Share

BAB 9

Jika kau berpikir kau adalah wanita yang lemah, tunggulah sampai kau menjadi seorang ibu. Terlebih menjadi ibu dengan ancaman kematian sang anak. Saat itu, kau bahkan bisa menyelami dalamnya lautan jika ingin.

Pukul 8 pagi, aku berdiri di ambang pintu ruang rawat inap putraku setelah dokter melakukan kunjungan rutin untuk memeriksa Andra. Ibu datang sesaat sebelum kedatangan dokter. Ia bersamaku ketika dokter menjelaskan keadaan Andra.

Mereka mencoba menyambungkan tulang yang patah, mencoba menjahit kembali pembuluh darah yang putus, mencoba memperbaiki jaringan kulit yang koyak, tapi itu akan tetap meninggalkan luka. Kejadian kemarin akan menjadi trauma menakutkan untuk putra kecilku. Dan ibu mana pun tidak akan berbesar hati begitu saja menerima keadaan itu.

Andra harus berada di rumah sakit selama beberapa hari lagi, menunggu dokter puas mengobservasinya, atau menunggu tagihan rumah sakit mulai tak bisa tercover asuransi dan uang pria itu lagi.

Aku meninggalkan Andra bersama neneknya dengan alasan hendak mengambil pakaian ke rumah. Namun, bukannya ke rumah, aku justru pergi ke sekolah Andra, mencari Silvia.

Jam belajar sudah dimulai, agak sulit mencari guru yang berada di luar kelas. Tapi, setidaknya kupikir hari ini aku bisa berkeliaran sedikit leluasa di sekolah untuk mencari tau yang Silvia katakan kemarin.

Aku mengintip ke ruang kelas, Silvia masih mengajar, meski dengan wajah yang tidak terlalu cerah. Kuputuskan untuk pergi ke ruang kepala sekolah, menemui Bu Yusi, kepala sekolah TK putraku.

Namun, langkahku terhenti. Suara Lina terdengar dari celah pintu ruangan itu.

“Iya, Bu, saya mau lihat kronologi kecelakaan Andra,” katanya kepada Yusi.

Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia mau melihat kronologi kecelakaan putraku?

Bu Yusi terlihat bimbang sejenak, meski akhirnya tetap memutar sedikit layar komputernya, hingga Lina bisa melihat isi komputer itu, sedangkan aku tidak.

Aku hanya bisa memperhatikan raut wajah Lina dan Bu Yusi yang tengah menonton rekaman CCTV tanpa suara itu.

Rasanya seperti dibelenggu oleh rasa penasaran. Dan aku muak mengakui, bahwa aku benar-benar ingin menerobos masuk dan ikut melihat rekamannya. Tentu aku lebih berhak dari pada Lina, bukan?

Beberapa detik kemudian, aku bisa merasa jantungku benar-benar diperas sedemikian rupa saat melihat raut wajah Lina yang berangsur lega.

Apa dia sudah gila? Apa-apaan ekspresinya itu?

Tidakkah itu sedikit keterlaluan?

***

Dua puluh menit berlalu, akhirnya Lina keluar dari gerbang sekolah. Kami memang biasanya meninggalkan anak-anak kami bersekolah, kemudian datang menjemputnya lagi sekitar pukul 11.20 siang.

Jika biasanya Lina akan menemaniku menulis di restoran cepat saji di sebrang sekolah sampai anak-anak kami selesai belajar, hari ini ia berbelok ke lapangan parkir, mengambil motornya lalu pergi.

Lama aku hanya berdiri mematung di sisi jalan setelah kepergian Lina. Silvia benar, aku tidak perlu memeriksa CCTV sekolah, terlebih setelah melihat ekspresi Lina di ruangan            Bu Yusi beberapa saat yang lalu.

Rekaman CCTV di minimarket itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab salah satu dari jutaan pertanyaan yang kumiliki.

***

Ketika aku kembali ke rumah sakit di siang hari, suasana kamar rawat inap Andra sudah seramai taman bermain. Anak Lina membawa mainannya untuk dimainkan bersama Andra, yang artinya Lina juga ada di sana.

Pria itu juga datang, memanfaatkan jam istirahatnya di kantor. Ia membawa makanan kesukaan Andra, meski rumah sakit sudah menyiapkan menu makan siang yang sehat untuk putraku.

Ibu mertuaku terkekeh riang melihat tingkah Andra dan putri Lina, di sampingnya, gadis itu tampak sibuk membuka jeruk untuk mertuaku.

Pemandangan yang sangat indah, tapi sangat menjijikan.

