Share

BAB 2

Bagian apa yang paling sulit dalam mengakhiri sebuah hubungan?

Itu adalah meyakinkan semua orang bahwa kau akan baik-baik saja, dan kau bisa mengatasinya. 

Padahal tentu saja itu mustahil.

Kalau semuanya akan teratasi, kau tidak mengakhiri hubungan itu.

Ah, iya, satu lagi.       

Kau harus mulai terbiasa mengemban tanggung jawab dan julukan yang baru. Dalam kasusku, aku akan menjadi ibu, sekaligus ayah, sekaligus janda beranak.

Semudah itu.

Padahal untuk mengawali hubunganku dengan pria itu sangat sulit. Kami sama-sama pemalu. Orang-orang yang hanya keluar rumah untuk bekerja dan membeli bahan makanan, itu pun dengan wajah tertunduk. Suatu keajaiban sampai akhirnya kami bertemu, dan menikah.

Tapi ternyata, mengakhirinya tidak sesulit itu.

Kau hanya perlu berbicara, menunjukan bukti, dan semuanya selesai.

“Kapan Papa pulang, Ma?”

Anakku berusia 5 tahun. Ia sudah mengerti banyak hal. Anak yang pintar untuk ukuran bocah seusianya. Sudah beberapa malam kami hanya tidur berdua di rumah, dan mungkin akhirnya ia mulai merindu, tapi masalahnya, apakah pria itu juga merindukan putranya?

Melihat mata jernih itu, hatiku kembali ciut. Ini kah yang ditakutkan semua wanita saat berdiri di ambang garis perceraian? Lalu akhirnya malah memilih berdamai dengan kebusukan suami mereka, dan memaafkan demi perasaan aman?

Karena anak?

Karena uang?

Karena julukkan baru yang menyeramkan?

Aku tidak bisa menjawab. Hidup kami sendiri sudah jungkir balik.

Dan aku tau, ketika kami bercerai nanti, secara otomatis semua pemasukan yang selama ini suamiku berikan akan menghilang, tapi pengeluarannya tidak akan berkurang.

Biaya rumah, biaya sekolah, biaya kehidupan sehari-hari, biaya masa depan, bahkan biaya ongkos angkutan umum pun akan mulai menjadi masalah.

Aku sadar.

Bisakah aku melalui semuanya?

Atau, haruskah aku berdamai seperti perempuan-perempuan lain yang memutuskan bertahan demi semua alasan itu?

Mungkin anakku takkan lagi merasakan kenyamanan seperti ini. Mungkin kami akan kekurangan uang. Meski aku bisa bekerja seperti dulu, tapi ia akan kekurangan kasih sayang. ia akan terombang-ambing dalam perasaan gundah dan kecewa. Ia akan tersakiti karena tak lagi memiliki orang tua yang utuh dalam satu atap.

Lalu, ia juga akan memiliki julukan baru.

Anak beroken home.

Begitu banyak hal negatif yang memenuhi kepalaku.

Tapi setiap kali aku ingin menyerah, aku tetap tidak akan bisa melihat pria itu dengan pandangan yang sama lagi. setidaknya, tidak tanpa pemikiran bahwa ia pernah berbagi ranjang dengan wanita lain yang kini hamil karenanya.

***

"Tulisanmu sekarang agak berbeda." Itu Lina, sahabat sekaligus editorku.

Kami duduk berhadapan di restoran cepat saji dekat sekolah TK anak-anak kami. Quality time dengan dalih menjemput anak-anak, padahal mereka baru akan keluar sekolah 1 jam lagi.

Aku menyeruput minumanku dengan wajah datar.

"Ini part yang bahagia loh, tapi emosimu flat banget," tambahnya, membaca file yang baru kukirimkan ke emailnya semalam. "Kalau kamu lagi nggak mood kita bisa ajukan hiatus."

Aku bergeming.

Andai hidup juga semudah itu. Kalau kau sedang tidak mood menjadi manusia, kau bisa mengajukan hiatus, lalu memilih menekuni peran sebagai tumbuhan, atau bahkan batu, agar kau bisa diam saja dilempar orang lain.

“Is everything alright?” tanyanya.

Kuharap ia benar-benar mengkhawatirkanku, bukan mengkhawatirkan tulisanku yang belum sempurna menurutnya.

Ia adalah salah satu orang yang kuanggap sebagai sahabat terbaikku.  Aku penulis, dan ia adalah editor  yang menjadi jembatanku dengan platform kepenulisan online yang sekarang menaungi kami.

Kami begitu dekat, sampai di titik kami pernah berjanji untuk menjodohkan anak-anak kami ketika dewasa kelak. Karena kupikir ia akan menjadi mertua yang baik untuk putraku, dan ia aku tau ia berpikiran yang sama.

“Ya,” jawabku singkat, sambil terus menatap ke luar jendela besar restoran cepat saji. Di seberang sana, ada sekolah TK anak-anak kami, dan lalu lintasnya selalu padat.

Di film-film yang kulihat, banyak sekali kejadian kecelakaan di tempat-tempat strategis seperti itu. Dan aku mulai bertanya-tanya bagaimana rasanya, apakah akan merubah suatu alur dalam hidupmu?

"Mi." Lina tersenyum, tapi tak menyentuh matanya.

Ah, buat apa aku menyembunyikannya? Tapi sejujurnya, aku tidak berniat menyembunyikan dari siapa pun. Aku hanya malas menjawab pertanyaan yang akan datang setelahnya.

“Aku akan bercerai dari Abrar.”

Mata Lina membulat penuh tanya.

“Hah??? Kamu mau apa? Kenapa? Ada masalah apa, Mi? Jangan bercanda!”

Kenapa ia terlihat sangat terkejut? Apa memang ini adalah kemampuannya sejak awal? Kalau begitu, ternyata aku satu-satunya yang tertipu.

“Mi, kenapa?”

Aku ingin memberikan pertanyaan yang sama. Tapi perasaan hampa itu sudah membumbung terlalu tinggi, sampai kupikir sebentar lagi aku akan melayang karena tak lagi memiliki daya berat.

“Kenapa kamu tanya? Kamu pasti tau adikmu hamil karena suamiku.”

Dan wajahnya sontak memerah.

***

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
gsgshsjjsjsjs
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
jsjsjsjjskskdkd
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Ternyata adik.dri temannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status