Tinggal di rumah Pak Camat membuatku senang, semua anggota keluarganya menyambutku dengan tangan terbuka, mereka tidak mempermasalahkan penampilanku yang buruk rupa. Selama menumpang aku juga tahu diri, dengan cekatan semua pekerjaan rumah kukerjakan kecuali memasak, bu camat yang memasak, aku juga takut jika masakanku tidak sesuai selera orang di sini.
Aku terbiasa bangun jam lima pagi, sesudah salat subuh, aku langsung mencuci pakaian seluruh keluarga di kamar mandi belakang memakai tangan. Jam enam pagi sudah selesai di jemur, aku tinggal menyapu seluruh rumah dan mengepelnya, jam setengah tujuh aku mandi, sekalian memakai baju di kamar mandi karena harus mengoleskan zat hitam ini ke seluruh tubuh. Aku harus super cepat melakukannya karena waktu mandi hanya cukup sepuluh menit, sudah itu sarapan pagi, jam tujuh tepat berangkat ke sekolah. Ujian dimulai pukul delapan tepat.
"Ai, bagaimana kalau SMA nanti kau lanjutin di sini? Tinggal di rumah ini. Lagi pula, Dimas bilang kalau NEM nya cukup, dia akan melanjutkan ke kota Jambi," kata Bu Camat ketika kami sedang sarapan.
"Betul itu, Ai ... gimana? Kamu mau nggak? Biar Desi ada kawannya," dukung Pak Camat.
Aku menghembuskan napas lirih, bagaimana ini? Walaupun aku gadis polos, aku tahu maksud Bu Camat memintaku sekolah di sini. Selama tiga hari di sini aku sudah banyak membantu pekerjaan rumah, pekerjaan yang selama ini dia kerjakan sendirian, kini banyak yang aku bantu kerjakan.
"Kamu tidak usah mikir biaya sekolah, biar kami yang membiayai kamu, Ai," kata Pak Camat lagi.
"Maafkan aku Bu, Pak ... aku sebenarnya mau saja sekolah di sini. Tapi, Mamak dan adikku sekarang sudah pindah ke Jambi, di sana hidup mereka susah, aku harus membantu mereka," kataku sehalus mungkin, aku tidak ingin mereka kecewa.
"Kenapa Mamakmu pindah ke sana?" tanya Pak Camat.
"Mamak sudah bercerai dengan Bapak. Mamak sudah tidak tahan atas perlakuan Bapak yang suka main judi dan suka memukuli Mamak, Pak," kataku berterus terang
"Astagfirullah ... ya sudah, mungkin Mamakmu lebih membutuhkanmu," kata Pak Camat legowo, namun Bu Camat masih nampak gurat kecewa.
"Kalau di Jambi nanti, kau lanjutin sekolah di mana Ai?" tanya Dimas
"Nggak tahu. Mungkin aku lanjut sekolah, mungkin juga tidak," jawabku hampa.
"Ah, sayang anak pintar kayak kamu kalau gak sekolah, Ai," kata Dimas membuatku tersenyum getir, pun juga kedua orang tuanya menatapku dengan pandangan kasihan.
****
Hari terakhir ujian, Dimas malah masuk angin. Semalam dia dikerokin ibunya dan tidak sempat belajar, gara-gara kehujanan main bola di lapangan. Bu Camat terus mengomelinya. Bulan mei seperti ini jarang sekali hujan, tetapi sekali hujan membuat badan menjadi meriang jika tertimpa.
Dimas masih berjalan gontai, dia melapisi baju seragamnya dengan jaket sweater hoodie, dengan penutup kepalanya di pakai. Celana pendek di atas lututnya di bagian paha dan bokong diberi handiplast, katanya sih celananya sudah koyak sedikit.
"Ai, jalannya pelan-pelan ... kepalaku masih pusing," katanya membuatku tidak tega meninggalkannya.
"Hari ini ujian Bahasa Inggris dan Fisika, kau bisa mengerjakannya? Padahal kau tidak belajar semalam," kataku mengkwatirkannya.
"Kalau Bahasa Inggris aku masih bisa menjawab, kalau Fisika aku tidak tahu. Ai, tolong dong beri aku contekan ... jasamu akan selalu kuingat hingga akhir hidupku. Bagaimana nasibku jika tidak cukup NEM ku melanjutkan di Jambi?" katanya memohon padaku.
"Bagaimana caranya? Bangkumu itu jauh dariku?" tanyaku tidak mengerti.
"Kaukan duduk paling belakang, coba kau selesaikan dulu jawabannya, kau salin di kertas hitungan. Kalau sudah kau beri kertas hitungan itu padaku sambil kau mengumpulkan kertas ujian," katanya memberi solusi.
