Percayalah. Kalau kau pikir aku adalah wanita yang tegar. Maka kau salah sepenuhnya.
Sangat salah.
Kebencian itu memang menguatkanku. Namun ketika aku melihat tangis diam-diam putraku di atas bantal rumah sakit setelah semua tamu pergi, hatiku patah berantakan.
Tadi, dengan kejinya, pria itu mengatakan bahwa gadis itu akan menjadi ibu baru putraku. Apa dia pikir anaknya b*doh? Atau ia yang terlalu t*lol untuk menyadari perubahan ekspresi putraku?
Aku muak.
Aku membenci mereka semua.
Tapi apapun yang mereka lakukan tidak akan menyakitiku, sampai mereka menyentuh putraku.
Andra menutupi wajahnya dengan bantal saat mendengar aku menutup pintu di belakang punggungku. Ia tengah berpura-pura tidur, padahal sesekali bahunya masih terentak karena isak tangis.
Aku menarik kursi di samping ranjangnya. Kini hanya tinggal kami berdua. Apakah seharusnya tetap begitu? Apakah kami memang ditakdirkan hanya untuk hidup berdua saja?
“Andra mau Mama telpon Papa biar ke sini lagi?” tanyaku lembut. Tidak tega mendengar tangisannya.
Bocah kecil itu menggeleng di balik bantal. “Nggak Mama, Andra nggak mau ketemu Papa, Papa jahat.”
Dadaku berdenyut nyeri.
“Andra nggak mau Tante Nuri jadi Mama Andra…. Andra nggak mau.”
Jemari Andra begitu dingin ketika aku mengenggamnya, dan ia refleks menarik jemarinya masuk ke balik bantal. Lalu aku bisa mendengar isakkannya semakin keras. Sepertinya ia tak lagi mampu membendung tangisnya.
Aku langsung beranjak memeluknya, tanpa membuka bantal yang menutupi kepala putraku.
“Mama minta maaf, Sayang. Mama minta maaf.”
Aku tau, aku harus kuat, setidaknya demi anakku. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya setelah mengetahui perselingkuhan suamiku, aku menangis.
Perlahan-lahan Andra menurunkan bantalnya, lalu memelukku, menepuk-nepuk punggungku dengan tangan kecilnya yang masih terlilit infus, seperti yang selama ini aku lakukan untuk menghiburnya.
“Nggak apa-apa, Mama. Mama jangan nangis, ada Andra di sini sama Mama.”
Itu juga kata-kata yang selalu kukatakan kepadanya ketika ia terluka atau ketakutan karena petir yang menggelegar di tengah hujan. Kini, mulut kecil itu mengatakan hal yang sama kepadaku, ibunya, orang yang harusnya melindungi tubuh kecilnya hingga titik darah penghabisanku.
“Nggak apa-apa, Mama… nggak apa-apa…”
Untuk pertama kalinya, aku menangis begitu keras. Kusembunyikan wajahku ke dalam dekapan dada kecil itu. Aku begitu lelah, aku begitu kecewa, aku sangat terluka, dan ketakutan.
“Nggak apa-apa, Mama…,” ujarnya berkali-kali, dan aku mengangguk kepada kata-katanya.
***
Keesokan paginya, seperti biasa aku meninggalkan Andra bersama Ibu mertuaku.
Hari ini wajahnya terlihat sangat cerah, tampaknya ia sangat bahagia dengan keputusanku kemarin. Ia berkali-kali memeluk bahuku, seakan menguatkan atau mengucapkan kata terima kasih. Apakah ia sebahagia itu mendapatkan menantu baru yang sangat baik dan cantik di matanya?
Ia bahkan membelikan beberapa mainan baru untuk Andra, membuat bocah itu sejenak melupakan kesedihan dan rasa sakit di kakinya.
“Bu, Mia titip Andra dulu sebentar. Mia mau ganti baju dulu.”
“Iya, iya, Mia. Biar Andra sama Ibu dulu. Kamu istirahat dulu sana, makan juga. Rumahmu sudah ibu bersihkan, baju kotor taro aja di bak, nanti Ibu yang cuci. Sana pulang dulu.”
Perubahan Ibu mertuaku sangat terasa. Andai tidak ada kejadian pengkhianatan suami dan perempuan itu, mungkin aku akan sangat tersanjung. Rasanya seperti menjadi menantu yang sangat disayangi.
Namun kini, aku bahkan tidak bisa tersenyum sama sekali.
“Kalau ada apa-apa tolong hubungi Mia, Bu.”
