Aku segera mengurung diri dalam kamar. Mengunci pintu dari dalam dan memilih untuk tak melakukan apa pun selain duduk memainkan ponsel. Biar saja. Kalau mereka lapar, silakan makan di luar atau suruh saja si Lia masak. Aku bukan pembantu di rumah ini. Aku dinikahi oleh Mas Bayu juga untuk berbakti padanya, bukan pada adiknya yang songong sekaligus keterlaluan itu.
Sekitar dua puluh menitan kemudian, pintuku tiba-tiba diketuk dari luar. Mas Bayu terdengar memanggil namaku dengan suara yang lembut. Mendadak aku kaget. Dia rela pulang jam segini demi menuruti perintah adiknya. Mas Bayu benar-benar sudah tidak waras! Apa dia tidak takut ditegur oleh atasannya?
“Risti, bukakan pintunya. Aku datang.” Mas Bayu berulang kali memintaku untuk membukakan pintu. Awalnya hanya kudiamkan saja. Lama-lama telinga ini risih juga mendengar suara ketukan yang berulang kali.
“Sayang, bukakan pintunya.” Mas Bayu meminta lagi. Lambat laun suaranya makin merendah dan manis.
Dia ingin merayuku? Oh, tidak bisa! Aku akan mendiamkannya. Supaya dia sadar, bahwa aku tak menyukai kedatangan Lia yang hanya membuat rusuh di sini.
“Ris, aku bawakan makanan kesukaanmu, lho. Ayolah. Bukakan pintunya, Sayang,” mohon Mas Bayu diiringi suara ketukan.
“Alah, Mas! Ngapain sih, dibujukin segala? Dia tuh udah nuduh aku yang macem-macem!” Suara amukan Lia terdengar di luar sana. Membuatku mlengos kesal. Beraninya dia membentak Mas Bayu?
“Lia, tolong jangan ikut campur. Kamu masuk saja ke kamarmu.”
“Mas Bayu selalu saja membela mantan SPG itu! Kenapa, sih? Kaya nggak ada perempuan lain aja! Udahlah, buang aja dia. Bikin dia kaya dulu lagi. Jualan di mal dengan dandanan menor kaya ondel-ondel!”
Hatiku terluka mendengar sumpah serapah Lia di depan sana. Namun, kupilih untuk tetap diam. Percuma saja meladeni anak kecil itu. Dasar tidak punya tata krama dan sopan santun.
“Diam kamu, Lia! Masuk sekarang!”
Blam! Lalu terdengar suara bantingan pintu. Aku tersenyum kecut. Hancurkan saja sekalian rumah ini! Yang repot dan habis uang juga masmu. Bukan aku!
“Sayang, tolong bukakan pintu.” Lelaki bertubuh tinggi dan atletis dengan warna kulit kecokelatan eksotis tersebut terus membujukku. Aku akhirnya luluh juga. Karena dia sudah menegur adiknya, kurasa Mas Bayu sudah bisa dimaafkan.
Beranjak diriku dari tempat tidur. Berjalan pelan lalu membukakan Mas Bayu pintu. Pria dengan kemeja lengan panjang berwarna biru laut yang dilinting hingga siku itu tampak membawakan paper bag dengan logo restoran cepat saji favoritku. Perutku kebetulan sangat lapar sekali usai tidur berpuluh jam. Kepalaku juga masih terasa pening. Selain kebanyakan tidur, juga terlambat makan.
“Sayang, aku boleh masuk?” pinta Mas Bayu lembut.
“Ya, udah! Masuk ya, masuk aja!” kataku acuh tak acuh. Aku masih pasang muka dongkol. Biar dia membujukku tujuannya.
“Ris, aku minta maaf, ya.” Mas Bayu mencegat lenganku. Menariknya pelan, membuatku menoleh sekilas.
Aku diam saja. Mlengos. Kutarik kembali tanganku, lalu kutepis tangan Mas Bayu. Aku segera berjalan menuju ranjang dan duduk di atasnya.
Mas Bayu lalu menutup pintu. Dia tak lupa mengunci kenopnya. Lelaki itu terlihat bingung dengan sikapku. Agak sungkan, dia menaruh oleh-olehnya di atas nakas dekat jam waker, lalu duduk di bibir ranjang persis di sebelahku.
“Ada masalah apa?” tanyanya pelan.
“Tanya saja pada adikmu!” jawabku kesal.
“Benar, kamu nyelenong masuk ke kamarnya?”
“Ini rumahmu. Otomatis juga rumahku, kan? Memangnya aku salah?”
Mas Bayu mendesah pelan. Terlihat menarik napas dalam-dalam. “Dia juga punya privasi. Hargai, Ris.” Lelaki bertangan kekar itu menyentuh pundakku.
“Katakan, ke mana kamu tadi malam, Mas?!” Tanpa tedeng aling-aling, aku bertanya dengan nada lantang ke arah suamiku.
“Tadi malam?” Pria beralis rapi dengan bentuk lengkung yang sempurna tersebut tanpa berpikir keras.
“Aku terbangun di tengah malam dan kamu tidak ada di sampingku!”
