Share

BAB 8

Operasi pertama tetap dilakukan, meski tanpa jawabanku atas permintaannya. Kalau aku menganggap itu satu-satunya kebaikan yang tersisa darinya, maka aku sudah gila, mereka sudah gila!

Ini anaknya! Bagaimana mungkin dia bisa diam saja ketika anaknya hampir mati? Bahkan binatang buas akan tetap melindungi anak mereka.

Tamu lain yang mendatangiku diam-diam di rumah sakit adalah guru sekolah Andra. Silvia, gadis muda yang biasanya menyapa murid-murid seriang mentari pagi di pintu masuk sekolah. Kebiasaan yang mereka adaptasi dari sekolah di luar negeri.

Ia tampak ketakutan melihatku, seakan aku akan melahapnya dalam sekali suapan.

Kemarin ia sudah datang bersama kepala sekolah putraku, mengucapkan bela sungkawa, dan menyerahkan sebuah amplop yang tak pernah kubuka. Mungkin mereka takut aku menuntut, karena kejadian itu terjadi tepat di lingkungan sekolah dan di jam istirahat.

Mudah saja, mereka lalai, atau anakku terlalu lincah.

Aku menatap guru muda itu. Wajah cantiknya tak lagi cerah, sampai-sampai kupikir ia mengalami trauma karena kejadian ini.

“Andra itu anak yang baik, Bu,” katanya, memecah kecanggungan di antara kami.

Aku tau, tapi aku tidak menjawab.

Aku juga butuh kambing hitam untuk kusalahkan, aku bukan ibu berhati malaikat yang akan memeluk orang-orang yang menyakiti anakku.

“Dia anak yang pintar. Andra nggak mungkin menyebrang sembarangan. Dia anak yang benar-benar cerdas dan paham peraturan.”

Ada ketakutan, keraguan, tapi juga kebenaran dari suara Silvia.

“Dan gerbang belakang hampir nggak bisa dibuka oleh anak-anak.”

Hampir bukan berarti tidak bisa, kan?

Apa dia sedang mencari sebuah pembenaran? Karena sejujurnya aku mulai merasa muak pada semua orang. Aku lelah.

“Saya nggak mau memperkeruh keadaan, tapi saya juga nggak bisa tetap diam.”

Setiap bibir merah mudanya berhenti bicara, aku bisa merasakan jantungku tersentak. Kuharap ia segera menyelesaikan semua kata-katanya.

“Ada apa?” tanyaku, pertama kali bersuara.  

Silvia terlihat semakin gelisah. “Kalau Ibu mau, Ibu bisa lihat CCTV yang ada di minimarket dekat pertigaan. Memang dari CCTV sekolah tempat kecelakaan Andra adalah titik buta yang nggak terjangkau. Tapi mungkin kalau dari CCTV minimarket itu, akan ada sedikit rekaman yang membantu.”

Keningku berkerut. Jantungku berdetak semakin keras. Kutatap Andra yang masih terlelap, lalu menoleh kembali ke arahnya.

Apa maksud semua perkataannya? Apa ada sesuatu dengan kecelakan putraku? Bukankah penabraknya sudah meminta maaf dan bersedia bertanggung jawab? Meski karena dia juga miskin, ia hanya mampu membayar uang rumah sakit separuh saja.

Namun yang dikatakan Silvia benar. Putraku berusia 5 tahun, dan dia anak yang pintar. Ia tidak mungkin menyebrang begitu saja tanpa memperhatikan sekelilingnya.

“Saya benar-benar menyesal atas apa yang terjadi sama Andra, Bu,” katanya lagi.

“Iya, Bu Silvia, terima kasih,” jawabku pelan, entah atas informasi atau bela sungkawanya.

***

Kau tau, menerima permintaan maaf selalu lebih sulit daripada meminta maaf.

Karena ketika kau memutuskan untuk memaafkan orang itu, artinya kau harus melupakan kesalahannya, kau tidak boleh terluka atas apa yang sudah ia lakukan, dan kau harus menerima konsekuensinya, seakan kau juga bersalah.

Kapan itu bermula?

Jutaan kali aku memutar kenangan demi kenangan, mencari benang merah yang menjadi celah permulaan hal menjijikan itu.

Apakah sejak pertama kali aku memperkenalkan mereka? Atau ketika tanpa sengaja mereka bertemu di luar tanpaku? Atau ketika pria itu harus mendampingi Andra parawisata dan ia mendampingi anak Lina?

Semakin dipikirkan, sesalku semakin menumpuk tinggi. Esok hari kuyakin ia sudah menyentuh langit.

“Buat apa kamu ke sini?” tanyaku pada wanita itu.

Pagi masih terlalu dini untuk menerima kunjungan. Tapi ia tetap datang, tanpa diminta, tanpa pemberitahuan. Dan aku berani bertaruh tak ada yang mengetahui kedatangannya pagi ini. Kecuali aku, dan putraku yang terlelap dalam obat bius.

Ia membelai lembut perutnya yang masih terlalu datar.

“Kamu sudah mendapatkan semua yang kamu mau, urusan kita sudah selesai.” Dingin. Kuharap suaraku cukup kejam untuk membuatnya enyah.

Gadis itu tersenyum sinis. Padahal saat aku pertama kali berkenalan dengannya, ia adalah gadis ramah yang riang, sama seperti Lina, kakaknya.

Ah, aku lupa, bahkan Lina menyembunyikan seluruh kenaifannya dengan apik selama ini.

“Aku mau Mbak bercerai dari Mas Abrar.”

Aku mendegus. “Tanpa kamu minta, aku sudah mengajukan gugatanku sejak dulu.”

“Bohong. Mbak nggak benar-benar mau menceraikan Mas Abrar, kan? Mbak cuma mau gertak dia supaya dia takut.”

Omong kosong apa itu?

“Mba pasti mau tetap pertahankan pernikahan ini demi harta Mas Abrar, kan? Karena Mbak takut Andra akan tersingkirkan kalau anakku lahir.” Lagi-lagi ia mengelus perutnya yang belum seberapa besar. “Tapi asal Mbak tau, selama ini, Mas Abrar memang sudah nggak peduli sama Mbak atau Andra. Dia jatuh cinta sama aku yang lebih muda dan bisa lebih memuaskan dari pada perempuan tua kaya Mbak. Dia bahkan lebih sayang ke anakku dari pada ke Andra.”

Mengapa gadis itu berubah menjadi gadis yang menyedihkan sekarang?

“Menjatuhkan orang lain nggak akan membuatmu bahagia.”

“Munafik sekali. Buktinya sekarang aku puas.” Ia tersenyum sinis lalu melenggang pergi begitu saja.

***

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g jelas alur kau nyet. lebih pantas kau jadi penulis puisi aja. berantskan
goodnovel comment avatar
D'yan Ag
berantakan Thor,,,,jadi percakapan nya ga jelas
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Dasar jalang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status