Share

8. Di Mana Aku?

Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri. 

“Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih.

Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah.

“Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya.

Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran.

“Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala.

Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari.

“Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak.

“Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala.

Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya. Sang Istri menoleh pada Suami dengan gusar. “Bagaimana ini suamiku?”

“Jika memang benar begitu, biarkan Dahayu menjadi murid di sana, Istriku,” jawab Sang Suami.

“Aku tak pernah ridho jika Dahayu menjadi pendekar, Suamiku. Dia perempuan,” tegas Sang Istri.

“Lebih baik Dahayu menjadi pendekar dibanding Dahayu menghilang dari hidup kita selama-lamanya!” tegas Sang Suami.

Sang Istri diam. Kakek Sangkala terus saja memandangi angin puting beliung itu yang semakin mendekati pulau Perguruan Matahari.

*** 

Sementara itu Bimantara masih mengambang di atas lautan. Matanya terpejam. Tongkatnya masih berada di tangannya. Tak lama kemudian angin puting beliung datang lalu menarik tubuhnya ke atas. Bimantara dan Dahayu tampak terombang-ambing berputar-putar di dalam angin puting beliung itu.

Orang-orang di Dermaga Perguruan Matahari berlarian ke dalam bangunan. Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi masih berdiri dengan heran.

“Kita harus pergi dari sini, Tuan Guru,” pinta Pendekar Tangan Besi pada Adji Darma.

“Kita harus tetap di sini sampai matahari tenggelam,” jawab Adji Darma dengan tegas.

“Tapi angin itu bisa membawa kita pergi dari sini,” ucap Pendekar Tangan Besi dengan khawatir.

“Alam menjaga tempat kita ini. Aku yakin angin itu tak akan menghancurkan tempat kita ini. Aku memiliki firasat kalau angin itu membawa sesuatu untuk kita,” jawab Adji Darma dengan tenangnya.

Benar saja. Angin puting beliung itu kini tiba di Dermaga. Angin itu menghempaskan dua anak manusia di atas Dermaga ; Bimantara dan Dahayu. Setelahnya angin puting beliung itu mengecil lalu menghilang. Pendekar Tangan Besi tercengang tak percaya. Para pendekar lainnya berlarian ke sana untuk memastikan dua manusia yang dihempaskan angin ke atas Dermaga itu masih hidup atau mati.

Pendekar Rambut Sakti, Pendekar Pedang Emas dan Pendekar Tendangan Seribu berlari ke arah dua manusia yang lemas tak berdaya di atas Dermaga. Mereka adalah para guru di Perguruan Matahari. Pendekar Rambut Sakti langsung memeriksa denyut nadi dua manusia yang tengah pingsan itu, ternyata dua-duanya masih hidup. Ya, dua manusia itu adalah Bimantara dan Dahayu.

“Kita harus membawanya ke asrama,” ucap Pendekar Rambut Sakti pada dua pendekar lainnya.

“Mereka bukan calon murid baru untuk Perguruan kita,” sahut Pendekar Pedang Emas.

Pendekar Rambut Sakti dan Pendekar Tendangan Seribu heran. 

“Kenapa?” tanya Pendekar Tendangan Seribu.

“Kita harus kembalikan mereka ke pulau asal. Mereka ke sini bukan karena pertolongan dari alam. Angin puting beliung tak bisa dikatakan pertolongan dari alam. Angin puting beliung adalah bencana. Mereka tidak sah untuk diterima menjadi murid di sini,” tegas Pendekar Pedang Emas pada mereka.

Tak berapa lama kemudian Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi datang.

“Bawa mereka ke asrama!” tegas Adji Darma.

Pendekat Tangan Besi heran.

"Tuan, Guru. Mereka datang ke sini dibawa angin. Angin puting beliung adalah bencana. Mereka tidak sah untuk menjadi murid di sini. Sebaiknya kita kembalikan saja mereka ke pulau asal," pinta Pendekar Tangan besi padanya.

Pendekar Pedang Emas pun tidak terima.

