Share

3. Serangan Penuh Dendam

Orang-orang yang terkena cairan penanda itu mulanya takut. Namun tak ada yang terjadi saat cairan hitam itu mengenai kulit mereka. Hanya saja bekas cairan itu tak bisa hilang meski sudah beberapa kali diseka dengan kuat.

“Tak perlu takut, cairan itu hanya tinta. Bagi yang tidak terkena silahkan berdiri di sebelah kanan saya. Sisanya di kiri!” seru Ki Bayanaka.

Lebih dari setengah pemuda dari dua desa berkumpul di sisi kiri Ki Bayanaka. Semuanya tampak sebaya dengan Arya Nandika, beberapa bahkan lebih muda. Mereka masih menanti dengan terus mencoba menghapus tanda hitam di bagian tubuh mereka.

“Apakah Ayahanda dulu kena cairan penanda ini sama sepertiku?” tanya Arya dalam hati.

Para pemuda yang tak terkena cairan penanda meninggalkan tempat itu dipandu seorang prajurit. Ki Bayanaka mendekat ke arah pemuda di sebelah kirinya didampingi Jenar. Gadis itu tampak begitu gagah sekaligus anggun dengan busur berukir menggantung di punggungnya.

“Anak-anak muda, mulai hari ini aku lah guru kalian! Kalian akan menjadi garda terdepan di bawah panji agung Astagina!” seru Ki Bayanaka setelah para pemuda berjajar melingkarinya.

Mata teduh Ki Bayanaka memperhatikan satu persatu pemuda yang melingkarinya. Bisa jadi mungkin ini kali pertama dan terakhir pria berjanggut putih ini melihat pemuda-pemuda itu. Ki Bayanaka menghela napasnya. Sungguh tugas yang berat mengantarkan anak-anak muda pada takdir gelapnya.

“Sekarang aku ingin melihat sejauh mana ilmu kanuragan kalian. Kau!” Ki Bayanaka menunjuk seorang pemuda di sisi kanannya. “Mendekatlah!”

Pemuda itu melangkah dengan penuh ragu mendekati guru barunya. Jari jemarinya saling mengait di depan tubuh. Hampir separuh seluruh bagian tubuhnya ternoda cairan penanda tadi.

“Kau!” Ki Bayanaka menunjuk Arya Nandika. Pemuda itu hanya menunduk tak berani menatap gurunya. “Ya, kau yang punya bekas luka bakar di lengan kiri! Kemari!” titah Ki Bayanaka.

Arya Nandika melangkah gontai mendekati gurunya. Kalau pun akan ada latih tanding, ia akan memilih untuk mengalah saja. Ia sama sekali tak berselera berprestasi di tempat ini.

“Kalian berdua mendapatkan cairan penanda paling banyak. Aku hanya ingin membuktikan apa benar kalian seburuk itu. Kalian akan melakukan latih tanding tangan kosong. Orang pertama yang jatuh, dia kalah!” terang Ki Bayanaka.

Pemuda lawan Arya Nandika tampak memasang kuda-kuda. Kedua tinjunya menegang dan siap untuk menyerang. Sorot matanya tajam menusuk lawannya yang sama sekali tak bersemangat. Arya tak mempersiapkan dirinya untuk menangkis sekali pun.

Pemuda yang sebagian tubuhnya hitam itu segera malayangkan tinjunya pada Arya Nandika. Pukulan penuh tenaga itu hanya mengenai angin karena targetnya sudah menghindar. Pemuda itu mengayunkan kakinya dan berhasil mengenai dada Arya Nandika dengan telak.

Arya Nandika terpental ke belakang beberapa langkah. Tepat berhenti di sisi Jenar, gadis cantik yang mahir memanah. Jenar memandangnya dengan tatapan sendu. Lalu gadis itu mengangkat kedua alisnya. Sebuah gestur bagi Arya untuk menunjukkan kemampuan yang sebenarnya.

Arya Nandika memasang kuda-kuda. Kakinya ia buka selebar bahu, ujung kaki lurus ke depan dengan lutut setengah bengkok. Telapak tangan kirinya membentuk tapak berada lebih jauh dari tangan kanan yang mengepal hampir menyentuh dada.

Ki Bayanaka dan Jenar segera saling tatap. Pria itu tampak antusias melihat Arya Nandika. Ia penasaran, apakah ada padepokan selain Rakajiwa yang memiliki bentuk kuda-kuda serupa? Bisa jadi pemuda ini keturunan dari saudara seperguruannya dulu.

Pemuda yang tadi sempat membuat Arya Nandika terpojok merasa di atas angin. Ia menghambur dan menyerang Arya dengan membabi buta. Rupanya ia berusaha segera mengakhiri latih tanding ini dengan menjatuhkan lawannya.

