Jantung Ruby berdetak mengikuti irama derap sepatu Yusuf yang mendekat. Bersama karyawan satu divisi lainnya, gadis itu berdiri teratur dengan kedua tangan terlipat di depan perut.
"Sampe sekarang Bella belum datang juga," bisik Taufan yang ikut berdiri di samping Ruby.
"Baru sekarang kan kamu panik. Kalau ternyata Yusuf orangnya sama kayak Pak Abizard, bisa mampus dia."
Percakapan keduanya sudah harus diakhiri lantaran pintu kaca yang terdorong disusul masuknya sesosok pria bertubuh tinggi tegap. Sempat tergagap, para karyawan yang sudah berbaris cepat-cepat membungkuk menyapa dibarengi senyum lebar.
"Selamat datang Pak Yusuf Aktas," sapa Ruby seraya menegakkan kepalanya lagi.
Alih-alih menjawab sapaan Ruby, Yusuf justru menyisir seisi ruangan dengan mata elangnya yang tajam. "Semua udah datang?" tanyanya pelan tapi menusuk.
Ruby melirik Taufan sedetik lalu menelan air ludahnya sendiri dengan gugup. Hening. Tak satu pun berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan Yusuf.
"Kalian semua bisu?" tanya Yusuf tajam.
Dan masih belum ada jawaban, tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara derap langkah kaki yang kemudian diakhiri dengan suara tabrakan yang cukup keras. Bella yang berlari tunggang-langgang tepat menubruk punggung Yusuf sampai gadis mungil itu ambruk ke belakang tak berdaya.
"Aduh!!" lirih Bella sambil memijat keningnya yang seolah baru menghantam dinding.
Yusuf berbalik badan, menatap sinis pada gadis yang kini tengah meringis di atas lantai. Alis tebal Yusuf terangkat tinggi, "Kamu ada urusan di sini?"
Susah payah, Bella berupaya bangkit kembali sambil menahan malu, seluruh pasang mata tertuju pada dirinya sekarang.
"Sa ... Saya kerja di sini, Pak," jawab Bella takut, dia sudah bisa menebak siapa pria yang berada di hadapannya saat ini. Pasti ini yang namanya Yusuf, batinnya tepat.
Wajah Yusuf menjadi lebih gelap setelah mendengar pengakuan Bella, ditambah ekspresi gadis itu tak terlalu menunjukkan tanda-tanda rasa bersalah. "Kamu tau ini jam berapa?"
"Ma-maaf, Pak--"
"Pak, silakan kopinya." Kedatangan Ana dengan nampan berisi segelas kopi pahit untuk sebentar memberi angin segar bagi Bella, barang sejenak dia merasa akan lepas dari neraka yang mengancam.
"Kamu." Yusuf justru menunjuk tepat ujung hidung Bella yang memerah. "Bawa kopinya ke ruangan saya," titahnya dingin.
Sial! Bella menjerit dalam hati, dugaannya salah, dia bukannya terlepas dari masalah begitu saja. "Ta-tapi, Pak--"
"Sekarang!" bentak Yusuf sambil berlalu keluar.
Ana yang tak kalah gugupnya buru-buru mengoper nampan kepada Bella. "Buruan sana, sebelum kita semua kena semprot!"
Mau tak mau Bella menerima nampan itu dengan setengah hati kemudian menyusul Yusuf menuju ruang kerjanya yang berada di lantai paling atas.
***
Bella meneguk salivanya yang kasar seraya menatap pintu ruang kerja Yusuf yang serba hitam. Ini adalah pertama kali Bella berada di depan ruangan direktur. Tepat di sebelah ruangan itu, terdapat pula ruangan Pak Abizard yang sudah beberapa minggu ini belum kembali dari perjalanan bisnisnya ke Italia.
Ragu-ragu, Bella mengetuk pintu kemudian masuk tanpa berani menegakkan kepala. Yusuf sudah lebih dulu berada di ruangan sambil mengecek beberapa laporan yang baru saja diserahkan sekretarisnya.
"Ini kopinya, Pak," ucap Bella sambil meletakkan nampan di atas meja kerja Yusuf. Tangannya sedikit gemetar meski akhirnya dia menyelesaikan tugasnya dengan lancar. "Sa-saya undur diri--"
"Apa posisi kamu?" tanya Yusuf seenaknya.
"Eh ... Maksud ..." Bella menggaruk tengkuknya bingung.
Mata tajam Yusuf memicing, "Apa yang kamu pikirin? Saya tanya kamu kerja di bagian apa!?" bentaknya.
"Saya ... Saya editor baru," jawab Bella mencoba menenangkan dirinya sendiri setelah situasi canggung barusan.
"Jadi kamu yang bertanggung jawab sama hasil akhir bulan ini?" Yusuf mengangkat majalah edisi bulan lalu.