“Iya, iya! Andra sama nenek dulu, ya… kita main robot lagi. Andra suka yang mana sayang? Nanti kalau Andra sudah sembuh nenek beliin kereta yang panjang, ya.”
“Iya Nek!” sorak Andra riang. Setidaknya itu mengobati sedikit lukanya, tapi tidak dengan lukaku.
***
Lalu di sini lah aku sekarang. Menggunakan waktu beristirahaku di sebuah kedai makanan yang tak begitu ramai, karena belum waktunya makan siang.
Jaraknya 1.5 jam perjalanan dari rumah sakit, dan aku masih harus menunggu 6 menit sampai seorang pegawai kedai datang menghampiri, menanyai pesanan.
“Saya pesan nasi goreng dan kopi,” kataku, kepada pelayan itu. “Oya, apa Bu Nara ada?”
Pelayan itu tampak tersentak sejenak, terkejut saat mendengar nama yang kusebutkan.
“A… ada, Bu,” jawabnya sedikit gugup.
Aku tersenyum tipis. “Tolong bilang, Miranda mau ketemu dia, bisa?”
Gadis itu mengangguk, lalu membawa pesananku bersamanya.
Ternyata tidak perlu menunggu lama sampai gadis berambut kriting itu keluar dari pintu yang bertulisan staff only. Senyumannya langsung mengembang lebar saat melihat keberadaanku.
“MBAK MIAA!!” Ia berlari ke mejaku, lalu memeluk dengan sangat erat. Tidak peduli pada tatapan pegawainya yang menatap kami dengan pandangan penasaran.
“Hai, Nar, apa kabar kamu?”
Nara menyeka air matanya. Tangis itu benar-benar berlebihan. Tapi aku tidak berkomentar.
“Kenapa Mbak baru ke sini sekarang?!” tudingnya sengit.
Aku menghela napas panjang. Gadis itu adalah satu-satunya temanku dulu. Kami pernah tidur di satu kontrakan kumuh yang sama, pernah memakan satu nasi bungkus berdua, bahkan kami pernah tidur sambil duduk berpelukan saat hujan menyerbu kontrakan dan membuat bocor seluruh asbes tuanya.
Ia saksi kehidupan sulitku di masa lalu.
Dan ketika aku mulai merangkak sedikit demi sedikit di tangga sosial yang kejam, Nara perlahan melepas genggaman tanganku, dan mulai mendorongku agar bisa naik lebih tinggi. Ia juga yang menjadi jembatanku dan pria itu. Karena dulu, aku dan pria itu terlampau pendiam untuk saling bertukar sapa.
“Mbak kenapa sendiri? Mana Mas Abrar? Mana Andra?” tanyanya. Sedetik kemudian ia memanggil salah satu pelayan, meminta beberapa pesanan tamabahan meski aku menolak.
“Kamu sudah hebat sekarang,” senyumku tulus.
“Ini semua punya Mbak, aku cuma jalanin. Pokoknya sekarang aku nggak mau tau, Mbak harus kasih nomor rekening Mbak atau Mas Abrar. Rasanya aku punya hutang yang banyak sama kalian.”
Dulu, aku menolongnya tanpa mengharapkan imbalan sama sekali. Aku memberikan semua uang tabunganku kepada Nara untuk memulai usaha, karena aku tau kegigihan dan kemampuannya. Namun hingga saat ini, Nara selalu mengungkit bahwa itu adalah investasi yang kutanam, dan saat ini ia ingin membagi hasilnya. Itulah yang membuatku jarang menemuinya. Gadis itu selalu merengek untuk membagi hasil usahanya sendiri.
Kutatap gadis manis itu dengan senyuman sendu. “Sejujurnya, aku memang datang buat menagih itu. Tapi bukan dalam bentuk uang.”
Nara menatapku bingung.
“Mbak mau dalam bentuk emas? Logam mulia? Saham? Tapi aku nggak ngerti saham,” katanya, sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Aku menggeleng. “Aku butuh orang buat jaga Andra.”
Mata Nara terbelalak. “Mbak mau kemana? Kok Andra dijaga orang lain? Mbak jangan nakut-nakutin aku.”
“Aku mau kerja lagi, Nar.”
“Hah? Mbak lagi butuh uang? Aku punya uang. Mbak nggak perlu kerja lagi? Mas Abrar memangnya kemana Mbak?”
Aku menghitung detik di dalam dadaku, mencoba menatap kedua mata gadis itu lebih dalam. Sejujurnya, aku sedikit takut melihat reaksinya.
“Mas Abrar selingkuh.”