"Kau bersikap biasa saja, jangan gugup. Guru yang mengawas kita itu guru dari sekolah lain, mereka tidak akan tahu perangai kita kalau biasa saja," lanjutnya membuatku berpikir, sekali ini apa salahnya aku membalas budi keluarganya. Tapi ... itukan curang?
"Bagaimana kalau sambil berjalan ini kita belajar, aku akan mengajarimu. Kau tidak perlu menjawab soal yang susah, jawabnya asal saja, yang kita pelajari mudah-mudahan keluar semua. Percayalah, Dim ... curang itu membuat kita tidak bahagia," kataku mencoba memberinya pengertian.
"Ya, Baiklah ...." Ada nada kecewa di suaranya.
"Kita mulai ya? Dengan menghapal Besaran dan Satuan, biasanya ini sering keluar. Coba kau jawab, Satuan Panjang itu apa?" tanyaku
"Panjang? Meter," jawabnya ragu-ragu
"Nah, bener. Satuan waktu?"
"Jam ... detik ... menit ...." Sepanjang jalan kami belajar, hingga tak terasa sampai sekolah banyak soal yang sudah kami bahas.
****
Ujian hari terakhir usai juga, aku berlari mencari WC sekolah, sudah tidak tahan pingin pipis. Sesampainya di WC, ternyata aku ketemu Annisa dan Fitria, mereka baru keluar dari WC.
"Ah, ternyata anak kota kecamatan ada juga yang jelek, ya? Masih cantikan aku ke mana-mana walau aku dari mudik," kata Annisa.
Ah, hobi komentar Annisa ternyata belum hilang, aku tidak menanggapi langsung saja masuk ke WC. Hingga suara mereka tidak terdengar, sepertinya sudah pergi.
WC sekolah yang kotor membuatku sedikit mual, segera kuambil sikat lantai yang tergeletak di sana dan menyikat seluruh lantai WC dan bak-nya sekalian, banyak sekali lumut dan kerak. Di sekolahku dulu, walau sekolah di daerah terpencil namun WC-nya selalu bersih terawat. Siswa di sana sangat bersyukur memiliki WC sekolah sehingga merawatnya, karena di rumah mereka bahkan tidak memiliki WC, jika BAB sering ke sungai.
"Woi, si Buruk ... sedang apa kau? Ha ... ha ... ha ... sedang nyikat WC kau? Cocok sekalilah kau jadi pembantu," kata cewek judes kemaren, Larasati. Dia berdiri bersama ketiga temannya di pintu WC.
Aku tidak menanggapi omongannya dan terus menyikat WC.
"Oi, minggir! Aku mau kencing ini," kata Laras membuatku menghentikan pekerjaan dan ke luar WC sebentar.
WC anak perempuan hanya ada satu di sini. WC anak laki-laki jauh di kelas paling sudut.Larasati keluar dari WC, tampangnya menyerigai membuatku tidak nyaman, kulihat di closed airnya berwarna kekuningan."Kenapa kau kencing tidak disiram? Padahal air di sini banyak," tegurku
"Itu tugasmu, ayo bersihkan WC-nya," kata cewek itu sambil tersenyum meledek.
"Kamu semua gak terima kasih sekali, aku membersihkan WC kalian suka rela loh, biar WC kalian bersih," kataku tidak suka dengan kelakuan mereka.
"Siapa suruh kau membersihkannya? Cewek buruk macam kau memang harus bersih-bersih, tampang kotor macam kau itu sudah biasa pegang kotoran, kalau aku jijik," kata salah satu teman Laras yang kemarin ngatain aku seperti arang.
"Tapi kalian ini harusnya menghargai apa yang kulakukan," kataku tak mau kalah dengan cewek-cewek berandal ini.
Kenapalah mereka suka sekali body shaming ... padahal mereka juga tidak cantik-cantik amat, jika melihat di balik buruk rupaku ini, mungkin mereka akan pingsan. Ah, sabar ... sabar ...
"Sudah! kau gak usah banyak omong, cepat siram kencingku itu!" kata Laras menunjuk mukaku.
Spontan kulempar sikat lantai yang berada di tangan dan aku segera berlalu, namun mereka menghadang dari depan."Mau kemana, Kau? Tak mau kau siram kencingku itu? Kalau gitu ..." kata Laras segera mengambil ember dan mengisinya dengan air
"Kusiram saja kau, biar kotoran di badan kau hilang!. Ha ...ha ....ha ...."
"Augh!"
Aku memekik, sekujur tubuhku sudah basah, aku terduduk menutup mukaku yang tersiram air ... ya Allah ... bagaimana jika zat hitam itu terhapus? Mereka akan tahu wajah asliku.
"Laras! Apa yang kau lakukakan, Ha!" pekik seseorang.
