Share

BAB 10

Percayalah. Kalau kau pikir aku adalah wanita yang tegar. Maka kau salah sepenuhnya.

Sangat salah.

Kebencian itu memang menguatkanku. Namun ketika aku melihat tangis diam-diam putraku di atas bantal rumah sakit setelah semua tamu pergi, hatiku patah berantakan.

Tadi, dengan kejinya, pria itu mengatakan bahwa gadis itu akan menjadi ibu baru putraku. Apa dia pikir anaknya b*doh? Atau ia yang terlalu t*lol untuk menyadari perubahan ekspresi putraku?

Aku muak.

Aku membenci mereka semua.

Tapi apapun yang mereka lakukan tidak akan menyakitiku, sampai mereka menyentuh putraku.

Andra menutupi wajahnya dengan bantal saat mendengar aku menutup pintu di belakang punggungku. Ia tengah berpura-pura tidur, padahal sesekali bahunya masih terentak karena isak tangis.

Aku menarik kursi di samping ranjangnya. Kini hanya tinggal kami berdua. Apakah seharusnya tetap begitu? Apakah kami memang ditakdirkan hanya untuk hidup berdua saja?

“Andra mau Mama telpon Papa biar ke sini lagi?” tanyaku lembut. Tidak tega mendengar tangisannya.

Bocah kecil itu menggeleng di balik bantal. “Nggak Mama, Andra nggak mau ketemu Papa, Papa jahat.”

Dadaku berdenyut nyeri.

“Andra nggak mau Tante Nuri jadi Mama Andra…. Andra nggak mau.”

Jemari Andra begitu dingin ketika aku mengenggamnya, dan ia refleks menarik jemarinya masuk ke balik bantal. Lalu aku bisa mendengar isakkannya semakin keras. Sepertinya ia tak lagi mampu membendung tangisnya.

Aku langsung beranjak memeluknya, tanpa membuka bantal yang menutupi kepala putraku.

“Mama minta maaf, Sayang. Mama minta maaf.”

Aku tau, aku harus kuat, setidaknya demi anakku. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya setelah mengetahui perselingkuhan suamiku, aku menangis.

Perlahan-lahan Andra menurunkan bantalnya, lalu memelukku, menepuk-nepuk punggungku dengan tangan kecilnya yang masih terlilit infus, seperti yang selama ini aku lakukan untuk menghiburnya.

“Nggak apa-apa, Mama. Mama jangan nangis, ada Andra di sini sama Mama.”

Itu juga kata-kata yang selalu kukatakan kepadanya ketika ia terluka atau ketakutan karena petir yang menggelegar di tengah hujan. Kini, mulut kecil itu mengatakan hal yang sama kepadaku, ibunya, orang yang harusnya melindungi tubuh kecilnya hingga titik darah penghabisanku.

“Nggak apa-apa, Mama… nggak apa-apa…”

Untuk pertama kalinya, aku menangis begitu keras. Kusembunyikan wajahku ke dalam dekapan dada kecil itu. Aku begitu lelah, aku begitu kecewa, aku sangat terluka, dan ketakutan.

“Nggak apa-apa, Mama…,” ujarnya berkali-kali, dan aku mengangguk kepada kata-katanya.

***

Keesokan paginya, seperti biasa aku meninggalkan Andra bersama Ibu mertuaku.

Hari ini wajahnya terlihat sangat cerah, tampaknya ia sangat bahagia dengan keputusanku kemarin. Ia berkali-kali memeluk bahuku, seakan menguatkan atau mengucapkan kata terima kasih. Apakah ia sebahagia itu mendapatkan menantu baru yang sangat baik dan cantik di matanya?

Ia bahkan membelikan beberapa mainan baru untuk Andra, membuat bocah itu sejenak melupakan kesedihan dan rasa sakit di kakinya.

“Bu, Mia titip Andra dulu sebentar. Mia mau ganti baju dulu.”

“Iya, iya, Mia. Biar Andra sama Ibu dulu. Kamu istirahat dulu sana, makan juga. Rumahmu sudah ibu bersihkan, baju kotor taro aja di bak, nanti Ibu yang cuci. Sana pulang dulu.”

Perubahan Ibu mertuaku sangat terasa. Andai tidak ada kejadian pengkhianatan suami dan perempuan itu, mungkin aku akan sangat tersanjung. Rasanya seperti menjadi menantu yang sangat disayangi.

Namun kini, aku bahkan tidak bisa tersenyum sama sekali.

“Kalau ada apa-apa tolong hubungi Mia, Bu.”

“Iya, iya! Andra sama nenek dulu, ya… kita main robot lagi. Andra suka yang mana sayang? Nanti kalau Andra sudah sembuh nenek beliin kereta yang panjang, ya.”

