“Oh, ya? Jadi, apa yang kupikirkan dan kudengar itu hanya bagian dari depresiku?” tanyaku seraya memiringkan muka.
“Tentu, Sayang. Orang depresi bisa saja berhalusinasi. Baik visual maupun auditori.” Mas Bayu mengusap-usap rambutku. Menatap dengan serius dan penuh perhatian.
Halusinasi matamu! Aku bisa memastikan bahwa seluruh cakap Mas Bayu hanyalah tipu daya dan usaha memanipulasi psikisku belaka. Enak saja dia bilang aku berhalusinasi! 100% aku masih waras.
Aku pun manggut-manggut. Menggigit bibir bawah, menatap ke langit-langit seolah sedang merenung. Padahal, dalam hati aku begitu dongkol bukan main.
“Kamu mau kuantar ke psikolog? Atau, kalau kamu malu ke tempat praktiknya, aku punya seorang kenalan. Psikolog dan ahli hipnoterapi. Dia bisa kita datangkan ke rumah dan mendengarkan keluh kesahmu. Setelah itu, dia akan menghipnoterapi serta memasukan afirmasi-afirmasi positif ke dalam pikiranmu.”
Mentang-mentang aku hanya tamatan SMK dan dia sendiri tengah mengambil program magister secara online, memangnya aku ini tolol? Yang kamu datangkan pasti bukan psikolog betulan. Jika memang benar psikolog pun, dia pasti sudah disuap.
“Boleh, Mas. Kapan bisa kamu datangkan ke sini?”
Wajah Mas Bayu langsung cerah. Tatapannya penuh antusias. Lelaki berkulit cokelat itu tersenyum lebar.
“Kapan pun yang kamu mau, Sayang. Besok? Lusa? Aku akan panggil dia ke sini.”
“Besok saja. Aku ingin mengecek apakah betul aku ini depresi betulan atau tidak,” ucapku. Kubuat mukaku seolah lugu. Demi meyakinkan Mas Bayu. Hari ini, aku pura-pura bodoh dan gila saja. Ingin kuikuti alur permainan suamiku. Mau sampai di mana dia beraksi dengan perempuan kamar sebelah itu.
“Oke, Sayang. Aku akan telepon dia setelah makan siang ini. Kamu makan dulu, ya, Ris. Aku nggak mau kamu masuk angin.” Suamiku mengusap-usap pundakku. Dia berperilaku seakan dia begitu mencintaiku. Namun, ragu di dalam hati ini terus saja menggedor-gedor. Memang ada yang tak beres. Aku tak mau begitu saja percaya dengan Mas Bayu mulai detik ini.
“Oke. Nanti aku makan fast food-nya,” ujarku.
“Sekarang. Harus. Ayolah, aku suapkan, ya.” Mas Bayu yang masih lengkap mengenakan pakaian kerjanya tersebut, meraih bungkusan kertas cokelat dengan logo restoran fast food terkemuka dari atas nakas. Dari geriknya, dia ingin memaksaku untuk memakan oleh-oleh tersebut.
Feelingku sudah tak enak. Jika jamu tadi malam bisa membuatku tidur puluhan jam, apa kabar makanan ini? Mas Bayu pasti telah merencanakan sesuatu dengan senjata yang dia bawa.
“Ini, cheese burger dengan extra potongan bombay kesukaanmu. Mau tambahan saus? Biar kubukakan.”
Muka Mas Bayu penuh hasrat. Tak pernah dia sesemangat ini hingga mau menyuapkanku segala.
“Aku bisa sendiri,” bantahku halus.
Mas Bayu malah menoleh. Mukanya cemberut. “Kamu ini, suami ingin perhatian pun dilarang! Maumu apa sih, Ris?” Suara Mas Bayu sangat menggelegar. Membuatku awalnya agak tersentak kaget. Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Mas? Ingin membuatku teler lagi seperti tadi malam? Atau … mau meracuniku hingga aku mati terkapar?
(Bersambung)
“Maaf, Mas. Oke, sini aku makan.” Tanganku melambai-lambai. Meminta cheese burger yang bungkus kertasnya sudah dibuka setengah oleh Mas Bayu. Pura-pura saja aku ketakutan sebab habis dibentak olehnya.Pria itu pun senyum lagi. Buru-buru menyerahkannya kepadaku dengan ekspresi senang. Oke, akan kuikuti alur permainanmu, Mas! “Makanlah, Sayang. Yang banyak.” Mas Bayu berkata. Dia tak melepaskan matanya dariku sedikit pun. Mau tak mau, aku mulai memakan burger pemberian Mas Bayu. Dalam hati aku berdoa agar Allah melindungiku. Aku belum mau mati konyol, sebelum mengungkap kejahatan Mas Bayu yang diam-diam sepertinya akan menusukku dari belakang. Satu gigitan, dua gigitan, hingga tiga gigitan. Tak ada ta
Semua makanan yang dibeli Mas Bayu termasuk segelas ukuran besar minuman bersoda kumusnahkan ke ke dalam toilet. Burger dan ayam kucabik jadi potongan kecil. Sekepal nasi pun kuawur-awur terlebih dahulu agar berderai dan mudah tenggelam. Untuk minuman bersoda kubuang ke dalam saluran air kamar mandi. Kini, tersisa bungkus dan tulang ayam saja. Sengaja semuanya kembali kumasukan ke dalam paper bag yang Mas Bayu bawa tadi, kemudian kubuang dalam tong sampah dapur. Saat Mas Bayu dan adiknya pergi, aku pun gegas mengemaskan diri. Mandi, bertukar pakaian, dandan yang cantik, kemudian memutuskan untuk keluar rumah dengan menaiki sepeda motor pembelian Mas Bayu. Lihatlah istrimu yang katamu sangat cantik dibanding SPG-SPG seantero mal ini, Mas. Dia mengikhlaskan kamu pergi dengan adikmu dengan menaiki mobil. Sedangkan istrimu harus ikhlas hanya naik motor saja. Benar-benar suami tak berperi kemanusiaan!
