Share

Bab 2

Mendengar suara pintu terbuka, mereka langsung menoleh. Tatapan sinis terpancar disemua mata semua orang. Mawar yang merasa terimidasi menundukan kepala dan memegang lengan Hamdan.

"Bisa gak sih kalian gak usah natap kami begitu, udah kaya buronan tau rasanya," sembur Hamdan.

Beberapa orang memutarkan bola mata mendengar ucapan Hamdan.

"Udah, gak usah debat! Mendingan ayo cepat kalian nikah," tegur Pak RT

Maura telah duduk menunggu, wanita itu tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hamdan melihat sang istri mendekat.

"Jangan mendekat! Mendingan kalian cepat menikah!"

Tatapan Maura begitu dingin pada sang suami. Membuat Hamdan mengembuskan napas dan dia mulai duduk di depan penghulu, begitupun Mawar.

"Eh, Mas! Kitakan belum ngomongin maharnya," pekik wanita itu.

Hamdan mendengar itu menoleh menatap Mawar, begitupun semua orang. Maura mendengar hal tersebut, menyeringai dan bersidekap.

"Aku mau maharnya ...."

Ucapan Mawar terpotong saat mendengar Maura menyela.

"Kamu ini, udah bagus aku nikahin jadi gak zina mulu. Malah gak tau malu minta mahar, mendingan mahar seadanya aja! Gak usah neko-neko," cecar Maura.

Maura mendekati suaminya lalu mengambil dompet lelaki itu. Ia mengeluarkan uang dua ratus ribu yang memang berada di sana.

"Ini maharnya! Atau gak nikah sama sekali," kata Maura.

Melihat uang yang disodorkan Maura, wanita itu memanyunkan bibir lalu mengangguk menerima mahar tersebut.

"Ya udah, aku terima. Yang penting nikah sama Mas Hamdan," ucap Mawar pelan.

Setelah beradu argumen panjang, akhirnya kata sah terdengar. Semua warga langsung pamit pulang, banyak yang menatap iba Maura. Tetapi, perempuan itu membalas dengan senyuman. Dia segera menutup pintu , lalu sebuah tangan melingkar di pinggang. Maura berusaha menguasai emosi dan berbalik memandang dalam lelaki tersebut.

"Mas ... lepas! Aku ngantuk, mau tidur."

Maura sekuat tenaga menahan air mata yang hendak menetes, ia menyingkirkan lengan sang suami yang membelit pinggang.

"Ra ... maafin Mas. Mas sudah menyakiti kamu."

Kata itu terlontakan di bibir pria yang sekarang memiliki dua istri tersebut.

"Mas akan berusaha adil. Mas mencintai Mawar dan juga kamu."

Maura tersenyum kecut saat mendengar ucapan Hamdan yang lancar tanpa hambat.

"Sudalah, Mas. Aku sangat mengantuk," ucap Maura.

Ia berusaha menjauh dari tubuh Hamdan karena mereka tidak ada jarak sedikitpun. Saat melangkah menuju kamar, Hamdan mengucapkan sesuatu.

"Mas akan tidur bersamamu, setelah nganterin Mawar ke kamarnya."

Perkataan lelaki itu membuat Maura membulatkan mata, ia segera berbalik sambil berkata.

"Jangan!"

Pekikan Maura membuat Hamdan dan Mawar terkejut.

"Eum ... Mas tidur aja bareng, Mawar. Ini, kan, malam pertama kalian," ucap Maura.

Wanita itu menyindir mereka membuat Mawar yang merasa langsung menunduk.

"Ya udah, Mas bakal tidur bareng Mawar. Kalau gitu, Mimpi indah ya, Sayang."

Lelaki itu melontarkan kata tersebut setelah mendekati Maura. Ia mendaratkan kecupan di kening istri pertamanya.

"Ayo Mas ... aku ngantuk nih," ajak Mawar.

Istri kedua Hamdan itu bergelayut manja di lengan lelaki tersebut, Maura yang melihat hanya memutarkan bola matanya muak.

"Mbak, kami mau tidur dulu ya," kata Mawar.

Maura tidak menyahuti perkataan sang adik madu, ia langsung pergi meninggalkan mereka.

"Sayang, sekarang kita bisa melakukannya tanpa sembunyi-sembunyi. Mas bahagia banget."

Percakapan pengantin dadakan itu terdengar karena Maura mengintip mereka.

"Kalian boleh bersenang-senang. Bersiaplah buat besok Mawar! Kamu berani-beraninya masuk dalam rumah tanggaku," geram Maura.

Ia langsung berbalik dan bergegas pergi ke kamar. Dia ruangan itu Maura mengeluarkan semua air mata tanpa suara. Wanita itu terlelap kala jam menunjuk angka satu dini hari. Dia terbangun saat mendengar azan subuh, melakukan kewajiban sebagai umat muslim tanpa menunggu sang suami.

Hamdan pasti kelelahan melewati malam pertamanya. Memikir hal itu membuat hati Maura terasa sakit. Perempuan bermukena hijau mencurahkan semua yang hinggap dalam kehidupan.