Laras dan gengnya segera kabur, meninggalkan aku yang terduduk dengan tubuh basah. "Berhenti, kalian. Akan aku laporkan kau pada kepala sekolah, Laras!" Itu suara Dimas. Ya Allah ... gimana kalau Dimas melihat wajah asliku? Aku segera berlari masuk WC dan mengunci pintunya. "Ai ... kau tak apa-apa, Ai?" Suara Dimas mengetuk pintu WC. "Aku tidak apa-apa, Dim. Cuma pakaianku basah semua," jawabku dari dalam. "Ini, kau pakai jaketku, Ai ... ini, ambil ... aku tidak melihatmu," kata Dimas. Aku membuka pintu perlahan, anak itu membelakangiku, tangannya mengulurkan jaket ke belakang. Segera kusambar jaketnya dan segera menutup pintu. "Makasih ya, Dim," kataku. "Iya, tidak apa-apa," jawabnya dari luar. Aku segera mencopot bajuku dan memakainya sebagai pengering tubuh. Warna hitamku telah memudar, aku melihat wajahku dengan kaca kecil bekas kotak bedak, Ya Allah ... wajahku bahkan sudah tidak berwarna hitam lagi. Setelah dirasa tubuh dan wajahku kering, aku segera mengoleskan kembali
Hari ini hari keduaku masuk ke sebuah SMA Negeri terdekat, masa orientasi selama tiga hari membuatku merasa tidak nyaman. Hari pertama aku tidak mendapat kelompok, anak-anak kota itu menolak semua ketika aku akan masuk kelompoknya. Akibatnya para senior mem-bully-ku. Mereka bertanya macam-macam, namun aku menundukkan kepala tidak menjawab apa-apa. Aku hanya bisa menahan kesabaran, bahkan mereka terang-terangan mengejek fisikku yang buruk rupa. Apalagi ketika mereka tahu aku berasal dari mudik, mereka semakin menjadi-jadi mengejekku.Akhirnya aku dimasukkan di kelompok paling terakhir, di kelompok itu kulihat anaknya juga gak pintar-pintar amat dan tampangnya juga biasa, namun mereka tetap menyisihkanku seolah aku alien dari bangsa lain yang tidak layak menjadi teman mereka. Kalau begini aku jadi teringat Dimas, sejak wajahku buruk rupa hanya Dimas yang tulus mau menjadi temanku.Hufh ... aku menghela napas kuat-kuat, kudongakkan wajah keatas langit, Ya Allah ...
Aku melangkah keluar kelas paling terakhir, sudah sebulan ini Fendi pasti menungguku di dekat pagar dengan the gank -nya. Pertama kali cowok itu menungguku, saat masa orientasi, kulihat dia dan beberapa cowok tengah asyik bercengkrama, aku keluar gerbang dengan jalan melipir agar dia tidak melihatku, namun mata temannya melihatku yang memang mempunyai ciri fisik yang menonjol."Itu pacarmu sudah pulang, Fren!" pekik temannya membuat Fendi segera berlari mengejarku.Aku hanya menebalkan muka dan menulikan telinga saat teman-temannya dan anak lain menyoraki kami sebagai couple of the year."Ai, jalannya santai saja jangan cepat-cepat nanti capek loh," katanya mengamit tanganku yang kutepis dengan kasar."Kamu tu kenapa sih? Pakai ngaku-ngaku pacarku segala?" kataku menatapnya penuh amarah."Oh ... itu?" jawabnya dengan santai, tanpa menghiraukan amarahku"Santai saja lah Ai ... aku itu cuma apa ya?" katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Aku melangkah menuju perpustakaan, tempat itu menjadi tempat favoritku setelah sekolah di sini. Aku benar-benar tidak memiliki teman di sini kecuali Fendi, dia juga hanya menemaniku di jalan ketika aku berangkat dan pulang dari sekolah.Selama aku di sekolah, aku makhluk paling kuper, bukannya aku tidak mau bergaul, tetapi mereka yang tidak mau menjadi temanku. Laila, teman sebangku juga enggan bertegur sapa denganku, kalau kusenyumi dia selalu membuang muka. Padahal kalau dengan teman lain, dia akan bercerita dengan heboh. Aku tahu, dia sebangku denganku karena terpaksa tidak ada bangku lain, karena dia terlambat masuk kelas, aku sendiri sengaja memilih bangku paling pojok belakang.Selain buku-buku pelajaran, perpustakaan juga menyediakan buku-buku novel dari pengarang-pengarang terkenal, ah ... aku telah menemukan syurgaku sendiri di sekolah ini. Di kampungku tidak akan pernah kudapati deretan novel-novel indah ini.Aku baru saja menyelesaikan membaca Novel S
