Mamak segera mengoleskan benda padat yang aku tidak tahu namanya berwarna hitam, dia memiliki setoples ukuran satu kilo benda itu. Seluruh tubuh yang terbuka dia oles dengan warna hitam, kulitku yang dulu putih mulus seperti susu, kini berubah menjadi hitam pekat, wajahku pun tak luput dari warna hitam itu.
"Perlihatkan gigimu," kata Mamak
Aku nyengir memperlihatkan gigiku. Mamak segera menggoreskan sesuatu di gigiku. Setelah selesai, aku di hadapkan ke cermin.
Ya Allah ... rupaku menjadi buruk, gigiku penuh dengan karang gigi, jorok sekali, kulitku hitam legam seperti pantat periuk yang ada di tungku kayu bakar. Rambutku tak lepas di-make over Mamak menjadi kusut masai.
"Sekarang ini wajah barumu, Ai. Di tempat yang baru nanti keadaannya lebih kejam, berlindunglah di wajah ini," kata Mamak.
****
Aku tiba di sebuah tempat yang tidak kuketahui namanya apa, walau Mamak sepanjang jalan sudah menerangkan tempat seperti apa yang akan kami tuju, tetapi aku belum paham juga.
Kubetulkan letak kaca mata yang dibeli Mamak waktu di kota Kabupaten tadi, rasanya aku belum nyaman memakai kaca mata ini.
"Pakai kaca mata ini, biar warna mata kau tidak kelihatan, Ai," kata Mamak
"Memang warna mata Aina kenapa, Mak?" tanyaku belum mengerti perkataaan Mamak
"Warna mata kau tidak umum seperti orang di sini yang rata-rata hitam, mata kau coklat terang, itu bisa menarik perhatian orang," jawab Mamak.
Aku menurut saja, karena apa yang Mamak perintahkan katanya demi kebaikanku. Mamak mengajakku masuk ke sebuah tempat yang di batasi tembok tinggi, hari masih sore, kulihat suasananya masih sedikit sepi.
"Ayo, ikuti Mamak, jangan banyak berkeliaran, tempat ini berbahaya," kata Mamak.
Kulihat banyak sekali laki-laki berpenampilan sangar, ada beberapa bagian tubuhnya penuh tatto, mereka duduk bergerombol sambil merokok dan bercengkerama.
"Mau ke mana?" tegur salah satu dari mereka sambil menyetop perjalanan kami.
"Woi, Rojak! Kau lupa sama aku, Rojak?" seru Mamak.
"Astaga ... kau Nur? Nurlela, kan?" kata seseorang yang dipanggil Mamak, Rojak.
"Iya, aku ke sini mau ketemu Wak Iyah," ujar Mamak.
"O, Wak Iyah, ada ... dia di rumahnya. Ini anak-anak kau, Nur? Laki kau mana?" tanya Rojak lagi.
Aku hanya tertunduk tak berani menatap orang-orang di depanku, tapi kulihat Mamak santai saja."Iya, ini anak-anakku. Aku sudah bercerai dari lakiku," kata Mamak.
Aku terperangah, kapan Mamak bercerai dari Bapak? Kok aku gak tahu.
"Wai, sayang anak gadis kau dak secantik kau, Nur. Kenapa anak kau kok jelek nian macam ini?" kata Rojak sambil terkekeh.
"Macam pantat kuali ..., " celetuk temannya yang seketika disambut gelak tawa yang lain.
"Ya sudah, aku pergi ke tempat Wak Iyah dulu, ya ..., " kata Mamak buru-buru mengakhiri perbincangan ini.
Mereka masih saja tertawa, tapi sekilas kulirik ada seseorang yang dari tadi menatapku dengan pandangan aneh, dia tidak tertawa sama sekali ketika yang lain bahkan terbahak-bahak, ekor matanya menatapku seolah-olah aku tengah dikuliti dengan pandangannya.
****
"Nur ... kenapalah kau pakai ke sini lagi. Aku berharap kau tidak akan pernah menginjak tempat ini lagi," kata Wak Iyah.
