Share

5. Orang Terpilih

“Jenar!” pekik Ki Bayanaka. “Kemana perginya luka di dada anak ini?”

“Hah!”

Jenar dan Ki Bayanaka saling tatap. Luka yang tadi masih basah dan membiru di tepiannya kini telah hilang, sembuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Wajah pemuda itu juga terlihat tenang seperti hanya tertidur.

“Apa yang terjadi, Ayahanda?” Mata Jenar terbelalak. Ia tak menyangka ada hal yang begitu istimewa dari pemuda ini.

“Ayah rasa anak ini punya keistimewaan. Tapi harus dipastikannya terlebih dahulu,” ucap Ki Bayanaka semakin membuat rasa penasaran di hati Jenar tumbuh subur.

Ki Bayanaka meletakkan mangkuk berisi ramuan di sisi Arya Nandika. Ia raih pergelangan tangan pemuda itu. Sejenak ia memejamkan mata merasakan denyut nadi. Tak puas, pria berambut putih itu menyentuh nadi utama Arya di area leher dengan jarinya.

“Bagaimana, Ayahanda?” tanya Jenar penasaran.

Ki Bayanaka tak menjawab. Ia hanya mengangkat telapak tangannya, kode pada Jenar untuk bersabar. Pria itu lalu menempelkan telinganya di dada Arya. Sontak Ki Bayanaka terperangah. Tatapannya kosong ke depan seperti menyadari hal besar.

“Ayahanda! Apa yang terjadi?” Kali ini Jenar mengguncangkan bahu ayahnya.

“Denyut nadinya sedikit berbeda dengan orang biasa. Ayah masih bisa terima itu karena dia baru saja sembuh. Tapi amat jarang ada orang yang berbeda denyut di nadi dan jantungnya,” ucap Ki Bayanaka hati-hati.

“Lalu apa artinya?”

“Darahnya berbeda dengan manusia biasa. Bisa jadi lebih berat. Penyebabnya Ayah belum tahu pasti. Setelah dia sadar mungkin baru bisa ketahui asal usulnya.” Ki Bayanaka membelai janggut panjangnya beberapa kali.

Ki Bayanaka teringat dengan adik seperguruannya di Padepokan Rakajiwa dulu, Braja namanya. Braja memiliki denyut jantung dan nadi yang sama dengan anak ini. Ia memiliki keistimewaan untuk mengolah api menjadi senjata karena ada unsur tertentu dalam darahnya yang mendukung. Meski jantungnya jadi bekerja berat, tapi ia menjadi tahan api.

“Astaga, Jenar! Bukankah tadi dia melemparkan anak panahmu dan menjadi panah api?” tanya Ki Bayanaka dengan wajah penuh takjub.

“Betul, Ayahanda. Aku sendiri sampai heran bagaimana cara dia melakukan itu,” tambah Jenar.

“Tak salah lagi! Dia orang terpilih itu!” seru Ki Bayanaka.

“Orang terpilih? Apa lagi yang Ayahanda bicarakan? Aku sama sekali tak mengerti!” gerutu Jenar.

“Kita memang masih harus menanyakan padanya saat dia siuman. Tapi Ayah begitu yakin karena tanda-tandanya sudah jelas,” ucap Ki Bayanaka masih dengan tatapan mata tak percaya.

Tak banyak yang tahu, bahkan para leluhur dan guru-guru terdahulu. Bahwa di dunia ini ada manusia yang memiliki sedikit unsur pembentuk api di dalam darahnya. Gurunya dulu di Padepokan Rakajiwa pernah mengatakan hal ini hampir terjadi tiap satu abad sekali.

Jika benar pemuda ini masih ada hubungannya dengan Braja, maka hal ini sekaligus mematahkan teori satu abad itu. Lalu apa yang menyebabkan tak perlu menunggu satu abad hingga muncul pemuda ini? Sedangkan Braja berusia tak lebih dari 40 tahun.

“Jenar, jaga dia baik-baik. Segera beritahu Ayah jika dia sudah sadar!” titah Ki Bayanaka sembari bangkit dan bersiap kembali ke pelatihan Prajurit.

“Baik, Ayahanda,” sahut Jenar.

Ki Bayanaka meninggalkan rumahnya dengan perasaan tak menentu. Ia ingin sekali mendampingi pemuda yang tengah dijaga oleh putrinya itu hingga sadar. Informasi asal-usul pemuda itu amat ia nantikan. Namun ia juga tak bisa begitu saja meninggalkan tugas dari Prabu Ranajaya untuk melatih calon prajurit Astagina.