“Jam berapa?” tanyanya dengan muka yang makin bingung.
“Mana aku tahu?”
“Kamu bermimpi sepertinya, Ris. Tidurmu tadi malam nyenyak sekali. Kamu bahkan tidak bisa kubangunkan saat Subuh tiba. Kamu kelelahan.” Mas Bayu meremas pelan pundakku. Pria itu menatap dengan penuh percaya diri.
“Bohong! Mana ada kamu membangunkanku?”
“Demi Allah! Aku membangunkanmu dua kali. Pukul empat dan pukul enam. Kamu seperti orang yang mabuk. Tergeletak tak berdaya lupa daratan.”
“Itu karena aku meminum jamu yang diberi Lia!”
Mas Bayu memicingkan mata. “Ris, kamu sebenci itu pada adikku?”
Dari kata-katanya, Mas Bayu seperti tengah mengintimidasi dan mempermainkan psikisku. Apa dia tengah melakukan gaslighting?
“Jangan mengalihkan omongan! Aku juga mendengar suara rintihan Lia seperti sedang ditiduri laki-laki! Dia bahkan memanggilmu. Dia bilang, ‘Jangan, Mas!’ Kamu juga mau bilang aku bermimpi, begitu?”
Mas Bayu mendadak memelukku. Erat sekali. Lelaki itu mengusap-usap puncak kepalaku. Aku gerah. Kutepis tubuhnya, tapi tak bisa. Tenaga pria itu jauh lebih perkasa daripadaku.
“Risti, sepertinya kamu tengah mengalami depresi. Mungkin, ini karena kamu lelah mengurus rumah tangga. Belum lagi ketambahan pertanyaan dari teman maupun tetangga tentang kehamilan yang belum kunjung kamu alami. Sayang, sebaiknya kita ke psikolog atau psikiater untuk periksa. Kamu perlu penanganan.”
Mendengar kalimat Mas Bayu, rasanya aku ingin marah. Ingin sekali aku menendang pria ini, sebab telah menuduhku mengalami gangguan jiwa.
Detik inilah aku menyadari bahwa ada yang tengah Mas Bayu dan Lia tutupi dariku. Sikap mereka sama. Sama-sama menyebutku perlu ke psikiater, seakan-akan telah briefing. Meskipun terlihat bahwa Mas Bayu membela dan berpihak padaku, jelas kentara bahwa ucapannya mencoba untuk memanipulasi keadaan.
Mas, aku memang hanya seorang mantan SPG. Pendidikan terakhirku pun cuma lulusan SMK Pariwisata. Satu-satunya pekerjaan bergaji pantas yang menerimaku dengan pendidikan segitu hanyalah SPG di mal sebab tubuh serta wajah yang mendukung. Modalku hanya kecantikan, aku tahu pasti itu. Namun, aku bukanlah manusia yang mudah kalian tipu daya apalagi peralat. Instingku kuat mengatakan, bahwa kamu sedang ingin memainkan skenario di hadapanku.
Baiklah, Mas. Aku akan pura-pura gila sekalian. Jangan salahkan aku bila berhasil mengumpulkan barang bukti dan mencoreng mukamu hidup-hidup setelah ini.
(Bersambung)
“Oh, ya? Jadi, apa yang kupikirkan dan kudengar itu hanya bagian dari depresiku?” tanyaku seraya memiringkan muka. “Tentu, Sayang. Orang depresi bisa saja berhalusinasi. Baik visual maupun auditori.” Mas Bayu mengusap-usap rambutku. Menatap dengan serius dan penuh perhatian. Halusinasi matamu! Aku bisa memastikan bahwa seluruh cakap Mas Bayu hanyalah tipu daya dan usaha memanipulasi psikisku belaka. Enak saja dia bilang aku berhalusinasi! 100% aku masih waras. Aku pun manggut-manggut. Menggigit bibir bawah, menatap ke langit-langit seolah sedang merenung. Padahal, dalam hati aku begitu dongkol bukan main. “Kamu mau
“Maaf, Mas. Oke, sini aku makan.” Tanganku melambai-lambai. Meminta cheese burger yang bungkus kertasnya sudah dibuka setengah oleh Mas Bayu. Pura-pura saja aku ketakutan sebab habis dibentak olehnya.Pria itu pun senyum lagi. Buru-buru menyerahkannya kepadaku dengan ekspresi senang. Oke, akan kuikuti alur permainanmu, Mas! “Makanlah, Sayang. Yang banyak.” Mas Bayu berkata. Dia tak melepaskan matanya dariku sedikit pun. Mau tak mau, aku mulai memakan burger pemberian Mas Bayu. Dalam hati aku berdoa agar Allah melindungiku. Aku belum mau mati konyol, sebelum mengungkap kejahatan Mas Bayu yang diam-diam sepertinya akan menusukku dari belakang. Satu gigitan, dua gigitan, hingga tiga gigitan. Tak ada ta
Semua makanan yang dibeli Mas Bayu termasuk segelas ukuran besar minuman bersoda kumusnahkan ke ke dalam toilet. Burger dan ayam kucabik jadi potongan kecil. Sekepal nasi pun kuawur-awur terlebih dahulu agar berderai dan mudah tenggelam. Untuk minuman bersoda kubuang ke dalam saluran air kamar mandi. Kini, tersisa bungkus dan tulang ayam saja. Sengaja semuanya kembali kumasukan ke dalam paper bag yang Mas Bayu bawa tadi, kemudian kubuang dalam tong sampah dapur. Saat Mas Bayu dan adiknya pergi, aku pun gegas mengemaskan diri. Mandi, bertukar pakaian, dandan yang cantik, kemudian memutuskan untuk keluar rumah dengan menaiki sepeda motor pembelian Mas Bayu. Lihatlah istrimu yang katamu sangat cantik dibanding SPG-SPG seantero mal ini, Mas. Dia mengikhlaskan kamu pergi dengan adikmu dengan menaiki mobil. Sedangkan istrimu harus ikhlas hanya naik motor saja. Benar-benar suami tak berperi kemanusiaan!
