan aku.
'Tuk lupakan dirinya.
Semua cerita tentangnya. yang membuatku s'lalu teringat akan cinta yang dulu, hidupkanku.
Ken menghela napas panjang, lalu menghembuskannya. Lagu yang sedang diputar di cafe shopnya, membuat dadanya terasa sesak karena terkenang seseorang. Padahal lagu dari Stevan Pasaribu tersebut sedang hits dan sering diputar di media elektronik.
"Gas, matikan lagu itu. Putar yang lain saja," titahnya pada pegawainya bernama Bagas, yang kebetulan lewat di hadapannya.
"Siap Bro!" Ken hanya mengerjap. Ia kembali duduk di pojok kursi sambil mengamati ruangan cafe yang mulai terisi oleh para pengunjung. Cafenya mulai menamp
"Maaf May, aku tidak dapat meneruskan rencana pernikahan kita, lebih baik kita akhiri saja," ucap lelaki muda berusia 27 tahunan yang berada tepat di depanku. Ia tidak berani menatap. Kami bertemu empat mata di salah satu cafe yang telah ia tentukan tempatnya.Aku memaksakan senyum walau hati remuk bagai dipukul godam saat mendengar penuturan lelaki yang sudah melamarku dua bulan yang lalu."Kenapa? Apa karena Nirmala?" Sungguh berani kucetuskan nama seorang gadis cantik yang umurnya beda tiga tahun dibawahku."Ti--tidak, kenapa kamu bisa menduga begitu?" rutuknya tergagap.Satu sudut bibirku tertarik ke atas. "Aku hanya menduga saja. Baik, kita akhiri hubungan ini daripada ada yang terluka," sahutku datar tanpa senyuman apalagi air mata. Cukup sudah dulu pernah menangisi hal semacam ini. Kali ini mentalku lebih siap.Lelaki itu m
"Kenapa Bu Fatimah?" tanya Ibu tidak sabaran."Anak saya itu duda anak satu," lanjutnya. Ayah langsung melirikku, kuhela napas panjang tidak tahu harus menjawab apa. Semua keputusan kuserahkan ke Ayah. Kalaupun Ayah setuju, maka aku pun ikhlas menerima.Kalau boleh memilih, aku akan menolak. Bukan karena mendengar dia duda, tapi lebih ke rasa trauma yang belum hilang. Aku masih takut, masih terbayang kegagalan yang telah lalu. Lebih tidak tega melihat Ayah yang bersikeras mencarikanku calon suami."Kami boleh ketemu anak Ibu? Setidaknya kami ingin melihat dan menilai seperti apa dia. Saya rasa ini hal yang lumrah bukan?" Pertanyaan Ayah dianggukkan kepala oleh Bu Fatimah. "Orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, apalagi untuk pendamping hidup. Saya pun tidak dapat memutuskan sekarang, izinkan kami
"May!""Astagfirullah," lirihku berucap sembari mengelus dada. Linda.Ternyata Linda yang menepuk bahuku dari belakang. Bikin kaget saja."Eh, kamu kenapa May tegang begitu? Kayak habis lihat setan saja. Ini di siang bolong loh May, jangan bilang aku setannya." Linda memundurkan kursi di sebelahku untuk duduk."Nggak. Nggak kok. Aku kaget saja." Kutempelkan jari telunjuk ke bibir isyarat diam pada Linda. Temanku ini terlihat bingung dengan mengernyitkan keningnya."Ada a--""Kak May!" Aku dan Linda refleks menoleh ke asal suara. Nirmala, jadi benar dia orang yang ada di sebelah tempatku duduk, yang hanya dibatasi dengan dinding partisi kaca."Kakak ada di sini, sedang apa?" Nirmala bertanya