Jenar meletakkan punggung tangannya lagi di dahi pemuda yang terbaring di hadapannya. Tak ada lagi demam. Belum selesai takjubnya atas kemampuan Arya melemparkan anak panah berapi, ia telah dihadapkan pada kejadian aneh lain. Kesembuhan tiba-tiba atas luka dalam itu sangat mustahil sembuh dalam waktu sekejap.

Arya Nandika bergerak. Jenar cepat memperhatikan pemuda itu, berharap penglihatannya salah. Ia sungguh tak ingin orang ini sadar saat tak ada ayahandanya di rumah. Belum lagi risiko yang akan gadis itu hadapi karena seseorang tersadar di tempat asing.

Tiba-tiba Arya membuka matanya. Ia terbelalak, mundur dengan bertumpu pada kedua tangannya hingga tubuh kurus itu menyandar dinding. Napasnya kembali memburu. Entah apa yang dirasakannya kini. Peristiwa sebelum ia kehilangan kesadaran tampaknya begitu membekas.

Jenar tentu kaget, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Apa lagi dia adalah putri dari pelatih calon prajurit. Akan sangat tak elok bila ia menunjukkan ketakutannya.

“Kau sudah sadar?” tanya Jenar dengan ketenangan yang dipaksakan.

“Dimana aku? Bukankah kau yang memanah kantung itu? Astaga, apa yang terjadi padaku? Apakah aku berhasil membunuh patih bermata satu itu?” seru Arya Nandika.

“Tak bisakah kau sedikit tenang? Pertanyaan yang mana yang harus aku jawab terlebih dahulu?” tanya Jenar dingin. Tangannya melipat di depan dada, ia harus tetap bersikap tenang dengan ekspresi congkak dan bermartabat.

“Maaf, dimana ini? Mengapa aku bisa bersama denganmu?” tanya Arya lagi.

“Nah, begitu lebih baik.” Jenar bangkit dari pembaringan. Ia menghadap ke arah Arya dengan masih melipat tangan di dada. “Kau di rumahku, kau terluka parah dan ayahandaku menyelamatkanmu,” terang Jenar.

“Ah, baik, jadi aku berhasil membunuh patih bermata satu itu meski akhirnya harus terluka parah,” ujar Arya dengan senyum sinis di ujung bibir.

Jenar tak menjawab, ia berbalik dan hendak keluar dari bilik itu. Arya menatapnya dengan penuh tanda tanya. Ia tak mengerti mengapa gadis itu meninggalkannya di tengah perbincangan.

“Hei! Kau mau kemana?” seru Arya. Jenar menghentikan langkahnya.

“Tentu saja pergi. Kelihatannya kau masih belum sadar,” ucap Jenar tanpa menoleh.

“Tapi aku sudah sadar!” ujar Arya.

“Tak mungkin, kau masih saja bermimpi!” tandas Jenar. Ia meneruskan langkahnya keluar dari bilik itu.

Jenar mengenakan tempat menyimpan anak panah dari kulit di pinggangnya. Ia raih busur kesayangannya yang terpasang rapi di tempat khusus. Menyusul ayahandanya di tempat latihan sepertinya lebih penting dari pada bersama dengan orang yang terlalu percaya diri itu.

“Hei, kau mau kemana?” cegah Arya.

“Bukan urusanmu.” Jenar meneruskan langkahnya menuju tempat latihan calon prajurit.

“Bisakah kau katakan padaku apakah patih bermata satu itu terkena panahku?” desak Arya.

Jenar kembali menghentikan langkahku. Pemuda ini selalu menyebut Patih Waradhana sebagai Patih Bermata Satu. Pasti ada hal buruk yang terjadi antara mereka berdua.

“Aku tidak tahu, aku hanya tahu kau terluka parah, tak sadarkan diri, lalu ayahandaku membawamu ke sini. Lagipula itu panahku, bukan milikmu!” ketus Jenar mulai kesal.

“Baik, paling tidak bisakah kau beritahu aku dimana bajuku?” tanya Arya mengiba.

Untuk seorang pemuda desa, orang ini begitu pandai berbahasa. Jenar merasa seperti berbincang dengan teman sesama penghuni istana. Nanti akan ia cari tahu apakah dia bisa juga baca dan tulis.

“Sudah kubuang,” jawab Jenar singkat.

“Apa?”

“Kau bisa pakai baju Ayahandaku. Beliau pasti tak keberatan,” seru Jenar.

“Kau yakin?”

“Di rumah ini cuma ada aku dan Ayahandaku. Jika kau keberatan memakai bajunya, apa kau mau pakai bajuku?” hardik Jenar.

“Kau tak keberatan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status