Perempuan tua itu mengajak kami ke tempatnya, sebuah tempat seperti rumah bedeng dengan dua tempat tidur, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur dengan ukuran 6x8."Aku tak tahu harus ke mana lagi, Wak. Bang Sardan itu tambah gila, tiap hari aku dihajar, tak kuat aku lama-lama," kata Mamak sambil menaruh tas kami.
"Gimana kabar Wak?" tanya Mamak setelah kami duduk di tikar ruang tengah
"Kabarku ya macam ini lah, Nur ... wanita tua berumur enam puluh lima tahun, gak kuat memegang kuas bedak lagi, jadi aku sekarang jualan sembako di komplek ini untuk nyambung hidup. Aku lebih banyak tidur di warung. Kau pakailah tempat ini sementara, menjelang kau punya rumah," kata Wak Iyah
"Ah, sudah lebih lima belas tahun kita gak ketemu, Wak. Om Marta gimana kabarnya, Wak?" tanya Mamak
"Si Marta sudah mati. Dia kena AIDS. Serempak dia ada lima orang PSK yang juga mati kena AIDS. Sekarang pengganti si Marta itu Samadin, anak itu lebih sadis dari si Marta," kata Wak Iyah, wanita tua itu kini menatapku.
"Siapa nama anakmu, Nur?" tanyanya
"Aina," jawab Mamak singkat.
"Aina mau bantu nenek di toko?" tanya Wak Iyah
"Mau Nek," jawabku sambil mengangguk.
"Tapi Aina masih sekolah, Wak. Rencana dia mau kupindahkan sekolah di sini sama adiknya," kata Mamak.
"Dak apa-apa, balek sekolah bantu-bantu Nenek, ya?"
Aku mengangguk cepat sambil tersenyum
"Dito juga boleh ya, Nek? Dito butuh duit jajan nih," kata Dito sambil tunjuk tangan.
"Iya, boleh .... "
Kami tersenyum senang, mudah-mudahan kami hidup damai dan tidak kekurangan sekarang.
****
"Ai, maafkan Mamak. Karena sebulan lagi mau EBTANAS jadi kau tidak bisa pindah sekolah. Besok pas EBTANAS kita pulang ke kecamatan, kau ujiannya nginduk ke sekolah di kecamatan," kata Mamak dengan wajah menyesal setelah dua minggu berada di tempat ini.
"Jadi kita balik kampung lagi, Mak? Aina takut ketemu Bapak, Mak."
Terbayang dipelupuk mata bagaimana jika ketemu dengan Bapak, atau ketemu dengan orang-orangnya Datuk Muhtar."Kau dak usah kwatir, kau nanti akan menginap di rumah Pak Camat, Bu Darni guru kau pernah bilang sama Mamak, dia sudah Mamak kirim surat, ini balasannya," kata Mamak memperlihatkan balasan surat dari kepala sekolahku itu.Kami membaca surat itu bersama-sama, Bu Darni bilang aku langsung saja menuju rumah Pak Camat, dia kakak kandung Bu Darni. Hanya aku saja yang tinggal di rumah Pak Camat, empat belas temanku yang lain tinggal di sekolah induk itu selama ujian, menempati satu kelas yang sengaja di kosongkan. Karena letak desa kami yang jauh dari kecamatan, setiap tahun sekolahku selalu menginap bila ujian.Hari ujian tinggal dua hari lagi, Mamak menyiapkan zat hitam itu pada wadah bekas kosmetik yang banyak ditemukan di rumah Wak Iyah. Mamak memasukkan ke wadah bedak itu sedikit demi sedikit agar aku mudah membawa ke mana saja."Kau harus berani, Aina. Kau akan pergi sendiri. Jangan mencari perhatian, biarkan kau tidak terlihat dengan siapapun, kalau ada
