Hari ini hari keduaku masuk ke sebuah SMA Negeri terdekat, masa orientasi selama tiga hari membuatku merasa tidak nyaman. Hari pertama aku tidak mendapat kelompok, anak-anak kota itu menolak semua ketika aku akan masuk kelompoknya. Akibatnya para senior mem-bully-ku. Mereka bertanya macam-macam, namun aku menundukkan kepala tidak menjawab apa-apa. Aku hanya bisa menahan kesabaran, bahkan mereka terang-terangan mengejek fisikku yang buruk rupa. Apalagi ketika mereka tahu aku berasal dari mudik, mereka semakin menjadi-jadi mengejekku.
Akhirnya aku dimasukkan di kelompok paling terakhir, di kelompok itu kulihat anaknya juga gak pintar-pintar amat dan tampangnya juga biasa, namun mereka tetap menyisihkanku seolah aku alien dari bangsa lain yang tidak layak menjadi teman mereka. Kalau begini aku jadi teringat Dimas, sejak wajahku buruk rupa hanya Dimas yang tulus mau menjadi temanku.
Hufh ... aku menghela napas kuat-kuat, kudongakkan wajah keatas langit, Ya Allah ... semoga hari ini menyenangkan bagiku, doaku dalam hati.
Pletakkk ....
"Augh!" Aku memegang kepala dan memandang ke bawah, siapa yang berani melempar biji salak ke kepalaku? Mau cari mati?
"Jalan tu jangan melamun." Sebuah suara terdengar dari belakang.
Nampak seorang cowok dengan seragam SMA berjalan menghampiriku dengan gaya slegek'an. Baju seragamnya yang tidak dikancing sama sekali menampakkan kaos putih polos di dalamnya. Tas selempangnya dipanggul di atas kepala, ditangannya menggenggam buah salak yang sudah dikupas kulitnya, mulutnya asyik mengunyahnya, ini dia pasti tersangka yang melempar kepalaku.
"Ngapain sih ngelempar palak orang!" kataku ketus
"Wah, bisa galak juga kau, kemaren disekolah kenapa melempem?" katanya menjawil pipiku tidak sopan.
"Jangan pegang-pegang!" hardikku judes.
Kuperhatikan dia dengan seksama, kalau memakai seragam SMA berarti dia kakak kelasku dong, sekarang aku kan masih pakai seragam SMP.
"Siapa namamu?" tanyanya mengiringi jalanku.
"Aina," jawabku singkat.
"Lengkapnya?"
"Cuma Aina," jawabku tanpa menoleh kearahnya.
"Aku Fendi, lengkapnya Efendi," katanya percaya diri, idih ... lengkap cuma ditambah huruf E di depan doang, sombong.
"Aku lihat kamu keluar dari kompleks itu, kamu tinggal di sana?" tanyanya lagi
"Ya," jawabku singkat
"Kamu bukan salah satu dari mereka, kan?" dia masih saja bertanya.
"Kau pikir akan ada yang tertarik dengan tampang seperti aku?" tanyaku kini menatapnya agar dia juga merasa jijik.
"Ya nggak mungkinlah ... yang ada orang ilfil," katanya balas menatapku dengan terkekeh.
"Tuh tahu, ngapa nanya! Pergi sana, nanti kamu malah jijik lagi," kataku sewot
"Aku cuma jijik kalau lihat muntahan kucing doang, kamu bukan muntahan kucing, kan? Jadi gak bakal membuatku jijik," katanya sambil melempar biji salak ke sembarang tempat.
"Aku tinggal di sebelah kompleks itu," katanya lagi.
"Aku gak nanya," jawabku sekenanya
"Ow ... tapi kau akan terus bertemu denganku, setiap berangkat sekolah kita akan berangkat bareng, pulang juga begitu. Kau tidak bisa menghindarinya, hanya aku pahlawan di sekolah itu," katanya jumawa sambil menepuk dadanya, Ish ... narsis banget.
"Aku gak mau," kataku mempercepat langkahku.
