Share

Bab 2

Mamak segera mengoleskan benda padat yang aku tidak tahu namanya berwarna hitam, dia memiliki setoples ukuran satu kilo benda itu. Seluruh tubuh yang terbuka dia oles dengan warna hitam, kulitku yang dulu putih mulus seperti susu, kini berubah menjadi hitam pekat, wajahku pun tak luput dari warna hitam itu. 

"Perlihatkan gigimu," kata Mamak

Aku nyengir memperlihatkan gigiku. Mamak segera menggoreskan sesuatu di gigiku. Setelah selesai, aku di hadapkan ke cermin.

Ya Allah ... rupaku menjadi buruk, gigiku penuh dengan karang gigi, jorok sekali, kulitku hitam legam seperti pantat periuk yang ada di tungku kayu bakar. Rambutku tak lepas di-make over Mamak menjadi kusut masai.

"Sekarang ini wajah barumu, Ai. Di tempat yang baru nanti keadaannya lebih kejam, berlindunglah di wajah ini," kata Mamak.

****

Aku tiba di sebuah tempat yang tidak kuketahui namanya apa, walau Mamak sepanjang jalan sudah menerangkan tempat seperti apa yang akan kami tuju, tetapi aku belum paham juga.

Kubetulkan letak kaca mata yang dibeli Mamak waktu di kota Kabupaten tadi, rasanya aku belum nyaman memakai kaca mata ini.

"Pakai kaca mata ini, biar warna mata kau tidak kelihatan, Ai," kata Mamak 

"Memang warna mata Aina kenapa, Mak?" tanyaku belum mengerti perkataaan Mamak

"Warna mata kau tidak umum seperti orang di sini yang rata-rata hitam, mata kau coklat terang, itu bisa menarik perhatian orang," jawab Mamak.

Aku menurut saja, karena apa yang Mamak perintahkan katanya demi kebaikanku. Mamak mengajakku masuk ke sebuah tempat yang di batasi tembok tinggi, hari masih sore, kulihat suasananya masih sedikit sepi.

"Ayo, ikuti Mamak, jangan banyak berkeliaran, tempat ini berbahaya," kata Mamak.

Kulihat banyak sekali laki-laki berpenampilan sangar, ada beberapa bagian tubuhnya penuh tatto, mereka duduk bergerombol sambil merokok dan bercengkerama.

"Mau ke mana?" tegur salah satu dari mereka sambil menyetop perjalanan kami.

"Woi, Rojak! Kau lupa sama aku, Rojak?" seru Mamak.

"Astaga ... kau Nur? Nurlela, kan?" kata seseorang yang dipanggil Mamak, Rojak.

"Iya, aku ke sini mau ketemu Wak Iyah," ujar Mamak.

"O, Wak Iyah, ada ... dia di rumahnya. Ini anak-anak kau, Nur? Laki kau mana?" tanya Rojak lagi.

Aku hanya tertunduk tak berani menatap orang-orang di depanku, tapi kulihat Mamak santai saja.

"Iya, ini anak-anakku. Aku sudah bercerai dari lakiku," kata Mamak.

 Aku terperangah, kapan Mamak bercerai dari Bapak? Kok aku gak tahu.

"Wai, sayang anak gadis kau dak secantik kau, Nur. Kenapa anak kau kok jelek nian macam ini?" kata Rojak sambil terkekeh.

"Macam pantat kuali ..., " celetuk temannya yang seketika disambut gelak tawa yang lain. 

"Ya sudah, aku pergi ke tempat Wak Iyah dulu, ya ..., " kata Mamak buru-buru mengakhiri perbincangan ini.

Mereka masih saja tertawa, tapi sekilas kulirik ada seseorang yang dari tadi menatapku dengan pandangan aneh, dia tidak tertawa sama sekali ketika yang lain bahkan terbahak-bahak, ekor matanya menatapku seolah-olah aku tengah dikuliti dengan pandangannya.

****

"Nur ... kenapalah kau pakai ke sini lagi. Aku berharap kau tidak akan pernah menginjak tempat ini lagi," kata Wak Iyah.

Perempuan tua itu mengajak kami ke tempatnya, sebuah tempat seperti rumah bedeng dengan dua tempat tidur, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur dengan ukuran 6x8.

"Aku tak tahu harus ke mana lagi, Wak. Bang Sardan itu tambah gila, tiap hari aku dihajar, tak kuat aku lama-lama," kata Mamak sambil menaruh tas kami.

"Gimana kabar Wak?" tanya Mamak setelah kami duduk di tikar ruang tengah

"Kabarku ya macam ini  lah, Nur ... wanita tua berumur enam puluh lima tahun, gak kuat memegang kuas bedak lagi, jadi aku sekarang jualan sembako di komplek ini untuk nyambung hidup. Aku lebih banyak tidur di warung. Kau pakailah tempat ini sementara, menjelang kau punya rumah," kata Wak Iyah

"Ah, sudah lebih lima belas tahun kita gak ketemu, Wak. Om Marta gimana kabarnya, Wak?" tanya Mamak

"Si Marta sudah mati. Dia kena AIDS. Serempak dia ada lima orang PSK yang juga mati kena AIDS. Sekarang pengganti si Marta itu Samadin, anak itu lebih sadis dari si Marta," kata Wak Iyah, wanita tua itu kini menatapku.

"Siapa nama anakmu, Nur?" tanyanya

"Aina," jawab Mamak singkat.

"Aina mau bantu nenek di toko?" tanya Wak Iyah

"Mau Nek," jawabku sambil mengangguk.

"Tapi Aina masih sekolah, Wak. Rencana dia mau kupindahkan sekolah di sini sama adiknya," kata Mamak.

"Dak apa-apa, balek sekolah bantu-bantu Nenek, ya?"

Aku mengangguk cepat sambil tersenyum

"Dito juga boleh ya, Nek? Dito butuh duit jajan nih," kata Dito sambil tunjuk tangan.

"Iya, boleh .... "

Kami tersenyum senang, mudah-mudahan kami hidup damai dan tidak kekurangan sekarang.

****

"Ai, maafkan Mamak. Karena sebulan lagi mau EBTANAS jadi kau tidak bisa pindah sekolah. Besok pas EBTANAS kita pulang ke kecamatan, kau ujiannya nginduk ke sekolah di kecamatan," kata Mamak dengan wajah menyesal setelah dua minggu berada di tempat ini.

"Jadi kita balik kampung lagi, Mak? Aina takut ketemu Bapak, Mak."

Terbayang dipelupuk mata bagaimana jika ketemu dengan Bapak, atau ketemu dengan orang-orangnya Datuk Muhtar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
zidanalkaffah
aku suka, suka banget.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status