Share

Bab 5

Laras dan gengnya segera kabur, meninggalkan aku yang terduduk dengan tubuh basah.

"Berhenti, kalian. Akan aku laporkan kau pada kepala sekolah, Laras!" Itu suara Dimas.

Ya Allah ... gimana kalau Dimas melihat wajah asliku? Aku segera berlari masuk WC dan mengunci pintunya.

"Ai ... kau tak apa-apa, Ai?" Suara Dimas mengetuk pintu WC. 

"Aku tidak apa-apa, Dim. Cuma pakaianku basah semua," jawabku dari dalam.

"Ini, kau pakai jaketku, Ai ... ini, ambil ... aku tidak melihatmu," kata Dimas.

Aku membuka pintu perlahan, anak itu membelakangiku, tangannya mengulurkan jaket ke belakang. Segera kusambar jaketnya dan segera menutup pintu.

"Makasih ya, Dim," kataku.

"Iya, tidak apa-apa," jawabnya dari luar.

Aku segera mencopot bajuku dan memakainya sebagai pengering tubuh. Warna hitamku telah memudar, aku melihat wajahku dengan kaca kecil bekas kotak bedak, Ya Allah ... wajahku bahkan sudah tidak berwarna hitam lagi. Setelah dirasa tubuh dan wajahku kering, aku segera mengoleskan kembali zat hitam itu, zat ini tidak berbau, tidak lengket di kulit, apakah ini bubuk arang? Atau apa? Aku tidak tahu Mamak membuatnya dari apa, ketika kutanya seperti biasa dia hanya bilang tidak usah kau tanya, nurut saja.

Setelah selesai memakai warna hitam itu, segera kupakai jaket Dimas, dan memasukkan pakaian basahku yang sudah kuperas ke dalam tas, aku segera keluar dari WC. Kulihat Dimas, masih menunggu di dekat kelas tak jauh dari WC. 

"Ayo pulang, Ai ...," katanya, aku hanya mengangguk dan mengikutinya berjalan.

"Kenapa kau kerajinan nian, pakek bersihin WC" tanyanya ketika kami dalam perjalanan.

"Entahlah ... aku gak suka aja ngelihat WC kotor," kataku sekenanya.

"Aku tahu kamu anaknya rajin, tapi besok gak usah lagi bersihin WC kayak gitu kalau guru gak nyuruh," katanya lagi

"Besok aku gak bakalan bersihin WC itu lagi, besok kan aku sudah pulang," kataku

"Oiya, aku lupa. Yah WC mana sajalah ... kalau kau lanjut sekolah nanti, jangan bersihin WC, ngerti?" katanya membuatku tersenyum.

"Iya, tuan Dimas ...," jawabku agar cepat-cepat mengakhiri obrolan yang menurutku gak penting ini sambil mencubit tangannya dan berlari ...

"Woi, jangan lari kau ya ...," katanya mengejarku.

****

Hari ini aku sudah bersiap akan pulang ke Jambi, hasil ujian dan ijazah akan dikirim oleh Bu Darni. Aku telah mengemasi pakaianku yang hanya sedikit. Bu  Camat memberiku oleh-oleh keripik pisang dan buah sawo yang berbuah lebat di pekarangan belakang rumahnya. 

Mobil angkutan desa sudah menungguku, aku segera berpamitan pada Pak Camat dan Bu Camat, serta mencium dan memeluk Desi. Ah, Dimas mana? Aku mau pamitan kok malah gak ada di rumah. 

"Dimas mana, Yah?" tanya Bu Camat

"Nggak tahu, katanya mau ke pasar sebentar ada yang mau di beli," kata Pak Camat.

"Sebentar ya, Pak ...," kataku berlari ke kamar Dimas, mengambil pena dan menuliskan sesuatu ke atas kertas dan meletakkan di atas tempat tidurnya.

Aku segera berlari menyongsong mobil angkutan desa yang tengah menunggu lama.

"Saya permisi ya, Pak ... Bu. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam," jawab mereka serentak

"Da da ... Desi ...," kataku sambil melambai yang di balas Desi dengan lambaian juga.

****

Libur hampir sebulan membuatku semangat mencari uang. Nenek Iyah menyerahkan warungnya untuk kujaga. Dito turut membantu, kami belajar dengan cepat berbagai harga barang di warung tersebut, kadang masih melihat cacatan harga barang jika barang yang ditanyakan pembeli tidak populer.

Mamak membuka warung sarapan pagi. Ada lontong, nasi gemuk dan gado-gado. Sebelum buka warung aku membantu Mamak dulu memasak kuah lontong dan membuat gorengan. Hampir tiap pagi penghuni lokalisasi nongkrong di warung Mamak, siangnya nongkrong di warung Wak Iyah.

