Share

BAB 4

“Percayalah, kau tidak akan mendapatkan ujian diluar batas kemampuanmu.”

Aku ingin mempercayai kata-kata itu, dan meyakini diriku sendiri bahwa aku bisa melaluinya, meski dengan hati tercabik, dan jiwa yang patah.

“Tolong, Mi, tolong jangan bercerai dengan Abrar, Ibu mohon, demi Ibu.”

Ibu mertuaku menangis tersedu-sedu di hadapanku, memohon sambil menggenggam jemariku dengan sangat erat. Seakan ia baru saja melakukan kesalahan yang sangat besar.

“Ibu minta maaf. Ibu minta maaf atas nama Abrar, Ibu minta maaf karena nggak bisa mendidik dia dengan baik sampai dia begini sama kamu. Ibu minta maaf, Mi. Tapi tolong jangan bercerai. Ibu akan menegur Abrar dan meminta dia meninggalkan perempuan itu. Ibu janji. Tapi tolong jangan bercerai.”

Orang yang melihat adegan itu akan beranggapan betapa aku adalah menantu jahat yang dingin. Wanita tua itu hampir bersimpuh di kakiku, tapi tak ada emosi yang tertinggal di wajahku.

Mengapa mereka terus memintaku bertahan?

“Ibu mohon, Mi, ibu mohon sama kamu, tolong pikirkan lagi. Abrar cinta banget sama kamu, dan kamu juga masih sayang dia kan?”

Itu adalah pernyataan dan pertanyaan terkejam yang bisa kudengar. Aku tau apa yang akan menjadi jawabanku. Namun jelas penyataannya tentang cinta pria itu tentu hanya bualan belaka bukan? Ia bahkan tidak akan mengingat namaku saat mendesah bersama wanita itu.

Aku bergeming. Mataku menatap kosong rak buku berdebu di hadapanku. Apa yang tersisa di sana? Apa rak itu pernah tersentuh? Mengapa ada banyak sekali debu yang mendekam? Padahal dulu, ketika rak itu pertama kali diletakkan di sana, mereka sangat membanggakannya, seakan ia adalah hal yang paling sempurna yang mereka miliki.

Sekarang, ia hanya membeku, terlihat tapi tak tersentuh, tak berarti, dan terlupakan begitu saja.

Seperti hatiku.

“Ibu mohon, Mi. Ibu tau Abrar sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Wajar kalau kamu semarah itu. Tapi kalau kalian bercerai kasihan Andra. Dia nggak tau apa-apa tapi akhirnya dia yang menjadi korban. Tolong dipikirkan lagi, Mi.”

“Terus gimana dengan perempuan yang hamil itu, Bu?” tanyaku tanpa melihat matanya.

“Ibu akan meminta Abrar buat tinggalin dia. Bahkan kalau perlu ibu akan minta perempuan itu mengugurkan kandungannya!”

Itu hal yang jahat.

Namun, percayalah, kata-kata itu sedikit menghiburku.

Aku tau ini terdengar kejam, tapi aku sudah lelah menjadi satu-satunya orang yang bersikap baik ketika semua orang berlomba-lomba untuk mematahkan jiwaku.

Setidaknya, kupikir aku akhirnya memiliki satu dahan untuk bertahan. Untuk menopang tubuhku yang sudah berada di tepi jurang.

Namun, ketika aku melihat wanita itu menangis di dalam pelukan Ibu beberapa hari kemudian, aku sadar, bahwa dahan itu hanyalah sebuah fatamorgana.

***

“Tolong izinkan dia menikahi suamimu.”

Ada kalanya kupikir semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang suatu saat akan menghilang saat aku terbangun. Namun, entah bagaimana malam bergerak begitu lambat, hingga mimpi buruk ini tak pernah bermuara ke mana pun, kecuali rasa nyeri.

Pagi itu, Lina menghadangku. Ia memintaku ikut bersamanya, tapi aku menolak. Jadi, di trotoar yang sepi, di depan sekolah anak-anak kami, di depan restoran tempat kami biasa menghabiskan waktu, ia mengutarakan permintaannya kepadaku.

“Dia mengancam akan bunuh diri kalau tidak dinikahi suamimu.”

Lalu?

“Tapi aku nggak mau kamu bercerai dari suamimu, Mi.”

Betapa kejamnya, betapa serakahnya ia demi bisa membuat perasaannya sendiri menjadi jauh lebih baik.

“Aku tau selama ini kamu bergantung hidup sama Abrar. Aku nggak mau kalian bercerai dan akhirnya hidupmu dan Andra akan terlunta-lunta. Itu  lah kenapa, tolong izinkan dia jadi istri kedua suamimu, Mi.”

Sebuah mobil box pengangkut barang berjalan melewati kami. Untuk sesaat aku menimbang, bagian manakah yang paling menyakitkan, mendorongnya ke arah truk itu, atau mendorong tubuhku sendiri.

“Sejak kapan?” tanyaku, tanpa melihat wajahnya.

“Apanya?”

“Sejak kapan kamu memutuskan buat sembunyiin perselingkuhan suamiku dan adikmu.”

“Mereka khilaf, Mi.”

“Berapa kali mereka tidur bersama, Na?”

“MIA!”

“Sekali? Dua kali? Atau terlalu sering sampai kamu nggak bisa menghitungnya lagi?”

Wanita itu terdiam. Dan aku harap ia merasa sedikit saja perasaan bersalah. Namun, saat aku mendengar isak tangis dari wanita itu lagi-lagi aku merasa terkhianati.

Aku yang terluka, dan ia yang menangis. Betapa lucunya.

“Lemme ask you one question, Na. Kalau perempuan ini bukan adikmu, apa kamu akan tetap memintaku melakukannya?”

Lina terdiam, dan aku sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaanku.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
jxjdjdjjdkskdkskkskd
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Mdh pnsran benarkah mereka slg cinta
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status