Share

2. Pendekar Adji Darma

Pagi sekali, Naga Wali sudah bersiap membawa bakul-bakul dari rotan untuk dijual keliling perkampungan dengan tongkatnya. 

"Jangan lupa gembalakan dompa Tuan kepala kampung jika ingin mendapatkan koin perak! Kamu sudah besar, harus bisa mencari koin sendiri," ucap Naga Wali pada Bimantara yang berniat untuk belajar berenang di hari itu. Niatnya sudah bulat untuk menjadi murid di perguruan Matahari.

"Iya, Ayah."

"Dan tolong, jangan mencoba untuk membuka peti di bawah tempat tidur ayah! Jika sampai kamu buka, kamu akan kualat!"

"Baik, ayah."

Naga Wali pun pergi membawa bakul-bakul rotan sambil meraba jalanan dengan tongkatnya. 

Bimantara langsung bersiap untuk belajar berenang di sungai yang terletak di ujung perkampungan. Saat dia hendak melangkah keluar gubuknya, dia melihat ada cahaya yang keluar di bawah tempat tidur ayahnya. Dengan bantuan tongkat, Bimantara mendekat ke arah tempat tidur ayahnya dengan penuh rasa penasaran.

Karena rasa penasaran, Bimantara pun melongo ke bawah tempat tidur. Cahaya itu keluar dari dalam peti yang sedikit terbuka. Dia pun menarik paksa peti itu dan langsung membukanya. Bimantara tercengang saat mendapati di dalam peti itu berisi pedang perak yang berkilau. Di sana juga ada topeng dan pakaian pendekar. Dia ingat, semua itu adalah perlengkapan yang sama seperti perlengkapan pendekar Adji Darma yang menjadi pemimpin di perguruan Matahari. Dia pernah melihat Pendekar Adji Darma sekali dalam seumur hidupnya. 

"Bimantara!"

Bimantara terkejut saat mendapati ayahnya sudah berdiri di dekatnya. Dia heran, kenapa ayahnya kembali lagi ke sana? Dia langsung menutup peti itu dan mendorongnya ke bawah ranjang dengan hati-hati agar ayahnya tidak curiga. 

"Kenapa kamu berani membuka peti itu?!"

Bimantara kaget, bagaimana ayahnya tahu? Padahal ayahnya tidak bisa melihat. Naga Wali langsung mengibaskan tongkatnya ke arah Bimantara. Sontak Bimantara langsung meraih tongkatnya sendiri untuk berlari dengan kaki pincangnya.

"Anak durhaka! Mau kemana kamu!"

Bimantara terus saja berlari dengan susah payah. Di belakangnya Naga Wali mengejarnya sambil meraba jalanan dengan tongkatnya. Bimatara pun bersembunyi di balik batu dengan takut sambil memegang tongkatnya. Dia masih bertanya-tanya tentang apa yang dilihatnya dalam peti itu tadi. Saat merasa sudah aman, dia pun pergi mencari kakeknya di atas bukit.

Bimantara mendapati kakeknya sedang membetulkan atap gubuknya yang terbuat dari jerami. Napasnya terengah-engah, kelelahan menaiki bukit.

"Ada apa?" tanya kakeknya sambil melompat dari atap ke atas tanah.

Bimantara diam, bimbang antara ingin menanyakan soal isi peti atau tidak. Kakek Sangkala semakin heran. Tak lama kemudian dia tersenyum.

"Kalau ingin belajar dasar-dasar ilmu bela diri, kakek bisa mengajarkannya padamu."

"Bukan itu, Kek."

"Lalu apa?"

"Tadi aku tak sengaja melihat cahaya di bawah tempat tidur ayah."

"Lalu?"

"Aku penasaran dan melongo ke bawah tempat tidur ayah. Ternyata cahaya itu dari dalam peti milik ayah. Di dalamnya kulihat ada pedang, pakaian dan topeng yang mirip dengan yang sering dipakai pendekar Adji Darma."

Kakek Sangkala terkejut mendengarnya.

"Bukannya ayahmu melarang untuk membukanya? Kenapa kau berani melanggar perintah orang tuamu?"

Bimantara menunduk. "Maafkan aku, Kek. Aku penasaran."

Kakek Sangkala geram, "Memang itu penyakitmu! Kalau sudah penasaran harus tahu jawabannya! Ingat, adakalanya kita harus diam dan berhenti bertanya.