Sejak aku tahu kebusukan hati Nirmala, sejak saat itu pula aku berhenti bersikap baik padanya. Tak ada senyum hangat untuk sang adik durjana.Kurang apa aku padanya? Setiap apa yang diinginkannya, selalu kupenuhi. Setiap dia ada kesulitan juga selalu ku tolong. Bahkan boneka kesayangan dulu, ku ikhlaskan untuknya karena dia menginginkannya, padahal boneka itu satu-satunya kenangan dari almarhumah Bunda.***Aku mau boneka itu, Bu …!" Rengekan Nirmala tak berhenti, saat melihat boneka kecil Teddy bear kesayangan yang berada di pelukanku."Itu kecil sayang, nanti Ibu beli yang besar sekali, iya kan Ayah?" Bujuk Ibu dengan mengerlingkan mata ke arah Ayah. Lelaki--ku itu mengangguk."Nggak! Aku mau
Hari yang disebutkan Ayah, akhirnya tiba juga. Bu Fatimah akan datang bersama Samudra, anaknya. Lucunya Nirmala jatuh sakit tepat di hari ini. Bagiku dia hanya pura-pura saja agar tetap berada di rumah. Entah apa yang akan direncanakannya, aku sudah berpasrah diri kalau memang laki-laki yang bernama Samudra itu bukan jodohku. Mungkin Tuhan sedang mempersiapkan jodoh terbaikNya."Biarlah dia tetap di rumah. Ibu malah khawatir kalau dia harus diungsikan ke tempat lain. Lagian Ayah kan tahu, Nirmala ini kalau sakit, orangnya manja banget. Dikit-dikit Ibu." Ibu menatap Nirmala dengan penuh cinta. Diusapnya lembut rambut bergelombang Nirmala. Ia terbaring lemah di tempat tidur dengan berselimutkan sampai batas leher."Memang kamu sakit apa, Nir? Kok mendadak," tanyaku menyelidik."Ehm ... Nggak tahu, tiba-tiba n
"apa!" Ibu terkejut mendengar siapa jati diri Samudra sebenarnya. Begitu juga dengan kami yang berada di sini. Aku bahkan tidak tahu menahu siapa sosok calon suamiku ini."Kenalkan Pak, saya Nirmala, anak marketing. Baru masuk dan masih dalam masa percobaan enam bulan." Tangan Nirmala masih mengambang di udara menunggu sambutan dari Samudra.Lelaki yang sedang ditunggu sambutan tangannya ini melirikku sekilas, lalu, "Samudra," jawabnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada tanpa mengulurkan tangannya ke arah Nirmala. Aku kaget, apalagi melihat Bulan malah tertawa terkikik, melihat uluran tangan Nirmala yang tidak diterima ayahnya."Kayaknya Tante ini juga nggak tahu Nek, kalau bukan perempuan tidak boleh salaman," celoteh Bulan masih dengan tawa yang belum hilang. Aku sampai mengulum senyum saat Nirmala menarik tangannya dengan malu.&nbs
Aku mematut diri di cermin. Menatap bayangan sendiri. Kulepas kacamata yang sudah bertengger manis di pangkal hidung. Mengamati sebentar wajah ini tanpa kaca berbingkai dua tersebut, lalu memasangnya kembali.Perkataan Nirmala terngiang kembali di telinga. Apa hubungannya dengan kacamata ini? Aku hanya menggunakannya saat ke sekolah saja. Lagian ke sana buat ngajar, bukan buat narik perhatian kaum Adam. Heh! Saranmu tidak perlu keturuti. Gaya pakaian seharianku juga tidak kuno, apalagi ketinggalan jaman. Penampilanku masih modis. Lebih baik jadi diri sendiri. Tidak ingin juga jadi orang lain, apalagi jadi kamu, Nir.Kepalaku menoleh ke suara pintu yang berderit. Nirmala. Untuk apa lagi dia masuk ke kamarku sepagi ini? Apa gegara dia barusan muncul di benakku? Sepertinya aku harus memasang alarm di ponsel, sebagai pengingat untuk selalu mengunci pintu.
Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.***"Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda."Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang