Share

Bab 4

Tinggal di rumah Pak Camat membuatku senang, semua anggota keluarganya menyambutku dengan tangan terbuka, mereka tidak mempermasalahkan penampilanku yang buruk rupa. Selama menumpang aku juga tahu diri, dengan cekatan semua pekerjaan rumah kukerjakan kecuali memasak, bu camat yang memasak, aku juga takut jika masakanku tidak sesuai selera orang di sini. 

Aku terbiasa bangun jam lima pagi, sesudah salat subuh, aku langsung mencuci pakaian seluruh keluarga di kamar mandi belakang memakai tangan. Jam enam pagi sudah selesai di jemur, aku tinggal menyapu seluruh rumah dan mengepelnya, jam setengah tujuh aku mandi, sekalian memakai baju di kamar mandi karena harus mengoleskan zat hitam ini ke seluruh tubuh. Aku harus super cepat melakukannya karena waktu mandi hanya cukup sepuluh menit, sudah itu sarapan pagi, jam tujuh tepat berangkat ke sekolah. Ujian dimulai pukul delapan tepat.

"Ai, bagaimana kalau SMA nanti kau lanjutin di sini? Tinggal di rumah ini. Lagi pula, Dimas bilang kalau NEM nya cukup, dia akan melanjutkan ke kota Jambi," kata Bu Camat ketika kami sedang sarapan.

"Betul itu, Ai ... gimana? Kamu mau nggak? Biar Desi ada kawannya," dukung Pak Camat.

Aku menghembuskan napas lirih, bagaimana ini? Walaupun aku gadis polos, aku tahu maksud Bu Camat memintaku sekolah di sini. Selama tiga hari di sini aku sudah banyak membantu pekerjaan rumah, pekerjaan yang selama ini dia kerjakan sendirian, kini banyak yang aku bantu kerjakan.

"Kamu tidak usah mikir biaya sekolah, biar kami yang membiayai kamu, Ai," kata Pak Camat lagi.

"Maafkan aku Bu, Pak ... aku sebenarnya mau saja sekolah di sini. Tapi, Mamak dan adikku sekarang sudah pindah ke Jambi, di sana hidup mereka susah, aku harus membantu mereka," kataku sehalus mungkin, aku tidak ingin mereka kecewa.

"Kenapa Mamakmu pindah ke sana?" tanya Pak Camat.

"Mamak sudah bercerai dengan Bapak. Mamak sudah tidak tahan atas perlakuan Bapak yang suka main judi dan suka memukuli Mamak, Pak," kataku berterus terang

"Astagfirullah ... ya sudah, mungkin Mamakmu lebih membutuhkanmu," kata Pak Camat legowo, namun Bu Camat masih nampak gurat kecewa.

"Kalau di Jambi nanti, kau lanjutin sekolah di mana Ai?" tanya Dimas

"Nggak tahu. Mungkin aku lanjut sekolah, mungkin juga tidak," jawabku hampa.

"Ah, sayang anak pintar kayak kamu kalau gak sekolah, Ai," kata Dimas membuatku tersenyum getir, pun juga kedua orang tuanya menatapku dengan pandangan kasihan.

****

Hari terakhir ujian, Dimas malah masuk angin. Semalam dia dikerokin ibunya dan tidak sempat belajar, gara-gara kehujanan main bola di lapangan. Bu Camat terus mengomelinya. Bulan mei seperti ini jarang sekali hujan, tetapi sekali hujan membuat badan menjadi meriang jika tertimpa.

Dimas masih berjalan gontai, dia melapisi baju seragamnya dengan jaket sweater hoodie, dengan penutup kepalanya di pakai. Celana pendek di atas lututnya di bagian paha dan bokong diberi handiplast, katanya sih celananya sudah koyak sedikit.

"Ai, jalannya pelan-pelan ... kepalaku masih pusing," katanya membuatku tidak tega meninggalkannya.

"Hari ini ujian Bahasa Inggris dan Fisika, kau bisa mengerjakannya? Padahal kau tidak belajar semalam," kataku mengkwatirkannya.

"Kalau Bahasa Inggris aku masih bisa menjawab, kalau Fisika aku tidak tahu. Ai, tolong dong beri aku contekan ... jasamu akan selalu kuingat hingga akhir hidupku. Bagaimana nasibku jika tidak cukup NEM ku melanjutkan di Jambi?" katanya memohon padaku.

"Bagaimana caranya? Bangkumu itu jauh dariku?" tanyaku tidak mengerti.

"Kaukan duduk paling belakang, coba kau selesaikan dulu jawabannya, kau salin di kertas hitungan. Kalau sudah kau beri kertas hitungan itu padaku sambil kau mengumpulkan kertas ujian," katanya memberi solusi.