Bella menatap balik dengan tegang, "Eh ... Ya salah satunya, Pak. Saya jadi editor untuk beberapa rubrik," jawabnya gugup.
"Pantas aja kualitas majalah ini makin bobrok," kritik Yusuf sambil meletakkan majalah itu kembali.
Lantas dia menatap Bella dari kaki sampai ujung rambut seperti sedang mengevaluasi gadis itu. Sambil menggelengkan kepala, Yusuf memandang rambut panjang Bella yang dia kuncir seadanya, lalu beralih pada mukanya yang polos tanpa make-up, jaket tua yang menutup tubuh atasnya, lalu berakhir pada celana jins dan sepatu boots krem yang dia pakai.
"Kamu yakin kamu tau soal fashion?" tanya Yusuf, lebih terdengar seperti hinaan. "Kamu masuk ke sini dengan harapan bisa nyoba produk-produk kecantikan gratis? Dapat gaji bagus? Kamu keliatan nggak niat sama pekerjaan ini!"
"Hah? Kok ...? Saya paham kerjaan saya kok, Pak!" seru Bella membela diri.
Yusuf menghela napas panjang, dan ketika itu pintu ruang kerjanya terbuka lagi disusul masuknya seorang perempuan cantik bergaun ketat. Bella bertemu pandang dengannya selama beberapa detik. Gadis itu adalah sepupu Yusuf yang juga bekerja untuk majalah GLAM selama tiga tahun belakangan tapi hampir tak pernah bersinggungan dengan Bella karena berbeda divisi.
"Kamu udah datang rupanya." Dia beralih menatap Yusuf. "Kenapa cewek ini di sini?"
"Hai, Mia." Yusuf menyapa tawar, tidak mengindahkan pertanyaan mengenai Bella yang masih mematung bingung. "Kamu tau kenapa aku diminta datang, penjualan terus turun, reputasi majalah ini udah di ujung tanduk, tapi sekarang aku paham kenapa." Dia melirik kembali pada Bella yang langsung buang muka ke luar jendela kaca besar.
"Hm?" gumam Mia sambil mendekati meja kerja Yusuf.
Tangan kanan Yusuf terangkat, jari telunjuknya tepat mengarah pada Bella. "Dia editor? Orang yang nggak paham fashion kalian angkat jadi editor? Kamu liat penampilan dia?!"
Mia menelan air ludah saking gugupnya, tapi dengan sabar dia membalas, "Hanya karena dia keliatan nggak stylist, bukan berarti dia nggak paham fashion, Yusuf."
Yusuf tertawa sarkastis mendengar penjelasana Mia. "Semua harus dirombak, Mia. Aku yang akan tanggung jawab buat edisi bulan depan," putusnya.
Mampus! pekik Bella dalam hati panik. A ... Apa ini artinya aku bakal dipecat? Batinnya ketakutan.
"Dan kamu," Yusuf menunjuk Bella lagi. "Kamu akan jadi asisten saya selama saya riset sampe pra-produksi. Kalau ternyata kamu emang nggak tau pekerjaan kamu, kamu udah tau kan apa yang akan terjadi?" ancamnya.
Bella sudah tahu mimpi buruk apa yang akan menimpanya, tapi hanya kepalanya yang bisa dia anggukkan.
***
"Semua ini cuma karena aku telat! Sial banget!" gerutu Bella sambil mengacak-acak rambutnya.
Ruby yang duduk di samping meja kerja Bella cuma bisa menatapnya penuh iba sekaligus lega karena bukan dia yang berada di posisi Bella. "Ini bisa juga buka kesempatan baru, loh ... Siapa tau Yusuf malah liat potensi kamu, terus kamu bisa naik jabatan?"
"Jangan ngaco!" hardik Bella memelas.
Mia berjalan keluar dari lift dan berhenti di depan meja Bella. Sesaat dia hanya diam memandang kasihan lalu berujar, "Kamu harus tahan-tahanin kerja sama dia, dia itu bukan manusia normal."
"Hah?" Bella terperangah, menambah rasa takut di hatinya. "Tapi, Mbak Mia ..."
"Aku cuma mau bilang itu. Good luck." Lantas dia berbalik dan meninggalkan meja kerja Bella begitu saja.
"Apa coba maksudnya? Bukannya bantuin ...!" seru Bella sambil menarik rambutnya frustrasi.
"Bel, dipanggil Pak Yusuf ke ruangannya!" seru Ana.
Bagai terpukul palu godam, Bella menjatuhkan keningnya ke atas meja. "Apa lagi sekarang ...?" lirihnya putus asa.
"Yang tabah ya, Bel," bisik Ruby, sama sekali tidak memberi solusi.