Tinggal di rumah Pak Camat membuatku senang, semua anggota keluarganya menyambutku dengan tangan terbuka, mereka tidak mempermasalahkan penampilanku yang buruk rupa. Selama menumpang aku juga tahu diri, dengan cekatan semua pekerjaan rumah kukerjakan kecuali memasak, bu camat yang memasak, aku juga takut jika masakanku tidak sesuai selera orang di sini. Aku terbiasa bangun jam lima pagi, sesudah salat subuh, aku langsung mencuci pakaian seluruh keluarga di kamar mandi belakang memakai tangan. Jam enam pagi sudah selesai di jemur, aku tinggal menyapu seluruh rumah dan mengepelnya, jam setengah tujuh aku mandi, sekalian memakai baju di kamar mandi karena harus mengoleskan zat hitam ini ke seluruh tubuh. Aku harus super cepat melakukannya karena waktu mandi hanya cukup sepuluh menit, sudah itu sarapan pagi, jam tujuh tepat berangkat ke sekolah. Ujian dimulai pukul delapan tepat. "Ai, bagaimana kalau SMA nanti kau lanjutin di sini? Tinggal di rumah ini. Lagi pula, Dimas bilang kalau NEM
Laras dan gengnya segera kabur, meninggalkan aku yang terduduk dengan tubuh basah. "Berhenti, kalian. Akan aku laporkan kau pada kepala sekolah, Laras!" Itu suara Dimas. Ya Allah ... gimana kalau Dimas melihat wajah asliku? Aku segera berlari masuk WC dan mengunci pintunya. "Ai ... kau tak apa-apa, Ai?" Suara Dimas mengetuk pintu WC. "Aku tidak apa-apa, Dim. Cuma pakaianku basah semua," jawabku dari dalam. "Ini, kau pakai jaketku, Ai ... ini, ambil ... aku tidak melihatmu," kata Dimas. Aku membuka pintu perlahan, anak itu membelakangiku, tangannya mengulurkan jaket ke belakang. Segera kusambar jaketnya dan segera menutup pintu. "Makasih ya, Dim," kataku. "Iya, tidak apa-apa," jawabnya dari luar. Aku segera mencopot bajuku dan memakainya sebagai pengering tubuh. Warna hitamku telah memudar, aku melihat wajahku dengan kaca kecil bekas kotak bedak, Ya Allah ... wajahku bahkan sudah tidak berwarna hitam lagi. Setelah dirasa tubuh dan wajahku kering, aku segera mengoleskan kembali
Hari ini hari keduaku masuk ke sebuah SMA Negeri terdekat, masa orientasi selama tiga hari membuatku merasa tidak nyaman. Hari pertama aku tidak mendapat kelompok, anak-anak kota itu menolak semua ketika aku akan masuk kelompoknya. Akibatnya para senior mem-bully-ku. Mereka bertanya macam-macam, namun aku menundukkan kepala tidak menjawab apa-apa. Aku hanya bisa menahan kesabaran, bahkan mereka terang-terangan mengejek fisikku yang buruk rupa. Apalagi ketika mereka tahu aku berasal dari mudik, mereka semakin menjadi-jadi mengejekku.Akhirnya aku dimasukkan di kelompok paling terakhir, di kelompok itu kulihat anaknya juga gak pintar-pintar amat dan tampangnya juga biasa, namun mereka tetap menyisihkanku seolah aku alien dari bangsa lain yang tidak layak menjadi teman mereka. Kalau begini aku jadi teringat Dimas, sejak wajahku buruk rupa hanya Dimas yang tulus mau menjadi temanku.Hufh ... aku menghela napas kuat-kuat, kudongakkan wajah keatas langit, Ya Allah ...