Ia bahkan tidak malu lagi menunjukkan wajahnya di antara kami. 

Ketika menyadari keberadaanku, pria itu langsung bangkit menghampiri. Wajahnya terlihat lelah. Ia melirik ke belakang, ke tempat gadis itu duduk di samping mertuaku, mungkin akhirnya ia merasa tidak nyaman dengan keberadaan kami berdua.

Lalu aku mulai bertanya-tanya, apakah aku, atau gadis itu, yang membuatnya sangat tidak nyaman sekarang?

“Mama!” Andra tersenyum lebar.

“Mama bawain mainan, tapi kayaknya Andra sudah dapat,” kataku, melirik mainan yang dibawa putri Lina.

“Tadi Lili kangen banget sama Andra, makanya aku bawa jenguk sekalian bawain mainan buat Andra,” ujar Lina dengan suara keibuannya. Ia membelai kepala Andra, menatap penuh kasih.

Aku harus berusaha keras untuk tidak mematahkan tangan yang tengah menyentuh kepala putraku.

Haruskah aku berterima kasih?

Atau mengusirnya saat ini juga?

Lina berdeham pelan, tidak nyaman dengan pandanganku. Lalu sebenarnya apa yang ia harapkan? Ucapan terima kasihku atas kedatangannya? Atas perhatiannya kepada putraku yang terluka? Atau atas senyumannya di ruangan Bu Yusi pagi tadi?

Dan gadis itu, dengan tidak tahu malunya ia berada di antara keluargaku.

Ibu mertuaku hanya bisa tertunduk, tidak berani menatap mataku. Apakah ia merasa bersalah dengan membuka pintu untuk wanita itu? Ataukah ia mulai berharap aku segera enyah, dan membiarkan putranya mendapatkan cinta yang baru?

“Mas, bisa kita ngobrol sebentar?” tanyaku, memanggil pria itu.

Sigap, pria itu langsung mendekatiku, lalu berjalan ke arah pintu.

“Nggak usah di luar, kita ngobrol di sini aja.”

Pria itu menghentikan langkahnya, lalu berbalik. “Kenapa, Mi?”

Kutatap satu persatu wajah di tempat itu. Lina, ibu mertuaku, gadis itu, dan suamiku. Sampai detik ini aku masih terus dibuat takjub dengan kekejian orang yang sudah mencelakakan putraku. Ia bahkan tidak ragu muncul di dalam ruangan ini.

“Ada apa, Mia?” Pria itu menyentuh lenganku.

“Aku akan terima,” kataku, setelah diam beberapa saat.

Pria itu menatap bingung.

“Asal kamu benar-benar membiayai semuanya, dan berlaku adil. Aku akan membatalkan perceraian kita, dan menerima pernikahanmu dengan dia.” Kuucapkan semua kata itu secepat mungkin, berharap Andra dan Lily tidak terusik dalam permainan seru mereka berdua.

Setelah detik demi detik terlewati dalam keheningan, akhirnya pria itu sadar dari keterkejutannya. Ia langsung memelukku di hadapan semua orang.

“Ah, syukurlah, Mia.” Ibu mertuaku menitikan air mata haru, dan aku harus berkali-kali menahan dengusan keluar dari mulutku. Betapa sempurna lakon wanita itu.

“Terima kasih, Mia. Terima kasih banyak. Aku janji aku akan berlaku adil kepada kalian berdua. Aku akan terus mencintai kamu dan Andra. Aku nggak akan membeda-bedakan kalian. Terima kasih banyak, Mi, terima kasih banyak.”

Ia menciumi puncak kepalaku dengan ucapan terima kasih yang tak lagi terhitung jumlahnya. Namun, nampaknya ia lupa untuk mengucapkan satu kata yang paling penting saat ini.

Yaitu kata maaf.

Atau mungkin baginya itu tak lagi berarti sekarang?

Mata gadis itu nyalang menatapku penuh amarah. Dan aku tidak bisa menyembunyikan senyum tipisku.

Kenapa? Apa ini tidak sesuai dengan rencananya?

***

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Anindhita Zahra
saya kok merasa aneh dg cerita ini ya,, ceritanya bagus sih tp bentuk tulisan atau kata² didlmnya membuat pembaca malas dan bosan membacanya,, terlalu banyak bercerita sendiri. Dr sekian cerita yg saya baca tulisan cerita ini yg paling ribet dan aneh.
goodnovel comment avatar
Ani Cantik
cerita tolol, kebanyakan ngeluh, gak ada tindakan.
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
pertikaian dimulai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status