“Benar, Tuan guru. Angin puting beliung tak bisa dijadikan sebagai pertolongan dari alam. Mereka tiba di pulau kita dengan tidak sengaja. Mereka tidak sah jika harus dijadikan murid di sini,” protes Pendekar Pedang Emas pada Adji Darma.

“Bawa dan rawat mereka! Kita harus selamatkan nyawa mereka. Bagaimana pun mereka datang sebelum matahari tenggelam. Kita harus mempertimbangkan apakah mereka benar-benar berniat untuk menjadi murid di sini atau tidak. Jika mereka tidak memiliki niat untuk menjadi murid di sini, baru kita kembalikan ke pulau asal,” pinta Adji Darma.

“Baik, Tuan Guru,” jawab semuanya.

Akhirnya Pendekar Pedang Emas terpaksa menuruti perintah Adji Darma. Mereka membawa Bimantara dan Dahayu menuju gedung perguruan. Sementara Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi akan terus di sana sampai matahari tenggelam.

Ya, penerimaan murid baru hanya terjadi satu hari. Dimulai terbitnya matahari dan sampai tenggelamnya matahari. Dalam kitab penerimaan murid baru, angin dan api tidak termasuk dalam pertolongan alam yang akan memudahkan para calon murid terpilih untuk memasuki Perguruan itu. Pertolongan dari alam yang tercatat diantara dari makhluk laut seperti Naga, Ikan dan lainnya. Dan juga dari para leluhur yang secara tidak sengaja memberi kekuatan tak terlihat pada calon murid hingga sampai dengan penuh keajaiban menuju pulau itu. 

Matahari sudah hampir tenggelam. Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi terdiam. Seketika Pendekar Tangan Besi menoleh pada Adji Darma.

“Sebentar lagi penerimaan murid baru telah ditutup, Tuan Guru,” ucap Pendekar Tangan Besi sambil memandangi matahari yang mulai tenggelam di kejauhan sana.

Adji Darma mengangguk.

“Jika dua manusia yang datang terakhir tadi memang memiliki niat untuk menjadi murid di sini, berarti alam telah menghendaki angin untuk membawa dua calon murid terakhir ke sini, Tuang Guru?” tanya Pendekar Tangan Besi pada Adji Darma.

“Atau ini sebuah petanda bahwa kehancuran Nusantara akan tiba,” ucap Adji Darma dengan sedih.

“Kenapa bisa begitu, Tuan Guru?” tanya Pendekar Tangan Besi dengan heran.

“Dalam beberapa abad, baru ini kita hanya menerima delapan murid. Dan dalam beberapa abad, baru ini budi pekerti menjadi alasan para calon murid lainnya gagal memasuki perguruan kita. Dan dalam beberapa abad, baru ini angin membawa dua calon murid ke sini,” jawab Adji Darma.

Pendekar Tangan Besi terdiam. Matahari sudah tenggelam. Malam sudah mulai datang. 

***

Bimantara membuka matanya. Dia terkejut saat mendapati dirinya terbaring di atas jerami di ruangan berdinding anyaman bambu yang sempit itu. Saat dia hendak menggerakkan tangannya, dia kaget ketika melihat banyak tusukan jarum tengah menempel di kulit tangannya dan dadanya. Bimantara mencoba mencari tongkatnya. Dia lega ketika menemukan tongkatnya ada di dekatnya.

“Di mana aku?” tanya Bimantara dengan lemah pada dirinya. “Apa aku dikembalikan ke pulau asalku? Apa aku berada di pulau Perguran Matahari?”

Tiba-tiba seorang tabib datang membawa bakul berisi obat-obatan. Dia terkejut ketika melihat Bimantara mencoba bangkit dari tempat berbaringnya.

“Jangan dulu bergerak,” pinta Tabib itu dengan penuh khawatir padanya.

Bimantara terkejut lalu terpaksa diam dalam posisi duduk.

“Di mana aku?” tanya Bimantara heran.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Sulaiman Sugihto
cerita menarik
goodnovel comment avatar
Sulaiman Sugihto
cerita menarik
goodnovel comment avatar
Hamsyah Mattjik
bagus cuma belum bisa lanjut blm tau caranya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status