“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.
“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.
“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.
Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.
“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.
“Eh, siapa yang sakit, Dok?”
“Tante saya lahiran.”
“Wah, punya sepupu baru dong?”
Andra mengangguk.
“Adiknya Willia?”
“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
“Kayaknya kita nggak bisa lanjut lagi. Ayo kita bercerai, Mas.” “Mi! Apa maksud kamu?! Ini pernikahaan! Kamu sudah gila?! Kita bukan anak ABG Yang bisa putus nyambung! Dan kita juga sudah punya Andra! Mana bisa kita cerai begitu aja?” Dia benar. Apa yang sebenarnya kupikirkan? Mengapa aku sesembrono ini? Aku pasti sudah gila. Tapi, harus bagaimana lagi aku menyikapi semua hal yang begitu berbelit di kepalaku? “Ayo kita bicara baik-baik. Ada apa? Kenapa kamu begini? Aku perhatiin sudah seminggu kamu kaya gini. Ada apa, Mi? kasihan Andra kalau kamu begini terus.” Ah, benar juga. Kasihan anakku, bukan aku. Apa yang sebenarnya kuharapkan? “Kenapa? Kamu lagi capek? Kamu butuh me time? Silakan, aku akan jaga Andra. Kamu bisa beristirahat sebanyak yang kamu mau, Mi. Asal jangan bicara yang aneh-aneh lagi.” Dia meminta dengan nada perhatian. Itu membuatku semakin bungkam. Dari mana harus kumulai
Bagian apa yang paling sulit dalam mengakhiri sebuah hubungan? Itu adalah meyakinkan semua orang bahwa kau akan baik-baik saja, dan kau bisa mengatasinya. Padahal tentu saja itu mustahil. Kalau semuanya akan teratasi, kau tidak mengakhiri hubungan itu. Ah, iya, satu lagi. Kau harus mulai terbiasa mengemban tanggung jawab dan julukan yang baru. Dalam kasusku, aku akan menjadi ibu, sekaligus ayah, sekaligus janda beranak. Semudah itu. Padahal untuk mengawali hubunganku dengan pria itu sangat sulit. Kami sama-sama pemalu. Orang-orang yang hanya keluar rumah untuk bekerja dan membeli bahan makanan, itu pun dengan wajah tertunduk. Suatu keajaiban sampai akhirnya kami bertemu, dan menikah. Tapi ternyata, mengakhirinya tidak sesulit itu. Kau hanya perlu berbicara, menunjukan bukti, dan semuanya selesai. “Kapan Papa pulang, Ma?” Anakku berusia 5 tahun. Ia sudah
"KAMU MAU BERCERAI?!"Ah, aku lupa.Hal lain yang juga sulit adalah menghadapi penghakiman dari sesama manusia.Matamu, lidahmu, tanganmu, semua akan menjadi saksi.Siang itu aku datang ke rumah Ibu mertuaku. Kunjungan rutin yang selalu kulakukan selama 6 tahun pernikahanku. Dengan atau tanpa pria itu. Toh lama-lama ia terlalu sibuk untuk menemani kami, jadi kami hanya pergi berdua.Apakah dari sana mulanya?Apakah kata-kata sibuk itu hanya sebuah alasan ketika ia meniduri peerempuan lain di tempat asing?“Mi! Jangan asal bicara! Apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba mau bercerai?!”Mata itu menudingku, menyalahkanku dengan keras. Aku bersyukur putraku tengah bermain dengan tantenya di halaman belakang, jadi ia tidak mendengar perbincangan keras kami.Atau mungkin ia mendengarnya?“Jangan suka besar-besarkan masalah, Mi! Coba bicara baik-baik sama suamimu. Cari jalan keluarnya. Jangan meme
“Percayalah, kau tidak akan mendapatkan ujian diluar batas kemampuanmu.”Aku ingin mempercayai kata-kata itu, dan meyakini diriku sendiri bahwa aku bisa melaluinya, meski dengan hati tercabik, dan jiwa yang patah.“Tolong, Mi, tolong jangan bercerai dengan Abrar, Ibu mohon, demi Ibu.”Ibu mertuaku menangis tersedu-sedu di hadapanku, memohon sambil menggenggam jemariku dengan sangat erat. Seakan ia baru saja melakukan kesalahan yang sangat besar.“Ibu minta maaf. Ibu minta maaf atas nama Abrar, Ibu minta maaf karena nggak bisa mendidik dia dengan baik sampai dia begini sama kamu. Ibu minta maaf, Mi. Tapi tolong jangan bercerai. Ibu akan menegur Abrar dan meminta dia meninggalkan perempuan itu. Ibu janji. Tapi tolong jangan bercerai.”Orang yang melihat adegan itu akan beranggapan betapa aku adalah menantu jahat yang dingin. Wanita tua itu hampir bersimpuh di kakiku, tapi tak ada emosi yang tertinggal di w