Dan aku bersyukur, setidaknya ia tidak tersenyum seperti Lina.
***
Jangan pernah sombong dengan apa yang kau miliki sekarang.Jangan pernah.Jangan sekali pun.Karena dahulu kala ada seorang gadis yang kukenal. Ia begitu bahagia menunjukan pencapaiannya.Ia terlahir dari keluarga miskin, dan bertambah semakin miskin dari hari ke hari. Lalu ketika suatu hari ia bisa memakan sepotong roti segar setelah berhari-hari sebelumnya memakan roti berjamur, ia mulai memamerkan kebahagiaan itu kepada orang lain.Ia begitu pemalu. Jangankan bermimpi untuk memiliki anak, untuk berhubungan dengan orang lain saja rasanya sangat sulit. Tapi kemudian Tuhan mempertemukannya dengan seorang pria yang cukup baik, dan menikah, memiliki anak tampan yang pintar, ia kembali memamerkannya.Suami yang baik.Anak yang pintar.Kehidupan yang sempurna.Dengan angkuh ia memamerkan semua itu di hadapan semua orang. Menceritakan betapa dulu ia hidup tertatih-tatih dalam balutan luka dan kemiskinan, tapi kini segala jeri
Orang yang dijanjikan Nara datang keesokan harinya. Ia gadis berwajah tirus dengan kulit sawo matang. Rambutnya panjang sebahu, terikat sederhana. Ketika ia diam, kau akan berpikir jika ia adalah gadis yang sangat serius, tapi mungkin itulah yang kubutuhkan saat ini. Aku pernah berteman dengan gadis muda yang sangat ramah dengan senyuman manis yang begitu lebar. Setiap ia berbicara semua ornag akan tersenyum mendengarnya. Aku menyukainya. Ia baik, dan perhatian kepada keluargaku.Sampai ia tidur dengan suamiku.Nara masih mematung menungguku bereaksi.“Mbak yakin cuma butuh satu orang?” tanya Nara, duduk di hadapanku. Ia sudah meletakkan barang bawaannya di nakas samping ranjang Andra.Gadis bernama Jihan itu tengah memperkenalkan diri dengan Andra. Kini mereka sibuk mengobrol tentang dinosaurus yang ada di dalam ponsel putraku. Ia memang berwajah serius, tapi sepertinya Andra cukup menyukainya. Atau apakah mungkin putraku tau kami tidak memil
Pernikahan kedua.Kata-kata itu terngiang bagai belati di dalam dadaku. Meski aku bertahan dengan maksud yang teguh kuyakini, tapi nyeri itu tetap ada.“Ibu nggak apa-apa?”Pertanyaan itu mengejutkanku. Jihan sudah berdiri di sampingku dengan secangkir teh yang ia buat di dapur.“Kamu bukan pelayan, Jihan,” kataku, tapi tetap menerima uluran teh itu darinya.“Ibu kelihatan pucat.”Aku menangkap keprihatinan yang tulus di mata gadis itu. Jika orang asing saja bisa melihat lukaku, mengapa orang-orang yang sangat dekat denganku justru seakan buta dan tuli. Apakah mereka benar-benar tidak sadar? Atau sengaja abai agar membuat perasaan mereka lebih nyaman?“Di mana Andra?”“Tadi main di kamarnya, Bu.”Aku mengangguk. Akhirnya kami kembali ke rumah, meski Andra masih harus menggunakan kursi roda.“Kamu bisa temani dia sambil istirahat di kamarnya,”
Acara itu terlalu mewah untuk sekedar sebuah akad sederhana yang pria itu janjikan kepadaku. Tenda megah terpasang kokoh di depan rumah mempelai, dengan tamu-tamu berpakaian indah yang datang silih berganti.Foto mereka berdua terpajang di pintu masuk, menyambut setiap tamu yang hadir dengan senyuman beku mereka di dalam figura.Untuk orang yang mengatakan ia akan selalu mencintaiku, bukankah ekspresinya di dalam foto itu terlampau bahagia?“Itu istri pertamanya, ya?” beberapa bisikkan mulai terdengar. Lengkap dengan lirikan-lirikan penasaran, dan bibir yang kadang memuji, kadang mencebik.“Hebat banget yah bisa rela gitu dipoligami.”“Iya, aku sih nggak akan kuat. Kalau suamiku begitu ya pilihannya cuma dua, pilih aku atau si perempuan kedua itu.”“Sama, Bu, saya juga nggak bisa deh. Walau katanya berhadiah surga, saya tetap nggak rela. Mana tau suami kita bisa adil atau nggak, kan?”&l
