Share

BAB 5

“Mi, aku mohon, tolong jangan pergi dariku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu dan Andra. Tolong pikirkan lagi. Aku khilaf. Aku minta maaf.”

Kata-kata itu lagi. Entah sudah berapa kali aku mendengar kata-kata yang sama. Namun, tidak sekalipun kata-kata itu menyentuh hatiku. Mungkin karena aku tau, tidak peduli sebanyak apa ia meminta maaf dan memintaku bertahan, kehidupan kami tidak akan pernah kembali seperti dulu.

Sebenarnya apa arti kebahagiaan?

Mengapa orang-orang sangat sibuk menunjukkan kebahagiaan mereka? Seakan kebahagiaan mereka tidak berati tanpa pengakuan dari orang lain.

Foto yang terunggah,

Cerita yang terdengar,

Bahkan, senyuman lebar yang terlihat di dalam setiap rekaman memori itu, semua hanya menanti satu hal, yaitu pengakuan.

Setiap foto yang diambil selalu memiliki maksud tertentu.

Dan percayalah, maksud terbesarnya adalah untuk memamerkan apa yang ia miliki dan tidak kita miliki.

Sesederhana itu.

Jadi jika kau melihat ada seseorang yang memiliki akun sosial media dengan banyak unggahan foto, itu tandanya ia sedang memamerkan apa yang ia miliki, dan kalian tidak.

Tidak pernah ada orang yang sederhana di dunia ini. Bahkan sekarang orang-orang mulai berlomba untuk memamerkan kesederhanaan mereka. Bukankah itu sedikit ironis.

Lantas, apa itu salah?

Aku tidak pernah mengatakan hal itu salah atau benar. Kau berhak melakukan hal itu jika itu membuat dirimu bahagia, karena orang lain tidak akan peduli dengan kebahagiaanmu. Kecuali dirimu sendiri.

Asal, kau tidak menyakiti orang lain dengan apa yang kau lakukan.

Mungkin karena tidak pernah mendapatkan pengakuan dariku, wanita itu terus mengirimkan foto-foto kebahagiaannya kepadaku tanpa diminta. Ia memamerkan hal-hal yang didapatkannya dari suamiku, yang dulu kami tidak miliki karena saat itu kami terlalu miskin.

Namun sekarang, ia datang ketika uang pada suamiku bukan lagi hal yang berat. Jadi ia bisa hidup bahagia dengan semua itu, tapi lagi-lagi ia tidak merasa cukup puas tampaknya, itu lah mengapa ia terus memberikan kabar kebahagiaannya kepadaku saat aku harus membujuk putraku untuk tidak menangis karena merindukan ayahnya.

Marah?

Tentu.

Iri?

Tentu.

Kecewa?

Tentu saja.

Tapi jika aku menunjukkannya itu berati ia akan menang, bukankah begitu?

“Mi, aku benar-benar maaf, tapi aku nggak bisa ceraikan kamu. Aku nggak bisa. Aku akan lakukan apa pun buat memperbaiki semuanya.”

Kata-kata yang indah, andai itu sesuai dengan yang ia lakukan. Namun lihatlah, di satu titik ia mengemis di hadapanku, di sisi yang lain ia tampak menikmati kehidupannya bersama gadis itu.

“Oke. Silakan mulai dengan minta dia ganti foto profil whatsappnya,” pintaku sungguh-sungguh.

“Itu cuma foto profil, Mi, nggak perlu kamu pikirin. Nanti juga kalau dia bosan dia ganti. Kalau kamu nggak suka kamu bisa blokir dia.”

Jadi aku harus menunggu sampai mereka bosan, baru mereka akan berhenti menyakitiku?

Ya, itu hanya sebuah foto profil. Sebuah foto suamiku tersenyum mesra bersama seorang gadis. Foto yang membuat ponselku terus berdering karena orang-orang yang kami kenali mulai mempertanyakan maksud foto itu.

Itu hanya sebuah foto, tapi bagiku itu seperti tali yang tergantung, dan mencekikku setiap saat melihatnya.

“Ini bukan karena aku suka atau nggak suka, Mas. Tapi apa kamu nggak keberatan dia menggunakan foto kamu, seakan mengikrarkan hubungan terlarang kalian ke semua orang. Atau kamu memang suka itu?”

Dan ia mulai kehabisan kata.

***

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan ngebatin dan akhirnya gila senduri
goodnovel comment avatar
rozi yana
mulai bosan membacanya
goodnovel comment avatar
Indri saputra
kenapa lebih banyak bermonolognya yaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status