“Iya Nek!” sorak Andra riang. Setidaknya itu mengobati sedikit lukanya, tapi tidak dengan lukaku.

***

Lalu di sini lah aku sekarang. Menggunakan waktu beristirahaku di sebuah kedai makanan yang tak begitu ramai, karena belum waktunya makan siang.

Jaraknya 1.5 jam perjalanan dari rumah sakit, dan aku masih harus menunggu 6 menit sampai seorang pegawai kedai datang menghampiri, menanyai pesanan.

“Saya pesan nasi goreng dan kopi,” kataku, kepada pelayan itu. “Oya, apa Bu Nara ada?”

Pelayan itu tampak tersentak sejenak, terkejut saat mendengar nama yang kusebutkan.

“A… ada, Bu,” jawabnya sedikit gugup.

Aku tersenyum tipis. “Tolong bilang, Miranda mau ketemu dia, bisa?”

Gadis itu mengangguk, lalu membawa pesananku bersamanya.

Ternyata tidak perlu menunggu lama sampai gadis berambut kriting itu keluar dari pintu yang bertulisan staff only. Senyumannya langsung mengembang lebar saat melihat keberadaanku.

“MBAK MIAA!!” Ia berlari ke mejaku, lalu memeluk dengan sangat erat. Tidak peduli pada tatapan pegawainya yang menatap kami dengan pandangan penasaran.

“Hai, Nar, apa kabar kamu?”

Nara menyeka air matanya. Tangis itu benar-benar berlebihan. Tapi aku tidak berkomentar.

“Kenapa Mbak baru ke sini sekarang?!” tudingnya sengit.

Aku menghela napas panjang. Gadis itu adalah satu-satunya temanku dulu. Kami pernah tidur di satu kontrakan kumuh yang sama, pernah memakan satu nasi bungkus berdua, bahkan kami pernah tidur sambil duduk berpelukan saat hujan menyerbu kontrakan dan membuat bocor seluruh asbes tuanya.

Ia saksi kehidupan sulitku di masa lalu.

Dan ketika aku mulai merangkak sedikit demi sedikit di tangga sosial yang kejam, Nara perlahan melepas genggaman tanganku, dan mulai mendorongku agar bisa naik lebih tinggi. Ia juga yang menjadi jembatanku dan pria itu. Karena dulu, aku dan pria itu terlampau pendiam untuk saling bertukar sapa.

“Mbak kenapa sendiri? Mana Mas Abrar? Mana Andra?” tanyanya. Sedetik kemudian ia memanggil salah satu pelayan, meminta beberapa pesanan tamabahan meski aku menolak.

“Kamu sudah hebat sekarang,” senyumku tulus.

“Ini semua punya Mbak, aku cuma jalanin. Pokoknya sekarang aku nggak mau tau, Mbak harus kasih nomor rekening Mbak atau Mas Abrar. Rasanya aku punya hutang yang banyak sama kalian.”

Dulu, aku menolongnya tanpa mengharapkan imbalan sama sekali. Aku memberikan semua uang tabunganku kepada Nara untuk memulai usaha, karena aku tau kegigihan dan kemampuannya. Namun hingga saat ini, Nara selalu mengungkit bahwa itu adalah investasi yang kutanam, dan saat ini ia ingin membagi hasilnya. Itulah yang membuatku jarang menemuinya. Gadis itu selalu merengek untuk membagi hasil usahanya sendiri.

Kutatap gadis manis itu dengan senyuman sendu. “Sejujurnya, aku memang datang buat menagih itu. Tapi bukan dalam bentuk uang.”

Nara menatapku bingung.

“Mbak mau dalam bentuk emas? Logam mulia? Saham? Tapi aku nggak ngerti saham,” katanya, sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Aku menggeleng. “Aku butuh orang buat jaga Andra.”

Mata Nara terbelalak. “Mbak mau kemana? Kok Andra dijaga orang lain? Mbak jangan nakut-nakutin aku.”

“Aku mau kerja lagi, Nar.”

“Hah? Mbak lagi butuh uang? Aku punya uang. Mbak nggak perlu kerja lagi? Mas Abrar memangnya kemana Mbak?”

Aku menghitung detik di dalam dadaku, mencoba menatap kedua mata gadis itu lebih dalam. Sejujurnya, aku sedikit takut melihat reaksinya.

“Mas Abrar selingkuh.”

Dan aku bersyukur, setidaknya ia tidak tersenyum seperti Lina.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Ayo miranda bangkit, buktikan kemereka dan balas sakitmu jgn mau kalah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status