"Kau bersikap biasa saja, jangan gugup. Guru yang mengawas kita itu guru dari sekolah lain, mereka tidak akan tahu perangai kita kalau biasa saja," lanjutnya membuatku berpikir, sekali ini apa salahnya aku membalas budi keluarganya. Tapi ... itukan curang? 

"Bagaimana kalau sambil berjalan ini kita belajar, aku akan mengajarimu. Kau tidak perlu menjawab soal yang susah, jawabnya asal saja, yang kita pelajari mudah-mudahan keluar semua. Percayalah, Dim ... curang itu membuat kita tidak bahagia," kataku  mencoba memberinya pengertian.

"Ya, Baiklah ...." Ada nada kecewa di suaranya.

"Kita mulai ya? Dengan menghapal Besaran dan Satuan, biasanya ini sering keluar. Coba kau jawab, Satuan Panjang itu apa?" tanyaku

"Panjang? Meter," jawabnya ragu-ragu

"Nah, bener. Satuan waktu?"

"Jam ... detik ... menit ...." Sepanjang jalan kami belajar, hingga tak terasa sampai sekolah banyak soal yang sudah kami bahas.

****

Ujian hari terakhir usai juga, aku berlari mencari WC sekolah, sudah tidak tahan pingin pipis. Sesampainya di WC, ternyata aku ketemu Annisa dan Fitria, mereka baru keluar dari WC.

"Ah, ternyata anak kota kecamatan ada juga yang jelek, ya? Masih cantikan aku ke mana-mana walau aku dari mudik," kata Annisa.

Ah, hobi komentar Annisa ternyata belum hilang, aku tidak menanggapi langsung saja masuk ke WC. Hingga suara mereka tidak terdengar, sepertinya sudah pergi.

WC sekolah yang kotor membuatku sedikit mual, segera kuambil sikat lantai yang tergeletak di sana dan menyikat seluruh lantai WC dan bak-nya sekalian, banyak sekali lumut dan kerak. Di sekolahku dulu, walau sekolah di daerah terpencil namun WC-nya selalu  bersih terawat. Siswa di sana sangat bersyukur memiliki WC sekolah sehingga merawatnya, karena di rumah mereka bahkan tidak memiliki WC, jika BAB sering ke sungai.

"Woi, si Buruk ... sedang apa kau? Ha ... ha ... ha ... sedang nyikat WC kau? Cocok sekalilah kau jadi pembantu," kata cewek judes kemaren, Larasati. Dia berdiri bersama ketiga temannya di pintu WC.

Aku tidak menanggapi omongannya dan terus menyikat WC.

"Oi, minggir! Aku mau kencing ini," kata Laras membuatku menghentikan pekerjaan dan ke luar WC sebentar. 

WC anak perempuan hanya ada satu di sini. WC anak laki-laki jauh di kelas paling sudut.

Larasati keluar dari WC, tampangnya menyerigai membuatku tidak nyaman, kulihat di closed airnya berwarna kekuningan.

"Kenapa kau kencing tidak disiram? Padahal air di sini banyak," tegurku

"Itu tugasmu, ayo bersihkan WC-nya," kata cewek itu sambil tersenyum meledek.

"Kamu semua gak terima kasih sekali, aku membersihkan WC kalian suka rela loh, biar WC kalian bersih," kataku tidak suka dengan kelakuan mereka.

"Siapa suruh kau membersihkannya? Cewek buruk macam kau memang harus bersih-bersih, tampang kotor macam kau itu sudah biasa pegang kotoran, kalau aku jijik," kata salah satu teman Laras yang kemarin ngatain aku seperti arang.

"Tapi kalian ini harusnya menghargai apa yang kulakukan," kataku tak mau kalah dengan cewek-cewek berandal ini.

Kenapalah mereka suka sekali body shaming ... padahal mereka juga tidak cantik-cantik amat, jika melihat di balik buruk rupaku ini, mungkin mereka akan pingsan. Ah, sabar ... sabar ...

"Sudah! kau gak usah banyak omong, cepat siram kencingku itu!" kata Laras menunjuk mukaku. 

Spontan kulempar sikat lantai yang berada di tangan dan aku segera berlalu, namun mereka menghadang dari depan.

"Mau kemana, Kau? Tak mau kau siram kencingku itu? Kalau gitu ..." kata Laras segera mengambil ember dan mengisinya dengan air

"Kusiram saja kau, biar kotoran di badan kau hilang!. Ha ...ha ....ha ...."

"Augh!" 

Aku memekik, sekujur tubuhku sudah basah, aku terduduk menutup mukaku yang tersiram air ... ya Allah ... bagaimana jika zat hitam itu terhapus? Mereka akan tahu wajah asliku.

"Laras! Apa yang kau lakukakan, Ha!" pekik seseorang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status