"Ini keputusan sepihak dariku. Dengar Ai ... kau jangan pernah bercerita kalau kau tinggal di kompleks itu," katanya mensejajari langkah kakiku.
"Kenapa?"
"Aish ... belum apa-apa kau sudah dipelonco di sekolah, apalagi ada anak yang tahu kau tinggal di komplek itu," katanya dengan mimik serius.
"Lagipula aku mau cerita sama siapa? Aku saja nggak punya teman," kataku mempercepat jalanku agar cepat sampai sekolah
****
Ada yang aneh hari ini di sekolah. Aku memang masih tidak dipedulikan dengan siapapun di sini, namun tidak kudengar ejekan atau hinaan dari mulut mereka. Anggota kelompokku bahkan melirikku dengan tatapan aneh yang tidak kumengerti.
Mereka berdiskusi siapa diantara mereka yang akan menyanyikan lagu wajib nasional jika senior menyuruhnya. Mereka saling tunjuk tetapi tidak ada yang bersedia. Heran saja, kenapa lagu wajib saja tidak hapal. Kalau suruh nyanyi lagu Celine Dion atau lagu Mariah Carey, yo susah. Ini lagu wajib nasioanal apa mereka pada gak hapal? Mereka terus menunjuk tanpa menghiraukan kehadiranku, hingga salah satu mengatakan.
"Suruh dia saja," kata salah satu siswi, aku tidak tahu nama mereka semua, mereka tidak memperkenalkan diri padaku.
"Jangan ... dia jangan diganggu sekarang, dia pacarnya Fendi," kata mereka berbisik-bisik.
What? Apa? Biarpun mereka berbisik-bisik, kupingku ini gak budek. Ngomong apa mereka? Pacar Fendi?
"Fendi itu bos preman di sini, kalau kita sampai mengganggu pacarnya bisa habis kita," kata salah satu siswa yang aku dengar dia dipanggil Heru sama senior.
"Iya, kita biarkan saja dia. Gak tahu Fendi bilang apa tadi?" kata yang lain.
Ngegosip apa mereka? Memangnya Fendi bilang apa? Rasanya aku pengen ngamuk, enak saja ngaku-ngaku sebagai pacarku, ni pasti biang keroknya Fendi nih.
"Kok Fendi mau sama orang jelek gitu ya?"
"Iya, heran. Tapi cocoklah si buruk rupa sama Preman kejam ha ... ha ...." Mereka tertawa berbarengan.
Ish, dikira aku tidak dengar apa? Katanya gak mau menggangguku, tapi mereka masih juga menghinaku dan menyisihkanku. Fendi ... kau mau membuat penderitaanku di sini tambah berat, Ha? Awas kau.
Aku melangkah keluar kelas paling terakhir, sudah sebulan ini Fendi pasti menungguku di dekat pagar dengan the gank -nya. Pertama kali cowok itu menungguku, saat masa orientasi, kulihat dia dan beberapa cowok tengah asyik bercengkrama, aku keluar gerbang dengan jalan melipir agar dia tidak melihatku, namun mata temannya melihatku yang memang mempunyai ciri fisik yang menonjol."Itu pacarmu sudah pulang, Fren!" pekik temannya membuat Fendi segera berlari mengejarku.Aku hanya menebalkan muka dan menulikan telinga saat teman-temannya dan anak lain menyoraki kami sebagai couple of the year."Ai, jalannya santai saja jangan cepat-cepat nanti capek loh," katanya mengamit tanganku yang kutepis dengan kasar."Kamu tu kenapa sih? Pakai ngaku-ngaku pacarku segala?" kataku menatapnya penuh amarah."Oh ... itu?" jawabnya dengan santai, tanpa menghiraukan amarahku"Santai saja lah Ai ... aku itu cuma apa ya?" katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Aku melangkah menuju perpustakaan, tempat itu menjadi tempat favoritku setelah sekolah di sini. Aku benar-benar tidak memiliki teman di sini kecuali Fendi, dia