Aku tidak boleh memb*nuhnya.Aku tidak boleh memb*nuhnya.Kata-kata itu kurapal bagai jampi. Berharap seluruh hasrat menggebu di dalam dadaku sedikit menguap.Aku tidak boleh memb*nuh mereka. Bukan karena aku tidak mau, tapi aku tidak ingin Andra mempunyai ibu seorang pembunuh. Setidaknya, tidak secara langsung.Namun, bagaimana mungkin ada orang yang sangat tidak tau diri seperti mereka?“Mbak, bolehkan aku tinggal sama Mbak dan Mas Abrar di sini?” suara rajukkan itu menghentikan langkahku.Pagi-pagi sekali mereka tiba-tiba muncul di pintu rumahku. Seakan ingin mengikrarkan jika semalam mereka sudah melakukan penyatuan dengan halal. Bahkan rambut mereka berdua masih lembab sehabis keramas. Sama sekali tidak berniat menyembunyikan kenyataan itu.Aku hampir saja membanting pintu di depan wajah mereka saat menemukan keduanya di depan pintu. Berkali-kali gadis itu mengibaskan rambut panjangnya, berharap noda keunguan di leher
“Oya, Mas, apa pesta pernikahanmu kemarin menggunakan uang tabungan Andra?”Pria itu membeku di pintu dengan koper yang sudah kurapikan. Untuk sejenak ia tampak menimbang, meski aku tau apa yang akan dikatakannya.“Aku hanya meminjam sedikit, akan segera kuganti,” katanya, terdengar ketus.“Biaya bulan madu mewahmu ini juga?”“Akan segera aku ganti, Mia!” tukas pria itu kesal.Aku tersenyum sinis.“Papa!” Suara Andra muncul dari balik pintu kamar bercat biru dengan gambar donal bebek kesukaannya. Ia berdiri di ambang pintu, tubuh kecilnya berbalut kemeja sewarna langit pagi, dan matanya jelas masih mengantuk. Jihan mendampingi di belakang tubuh mungil itu. Semalam aku memang meminta Jihan tetap tinggal di kamar Andra, selama kamarnya belum dirapikan.“Halo, Sayang!” Pria itu berlutut, memeluk Andra. “Gimana kaki Andra? Masih sakit?” tanya
Dahulu kala, ada seorang gadis lugu yang sangat miskin. Ia hidup hanya untuk mencari makan. Namun, saat melihat orang-orang seuisanya memadu kasih, ia menjadi sangat iri. Kini kepalanya terbelah. Satu sisi memikirkan suapan nasi, sisi yang lain mendamba pangeran berkuda putih yang akan menyelamatkannya dari seluruh kemiskinan itu, dan mengelilinginya dengan rasa cinta yang tulus.Bagai mimpi Cinderella.Dan, aku salah satu dari gadis bodoh yang memimpikan hal itu.Terlebih ketika tiba-tiba saja Tuhan memunculkan sosok Xei di dalam kehidupanku yang menyedihkan.Ia seorang pangeran. Putra terakhir dari tiga bersaudara keluarga Miles, yang juga menjadi penerus utama bisnis keluarganya yang cukup besar. Bagai mimpi yang menjadi nyata. Xei yang secara tiba-tiba hadir membuatku terbuai seketika. Sejenak aku mulai bermimpi bagaimana indahnya menjadi nyonya pengusaha kaya yang tak perlu sibuk-sibuk memikirkan makan esok hari.Namun, tentu saj
“Mbak yang tadi itu siapa?”Baru saja aku menutup pintu mobil di sampingku, Nara sudah melontarkan pertanyaannya.“Bukan siapa-siapa,” jawabku singkat. Nara tampak tidak puas, tapi tidak bertanya lagi. Mungkin dia sudah menyadari betapa raut wajahku bukan raut wajah yang bisa diajak bicara.Sejenak ia melihat ke belakang, ke tempat pria itu berdiri setelah mengantar kami sampai ke depan showroom mobilnya.Akhirnya, setelah berhasil mengabaikan desak pertanyaan Xei, kami bisa pergi. Rencana mencari mobil hari ini langsung kuurungkan, toh masih ada esok hari.Namun, ketika keesokan harinya sebuah mobil diantar bergitu saja ke rumahku, aku tau lagi-lagi aku terjebak di sebuah pusaran yang sama.***Pagi itu aku terbangun dalam keheningan yang tak lagi asing. Langit-langit kamar yang kelam, fajar yang masih terlalu dini untuk mengundang kokok ayam, bahkan detik suara jarum jam masih begitu me