Share

BAB 6

“Mana anakku?”

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling menyeramkan bagi seorang ibu. Jangan salah paham. Aku bukan wanita pengecut. Namun, ketika pertanyaan itu terlontar, maka artinya jiwaku tak lagi berada di tempatnya.

Suara di sebrang sana terdengar gugup. “Andra baik-baik aja, kamu nggak perlu khawatir.”

“Kamu culik dia?”

“Demi Tuhan, Mi, dia juga anakku! Apa aku nggak boleh jemput dia pulang dari sekolahnya?”

Aku bergeming. Mataku masih nanar menatap gedung sekolah putraku yang mulai sunyi. Satu persatu anak dijemput oleh wali mereka masing-masing. Dan putraku tidak ada di antaranya.

“Aku nggak akan pernah sakiti anakku sendiri, Mia!” bentak pria itu, padahal aku tidak mengatakan apa pun.

Namun, nyatanya, ia sudah melukai putranya.

Perselingkuhannya, itu sangat melukai Andra, apakah ia tidak pernah berpikir seperti itu?

“Di mana anakku?” tanyaku sekali lagi.

Ia menghela napas berat. “Ayo kita bicara.”

Jadi ia benar-benar menculik anakku untuk menjadi sandera?

“Ayo kita ketemu di rumah Ibu, Andra ada di sana.”

Haruskah aku merasa lega? Atau sebaliknya?

Karena entah mengapa, saat aku mendengar tawa Andra dari gerbang depan rumah mertuaku, tidak ada ketentraman yang bisa kudapatkan sama sekali. Karena di sana aku juga mendengar suara tawa gadis itu.

Bagai keluarga bahagia dalam opera sabun yang kerap kulihat di televisi, mereka tertawa lepas tanpa rasa bersalah. Putraku, dengan putri Lina berceloteh riang, bermain seru. Sedang para orang tua menonton penuh syukur. Bukankah itu pemandangan yang sangat indah?

           

Ya, itu hal yang indah, asal kamu mengesampingkan kenyataan bahwa wanita yang tertawa itu bukanlah istri dari si pria, atau ibu dari sang anak. Bahwa perempuan lain di sampingnya bukan orang yang mengkhianati sahabatnya sendiri. Dan bahwa nenek si anak itu bukanlah orang yang mendukung perselingkuhan putranya sendiri.

Kedatanganku mengusik pemandangan bahagia itu. Semuanya hening, kecuali tawa dari dua bocah yang tetap riang tanpa tau apa pun.

Lalu akhirnya Ibu mengajakku berbicara berdua bersamanya.

“Mia, ibu sudah berpikir berulang kali. Ibu benar-benar minta maaf karena menempatkan kamu di posisi yang sulit begini. Tapi, bisakah kamu terima dia jadi istri kedua suamimu?”

Aku menatap daun yang gugur. Mereka bilang bahkan daun tidak akan marah meski angin berembus menjatuhkannya. Ya, benar, tapi itu karena waktunya memang sudah habis. Dengan atau tanpa angin yang berembus ia akan tetap jatuh.

Lalu, apakah waktuku juga sudah habis sekarang?

“Kemarin, waktu aku bilang aku punya laki-laki lain, ibu tampar aku.”

Lekat kutatap kedua mata tua itu tanpa berkedip. Tidak ada amarah yang tersisa. Jiwaku hanya lelah.  

“Tapi sekarang, kenapa Ibu nggak menampar Mas Abrar dan malah menggelar karpet merah untuk menyambut perempuan itu? Apakah menjadi seorang ibu berarti harus menutup mata atas kesalahan anaknya?”

Dan wanita itu membeku dalam amarah.

***

Kau tau mengapa wali pernikahan sangat penting untuk mempelai wanita? Karena itu untuk menunjukkan bahwa mempelai wanita memiliki penjaga di belakangnya, yang secara tidak langsung akan berfungsi sebagai ancaman untuk menakuti mempelai pria agar memperlakukan istrinya dengan baik.

Tapi aku tidak memiliki siapa pun.

Aku yatim piatu.

Itukah yang menyebabkan mereka bersikap semena-mena seperti ini kepadaku?

“Kenapa kamu nggak melepaskan aku, Mas?” tanyaku kepadanya di suatu petang yang hening. Pertanyaan yang ratusan, bahkan jutaan kali kulontarkan di hadapan wajahnya.

“Karena aku cinta kamu, Mi.”

Aku tidak tahan untuk tidak mendengus.

“Cinta? Bagian mana yang kamu maksud cinta? Bagian ketika kamu mengkhianatiku? Ketika kamu meniduri perempuan itu? Atau ketika akhirnya kamu meminta aku menyambut kedatangannya di antara kita? Kamu bahkan berhasil bujuk Ibu buat meminta hal yang sama.”

“Mia!”

Ada dua jenis manusia ketika melakukan kesalahan. Satu, mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Dua, mengakui kesalahannya, meminta maaf, tapi tidak merasa bersalah sama sekali.

“Kenapa kamu nggak bisa menceraikan aku, Mas? Aku nggak akan mengalangi kamu kalau kamu mau menikahinya, atau menikahi semua perempuan lain di dunia ini. Tapi ceraikan aku, pernikahan kita sudah berakhir.”

“MIA! Aku nggak bisa berpisah dari kamu. Aku sayang kamu dan Andra! Aku nggak bisa jauh dari kalian!”

Apa ia baru saja berbicara dengan bahasa dari planet lain? Mengapa tidak ada satu patah katapun yang membuatku mengerti maksud dari kata-katanya?

“Kalau begitu, kenapa sejak awal kamu selingkuh? Kenapa kamu tiduri perempuan itu? Dia bahkan adik sahabatku sendiri.”

“Aku khilaf, Mia!”

“Yang pertama mungkin kamu khilaf. Tapi yang kedua? Ketiga? Kebelasan kali, apakah itu masih termasuk khilaf dalam kamus hidupmu?”

Dan, mulutnya terkatup rapat.

***

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, kebanyakan menye2 kau. nyadar diri aja dan jgn banyak tanya. sanggup bertahan dan g sanggup lepaskan dg semua resikonya. daripada ngebatin aja kerja kau kayak orang gila
goodnovel comment avatar
Sukmi Sembiring
dari bab ke bab kok gk nyambung ya... cerita ny lari lari
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
jgn bawa kata khilap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status