juga hanya menemaniku di jalan ketika aku berangkat dan pulang dari sekolah.Selama aku di sekolah, aku makhluk paling kuper, bukannya aku tidak mau bergaul, tetapi mereka yang tidak mau menjadi temanku. Laila, teman sebangku juga enggan bertegur sapa denganku, kalau kusenyumi dia selalu membuang muka. Padahal kalau dengan teman lain, dia akan bercerita dengan heboh. Aku tahu, dia sebangku denganku karena terpaksa tidak ada bangku lain, karena dia terlambat masuk kelas, aku sendiri sengaja memilih bangku paling pojok belakang.Selain buku-buku pelajaran, perpustakaan juga menyediakan buku-buku novel dari pengarang-pengarang terkenal, ah ... aku telah menemukan syurgaku sendiri di sekolah ini. Di kampungku tidak akan pernah kudapati deretan novel-novel indah ini.Aku baru saja menyelesaikan membaca Novel S
Terdengar suara gaduh di gerbang sekolah, kami yang tengah belajar sejarah di jam terakhir terkejut. Bu Maisarah segera keluar kelas mencari informasi, sebelumnya mewanti-wanti agar kami tetap di dalam kelas. Akan tetapi manalah kami tahan berada di dalam kelas, kami segera berhamburan melihat apa yang terjadi. Terlihat Fendi memimpin teman-temannya ke luar gerbang."Fendi! mau ke mana kau?" teriak Pak Ishak guru olah raga kami."Kami gak bisa diam saja, Pak. Kami mau melakukan perlawanan," teriak Fendi berlari keluar gerbang diikuti teman-temannya."Jangan keluar, Bapak sudah menghubungi polisi, hei ... jangan keluar, dengar kalian!" teriak Pak Ishak dan beberapa guru pria melarang mereka tetapi tidak mereka hiraukan.Selama satu jam kami tidak tahu apa yang terjadi, kami hanya mendengar kegaduhan dan teriakan. Sebagian para siswi ikut berteriak ngeri, para guru cemas menelpon para aparat dan beberapa pihak yang berwenang.Aku hanya be
"Iya, katanya ceweknya beneran cantik, ya?""Cewek itu sudah punya cowok, makanya cowoknya marah. Itu tuh, cowoknya yang duduk di sebelah Fendi," kata teman sekolahku sambil menunjuk lapangan.Tanpa sadar aku mengikuti tangan anak itu, di sebelah Fendi?Degg ... Dimas? Benarkah Dimas? Spontan kubuka kaca mataku memastikan siapa cowok yang duduk di sebelah Fendi. Yah ... itu Dimas. Dimas pacar gadis yang jadi penyebab tawuran?Acara sudah selesai, kedua belah pihak saling bermaaf-maafan. Mereka bersalaman dan saling memeluk. Aku menelan ludah melihat Fendi dan Dimas berpelukan, Ah ... pemandangan yang indah. Beberapa anak kelas 2 dan kelas 3 masuk lapangan ikut bersalaman, nampak Ria begitu cemas melihat Fendi kepalanya diperban. Dia mengelus-elus kepala cowok itu walau Fendi berusaha menepisnya.Dari arah gerbang, muncul seorang gadis cantik memakai seragam sekolah yang sedikit ketat. Dimas segera meraih tangan gadis itu dan m
Aku melangkah gontai memasuki gerbang lokalisasi. Tampak orang-orang tengah berkerumun di depan rumah Nek Iyah, aku tergesa ingin melihat apa yang terjadi."Ada apa, Mbak Lili?" tanyaku pada Mbak Lili yang juga ada di situ."Aina ... kau sudah pulang? Itu Ai, itu ... Wak Iyah meninggal dunia," kata Mbak Lili dengan nada sedih."Apa? Nek Iyah meninggal dunia? Innalillahi Wa innailahi rojiun ...," kataku sambil tergesa masuk rumah menyibak kerumunan.Tampak jenazah Nek Iyah ditutipi kain panjang. Mamak dan Dito ada di dekatnya. Beberapa penghuni kompleks hanya duduk-duduk saja. Aku segera memeluk Mamak, menangisi kepergian Nek Iyah. Mulai saat ini, kami tidak tahu lagi nasib kami mau seperti apa tanpa Nek Iyah. Selama ini hanya Nek Iyah yang melindungi keberadaan kami di sini, semua penghuni kompleks masih menaruh rasa segan pada Nek Iyah.Jenazah Nek Iyah dimandikan oleh orang di luar kompleks, Bang Rojak yang mencarinya. Setelah di mand