Suara dering ponsel mengalihkan tatapan Maura. Beruntung wanita itu selesai berdoa, bergegas merapikan mukena, ia langsung meraih benda pipih tersebut. Nama Mama mertua tertera, dia lekas menerima panggilan.

"Walaikumsalam, Mah," balas Maura, lalu ia menoleh saat pintu kamar terbuka.

"Siapa, Ra?" tanya Hamdan.

Lelaki itu masih memakai setelan koko dan sarung.

"Mama, Mas," sahut Maura.

Mendengar hal itu membuat Hamdan membulatkan mata, ia langsung mendekat. Takut sang istri mengadu atas kelakukannya.

"Mama, di mana Delia?" tanya Hamdan.

Lelaki itu merebut handphone Maura dari tangan wanita itu.

Maura mendengkus, ketahuan sekali pria itu takut istri pertamanya mengadu pada Wulan. Maura langsung tersenyum saat suara cempreng Delia terdengar di ponsel. Dia lekas berdiri di samping Hamdan sambil melambaikan tangan ke handphone.

"Sayang, kamu senang di rumah Oma?" tanya Maura.

Wanita itu mengulas senyum. Kesedihan meluap menjadi kehagiaan saat mendengar celotehan sang putri.

"Lia senang di rumah Oma, Bunda. Tapi Lia kangen Bunda," balas Delia.

Perkataan Delia membuat Maura meneteskan air matanya, teringat pengkhianatan sang suami.

"Sekarang Bunda jemput ya, sudah habis masa liburmu, Sayang," seru Maura.

Seruannya dibalas anggukan menggemaskan Delia, gadis kecil itu tertawa bahagia tanpa beban.

"Sayang, Bunda akan memperjuangkan hakmu!" Batin Maura berseru.

Dia segera menyudahi perbincangan mereka, karena Hamdan harus bersiap berkerja.

"Sayang, mana pakaian kerjaku?" pinta Hamdan setelah mematikan sambungan video call.

"Kamu tidak mengadu pada Mama, kan?" tanya Hamdan.

Lelaki itu menatap sang istri tajam, menaruh ponsel Maura ke nakas.

"Buat apa, ini masalahku. Aku tidak mau melibatkan mereka," sahut Maura.

Dia berkata dengan ketus, lalu mengambilkan setelan pakaian kerja dan berlalu pergi meraih tas slempang.

"Sayang, kamu mau ke mana?" tanya Hamdan saat Maura memegang gagang pintu.

"Apa kamu menjadi tuli? Sudah dengar bukan, aku mau menjemput Delia," jawab Maura.

Manik mata wanita itu terlihat kesal pada sang suami, membuat pria itu salah tingkah. Dia bergegas meninggalkan lelaki tersebut dan menuju ruang makan.

Saat sampai ia langsung mengambil roti dan selesai, hari ini dia ingin memakan itu. Tak berselang lama terlihat Hamdan, Maura berjapan bersamaan menuju meja.

Dia lebih memilih fokus sarapan dari pada memikirkan manusia yang sedang di dekat meja. Hamdan menatap beberapa lembar roti di sana, tidak dioleh apapun.

"Sayang, mana sarapannya? Kenapa hanya roti saja," protes Hamdan.

Lelaki itu menjatuhkan bokong ke kursi.

"Itu ada selai, oles saja dengan itu. Aku sedang malas masak, suruh aja istri barumu memasak," sinis Maura.

Perkataan Maura membuat Mawar melotot pasalnya ia tak bisa memasak, ia membawa makanan hasil membeli di rumah makan.

"Oh ya, kamu, War. Jangan mengaku sebagai istri Mas Hamdan, apalagi menyuruh Delia memanggil Mama. Kamu hanya akan aku kenalkan sebagai pembantu rumah ini, status kalian tidak boleh diketahui oleh keluarga," tutur Maura.

Suaranya sama sekali tidak gemetar sedikit pun, ia sudah menguatkan hati.

"Nggak bisa, Mbak! Mbak tidak boleh seperti itu, aku ini istrinya Mas Hamdan sekarang. Bukan pembantu," protes Mawar dengan nada menggebu-gebu.

"Iya, Sayang, kasian Mawar kalau dianggap pembantu," bela Hamdan membuat Mawar tersenyum.

"Kalau Delia mengamuk bagaimana? Dan bertanya-tanya kenapa dia bisa memiliki dua Ibu. Apa kalian mau tanggung jawab! Apalagi kalau Mama dan Ayah mengetahui kelakuan putranya," hardik Maura.

Dia menatap tajam kedua manusia itu, napasnya terengah-engah karena berucap dengan nada tinggi.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ipeh Saripeh
kurang ajar si mawar itu...bikin hidupnya kyk dineraka thor
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
aduh maura kmu siksa itu mawar dn juga Hamdan ..biar dia suru pekerjaan rmh semua yg ngerjain mawar ...
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Bagus maura bikin para manusia busuk itu jadi pembantu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status