"Maaf, Kek," ucap Bimantara lalu menuduk dengan takut.

Kakek Sangkala menghela napas.

"Apa maksudnya semua itu, Kek? Kenapa benda-benda itu disimpan sama ayah? Apakah ayah mencurinya dari Pendekar Adji Darma?"

"Baru saja tadi kakek bilang adakalanya kita harus diam, masih saja bertanya!" kesal Kakek padanya.

"Maaf, Kek. Kelepasan," sahut Bimantara.

Kakek Sangkala akhirnya menghela napas. Dia tak tega membuat cucunya mati penasaran.

"Ayahmu bukan pencuri!" teriak kakek Sangkala tidak menerima sangkaan cucunya tadi.

"Kenapa bisa disimpan sama ayah?"

Kakek Sangkala terdiam lalu mengajak Bimantara duduk di atas bale di depan gubuknya.

"Mungkin sudah saatnya kamu tahu tentang rahasia ayahmu," ucap kakeknya sambil menatap pemandangan di bawah bukit sana.

"Rahasia apa, Kek?" Bimantara semakin penasaran.

Kakek menoleh pada Bimantara yang tampan itu.

"Ayahmu dahulu pendekar termasyhur yang dimiliki bumi Nusantara ini. Dia lah pemimpin sesungguhnya pemilik perguruan Matahari."

Bimantara terbelalak mendengar itu.

"Yang benar, Kek?"

"Iya, kakek tidak berbohong."

"Kalau begitu, kenapa ayah tidak memimpin perguruan Matahari lagi?"

Kakek Sangkala berdiri. Matanya menarawang ke masa lalu. Dia ceritakan semuanya pada Bimantara kalau dulu ayahnya memiliki sahabat bernama Arwana. Arwana tidak pernah tahu kalau Naga Wali adalah Adji Darma. Saat itu, mendiang ibu Bimantara dicintai Arwana, ayahnya malah merebut ibunya dari Arwana. Arwana pun pergi menjadi murid di perguruan Matahari. Tidak pernah kembali ke kampung dan akhirnya mengabdi menjadi guru ilmu bela diri di sana.

Akhirnya rahasia terbongkar. Ternyata Naga Wali adalah Adji Darma. Arwana yang menyimpan sakit hati diam-diam mengajak Naga Wali bertarung jika tidak ingin rahasia itu dia bongkar. Jika Naga Wali kalah, maka kepemimpinan perguruan Matahari akan jatuh ke tangan Arwana. Namun jika Arwana kalah, dia akan memaafkan Naga Wali yang sudah merebut mendiang ibu Bimantara darinya dan akan merahasiakan kalau Adji Darma adalah Naga Wali.

Naga Wali setuju karena yakin akan menang. Ternyata Arwana berbuat curang. Dia diam-diam mencampurkan minuman Naga Wali dengan racun. Hingga saat pertarungan Naga Wali kalah dan matanya dibutakan oleh Arwana. Ilmu tenaga dalamnya dikeluarkan oleh Arwana dengan ajian pamungkasnya. 

Mendengar itu, Bimantara berdiri dengan geram.

"Latih aku ilmu dasar-dasar bela diri dan berenang, Kek! Biar aku bisa ke sana dan belajar ilmu bela diri sampai aku bisa membalaskan dendam ayah!" teriak Bimantara dengan kesal.

"Balas dendam tak akan menyelesaikan masalah. Lagi pula ayahmu sudah memaafkan Arwana. Semuanya sudah selesai. Ayahmu sudah hidup tenang dengan apa yang dijalaninya sekarang."

Bimantara tampak kesal bercampur sedih memikirkan nasib ayahnya. Dia pun berjalan meninggalkan kakek Sangkala untuk pulang menemui ayahnya. Kakek Sangkala hanya diam saja. Harusnya dia tidak bercerita. Kini melihat sikap Bimantara yang kesal begitu dia menyesal sudah menceritakan semuanya.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
mantap ceritanya
goodnovel comment avatar
Sunny Zylven
Harusnya ini impas, Thor. Raja Wali udah rebut cewek Arwana. Kalau dia ngamuk ya wajar.
goodnovel comment avatar
Cedar Karamy
Wih konflik sudah runcing di awal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status