“Mengapa aku seperti melihat Ayahanda bertarung,” bisik Jenar di telinga ayahnya.

“Ya, lepas ini akan Ayah tanyakan dari mana dia berasal,” sahut Ki Bayanaka mantap. Ia kembali membelai janggut panjangnya.

Kata-kata Jenar memang ada benarnya. Cara pemuda itu menghindar dan menangkis lawannya amat serupa dengan apa yang ia pelajari di Padepokan Rakajiwa puluhan tahun silam. Hingga kini pun gerakan dasar itu masih ia gunakan. Ki Bayanaka tak sabar menyaksikan serangan pemuda itu.

Arya Nandika terus menghidari serangan lawannya. Ia memang tak secakap ayah dan pamannya, namun dengan lawan seperti ini ia merasa mampu mengalahkan. Gerakan dasar yang diajarkan ayahnya untuk membela diri ia gunakan dengan rinci sekarang.

“Kurang ajar! Ayo serang aku!” seru pemuda itu. Ia merasa diremehkan karena Arya Nandika terus saja mengelak tanpa mencoba membalas serangannya.

“Ayolah, Kawan, seranganmu begitu lemah, aku tak tega untuk membalasmu,” ledek Arya Nandika disambut tawa pemuda-pemuda lain di sekitar mereka bertarung.

“Sial, akan kutunjukkan padamu....”

Belum sempat pemuda itu menyelesaikan kalimatnya, tinju kanan Arya Nandika sudah mendarat di mulutnya. Pemuda itu sampai mendongak ke atas dan mundur dua langkah. Ia kemudian menunduk memegangi wajahnya. Darah segar mengalir dari mulut pemuda itu.

Sebuah hempasan kaki kanan Arya Nandika berhasil mengenai leher bagian belakang, membuat pemuda itu semakin menunduk. Ia tampak marah dan ingin bangkit membalas. Namun hempasan kaki berikutnya di kepala didahului lompatan kecil membuatnya jatuh bersimpuh.

Pemuda itu membuang darah yang memenuhi rongga mulutnya. Ia merasakan lagi tendangan di bagian dada, membuatnya terhempas ke belakang dengan keras. Arya Nandika melompat dan mendarat menduduki dadanya. Tangan kanannya siap melakukan serangan pamungkas.

“Cukup!” teriak Ki Bayanaka. “Aku hanya memerintahkan kalian untuk berlatih tanding, bukan membunuh!”

Arya Nandika membatalkan pukulannya. Ia menyingkir dari atas tubuh pemuda lawannya tadi. Pemuda itu tampak tak berdaya memegangi dadanya.

“Bukankah itu Patih Waradhana?” seru seorang pemuda menunjuk ke suatu arah.

Sontak semua orang termasuk Ki Bayanaka menoleh. Seorang pria berbadan kekar dengan baju kebesaran yang mewah tampak tengah memperhatikan latihan mereka. Mata kirinya ia tutup dengan kain hitam yang melilit melingkari kepalanya yang tak ditumbuhi rambut. Ia tampak begitu berbahaya dan menakutkan.

Arya Nandika segera bangkit. Ia berjinjit demi untuk melihat dengan jelas orang yang sudah membawa ayahnya empat tahun silam. Darahnya seketika mendidih. Orang itu dengan leluasa bertolak pinggang tanpa ada rasa berdosa telah merenggut kebahagiaan banyak keluarga.

Dua langkah di hadapannya berdiri Jenar Candrakanti dengan belasan anak panah di tempatnya melingkar di pinggang. Arya Nandika sudah dikuasai dendam. Langkahnya begitu tegas penuh amarah. Ia lewati Jenar sambil meraih sebuah anak panah miliknya.

Ia genggam anak panah itu erat-erat. Sudah tak ia pedulkan larangan pemiliknya dan gurunya sendiri. Setengah berlari ia mendekat ke arah Patih Waradhana dan bersiap melemparkan anak panah milik Jenar itu.

“Patih biadab! Kembalikan ayahandaku, dasar pecundang!” teriak Arya Nandika.

Pemuda itu melemparkan anak panah sekuat tenaga. Ia tak pedulikan lagi keselamatannya, hanya dendam yang ada di kepala. Anak panah melesat seolah terlepas dari busurnya. Sesaat setelah melayang di udara, anak panah itu membara mengeluarkan api yang berkobar-kobar.

Tak ada yang tahu sejak kapan Arya Nandika menyulut api di anak panah yang ia lemparkan. Patih Waradhana seketika mencabut pedang bermata dua andalannya. Dengan satu gerakan ia mampu menangkis anak panah berapi itu. Anehnya meski sudah ditangkis, anak panah itu terus menempel di pedangnya dan mulai membakar.

“Kurang ajar kau, Bocah! Beraninya kau menyerang Patih Astagina!” hardik Patih Waradhana marah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status