Share

4

Aku segera mengurung diri dalam kamar. Mengunci pintu dari dalam dan memilih untuk tak melakukan apa pun selain duduk memainkan ponsel. Biar saja. Kalau mereka lapar, silakan makan di luar atau suruh saja si Lia masak. Aku bukan pembantu di rumah ini. Aku dinikahi oleh Mas Bayu juga untuk berbakti padanya, bukan pada adiknya yang songong sekaligus keterlaluan itu.

              Sekitar dua puluh menitan kemudian, pintuku tiba-tiba diketuk dari luar. Mas Bayu terdengar memanggil namaku dengan suara yang lembut. Mendadak aku kaget. Dia rela pulang jam segini demi menuruti perintah adiknya. Mas Bayu benar-benar sudah tidak waras! Apa dia tidak takut ditegur oleh atasannya?

              “Risti, bukakan pintunya. Aku datang.” Mas Bayu berulang kali memintaku untuk membukakan pintu. Awalnya hanya kudiamkan saja. Lama-lama telinga ini risih juga mendengar suara ketukan yang berulang kali.

              “Sayang, bukakan pintunya.” Mas Bayu meminta lagi. Lambat laun suaranya makin merendah dan manis.

              Dia ingin merayuku? Oh, tidak bisa! Aku akan mendiamkannya. Supaya dia sadar, bahwa aku tak menyukai kedatangan Lia yang hanya membuat rusuh di sini.

              “Ris, aku bawakan makanan kesukaanmu, lho. Ayolah. Bukakan pintunya, Sayang,” mohon Mas Bayu diiringi suara ketukan.

              “Alah, Mas! Ngapain sih, dibujukin segala? Dia tuh udah nuduh aku yang macem-macem!” Suara amukan Lia terdengar di luar sana. Membuatku mlengos kesal. Beraninya dia membentak Mas Bayu?

              “Lia, tolong jangan ikut campur. Kamu masuk saja ke kamarmu.”

              “Mas Bayu selalu saja membela mantan SPG itu! Kenapa, sih? Kaya nggak ada perempuan lain aja! Udahlah, buang aja dia. Bikin dia kaya dulu lagi. Jualan di mal dengan dandanan menor kaya ondel-ondel!”

              Hatiku terluka mendengar sumpah serapah Lia di depan sana. Namun, kupilih untuk tetap diam. Percuma saja meladeni anak kecil itu. Dasar tidak punya tata krama dan sopan santun.

              “Diam kamu, Lia! Masuk sekarang!”

              Blam! Lalu terdengar suara bantingan pintu. Aku tersenyum kecut. Hancurkan saja sekalian rumah ini! Yang repot dan habis uang juga masmu. Bukan aku!

              “Sayang, tolong bukakan pintu.” Lelaki bertubuh tinggi dan atletis dengan warna kulit kecokelatan eksotis tersebut terus membujukku. Aku akhirnya luluh juga. Karena dia sudah menegur adiknya, kurasa Mas Bayu sudah bisa dimaafkan.

              Beranjak diriku dari tempat tidur. Berjalan pelan lalu membukakan Mas Bayu pintu. Pria dengan kemeja lengan panjang berwarna biru laut yang dilinting hingga siku itu tampak membawakan paper bag dengan logo restoran cepat saji favoritku. Perutku kebetulan sangat lapar sekali usai tidur berpuluh jam. Kepalaku juga masih terasa pening. Selain kebanyakan tidur, juga terlambat makan.

              “Sayang, aku boleh masuk?” pinta Mas Bayu lembut.

              “Ya, udah! Masuk ya, masuk aja!” kataku acuh tak acuh. Aku masih pasang muka dongkol. Biar dia membujukku tujuannya.

              “Ris, aku minta maaf, ya.” Mas Bayu mencegat lenganku. Menariknya pelan, membuatku menoleh sekilas.

              Aku diam saja. Mlengos. Kutarik kembali tanganku, lalu kutepis tangan Mas Bayu. Aku segera berjalan menuju ranjang dan duduk di atasnya.

              Mas Bayu lalu menutup pintu. Dia tak lupa mengunci kenopnya. Lelaki itu terlihat bingung dengan sikapku. Agak sungkan, dia menaruh oleh-olehnya di atas nakas dekat jam waker, lalu duduk di bibir ranjang persis di sebelahku.

