Laras dan gengnya segera kabur, meninggalkan aku yang terduduk dengan tubuh basah.
"Berhenti, kalian. Akan aku laporkan kau pada kepala sekolah, Laras!" Itu suara Dimas.
Ya Allah ... gimana kalau Dimas melihat wajah asliku? Aku segera berlari masuk WC dan mengunci pintunya.
"Ai ... kau tak apa-apa, Ai?" Suara Dimas mengetuk pintu WC.
"Aku tidak apa-apa, Dim. Cuma pakaianku basah semua," jawabku dari dalam.
"Ini, kau pakai jaketku, Ai ... ini, ambil ... aku tidak melihatmu," kata Dimas.
Aku membuka pintu perlahan, anak itu membelakangiku, tangannya mengulurkan jaket ke belakang. Segera kusambar jaketnya dan segera menutup pintu.
"Makasih ya, Dim," kataku.
"Iya, tidak apa-apa," jawabnya dari luar.
Aku segera mencopot bajuku dan memakainya sebagai pengering tubuh. Warna hitamku telah memudar, aku melihat wajahku dengan kaca kecil bekas kotak bedak, Ya Allah ... wajahku bahkan sudah tidak berwarna hitam lagi. Setelah dirasa tubuh dan wajahku kering, aku segera mengoleskan kembali zat hitam itu, zat ini tidak berbau, tidak lengket di kulit, apakah ini bubuk arang? Atau apa? Aku tidak tahu Mamak membuatnya dari apa, ketika kutanya seperti biasa dia hanya bilang tidak usah kau tanya, nurut saja.
Setelah selesai memakai warna hitam itu, segera kupakai jaket Dimas, dan memasukkan pakaian basahku yang sudah kuperas ke dalam tas, aku segera keluar dari WC. Kulihat Dimas, masih menunggu di dekat kelas tak jauh dari WC.
"Ayo pulang, Ai ...," katanya, aku hanya mengangguk dan mengikutinya berjalan.
"Kenapa kau kerajinan nian, pakek bersihin WC" tanyanya ketika kami dalam perjalanan.
"Entahlah ... aku gak suka aja ngelihat WC kotor," kataku sekenanya.
"Aku tahu kamu anaknya rajin, tapi besok gak usah lagi bersihin WC kayak gitu kalau guru gak nyuruh," katanya lagi
"Besok aku gak bakalan bersihin WC itu lagi, besok kan aku sudah pulang," kataku
"Oiya, aku lupa. Yah WC mana sajalah ... kalau kau lanjut sekolah nanti, jangan bersihin WC, ngerti?" katanya membuatku tersenyum.
"Iya, tuan Dimas ...," jawabku agar cepat-cepat mengakhiri obrolan yang menurutku gak penting ini sambil mencubit tangannya dan berlari ...
"Woi, jangan lari kau ya ...," katanya mengejarku.
****
Hari ini aku sudah bersiap akan pulang ke Jambi, hasil ujian dan ijazah akan dikirim oleh Bu Darni. Aku telah mengemasi pakaianku yang hanya sedikit. Bu Camat memberiku oleh-oleh keripik pisang dan buah sawo yang berbuah lebat di pekarangan belakang rumahnya.
Mobil angkutan desa sudah menungguku, aku segera berpamitan pada Pak Camat dan Bu Camat, serta mencium dan memeluk Desi. Ah, Dimas mana? Aku mau pamitan kok malah gak ada di rumah.
"Dimas mana, Yah?" tanya Bu Camat
"Nggak tahu, katanya mau ke pasar sebentar ada yang mau di beli," kata Pak Camat.
"Sebentar ya, Pak ...," kataku berlari ke kamar Dimas, mengambil pena dan menuliskan sesuatu ke atas kertas dan meletakkan di atas tempat tidurnya.
Aku segera berlari menyongsong mobil angkutan desa yang tengah menunggu lama.
"Saya permisi ya, Pak ... Bu. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam," jawab mereka serentak
"Da da ... Desi ...," kataku sambil melambai yang di balas Desi dengan lambaian juga.
****
Libur hampir sebulan membuatku semangat mencari uang. Nenek Iyah menyerahkan warungnya untuk kujaga. Dito turut membantu, kami belajar dengan cepat berbagai harga barang di warung tersebut, kadang masih melihat cacatan harga barang jika barang yang ditanyakan pembeli tidak populer.
Mamak membuka warung sarapan pagi. Ada lontong, nasi gemuk dan gado-gado. Sebelum buka warung aku membantu Mamak dulu memasak kuah lontong dan membuat gorengan. Hampir tiap pagi penghuni lokalisasi nongkrong di warung Mamak, siangnya nongkrong di warung Wak Iyah.