Tenang, Ris! Jangan gegabah! Santai saja. Begitulah ucapku dalam hati. Semencekam apa pun pertanyaan Mas Bayu, aku harus menjawabnya dengan sesantai mungkin. “Iya. Kok, tahu?” sahutku dengan nada cuek. Aslinya jantungku seperti mau lepas dari cangkangnya. Sumpah, ini pengalaman paling menegangkan yang pernah kualami seumur hidup! “Kenapa nggak bilang? Kamu emangnya ke mana?” Semakin teraduk-aduk dadaku. Lambungku seketika terasa perih. Saking paniknya, asam lambung serasa mau keluar ke mulut. Ya Allah, bantu aku buat tenang! “Lho, kan, Mas juga keluar. Masa aku nggak boleh keluar, sih?” Bibirku sudah gemetar.
“Sudah. Ini baru sampe. Radarmu kuat juga, Mas?” Aku sengaja menyindir. Agak tergopoh memasukan anak kunci ke dalam lubangnya. Perasaan was-was kini melingkupi. Tuhan … tolong lindungi aku. “Iya, dong. Namanya juga suami-istri. Wajar kalau feelingnya kuat. Hehe.” Tawa Mas Bayu malah membuatku merinding. Napas ini bahkan sampai tersengal saking cemasnya. Sial. Laki-laki ini lihai membuatku sport jantung. Pintu berhasil kubuka. Terdengar derit engsel yang malah semakin membuat bulu kuduk merinding. Andai saja rumah orangtuaku dekat dari sini, aku pasti sudah lari ke mereka. Sayang, tempat tinggal Ayah-Ibu ada di pelosok gunung sana. Jarak tempuhnya hampir 100 kilometer dari sini. Pulang ke sana juga tak memberikan solusi. Yang ada, aku pasti dimarahi sebab kabur-kaburan dari suami yang
“Bercanda, Sayangku! Hahaha kenapa diam? Ya ampun, kamu pasti kaget, ya? Jangan serius-seriuslah, Sayang. I love you, muah!” Tidak. Sedikit pun aku tak merasa bahwa yang barusan itu candaan. Mas Bayu seperti memang sungguhan tengah mengancamku tadi. “Bercandamu tidak lucu!” kataku kesal seraya bangkit dari sofa. “Eh, lucu, dong. Tuh, buktinya kamu kesel. Hehe. Udah dulu ya, Sayang. Kamu mau dibawakan apa nanti pas aku pulang?” “Aku udah kenyang!” kataku menggerutu kesal. Degupan jantung ini masih saja cepat bertalu di dada. Aku harus semakin waspada. Harus! Kalau perlu, akan kulaporkan ke polisi bi
“Oh, jamu, ya? Iya, iya. Jamu.” Suara Mama terdengar seperti orang gelagapan. Instingku kuat mengatakan apabila … beliau tengah berbohong. Apa sih, sebenarnya motif Mama? Apa yang sedang berusaha untuk dia tutup-tutupi? “Mama tahu, kan?” tanyaku memastikan. “Lho, tahu, dong! Masa nggak. Kan, Mama yang belikan untukmu.” Deg! Belikan? Bukannya … Lia bilang bahwa itu Mama yang bikin? “Mama beli di mana?” Terus kukorek informasi dari Mama. Telanjur aku penasaran.&nbs
“Kalau memang perasaan Mas Bayu sebegitu besarnya kepada Lia, mengapa dia harus menikahiku segala?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir. Saking gregetnya, aku meremas ujung sprei hingga terlepas dari ranjang. Ucapan Mama begitu keterlaluan. Wajar bukan, kalau aku melakukan perlawanan? “Pertanyaan macam apa itu?!” bentak Mama tak terima. “Aku hanya membalikkan kata-kata Mama saja.” Aku berucap tenang. Meski sempat luruh air mataku, tapi kurasa aku tak boleh terus-terusan lemah menghadapi keluarga ini. Ya, aku harus berontak! “Dia menikahimu karena dia melas. Karena dia tak tega melihat w