Share

2. Uji Penanda

Gantari hanya bisa menitikkan air mata memandang kepergian putranya. Bisa jadi ini kali terakhir ia melihat Arya Nandika. Putranya akan bernasib sama dengan sang ayahanda. Pergi berperang dan tak pernah kembali. Apa lagi Arya Nandika tak memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni.

“Jangan kau melawan, Dewi. Atau akan kulaporkan keberadaanmu di sini pada Gusti Prabu,” ancam prajurit itu.

“Siapa kau sebenarnya, Prajurit? Mengapa kau bisa tahu jati diriku?” tanya Gantari masih penuh dengan kewaspadaan. Bibirnya melenguh menahan perih di lehernya.

“Hanya keluarga istana yang menguasai Suji Pati. Dan setelah Prabu Ranajaya naik tahta, tak ada satu pun perempuan istana yang menguasai tusukan kematian itu,” terang sang prajurit.

Prajurit itu lalu mencabut tusuk konde milik Gantari untuk berjaga-jaga. Meski ia sudah mengancam dan melukai Gantari, prajurit itu masih menaruh hormat yang tinggi padanya. Setelah mengamankan tusuk konde berwarna keemasan itu, pedang kembali ia sarungkan.

“Ampun, Dewi, Hamba hanya menjalankan perintah. Tusuk konde ini akan hamba letakkan di depan rumah. Hamba mohon diri,” ujar prajurit dengan suara yang lirih.

Gantari terdiam, rambut panjangnya kembali tergerai tertiup angin dingin gunung Payoda. Ia tak menyangka masih ada prajurit Astagina yang mengenalinya. Entah apa yang terjadi bila ia tak mengeluarkan Suji Pati tadi.

“Prajurit!”

“Sendika, Dewi,” sahut prajurit itu. Ia berbalik badan dan segera bersimpuh dengan satu lututnya.

“Bangun lah, jangan sampai ada yang melihat hal ini!” lirih Gantari. “Bisakah aku percaya padamu, Prajurit?”

“Mohon sampaikan titah Dewi,” tutur prajurit itu sigap. Ia kini telah berdiri namun masih membungkukkan badannya.

“Tolong jaga anakku Arya Nandika!” titah Gantari.

“Dengan nyawaku, Dewi!” sahut prajurit mantap.

“Pergi lah!”

“Sendika, Dewi.”

Prajurit itu mundur beberapa langkah, lalu memutar tubuhnya berjalan cepat menuju kuda yang ia tambatkan di depan rumah. Ia lemparkan tusuk konde Gantari ke tanah setelah ia naik ke punggung kuda. Dalam sekejap benda itu sudah berada dalam genggaman pemiliknya.

***

Rombongan yang membawa Arya Nandika dan pemuda desa Girijajar sudah sampai di kompleks istana. Mereka dibawa ke sebuah halaman luas jauh dari bangunan megah di tengah-tengah dinding tinggi itu. Beberapa pria bertubuh besar tampak tengah berlatih tanding menggunakan pedang dan perisai.

Arya Nandika dan para pemuda di giring ke rimbun pohon randu. Tak jauh di bawahnya terdapat sungai yang mengalir deras dengan air yang jernih. Di sebelah kanan mereka datang lagi rombongan pemuda dan pria, mungkin dari desa lain.

“Kalian semua istirahat lah! Tak lama lagi kalian akan mendapat tugas terhormat menjadi prajurit Astagina! Prajurit, lepaskan ikatan mereka!” titah seorang pria berkuda dengan congkak.

“Huh! Tugas terhormat? Saling membunuh itu tugas terhormat?” gerutu seorang pemuda bertubuh tinggi di sebelah Arya Nandika. Suara lirihnya hanya bisa terdengar oleh beberapa orang yang dekat dengannya.

“Warman! Jangan berkata sembarangan! Mereka ini kejam, apa kau tak melihat batu besar di sana?” bisik Arya Nandika sambil menunjuk arah dengan bibirnya. “Aku rasa itu tempat hukuman mati,” lirihnya lagi.

Pemuda bernama Warman itu terdiam menelan ludahnya. Matanya memandang batu besar dengan banyak bekas darah di permukaannya. Bau anyir yang sebenarnya tak tercium tiba-tiba menyeruak rongga hidungnya.

Seorang prajurit bertubuh kurus mulai membuka ikatan mereka menggunakan belati. Tak ada satu pun ekspresi di wajahnya. Matanya dipenuhi tekanan dan ketakutan. Namun ia coba tutupi dengan berpura-pura menjadi garang.

Arya Nandika berjalan menuju sungai setelah ikatannya terlepas. Ia basuh wajah dan kepalanya serta meminum banyak air. Berjalan kaki dari pagi hingga tengah hari dengan tangan terikat sungguh melelahkan. Apa lagi dengan suasana hati gusar karena meninggalkan ibunya seorang diri.