Mereka sudah mengenalku, kadang mereka menjuluki aku Aina Blekki. Aku tahu maksud julukan itu, pasti Aina hitam. Di kampung aku gadis yang ceria, banyak berceloteh dan suka banyak tanya karena keingintahuanku. Tetapi di sini Mamak selalu mengingatkan aku agar aku tidak menonjolkan diri, diam saja tidak perlu mengajak siapapun ngobrol. Kadang mereka menjulukiku si pendiam, kadang rasanya aku merasa kalau aku bukanlah diriku. Aku benar-benar kesulitan menjadi pendiam, aku kadang masih keceplosan dengan kekepoanku.
"Aina ... ada pembalut yang paling panjang nggak?" tanya Mbak Lili, PSK paling cantik menurutku, usianya juga masih terbilang muda dua puluh empat tahun.
"Ada, Mbak. Ch*m night, panjangnya 35 cm," jawabku mengulurkan sebuah produk.
"Aku kalau halangan suka banyak, jadi gak bisa pakai yang biasa," katanya sambil mengambil produk itu.
"Berapa Ai?"
"Yang itu tujuh ribu, Mbak. Butuh apalagi, Mbak?" tanyaku
"Ini aja, Ai," katanya sambil mengulurkan uang sepuluh ribu, dengan sigap aku mengambilkan kembalian.
"Mbak Lili libur dong ya hari ini?" tanyaku kepo
"Ya iyalah, Ai ...."
"Biasanya berapa hari kalau dapet?" tanyaku.
"Biasanya tujuh hari. Kadang kalau hari ke enam biarpun belum bersih sering di pakek sama Bang Sam," kata Mbak Lili, mulutnya manyun.
"Bang Sam siapa, Mbak?" tanyaku penasaran.
"Sam ... Samadin, mucikari di sini," kata Lili.
Tiba-tiba datang Mbak Mawar, yang langsung nimbrung obrolan kami. Mbak Mawar paling genit menurutku orangnya, karena kalau ngomong suka terdengar mendesah-desah.
"Jadi kamu halangan Li? Pantasan tadi Malam Bang Sam masuk kamarku," kata Mawar.
Aku terdiam mendengar pembicaraan mereka, aku tidak ingin ikut campur soal per-ranjangan mereka, aku masih 16 tahun, gak pantas membicarakan hal tersebut. Aku kadang aneh dengan nama-nama mereka, rata-rata nama mereka memakai nama bunga, apakah itu nama asli atau nama tenar mereka aku tidak tahu, tapi dugaanku itu nama fake mereka. Setahuku ada beberapa nama bunga di sini, Lili, Mawar, Dahlia, Melati, Tulip, Anggrek, Lavender.
"Bang Sam minta layani dirimu juga to, Mbak?" tanya Mbak Lili.
"Iya, makanya aku mau langsung beli beras sama minyak sekarang," kata Mbak Mawar.
"Mbak kalau ngelayani dia dibayar? Aku kok nggak?" tanya Mbak Lili.
"Bang Sam pernah bilang, kalau kamu, katanya pacarnya, jadi sama pacarkan ya sukarela," kata Mbak Mawar sambil tertawa.
"Dasar Samadin penjajah, aku tidak akan sudi lagi melayaninya. Memangnya aku budak n*fsu apa?" kata Lili mendengus kesal.
"Jangan gitu, Li. Kamu gak tahu seperti apa Samadin, itu si Tulip pernah nolak ngelayani, sama Samadin di paksa. Kedua tangannya diikat, sudah itu si Tulip di cambuk pakai ikat pinggang, sudah itu di paksa, semakin Tulip teriak kesakitan Samadin semakin bergairah, kayaknya dia ada kelainan s*x, spikopat," kata Mbak Mawar sambil mengambil beberapa snack.
"Beruntung kamu punya wajah jelek, Aina. Kamu gak bakalan ada yang tertarik," kata Mbak Lili.
"Siapa bilang? Kalau laki-lakinya model Samadin gak bakalan mandang rupa, asal masih manusia bakal digarapnya. Makanya hati-hati kau, Ai. Sebisa mungkin kau hindari Samadin," kata Mbak Mawar membuatku terperangah
"Benar juga sih, Kasihannya kalau kau sudah dipakek Sam, takutnya kau tinggal barang bekas gak bakalan ada lagi yang mau memakai, gak seperti kami yang diandalkan kecantikan wajah," timpal mbak Lili membuatku bergidik, sungguh menyedihkan kehidupan mereka, tubuhnya menjadi barang eksploitasi.
"Samadin itu yang mana sih, Mbak?" tanyaku untuk waspada, agar aku bisa menghindarinya.
"Dia yang tangannya ada tatto ular kobra," kata Mbak Lili
"Aku pernah lihat tapi orangnya masih muda, Mbak," kataku
"Iya itu ... orangnya memang masih muda" kata Mbak Lili.