"Masuk," titah Yusuf sambil membukakan pintu mobil mewahnya untuk Bella.Bella mematung terheran-teran. "Ma-mau ke mana ini, Pak?""Masuk!" ulang Yusuf tegas.Mau tak mau, Bella masuk dan duduk di sebelah kursi pengemudi, kemudian Yusuf ikut masuk dan duduk di belakang kemudi.Cuma berdua? Batin Bella makin kebingungan. "Pak ... Ini mau ke mana, ya ...?" lirih Bella sambil memijat kedua tangannya di atas paha.Tanpa penjelasan, Yusuf menginjak gas dan melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta yang padat merayap.Selama di perjalanan, keduanya sama-sama diam, Bella bungkam dalam kegelisahan sekaligus ribuan tanda tanya. Satu yang pasti, aroma parfum Yusuf yang maskulin begitu menyengat hidung Bella sampai rasanya gadis itu melayang dibuatnya.Dan setelah hampir dua puluh menit berputar-putar di jalanan ibu kota, mereka akhirnya sampai di sebuah mal besar. Setahu Bella, pusat retail itu juga milik keluarga Pak Abizard, tapi dia sama s
Mobil mewah milik Yusuf berhenti tepat di depan sebuah rumah besar berlantai tiga dengan halaman luas yang ditumbuhi rumput jepang serta dipagari pohon-pohon taman setinggi rata-rata orang dewasa.Dengan wajah tak senang, Yusuf masuk ke dalam rumah, dan segera disambut oleh seorang pelayan paruh baya. "Pak Abizard sudah pulang, Beliau menunggu Anda di meja makan," ungkapnya tanpa basa-basi.Seolah sudah mengetahui hal tersebut, Yusuf tak bereaksi sama sekali. "Bilang saya sudah makan," katanya tawar seraya bersiap untuk menaiki anak tangga.Namun sebelum Yusuf menginjak anak tangga pertama, sebuah suara menahan langkahnya, "Kamu nggak kangen sama Papa, Yusuf?"Yusuf melirik ayahnya dengan berat hati, "Aku capek, lain kali aja ngobrolnya.""Kamu tau Papa sangat menghargai kerendahan hati kamu yang sudah bersedia untuk datang ke sini membantu bisnis Papa.""Bukan berarti semuanya udah balik normal, Pa," tegas Yusuf."Papa tau Papa bersa
"Apa-apaan itu tadi? Kamu nggak tau berapa banyak wartawan di depan? Kamu nggak sadar kamu keliatan kayak orang aneh berdiri sendirian di sudut gitu?"Bahkan sampai setelah mereka berada di aula, Yusuf tak berhenti mengomeli Bella."Ya ... sekuritinya nggak bolehin masuk, Pak.""Ya wajar! Emang itu tugas dia!" sambar Yusuf cepat sambil merogoh sakunya. "Sini hape kamu!" pintanya cepat.Walau sempat bingung, Bella buru-buru menyerahkan ponsel pintarnya kepada Yusuf, dan beberapa detik kemudian dikembalikan."Udah saya save nomor saya di situ. Hubungi kalau penting," kata Yusuf datar. Bella mengangguk sekenanya sambil memasukkan ponsel pintarnya kembali ke dalam tas tangan.Pandangan Yusuf beredar sebentar menyisir aula sebelum kembali terarah pada Bella, barulah dia sadari penampilan Bella seutuhnya. "Kamu kira ini pesta kawinan apa?" kritiknya sambil mendecakkan lidah lagi."Ma-maaf, Pak ... terlalu kasual, ya?" Bella menggaruk tengku
Bella masih terkekeh dengan tubuh sempoyongan ketika Yusuf menyeretnya ke area parkir hotel berbintang tersebut."Ngerepotin aja!" damprat Yusuf sambil menuntun Bella untuk duduk di kursi depan mobilnya.Setelah dia memasangkan sabuk pengaman di tubuh Bella, Yusuf duduk di kursi pengemudi dan mulai menyalakan mesin. Namun tiba-tiba tubuhnya tercekat, "Tunggu ... rumah kamu di mana?"Bella yang tadi masih setengah sadar dalam keadaan agak oleng kini telah sepenuhnya kehilangan kesadaran. Yusuf mendecakkan lidah sebal. "Harus ke mana cewek ini dibawa?" lirihnya memutar otak, untung terbersit satu lokasi.Satu tempat yang diyakinkan Yusuf akan aman untuk Bella, bukan rumah ayahnya tentunya, melainkan studio apartemen milik pribadinya, tempat yang kadang dikunjungi Yusuf apabila dia butuh waktu untuk sendiri.***Sinar mentari yang terik menembus kaca jendela besar, jatuh tepat di atas wajah Bella yang masih tertidur di atas sebuah tempat tidur