Mereka sudah mengenalku, kadang mereka menjuluki aku Aina Blekki. Aku tahu maksud julukan itu, pasti Aina hitam. Di kampung aku gadis yang ceria, banyak berceloteh dan suka banyak tanya karena keingintahuanku. Tetapi di sini Mamak selalu mengingatkan aku agar aku tidak menonjolkan diri, diam saja tidak perlu mengajak siapapun ngobrol. Kadang mereka menjulukiku si pendiam, kadang rasanya aku merasa kalau aku bukanlah diriku. Aku benar-benar kesulitan menjadi pendiam, aku kadang masih keceplosan dengan kekepoanku.

"Aina ... ada pembalut yang paling panjang nggak?" tanya Mbak Lili, PSK paling cantik menurutku, usianya juga masih terbilang muda dua puluh empat tahun.

"Ada, Mbak. Ch*m night, panjangnya 35 cm," jawabku mengulurkan sebuah produk.

"Aku kalau halangan suka banyak, jadi gak bisa pakai yang biasa," katanya sambil mengambil produk itu.

"Berapa Ai?" 

"Yang itu tujuh ribu, Mbak. Butuh apalagi, Mbak?" tanyaku

"Ini aja, Ai," katanya sambil mengulurkan uang sepuluh ribu, dengan sigap aku mengambilkan kembalian.

"Mbak Lili libur dong ya hari ini?" tanyaku kepo

"Ya iyalah, Ai ...."

"Biasanya berapa hari kalau dapet?" tanyaku.

"Biasanya tujuh hari. Kadang kalau hari ke enam biarpun belum bersih sering di pakek sama Bang Sam," kata Mbak Lili, mulutnya manyun.

"Bang Sam siapa, Mbak?" tanyaku penasaran.

"Sam ... Samadin, mucikari di sini," kata Lili.

Tiba-tiba datang Mbak Mawar, yang langsung nimbrung obrolan kami. Mbak Mawar paling genit menurutku orangnya, karena kalau ngomong suka terdengar mendesah-desah.

"Jadi kamu halangan Li? Pantasan tadi Malam Bang Sam masuk kamarku," kata Mawar.

Aku terdiam mendengar pembicaraan mereka, aku tidak ingin ikut campur soal per-ranjangan mereka, aku masih 16 tahun, gak pantas membicarakan hal tersebut. Aku kadang aneh  dengan nama-nama mereka, rata-rata nama mereka memakai nama bunga, apakah itu nama asli atau nama tenar mereka aku tidak tahu, tapi dugaanku itu nama fake mereka. Setahuku ada beberapa nama bunga di sini, Lili, Mawar, Dahlia, Melati, Tulip, Anggrek, Lavender.

"Bang Sam minta layani dirimu juga to, Mbak?" tanya Mbak Lili.

"Iya, makanya aku mau langsung beli beras sama minyak sekarang," kata Mbak Mawar.

"Mbak kalau ngelayani dia dibayar? Aku kok nggak?" tanya Mbak Lili.

"Bang Sam pernah bilang, kalau kamu, katanya pacarnya, jadi sama pacarkan ya sukarela," kata Mbak Mawar sambil tertawa.

"Dasar Samadin penjajah, aku tidak akan sudi lagi melayaninya. Memangnya aku budak n*fsu apa?" kata Lili mendengus kesal.

"Jangan gitu, Li. Kamu gak tahu seperti apa Samadin, itu si Tulip pernah nolak ngelayani, sama Samadin di paksa. Kedua tangannya diikat, sudah itu si Tulip di cambuk pakai ikat pinggang, sudah itu di paksa, semakin Tulip teriak kesakitan Samadin semakin bergairah, kayaknya dia ada kelainan s*x, spikopat," kata Mbak Mawar sambil mengambil  beberapa snack.

"Beruntung kamu punya wajah jelek, Aina. Kamu gak bakalan ada yang tertarik," kata Mbak Lili.

"Siapa bilang? Kalau laki-lakinya model Samadin gak bakalan mandang rupa, asal masih manusia bakal digarapnya. Makanya hati-hati kau, Ai. Sebisa mungkin kau hindari Samadin," kata Mbak Mawar membuatku terperangah

"Benar juga sih, Kasihannya kalau kau sudah dipakek Sam, takutnya kau tinggal barang bekas gak bakalan ada lagi yang mau memakai, gak seperti kami yang diandalkan kecantikan wajah," timpal mbak Lili membuatku bergidik, sungguh menyedihkan kehidupan mereka, tubuhnya menjadi barang eksploitasi.

"Samadin itu yang mana sih, Mbak?" tanyaku untuk waspada, agar aku bisa menghindarinya.

"Dia yang tangannya ada tatto ular kobra," kata Mbak Lili

"Aku pernah lihat tapi orangnya masih muda, Mbak," kataku

"Iya itu ... orangnya memang masih muda" kata Mbak Lili.

Aku terperangah ... apakah pria yang melihatku dengan sorot tajam ketika pertama kali ke sini itu Samadin?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status