Aku terperangah ... apakah pria yang melihatku dengan sorot tajam ketika pertama kali ke sini itu Samadin?
****
Hari ini hari keduaku masuk ke sebuah SMA Negeri terdekat, masa orientasi selama tiga hari membuatku merasa tidak nyaman. Hari pertama aku tidak mendapat kelompok, anak-anak kota itu menolak semua ketika aku akan masuk kelompoknya. Akibatnya para senior mem-bully-ku. Mereka bertanya macam-macam, namun aku menundukkan kepala tidak menjawab apa-apa. Aku hanya bisa menahan kesabaran, bahkan mereka terang-terangan mengejek fisikku yang buruk rupa. Apalagi ketika mereka tahu aku berasal dari mudik, mereka semakin menjadi-jadi mengejekku.Akhirnya aku dimasukkan di kelompok paling terakhir, di kelompok itu kulihat anaknya juga gak pintar-pintar amat dan tampangnya juga biasa, namun mereka tetap menyisihkanku seolah aku alien dari bangsa lain yang tidak layak menjadi teman mereka. Kalau begini aku jadi teringat Dimas, sejak wajahku buruk rupa hanya Dimas yang tulus mau menjadi temanku.Hufh ... aku menghela napas kuat-kuat, kudongakkan wajah keatas langit, Ya Allah ...
Aku melangkah keluar kelas paling terakhir, sudah sebulan ini Fendi pasti menungguku di dekat pagar dengan the gank -nya. Pertama kali cowok itu menungguku, saat masa orientasi, kulihat dia dan beberapa cowok tengah asyik bercengkrama, aku keluar gerbang dengan jalan melipir agar dia tidak melihatku, namun mata temannya melihatku yang memang mempunyai ciri fisik yang menonjol."Itu pacarmu sudah pulang, Fren!" pekik temannya membuat Fendi segera berlari mengejarku.Aku hanya menebalkan muka dan menulikan telinga saat teman-temannya dan anak lain menyoraki kami sebagai couple of the year."Ai, jalannya santai saja jangan cepat-cepat nanti capek loh," katanya mengamit tanganku yang kutepis dengan kasar."Kamu tu kenapa sih? Pakai ngaku-ngaku pacarku segala?" kataku menatapnya penuh amarah."Oh ... itu?" jawabnya dengan santai, tanpa menghiraukan amarahku"Santai saja lah Ai ... aku itu cuma apa ya?" katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Aku melangkah menuju perpustakaan, tempat itu menjadi tempat favoritku setelah sekolah di sini. Aku benar-benar tidak memiliki teman di sini kecuali Fendi, dia juga hanya menemaniku di jalan ketika aku berangkat dan pulang dari sekolah.Selama aku di sekolah, aku makhluk paling kuper, bukannya aku tidak mau bergaul, tetapi mereka yang tidak mau menjadi temanku. Laila, teman sebangku juga enggan bertegur sapa denganku, kalau kusenyumi dia selalu membuang muka. Padahal kalau dengan teman lain, dia akan bercerita dengan heboh. Aku tahu, dia sebangku denganku karena terpaksa tidak ada bangku lain, karena dia terlambat masuk kelas, aku sendiri sengaja memilih bangku paling pojok belakang.Selain buku-buku pelajaran, perpustakaan juga menyediakan buku-buku novel dari pengarang-pengarang terkenal, ah ... aku telah menemukan syurgaku sendiri di sekolah ini. Di kampungku tidak akan pernah kudapati deretan novel-novel indah ini.Aku baru saja menyelesaikan membaca Novel S
Terdengar suara gaduh di gerbang sekolah, kami yang tengah belajar sejarah di jam terakhir terkejut. Bu Maisarah segera keluar kelas mencari informasi, sebelumnya mewanti-wanti agar kami tetap di dalam kelas. Akan tetapi manalah kami tahan berada di dalam kelas, kami segera berhamburan melihat apa yang terjadi. Terlihat Fendi memimpin teman-temannya ke luar gerbang."Fendi! mau ke mana kau?" teriak Pak Ishak guru olah raga kami."Kami gak bisa diam saja, Pak. Kami mau melakukan perlawanan," teriak Fendi berlari keluar gerbang diikuti teman-temannya."Jangan keluar, Bapak sudah menghubungi polisi, hei ... jangan keluar, dengar kalian!" teriak Pak Ishak dan beberapa guru pria melarang mereka tetapi tidak mereka hiraukan.Selama satu jam kami tidak tahu apa yang terjadi, kami hanya mendengar kegaduhan dan teriakan. Sebagian para siswi ikut berteriak ngeri, para guru cemas menelpon para aparat dan beberapa pihak yang berwenang.Aku hanya be