Aku melangkah keluar kelas paling terakhir, sudah sebulan ini Fendi pasti menungguku di dekat pagar dengan the gank -nya. Pertama kali cowok itu menungguku, saat masa orientasi, kulihat dia dan beberapa cowok tengah asyik bercengkrama, aku keluar gerbang dengan jalan melipir agar dia tidak melihatku, namun mata temannya melihatku yang memang mempunyai ciri fisik yang menonjol."Itu pacarmu sudah pulang, Fren!" pekik temannya membuat Fendi segera berlari mengejarku.Aku hanya menebalkan muka dan menulikan telinga saat teman-temannya dan anak lain menyoraki kami sebagai couple of the year."Ai, jalannya santai saja jangan cepat-cepat nanti capek loh," katanya mengamit tanganku yang kutepis dengan kasar."Kamu tu kenapa sih? Pakai ngaku-ngaku pacarku segala?" kataku menatapnya penuh amarah."Oh ... itu?" jawabnya dengan santai, tanpa menghiraukan amarahku"Santai saja lah Ai ... aku itu cuma apa ya?" katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Aku melangkah menuju perpustakaan, tempat itu menjadi tempat favoritku setelah sekolah di sini. Aku benar-benar tidak memiliki teman di sini kecuali Fendi, dia juga hanya menemaniku di jalan ketika aku berangkat dan pulang dari sekolah.Selama aku di sekolah, aku makhluk paling kuper, bukannya aku tidak mau bergaul, tetapi mereka yang tidak mau menjadi temanku. Laila, teman sebangku juga enggan bertegur sapa denganku, kalau kusenyumi dia selalu membuang muka. Padahal kalau dengan teman lain, dia akan bercerita dengan heboh. Aku tahu, dia sebangku denganku karena terpaksa tidak ada bangku lain, karena dia terlambat masuk kelas, aku sendiri sengaja memilih bangku paling pojok belakang.Selain buku-buku pelajaran, perpustakaan juga menyediakan buku-buku novel dari pengarang-pengarang terkenal, ah ... aku telah menemukan syurgaku sendiri di sekolah ini. Di kampungku tidak akan pernah kudapati deretan novel-novel indah ini.Aku baru saja menyelesaikan membaca Novel S
Terdengar suara gaduh di gerbang sekolah, kami yang tengah belajar sejarah di jam terakhir terkejut. Bu Maisarah segera keluar kelas mencari informasi, sebelumnya mewanti-wanti agar kami tetap di dalam kelas. Akan tetapi manalah kami tahan berada di dalam kelas, kami segera berhamburan melihat apa yang terjadi. Terlihat Fendi memimpin teman-temannya ke luar gerbang."Fendi! mau ke mana kau?" teriak Pak Ishak guru olah raga kami."Kami gak bisa diam saja, Pak. Kami mau melakukan perlawanan," teriak Fendi berlari keluar gerbang diikuti teman-temannya."Jangan keluar, Bapak sudah menghubungi polisi, hei ... jangan keluar, dengar kalian!" teriak Pak Ishak dan beberapa guru pria melarang mereka tetapi tidak mereka hiraukan.Selama satu jam kami tidak tahu apa yang terjadi, kami hanya mendengar kegaduhan dan teriakan. Sebagian para siswi ikut berteriak ngeri, para guru cemas menelpon para aparat dan beberapa pihak yang berwenang.Aku hanya be
"Iya, katanya ceweknya beneran cantik, ya?""Cewek itu sudah punya cowok, makanya cowoknya marah. Itu tuh, cowoknya yang duduk di sebelah Fendi," kata teman sekolahku sambil menunjuk lapangan.Tanpa sadar aku mengikuti tangan anak itu, di sebelah Fendi?Degg ... Dimas? Benarkah Dimas? Spontan kubuka kaca mataku memastikan siapa cowok yang duduk di sebelah Fendi. Yah ... itu Dimas. Dimas pacar gadis yang jadi penyebab tawuran?Acara sudah selesai, kedua belah pihak saling bermaaf-maafan. Mereka bersalaman dan saling memeluk. Aku menelan ludah melihat Fendi dan Dimas berpelukan, Ah ... pemandangan yang indah. Beberapa anak kelas 2 dan kelas 3 masuk lapangan ikut bersalaman, nampak Ria begitu cemas melihat Fendi kepalanya diperban. Dia mengelus-elus kepala cowok itu walau Fendi berusaha menepisnya.Dari arah gerbang, muncul seorang gadis cantik memakai seragam sekolah yang sedikit ketat. Dimas segera meraih tangan gadis itu dan m