              “Ada masalah apa?” tanyanya pelan.

              “Tanya saja pada adikmu!” jawabku kesal.

              “Benar, kamu nyelenong masuk ke kamarnya?”

              “Ini rumahmu. Otomatis juga rumahku, kan? Memangnya aku salah?”

              Mas Bayu mendesah pelan. Terlihat menarik napas dalam-dalam. “Dia juga punya privasi. Hargai, Ris.” Lelaki bertangan kekar itu menyentuh pundakku.

              “Katakan, ke mana kamu tadi malam, Mas?!” Tanpa tedeng aling-aling, aku bertanya dengan nada lantang ke arah suamiku.

              “Tadi malam?” Pria beralis rapi dengan bentuk lengkung yang sempurna tersebut tanpa berpikir keras.

              “Aku terbangun di tengah malam dan kamu tidak ada di sampingku!”

              “Jam berapa?” tanyanya dengan muka yang makin bingung.

              “Mana aku tahu?”

              “Kamu bermimpi sepertinya, Ris. Tidurmu tadi malam nyenyak sekali. Kamu bahkan tidak bisa kubangunkan saat Subuh tiba. Kamu kelelahan.” Mas Bayu meremas pelan pundakku. Pria itu menatap dengan penuh percaya diri.

              “Bohong! Mana ada kamu membangunkanku?”

              “Demi Allah! Aku membangunkanmu dua kali. Pukul empat dan pukul enam. Kamu seperti orang yang mabuk. Tergeletak tak berdaya lupa daratan.”

              “Itu karena aku meminum jamu yang diberi Lia!”

              Mas Bayu memicingkan mata. “Ris, kamu sebenci itu pada adikku?”

              Dari kata-katanya, Mas Bayu seperti tengah mengintimidasi dan mempermainkan psikisku. Apa dia tengah melakukan gaslighting?

              “Jangan mengalihkan omongan! Aku juga mendengar suara rintihan Lia seperti sedang ditiduri laki-laki! Dia bahkan memanggilmu. Dia bilang, ‘Jangan, Mas!’ Kamu juga mau bilang aku bermimpi, begitu?”

              Mas Bayu mendadak memelukku. Erat sekali. Lelaki itu mengusap-usap puncak kepalaku. Aku gerah. Kutepis tubuhnya, tapi tak bisa. Tenaga pria itu jauh lebih perkasa daripadaku.

              “Risti, sepertinya kamu tengah mengalami depresi. Mungkin, ini karena kamu lelah mengurus rumah tangga. Belum lagi ketambahan pertanyaan dari teman maupun tetangga tentang kehamilan yang belum kunjung kamu alami. Sayang, sebaiknya kita ke psikolog atau psikiater untuk periksa. Kamu perlu penanganan.”

              Mendengar kalimat Mas Bayu, rasanya aku ingin marah. Ingin sekali aku menendang pria ini, sebab telah menuduhku mengalami gangguan jiwa.

              Detik inilah aku menyadari bahwa ada yang tengah Mas Bayu dan Lia tutupi dariku. Sikap mereka sama. Sama-sama menyebutku perlu ke psikiater, seakan-akan telah briefing. Meskipun terlihat bahwa Mas Bayu membela dan berpihak padaku, jelas kentara bahwa ucapannya mencoba untuk memanipulasi keadaan.

              Mas, aku memang hanya seorang mantan SPG. Pendidikan terakhirku pun cuma lulusan SMK Pariwisata. Satu-satunya pekerjaan bergaji pantas yang menerimaku dengan pendidikan segitu hanyalah SPG di mal sebab tubuh serta wajah yang mendukung. Modalku hanya kecantikan, aku tahu pasti itu. Namun, aku bukanlah manusia yang mudah kalian tipu daya apalagi peralat. Instingku kuat mengatakan, bahwa kamu sedang ingin memainkan skenario di hadapanku.

              Baiklah, Mas. Aku akan pura-pura gila sekalian. Jangan salahkan aku bila berhasil mengumpulkan barang bukti dan mencoreng mukamu hidup-hidup setelah ini.

(Bersambung)

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
Mbak Risti pura-pura gila terus labrak tuh JALANG pake kayu
goodnovel comment avatar
Luqman Al_hakim
bagaimana bisa kakak beradik melakukan semua itu??!
goodnovel comment avatar
Tia Nurmadi
anjay keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status