"Iya, katanya ceweknya beneran cantik, ya?""Cewek itu sudah punya cowok, makanya cowoknya marah. Itu tuh, cowoknya yang duduk di sebelah Fendi," kata teman sekolahku sambil menunjuk lapangan.Tanpa sadar aku mengikuti tangan anak itu, di sebelah Fendi?Degg ... Dimas? Benarkah Dimas? Spontan kubuka kaca mataku memastikan siapa cowok yang duduk di sebelah Fendi. Yah ... itu Dimas. Dimas pacar gadis yang jadi penyebab tawuran?Acara sudah selesai, kedua belah pihak saling bermaaf-maafan. Mereka bersalaman dan saling memeluk. Aku menelan ludah melihat Fendi dan Dimas berpelukan, Ah ... pemandangan yang indah. Beberapa anak kelas 2 dan kelas 3 masuk lapangan ikut bersalaman, nampak Ria begitu cemas melihat Fendi kepalanya diperban. Dia mengelus-elus kepala cowok itu walau Fendi berusaha menepisnya.Dari arah gerbang, muncul seorang gadis cantik memakai seragam sekolah yang sedikit ketat. Dimas segera meraih tangan gadis itu dan m
Aku melangkah gontai memasuki gerbang lokalisasi. Tampak orang-orang tengah berkerumun di depan rumah Nek Iyah, aku tergesa ingin melihat apa yang terjadi."Ada apa, Mbak Lili?" tanyaku pada Mbak Lili yang juga ada di situ."Aina ... kau sudah pulang? Itu Ai, itu ... Wak Iyah meninggal dunia," kata Mbak Lili dengan nada sedih."Apa? Nek Iyah meninggal dunia? Innalillahi Wa innailahi rojiun ...," kataku sambil tergesa masuk rumah menyibak kerumunan.Tampak jenazah Nek Iyah ditutipi kain panjang. Mamak dan Dito ada di dekatnya. Beberapa penghuni kompleks hanya duduk-duduk saja. Aku segera memeluk Mamak, menangisi kepergian Nek Iyah. Mulai saat ini, kami tidak tahu lagi nasib kami mau seperti apa tanpa Nek Iyah. Selama ini hanya Nek Iyah yang melindungi keberadaan kami di sini, semua penghuni kompleks masih menaruh rasa segan pada Nek Iyah.Jenazah Nek Iyah dimandikan oleh orang di luar kompleks, Bang Rojak yang mencarinya. Setelah di mand
"Ah, coba kau tanya, Bos. Perawannya musti cantik apa nggak? Jelek mau gak dia?" tanya anak buahnya yangn lain lagi.Deggg.Aku terkejut mendengar perkataan itu, tiba-tiba tanganku bergetar. Aku memeluk kaki ketakutan, kalau gelisah seperti ini aku alan lebih nyaman jika aku akan memilin-milin bajuku hingga kuwel-kuwel."Iya, kutanya dulu ... halo toke Pardi, numpang tanya, perawan yang toke cari apakah wajahnya musti harus cantik? Ooo ... iyo, iyo.""Bagaimana, Bos?""Gak perlu cantik, yang penting lobangnya masih orisinil," kata Samadin"Nah ... kalau yang gitu, ada nih anak perawan Makcik Nur," kata salah satu anak buah Samadin."Apa?" Pekik Mamak membuatku kaget jantungan ..."Oiya ... Benar itu," kata Samadin dengan suara dinginnya."Maksud kalian apa? Mau menjadikan anakku itu pelacur?" tanya Mamak gugup."Kalau mau, nanti kubagi duitnya lima juta, Wak Nur juga bebas berjualan di sini, saya bebasin pajak
Kami menaiki angkutan kota dua kali, mengambil rute yang cukup jauh. Kemudian Mamak mengajak kami menyusuri setiap lorong menanyakan ada yang menyewakan kontrakan di daerah tersebut. Tetapi hingga sore tiba, tidak ada satupun kontrakan yang cocok dengan kemauan Mamak. Kamipun beristirahat di pelataran Masjid setelah menunaikan salat Ashar."Kalau kita tinggal di sini, sekolah Dito kekmana, Mak? Dito kan sudah kelas enam, bentar lagi EBTANAS," keluh Dito."Kau kelas enam belum ada sebulan, kemungkinan masih bisa pindah," kata Mamak"Pindah-pindah terus. Susah tau, Mak, cari teman di tempat baru itu." anak itu masih juga nyerocos."Semakin kita jauh dari kompleks lokalisasi itu, semakin aman hidup kita," kata Mamak tegas, kami juga tidak membantahnya."Terus, itu tadi ada rumah yang bagus, kenapa Mamak gak ambil?" tanya Dito lagi."Itu mahal, Dito. Manalah cukup uang Mamak.""Memangnya tadi berapa, Mak?" tanyaku sambil selonjoran