Terdengar suara gaduh di gerbang sekolah, kami yang tengah belajar sejarah di jam terakhir terkejut. Bu Maisarah segera keluar kelas mencari informasi, sebelumnya mewanti-wanti agar kami tetap di dalam kelas. Akan tetapi manalah kami tahan berada di dalam kelas, kami segera berhamburan melihat apa yang terjadi. Terlihat Fendi memimpin teman-temannya ke luar gerbang."Fendi! mau ke mana kau?" teriak Pak Ishak guru olah raga kami."Kami gak bisa diam saja, Pak. Kami mau melakukan perlawanan," teriak Fendi berlari keluar gerbang diikuti teman-temannya."Jangan keluar, Bapak sudah menghubungi polisi, hei ... jangan keluar, dengar kalian!" teriak Pak Ishak dan beberapa guru pria melarang mereka tetapi tidak mereka hiraukan.Selama satu jam kami tidak tahu apa yang terjadi, kami hanya mendengar kegaduhan dan teriakan. Sebagian para siswi ikut berteriak ngeri, para guru cemas menelpon para aparat dan beberapa pihak yang berwenang.Aku hanya be
"Iya, katanya ceweknya beneran cantik, ya?""Cewek itu sudah punya cowok, makanya cowoknya marah. Itu tuh, cowoknya yang duduk di sebelah Fendi," kata teman sekolahku sambil menunjuk lapangan.Tanpa sadar aku mengikuti tangan anak itu, di sebelah Fendi?Degg ... Dimas? Benarkah Dimas? Spontan kubuka kaca mataku memastikan siapa cowok yang duduk di sebelah Fendi. Yah ... itu Dimas. Dimas pacar gadis yang jadi penyebab tawuran?Acara sudah selesai, kedua belah pihak saling bermaaf-maafan. Mereka bersalaman dan saling memeluk. Aku menelan ludah melihat Fendi dan Dimas berpelukan, Ah ... pemandangan yang indah. Beberapa anak kelas 2 dan kelas 3 masuk lapangan ikut bersalaman, nampak Ria begitu cemas melihat Fendi kepalanya diperban. Dia mengelus-elus kepala cowok itu walau Fendi berusaha menepisnya.Dari arah gerbang, muncul seorang gadis cantik memakai seragam sekolah yang sedikit ketat. Dimas segera meraih tangan gadis itu dan m
Aku melangkah gontai memasuki gerbang lokalisasi. Tampak orang-orang tengah berkerumun di depan rumah Nek Iyah, aku tergesa ingin melihat apa yang terjadi."Ada apa, Mbak Lili?" tanyaku pada Mbak Lili yang juga ada di situ."Aina ... kau sudah pulang? Itu Ai, itu ... Wak Iyah meninggal dunia," kata Mbak Lili dengan nada sedih."Apa? Nek Iyah meninggal dunia? Innalillahi Wa innailahi rojiun ...," kataku sambil tergesa masuk rumah menyibak kerumunan.Tampak jenazah Nek Iyah ditutipi kain panjang. Mamak dan Dito ada di dekatnya. Beberapa penghuni kompleks hanya duduk-duduk saja. Aku segera memeluk Mamak, menangisi kepergian Nek Iyah. Mulai saat ini, kami tidak tahu lagi nasib kami mau seperti apa tanpa Nek Iyah. Selama ini hanya Nek Iyah yang melindungi keberadaan kami di sini, semua penghuni kompleks masih menaruh rasa segan pada Nek Iyah.Jenazah Nek Iyah dimandikan oleh orang di luar kompleks, Bang Rojak yang mencarinya. Setelah di mand
"Ah, coba kau tanya, Bos. Perawannya musti cantik apa nggak? Jelek mau gak dia?" tanya anak buahnya yangn lain lagi.Deggg.Aku terkejut mendengar perkataan itu, tiba-tiba tanganku bergetar. Aku memeluk kaki ketakutan, kalau gelisah seperti ini aku alan lebih nyaman jika aku akan memilin-milin bajuku hingga kuwel-kuwel."Iya, kutanya dulu ... halo toke Pardi, numpang tanya, perawan yang toke cari apakah wajahnya musti harus cantik? Ooo ... iyo, iyo.""Bagaimana, Bos?""Gak perlu cantik, yang penting lobangnya masih orisinil," kata Samadin"Nah ... kalau yang gitu, ada nih anak perawan Makcik Nur," kata salah satu anak buah Samadin."Apa?" Pekik Mamak membuatku kaget jantungan ..."Oiya ... Benar itu," kata Samadin dengan suara dinginnya."Maksud kalian apa? Mau menjadikan anakku itu pelacur?" tanya Mamak gugup."Kalau mau, nanti kubagi duitnya lima juta, Wak Nur juga bebas berjualan di sini, saya bebasin pajak