Share

4. Pemanah Ulung

“Kurang ajar kau, Bocah! Beraninya kau menyerang Patih Astagina!” hardik Patih Waradhana marah.

Ia lemparkan pedang bermata duanya yang sebagian sudah menjadi abu. Dengan sekali kuda-kuda, Patih Waradhana melompat di udara dan mendaratkan kaki berisi tenaga dalam di dada Arya Nandika.

Pemuda itu terhempas dan terseret beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya berhenti setelah terhempas di pohon randu yang besar. Kapuk berguguran terkena hempasan tubuh Arya Nandika. Beriring dengan mulut pemuda itu yang menyemburkan darah segar.

Arya Nandika tak sadarkan diri. Dadanya hangus seukuran tapak kaki Patih Waradhana. Panglima perang Astagina itu tak puas. Ia melompat lagi mendekati Arya Nandika dan bersiap memberikan pukulan pamungkas. Namun Ki Bayanaka mencegahnya dengan memegang pergelangan tangan Patih Waradhana.

“Ampun, Gusti. Sudah cukup, dia sudah tak berdaya,” pinta Ki Bayanaka.

“Lepaskan, Bayanaka! Biar aku habisi bocah ingusan ini!” bentak Patih Waradhana. Ia meronta, namun tenaga dalam yang disalurkan Ki Bayanaka terasa begitu kuat mengimbangi aliran tenaga dalam miliknya.

“Ampun, Gusti. Bukankah Gusti Patih lihat sendiri kemampuan anak ini, dia hanya melemparkannya dengan tangan kosong. Hamba yakin dia bisa berguna di medan perang,” bujuk Ki Bayanaka.

Seketika tinju Patih Waradhana mengendur. Ia pun berkata, “Benar juga, kemampuannya bisa berguna untuk melawan Baka Nirdaya.”

Ki Bayanaka melepaskan genggaman tangannya. Ia mundur dua langkah dan menundukkan kepala menunjukkan rasa hormat. Upayanya untuk menyelamatkan pemuda malang itu sepertinya akan membuahkan hasil.

“Aku ingin kau sendiri yang melatihnya. Jadikan dia senjata ampuh untuk Astagina!” seru Patih Waradhana.

“Sendika, Gusti.”

“Tapi jika ia tak bisa dikendalikan, jangan pinta aku untuk mengampuninya lagi!” ancam Patih Waradhana.

“Gusti Patih bisa pegang kata-kata Hamba. Hamba yang jadi jaminannya,” ujar Ki Bayanaka meyakinkan.

Patih Waradhana tak menjawab. Ia pandang tubuh kurus bersandar di pohon randu dengan luka parah di dada. Ia tak menyangka anak ini bisa melepaskan anak panah sebegitu hebat tanpa busur. Bahkan menghancurkan senjata andalannya. Pasti ada kemampuan tersembunyi dari anak ini.

“Jenar! Suruh beberapa orang membawa anak ini ke rumah!” titah Ki Bayanaka.

“Baik, Ayahanda!” seru Jenar.

Gadis itu segera meminta empat orang pemuda untuk membaringkan Arya. Seorang prajurit datang dengan membawa tandu. Tubuh pemuda itu dibawa masuk ke dalam pagar istana.

***

Arya dibaringkan di sebuah tempat tidur empuk. Napasnya terlihat sesak. Ia belum juga menemui kesadaran meski Jenar Candrakanti sudah memberikan pertolongan pertama pada luka dalamnya. Ilmu pengobatan yang diajarkan ayahandanya memang baru bisa ia kuasai untuk pertolongan pertama saja.

“Siapa kau sebenarnya? Bagaimana bisa panah yang kau lemparkan menjadi membara?” gumam Jenar. “Lagi pula dendam apa yang kau simpan untuk Patih Waradhana sampai kau berbuat demikian berani?”

Jenar meletakkan punggung tangannya di dahi Arya. Pemuda ini demam. Ditandai dengan warna bibir yang memucat dan kering serta dahinya yang terus mengeluarkan keringat. Gadis itu membalikkan telapak tangannya. Ia terpejam sesaat dan seketika telapak tangannya mengeluarkan aura biru yang sejuk.

“Dimana Ayahanda? Kalau begini terus aku akan segera kehabisan tenaga,” gerutu Jenar.

Jenar kembali teringat saat pemuda ini mengambil anah panah dari punggungnya. Ia belum sempat berkata apa-apa saat melihat pemuda ini melemparkan anak panah itu dan segera membara sebelum ditangkis oleh Patih Waradhana. Ia tak habis pikir. Pasti pemuda tampan ini menyembunyikan hal besar dalam dirinya.