Masih terekam jelas di memori Yusuf, peristiwa menyakitkan yang terjadi sekitar dua puluh tahun lalu. Ketika pertama kali dia mengetahui soal wanita lain yang dimiliki oleh ayahnya. Perempuan itu diketahui bekerja di sebuah resort, dia bertemu dengan Pak Abizard saat pria itu sedang berlibur ke Bali. Cinta timbul di antara mereka meski saat itu Pak Abizard jelas telah menikah, bahkan memiliki seorang putera kecil yang belum genap menginjak usia sepuluh.Semua menjadi lebih rumit tatkala wanita ke-dua itu mengaku tengah hamil, dan datang untuk meminta pertanggung jawaban. Ibu Yusuf terguncang detik itu juga, hati istri mana yang tak teriris mengetahui dia bukanlah satu-satunya di hati suaminya.Dengan mata gelap dan tertatih-tatih, suatu malam ibu Yusuf pergi begitu saja, meninggalkan Yusuf tanpa mengucap sepatah kata perpisahan. Sampai Yusuf menginjak usia remaja, hanya sesekali dia datang menjenguk puteranya, tapi setelah Yusuf menginjak usia dua puluh, wanita itu len
"Se-sebetulnya ... Ada urusan apa ya, Pak?" tanya Bella sambil berusaha mengimbangi langkah Yusuf yang cepat.Mampus, jangan-jangan ada kesalahan lagi yang aku buat? Minimal pas jam kerja kek marah-marahnya! Pekik Bella dalam hati.Yusuf membuka pintu ruang kerja lalu menarik Bella masuk. "Saya cuma mau ditemani makan siang, itu aja," jawabnya pendek sambil menutup pintu ruang kerjanya kembali.Mata Bella terbelalak. Nggak salah dengar aku? Apa? Batinnya heran.Di dalam ruangan itu rupanya sudah tersedia meja makan bundar yang dipenuhi aneka menu serta minuman dingin yang menyegarkan. Yusuf menarik salah satu kursi untuk mempersilakan Bella duduk."Kenapa bengong? Duduk!" titah Yusuf, Bella buru-buru menurut meski masih dilanda kebingungan."Ini ... Bapak benar-benar ngajak saya buat makan?""Ya jadi? Menurut kamu ada makanan buat diapain? Dijogetin?" sambar Yusuf judes.Selama lebih dari sepuluh menit keduanya kompak diam memb
"Bel, mau balik?" tanya Taufan yang menyetop mobilnya di depan bella yang sedang berdiri di depan gedung kantor majalah GLAM."Ya iyalah, jadi mau ngapain lagi? Aku lagi nunggu taksi pesanan datang," jawab Bella, memang gadis itu termasuk salah seorang yang tak pernah berani untuk latihan mengemudikan sepeda motor maupun mobil, semenjak kecelakaan yang pernah dia alami waktu pertama kali latihan menyetir."Ayo masuk, aku antar aja. Ngapain sih kamu ke mana-mana naik taksi, buang-buang uang," ajak Taufan sambil membukakan pintu mobilnya untuk Bella.Bella sempat kagok, ini pertama kali Taufan terang-terangan menawarkan tumpangan untuknya. "Ayo, Bel ... aku antar, tenang aja, nggak bakal ngebut-ngebut, kok." Taufan membujuk sekali lagi.Meski kikuk, Bella melangkahkan kaki kanannya, hendak masuk ke dalam mobil Taufan. Namun, sebelum dia sempat masuk ke dalam mobil sedan putih itu, sebuah tangan besar meraih pergelangan tangannya."Ayo pulang," ucap Y
Pak Abizard menggeretakkan rahangnya, matanya mengobarkan api, seolah jika tidak ada siapapun di sana maka dia akan dengan gampang melayangkan tinju ke muka Yusuf, sementara Yusuf sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda gentar sedikit pun."Apa-apaan ini?" Seorang wanita tua yang tampak anggun dengan leher dipenuhi perhiasan yang berkilau akhirnya mendekat untuk menengahi. "Kalian jangan bikin ribut, apa nggak malu kalian dilihat sama para tamu?" wanita tua itu lalu menatap Bella yang langsung membenarkan posisi berdirinya dengan kagok. "Siapa?" tanyanya pelan."Oma, ini Bella, pacar aku," ungkap Yusuf sambil memeluk pinggang Bella dengan tangan kanannya.Nenek Yusuf terbelalak tak percaya. "Pa-pacar? Bukannya kamu udah ... sama Leila ...?" Oma tergagap ikut bingung."Halo, Oma. Nama saya Bella," sapa Bella takut-takut."Ah sudahlah, nanti aja kita bahas, sebentar lagi kita ada acara potong kue. Jangan dilanjut lagi ribut-ributnya, punya malu sed