Tenang, Ris! Jangan gegabah! Santai saja. Begitulah ucapku dalam hati. Semencekam apa pun pertanyaan Mas Bayu, aku harus menjawabnya dengan sesantai mungkin. “Iya. Kok, tahu?” sahutku dengan nada cuek. Aslinya jantungku seperti mau lepas dari cangkangnya. Sumpah, ini pengalaman paling menegangkan yang pernah kualami seumur hidup! “Kenapa nggak bilang? Kamu emangnya ke mana?” Semakin teraduk-aduk dadaku. Lambungku seketika terasa perih. Saking paniknya, asam lambung serasa mau keluar ke mulut. Ya Allah, bantu aku buat tenang! “Lho, kan, Mas juga keluar. Masa aku nggak boleh keluar, sih?” Bibirku sudah gemetar.
“Sudah. Ini baru sampe. Radarmu kuat juga, Mas?” Aku sengaja menyindir. Agak tergopoh memasukan anak kunci ke dalam lubangnya. Perasaan was-was kini melingkupi. Tuhan … tolong lindungi aku. “Iya, dong. Namanya juga suami-istri. Wajar kalau feelingnya kuat. Hehe.” Tawa Mas Bayu malah membuatku merinding. Napas ini bahkan sampai tersengal saking cemasnya. Sial. Laki-laki ini lihai membuatku sport jantung. Pintu berhasil kubuka. Terdengar derit engsel yang malah semakin membuat bulu kuduk merinding. Andai saja rumah orangtuaku dekat dari sini, aku pasti sudah lari ke mereka. Sayang, tempat tinggal Ayah-Ibu ada di pelosok gunung sana. Jarak tempuhnya hampir 100 kilometer dari sini. Pulang ke sana juga tak memberikan solusi. Yang ada, aku pasti dimarahi sebab kabur-kaburan dari suami yang
“Bercanda, Sayangku! Hahaha kenapa diam? Ya ampun, kamu pasti kaget, ya? Jangan serius-seriuslah, Sayang. I love you, muah!” Tidak. Sedikit pun aku tak merasa bahwa yang barusan itu candaan. Mas Bayu seperti memang sungguhan tengah mengancamku tadi. “Bercandamu tidak lucu!” kataku kesal seraya bangkit dari sofa. “Eh, lucu, dong. Tuh, buktinya kamu kesel. Hehe. Udah dulu ya, Sayang. Kamu mau dibawakan apa nanti pas aku pulang?” “Aku udah kenyang!” kataku menggerutu kesal. Degupan jantung ini masih saja cepat bertalu di dada. Aku harus semakin waspada. Harus! Kalau perlu, akan kulaporkan ke polisi bi
“Oh, jamu, ya? Iya, iya. Jamu.” Suara Mama terdengar seperti orang gelagapan. Instingku kuat mengatakan apabila … beliau tengah berbohong. Apa sih, sebenarnya motif Mama? Apa yang sedang berusaha untuk dia tutup-tutupi? “Mama tahu, kan?” tanyaku memastikan. “Lho, tahu, dong! Masa nggak. Kan, Mama yang belikan untukmu.” Deg! Belikan? Bukannya … Lia bilang bahwa itu Mama yang bikin? “Mama beli di mana?” Terus kukorek informasi dari Mama. Telanjur aku penasaran.&nbs
“Kalau memang perasaan Mas Bayu sebegitu besarnya kepada Lia, mengapa dia harus menikahiku segala?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir. Saking gregetnya, aku meremas ujung sprei hingga terlepas dari ranjang. Ucapan Mama begitu keterlaluan. Wajar bukan, kalau aku melakukan perlawanan? “Pertanyaan macam apa itu?!” bentak Mama tak terima. “Aku hanya membalikkan kata-kata Mama saja.” Aku berucap tenang. Meski sempat luruh air mataku, tapi kurasa aku tak boleh terus-terusan lemah menghadapi keluarga ini. Ya, aku harus berontak! “Dia menikahimu karena dia melas. Karena dia tak tega melihat w
Aku berkuat untuk tak membuka mata. Tetap berpura-pura tidur, apa pun ceritanya. “Sudah dua kali dia begini, Mbak Tika. Semalam dan siang ini. Tidur terus menerus, lalu bangun-bangun sudah marah-marah kepada adikku yang baru datang. Omongannya juga ngelantur. Aku khawatir. Apa yang sebenarnya tengah menyerang Risti.” Terdengar ucap kegelisahan dari suara milik Mas Bayu.Apa dia bilang? Aku ngelantur? Enak saja! Apa maksud Mas Bayu? Ingin membuatku benar-benar terlihat gila di mata orang lain?“Ngelantur bagaimana maksudnya?” Tika yang masih mengelus-elus puncak kepalaku bertanya. Penuh selidik nadanya. Aku benci situasi ini. Seolah-olah diperlakukan seperti orang dengan gangguan mental.“Dia mencurigaiku secara berlebih. Tiba-tiba nyelonong masuk ke kamar. Mencari-cari Mas Bayu seola