Perlahan area dada Arya Nandika membiru. Bekas hantaman tenaga dalam itu pasti memberikan luka dalam yang amat parah. Ini lah yang membuat suhu tubuh pemuda ini naik. Jika tidak diberi pertolongan Jenar mungkin bisa terjadi kerusakan fatal di otak dan organ dalam lainnya.

“Jenar, bagaimana keadaannya?” tanya Ki Bayanaka terburu.

“Aku sudah memberikan pertolongan pertama agar cederanya tak menyebar, Ayahanda. Tapi sepertinya luka dalam ini cukup parah. Ilmuku belum sampai untuk menanganinya,” terang Jenar.

“Baik, terima kasih, Nak. Mulai sekarang biar Ayahanda yang mengobatinya.” Ki Bayanaka mulai mengamati kondisi fisik Arya Nandika. “Tolong dudukkan dia,” pintanya.

Jenar menyambut dorongan tubuh Arya yang dilakukan ayahandanya. Tangannya melingkar di leher pemuda itu. Separuh tubuh Arya bersandar pada Jenar.

“Kau cukup tampan, tapi kau sangat bodoh,” bisik Jenar di telinga Arya.

“Apa yang kau katakan, Jenar?” tanya Ki Bayanaka.

“Mmm ... Ah, tidak....”

“Jangan main-main, kita harus cepat! Atau nyawanya tak akan tertolong!” ujar Ki Bayanaka.

Pria tua itu lalu memejamkan mata mengolah pernapasan di dalam tubuhnya. Tenaga dalam ia salurkan dan pusatkan di kedua telapak tangan. Telapak tangan itu kemudian ia sentuhkan perlahan di punggung Arya. Bergerak seolah mencari sesuatu. Lalu menghentak, memukul berlawanan dengan terjangan Patih Waradhana tadi.

Tubuh Arya dan Jenar Candrakanti ikut tersentak. Mulut pemuda itu memuntahkan gumpalan darah yang menghitam. Jumlahnya cukup banyak, beberapa bagian mengenai pundak Jenar yang beralas kain sutera putih.

“Baringkan dia, aku akan membuatkan ramuan untuk luka luarnya,” titah Ki Bayanaka.

Perlahan Jenar membaringkan tubuh kurus Arya di pembaringan. Napas pemuda itu sudah tak lagi sesak. Suhu tubuhnya juga berangsur stabil. Hanya luka seperti terbakar yang masih basah dikelilingi kulit yang membiru.

“Kalau kau tak tampan dan bukan karena Ayahandaku, aku tak akan sudi mengurusmu seperti ini,” gerutu Jenar.

Tubuh Arya memang kurus. Namun urat-urat di tangannya menonjol tanda ia sering melakukan pekerjaan kasar. Kulitnya cerah, rambut hitam lurus sebahu menampakkan diri sebagai seorang pendekar pemula. Apa lagi dengan ikat kepala biru tua yang terlepas saat dihajar Patih Waradhana tadi.

Jenar membenarkan letak tangan kanan Arya yang tertimpa tubuhnya sendiri. Ia sentuh jemari pemuda itu. Ada hal yang menarik perhatiannya di sana. Gadis itu memeriksa satu persatu jemari tangan Arya.

“Ayahanda!” pekik Jenar.

Ki Bayanaka yang memang sudah menuju tempat pembaringan Arya, segera mempercepat langkahnya. Ia khawatir suatu hal yang buruk terjadi penyebab putrinya berteriak memanggilnya.

“Ada apa, Jenar?” tanya Ki Bayanaka.

“Cobalah Ayahanda lihat. Jemari pemuda ini, seperti jemari pemanah ulung!” sorak Jenar. Ia bahagia karena menemukan seorang yang sama dengannya.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Ki Bayanaka sambil mengaduk ramuan dalam mangkuk porselen.

“Bagian dalam jari telunjuk dan tengah tangan kanannya mengeras. Lalu punggung ibu jari tangan kirinya banyak terdapat bekas luka, karena di situ lah landasan anak panah melesat!” terang Jenar gembira.

“Lalu apa bedanya denganmu? Jarimu juga demikian. Apakah engkau pemanah ulung?” ledek Ki Bayanaka. Jenar mencebik manja pada ayahandanya.

“Bukan hanya itu, Ayahanda, perhatikan ini!” Jenar memperlihatkan bagian dalam ibu jari tangan kanan Arya. “Hanya pemanah ulung yang menarik tali busur menggunakan ibu jari!”

“Benarkah?” Ki Bayanaka turut memperhatikan ibu jari yang mengeras itu. Benar juga, ia pernah melihat adik seperguruannya dulu yang ahli memanah memang menarik tali busur menggunakan ibu jari.

“Jenar!” pekik Ki Bayanaka. “Kemana perginya luka di dada anak ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status