"Ah, coba kau tanya, Bos. Perawannya musti cantik apa nggak? Jelek mau gak dia?" tanya anak buahnya yangn lain lagi.Deggg.Aku terkejut mendengar perkataan itu, tiba-tiba tanganku bergetar. Aku memeluk kaki ketakutan, kalau gelisah seperti ini aku alan lebih nyaman jika aku akan memilin-milin bajuku hingga kuwel-kuwel."Iya, kutanya dulu ... halo toke Pardi, numpang tanya, perawan yang toke cari apakah wajahnya musti harus cantik? Ooo ... iyo, iyo.""Bagaimana, Bos?""Gak perlu cantik, yang penting lobangnya masih orisinil," kata Samadin"Nah ... kalau yang gitu, ada nih anak perawan Makcik Nur," kata salah satu anak buah Samadin."Apa?" Pekik Mamak membuatku kaget jantungan ..."Oiya ... Benar itu," kata Samadin dengan suara dinginnya."Maksud kalian apa? Mau menjadikan anakku itu pelacur?" tanya Mamak gugup."Kalau mau, nanti kubagi duitnya lima juta, Wak Nur juga bebas berjualan di sini, saya bebasin pajak
Kami menaiki angkutan kota dua kali, mengambil rute yang cukup jauh. Kemudian Mamak mengajak kami menyusuri setiap lorong menanyakan ada yang menyewakan kontrakan di daerah tersebut. Tetapi hingga sore tiba, tidak ada satupun kontrakan yang cocok dengan kemauan Mamak. Kamipun beristirahat di pelataran Masjid setelah menunaikan salat Ashar."Kalau kita tinggal di sini, sekolah Dito kekmana, Mak? Dito kan sudah kelas enam, bentar lagi EBTANAS," keluh Dito."Kau kelas enam belum ada sebulan, kemungkinan masih bisa pindah," kata Mamak"Pindah-pindah terus. Susah tau, Mak, cari teman di tempat baru itu." anak itu masih juga nyerocos."Semakin kita jauh dari kompleks lokalisasi itu, semakin aman hidup kita," kata Mamak tegas, kami juga tidak membantahnya."Terus, itu tadi ada rumah yang bagus, kenapa Mamak gak ambil?" tanya Dito lagi."Itu mahal, Dito. Manalah cukup uang Mamak.""Memangnya tadi berapa, Mak?" tanyaku sambil selonjoran
POV Aina"Insya Allah gak bakalan, Mas. Aku benar-benar sudah bertaubat," kata Mamak"Aku juga sudah bertaubat setelah kau pergi dulu, aku tidak pernah datang lagi ke sana, ayo kuantar kau ke sana, kebetulan aku bawa mobil," kata lelaki paruh baya itu menunjuk sebuah mobil Van yang terparkir di halaman masjid."Maaf, Mas. Sebaiknya kita ketemuan di masjid ini saja nanti malam," kata Mamak"Kenapa memangnya?""Aku harus menyelesaikan sesuatu dulu, jadi tidak bisa pergi sekarang. Aku bisa pergi nanti malam," kata Mamak."Kalau gitu saya tunggu kalian di taman Gubernuran, kutunggu sampai jam sepuluh malam ya? Sekarang aku pergi dulu," kata Pak Seno sambil melangkah menuju mobilnya, Mamak mengantar lelaki itu sampai di mobil.Setelah pria paruh baya itu pergi, kami segera kembali ke lokalisasi menjelang magrib. Akan tetapi, alangkah terkejutnya kami ternyata di depan rumah sudah berdiri tiga orang anak buah Samadin. Mereka Rok