Share

Bab 6

Hari ini hari keduaku masuk ke sebuah SMA  Negeri terdekat, masa orientasi selama tiga hari membuatku merasa tidak nyaman. Hari pertama aku tidak mendapat kelompok, anak-anak kota itu menolak semua ketika aku akan masuk kelompoknya. Akibatnya para senior mem-bully-ku. Mereka bertanya macam-macam, namun aku menundukkan kepala tidak menjawab apa-apa. Aku hanya bisa menahan kesabaran, bahkan mereka terang-terangan mengejek fisikku yang buruk rupa. Apalagi ketika mereka tahu aku berasal dari mudik, mereka semakin menjadi-jadi mengejekku.

Akhirnya aku dimasukkan di kelompok paling terakhir, di kelompok itu kulihat anaknya juga gak pintar-pintar amat dan tampangnya juga biasa, namun mereka tetap menyisihkanku seolah aku alien dari bangsa lain yang tidak layak menjadi teman mereka. Kalau begini aku jadi teringat Dimas, sejak wajahku buruk rupa hanya Dimas yang tulus mau menjadi temanku.

Hufh ... aku menghela napas kuat-kuat, kudongakkan wajah keatas langit, Ya Allah ... semoga hari ini menyenangkan bagiku, doaku dalam hati.

Pletakkk ....

"Augh!" Aku memegang kepala dan memandang ke bawah, siapa yang berani melempar biji salak ke kepalaku? Mau cari mati?

"Jalan tu jangan melamun." Sebuah suara terdengar dari belakang. 

Nampak seorang cowok dengan seragam SMA berjalan menghampiriku dengan gaya slegek'an. Baju seragamnya yang tidak dikancing sama sekali menampakkan kaos putih polos di dalamnya. Tas selempangnya dipanggul di atas kepala, ditangannya menggenggam buah salak yang sudah dikupas kulitnya, mulutnya asyik mengunyahnya, ini dia pasti tersangka yang melempar kepalaku.

"Ngapain sih ngelempar palak orang!" kataku ketus

"Wah, bisa galak juga kau, kemaren disekolah kenapa melempem?" katanya menjawil pipiku tidak sopan.

"Jangan pegang-pegang!" hardikku judes.

Kuperhatikan dia dengan seksama, kalau memakai seragam SMA berarti dia kakak kelasku dong, sekarang aku kan masih pakai seragam SMP.

"Siapa namamu?" tanyanya mengiringi jalanku.

"Aina," jawabku singkat.

"Lengkapnya?"

"Cuma Aina," jawabku tanpa menoleh kearahnya.

"Aku Fendi, lengkapnya Efendi," katanya percaya diri, idih ... lengkap cuma ditambah huruf E di depan doang, sombong.

"Aku lihat kamu keluar dari kompleks itu, kamu tinggal di sana?" tanyanya lagi

"Ya," jawabku singkat

"Kamu bukan salah satu dari mereka, kan?" dia masih saja bertanya.

"Kau pikir akan ada yang tertarik dengan tampang seperti aku?" tanyaku kini menatapnya agar dia juga merasa jijik.

"Ya nggak mungkinlah ... yang ada orang ilfil," katanya balas menatapku dengan terkekeh.

"Tuh tahu, ngapa nanya! Pergi sana, nanti kamu malah jijik lagi," kataku sewot

"Aku cuma jijik kalau lihat muntahan kucing doang, kamu bukan muntahan kucing, kan? Jadi gak bakal membuatku jijik," katanya sambil melempar biji salak ke sembarang tempat.

"Aku tinggal di sebelah kompleks itu," katanya lagi.

"Aku gak nanya," jawabku sekenanya

"Ow ... tapi kau akan terus bertemu denganku, setiap berangkat sekolah kita akan berangkat bareng, pulang juga begitu. Kau tidak bisa menghindarinya, hanya aku pahlawan di sekolah itu," katanya jumawa sambil menepuk dadanya, Ish ... narsis banget.

"Aku gak mau," kataku mempercepat langkahku.

"Ini keputusan sepihak dariku. Dengar Ai ... kau jangan pernah bercerita kalau kau tinggal di kompleks itu," katanya mensejajari langkah kakiku.

"Kenapa?"

"Aish ... belum apa-apa kau sudah dipelonco di sekolah, apalagi ada anak yang tahu kau tinggal di komplek itu," katanya dengan mimik serius.

"Lagipula aku mau cerita sama siapa? Aku saja nggak punya teman," kataku mempercepat jalanku agar cepat sampai sekolah

****

Ada yang aneh hari ini di sekolah. Aku memang masih tidak dipedulikan dengan siapapun di sini, namun tidak kudengar ejekan atau hinaan dari mulut mereka. Anggota kelompokku bahkan melirikku dengan tatapan aneh yang tidak kumengerti.

Mereka berdiskusi siapa diantara mereka yang akan menyanyikan lagu wajib nasional jika senior menyuruhnya. Mereka saling tunjuk tetapi tidak ada yang bersedia. Heran saja, kenapa lagu wajib saja tidak hapal. Kalau suruh nyanyi lagu Celine Dion atau lagu Mariah Carey, yo susah. Ini lagu wajib nasioanal apa mereka pada gak hapal? Mereka terus menunjuk tanpa menghiraukan kehadiranku, hingga salah satu mengatakan.

"Suruh dia saja," kata salah satu siswi, aku tidak tahu nama mereka semua, mereka tidak memperkenalkan diri padaku.

"Jangan ... dia jangan diganggu sekarang, dia pacarnya Fendi," kata mereka berbisik-bisik.

What? Apa? Biarpun mereka berbisik-bisik, kupingku ini gak budek. Ngomong apa mereka? Pacar Fendi?

"Fendi itu bos preman di sini, kalau kita sampai mengganggu pacarnya bisa habis kita," kata salah satu siswa yang aku dengar dia dipanggil Heru sama senior.

"Iya, kita biarkan saja dia. Gak tahu Fendi bilang apa tadi?" kata yang lain.

Ngegosip apa mereka? Memangnya Fendi bilang apa? Rasanya aku pengen ngamuk, enak saja ngaku-ngaku sebagai pacarku, ni pasti biang keroknya Fendi nih.

"Kok Fendi mau sama orang jelek gitu ya?" 

"Iya, heran. Tapi cocoklah si buruk rupa sama Preman kejam ha ... ha ...." Mereka tertawa berbarengan.

Ish, dikira aku tidak dengar apa? Katanya gak mau menggangguku, tapi mereka masih juga menghinaku dan menyisihkanku. Fendi ... kau mau membuat penderitaanku di sini tambah berat, Ha? Awas kau. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status