Ia lalu duduk di bawah pohon randu yang rindang. Beberapa helai kapuk yang pecah dari buahnya beterbangan di tiup angin. Dari tempatnya duduk, Arya Nandika bisa melihat orang-orang dibagi dalam kelompok-kelompok tertentu. Entah apa maksudnya.

Prajurit berkuda tadi datang lagi dan berkata dengan lantang, “Berkumpul di tengah padang, cepat!”

Deru langkah kudanya segera membangunkan tubuh-tubuh lelah itu. Mereka berlari ke tengah tanah lapang. Seorang pria setengah tua berpakaian serba putih berdiri di sana. Sebelah bahunya terbuka, rambut putihnya ia ikat ke atas dan dikunci dengan simbol keemasan kerajaan Astagina. Ia tampak begitu tenang membelai janggut panjangnya.

Pemuda dan pria dari dua desa itu saling berhadapan. Beberapa terengah-engah mengatur napasnya. Beberapa bahkan belum sempat meneguk air apa lagi beristirahat. Mereka semua menanti takdir apa yang akan mereka terima hari ini.

“Selamat datang calon prajurit Astagina. Saya Ki Bayanaka, akan membimbing dan mengarahkan kalian semua sesuai dengan potensi yang kalian miliki,” ujar pria itu ramah. Tangan kanannya masih membelai janggut, sedang tangan kirinya memegang toya yang ia sembunyikan di belakang tubuh.

Arya merasa sedikit tenang. Di antara banyaknya kegarangan wajah prajurit-parajurit itu, masih ada wajah sejuk setenang Ki Bayanaka ini. Kalau saja ayahdanya masih ada, mungkin perawakannya tak berbeda jauh dengan pria ini. Hanya saja ayahandanya lebih muda.

“Prajurit, siapkan ujinya!” teriak Ki Bayanaka.

Semua orang menatap empat orang prajurit yang tengah mendorong alat pelontar raksasa ke hadapan seorang pria bertubuh besar. Ia memanggul godam yang besar dan pasti berat. Di pelontar itu sudah ada benda besar dalam kantung hitam. Tak ada yang tahu apa isinya.

“Jenar! Apa kau sudah siap?” tanya Ki Bayanaka setelah seorang prajurit mengacungkan ibu jarinya.

“Siap, Ayahanda!” seru seorang gadis dengan busur dan anak panah yang terhunus.

Ki Bayanaka mengangkat tangan kanannya. Semua orang termasuk Arya Nandika tak mengerti apa yang akan terjadi. Mereka hanya saling pandang, menunggu siapa yang akan bertindak lebih dulu. Pria bergodam besar atau gadis cantik yang dipanggil Jenar.

“Hindarilah apa pun yang keluar dari kantung di pelontar itu!” titah Ki Bayanaka.

Ki Bayanaka menurunkan tangan kanannya. Pria bertubuh besar itu menghimpun tenaga dan mengayunkan godamnya. Godam itu menghantam pengait di bawah pelontar, menyebabkan bunyi dentuman yang keras.

Kantung hitam terlontar ke udara. Dari gerakan yang ditimbulkan akibat gesekan udara, kantung itu sepertinya berisi cairan. Orang-orang mulai melangkahkan kakinya menghidari perkiraan kantung itu akan jatuh. Beberapa bahkan ada yang menjadikan rekannya sebagai tameng.

Sebuah anak panah melesat cepat ke arah kantung yang sudah menukik ke bawah. Anak panah itu pun menembus kantung dan memecahkan isinya ke segala penjuru. Orang-orang berlarian tak tentu arah, saling bertabrakan dan saling injak.

Arya Nandika terpental beberapa depa setelah seseorang menabraknya dengan keras. Ia berguling ke kiri beberapa kali untuk menghindari injakan seseorang. Namun karenanya ia tak dapat menghindar dari cairan itu. Wajahnya basah oleh cairan berwarna hitam tak beraroma.

“Usaha yang bagus.” Suara seorang perempuan segera membuka mata Arya. Gadis dengan busur di tangan kirinya itu mengulurkan tangannya mencoba membantu Arya berdiri.

“Ah, cairan apa ini?” Arya menyambut uluran tangan Jenar dan bangkit.

“Itu penanda,” jawab Jenar sambil membalikkan badannya.

“Penanda? Penanda apa? Hei!”

Jenar tak menjawab. Ia melanjutkan langkahnya meninggalkan Arya untuk bergabung dengan ayahandanya. Mata pemuda itu menyipit, dahinya mengernyit. Jantungnya berdegup kencang buah dari apa yang ia lihat di netranya.

“Bukankah itu Patih bermata satu?” batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status