Semua telah pergi, tinggal Mawar yang berada di kediaman. Mendengar suara tukang sayur dia bergegas keluar, karena Maura memerintah belanja bahan makanan. Rasa kesal masih bersemayan di hati, ia tidak terima saat akan diperkenalkan sebagai pembantu saja.
"Mang, tunggu!" teriak Mawar.Mawar berlari mengejar tukang sayur yang tak mau berhenti. Lalu yang berjualan itu berteduh saat ada beberapa Ibu-Ibu memanggil."Ish, Mamang nih apa-apaan sih! Sudah Mawar panggil malah nyelonong terus," cecar Mawar.Dia bergabung dengan Ibu-Ibu yang memilih bahan pangan. Mereka langsung bergeser menjauh, saat ada di dekat Mawar membuat wanita itu mengeryit heran."Maaf, Neng, disuruh istri Mamang. Jangan deket-deket ama Neng, Neng pelakor soalnya. Harus jauh-jauh kalau enggak, bisa kagak dikasih jatah Mamang," sahut Kang sayur."Mamang ini apa-apaan sih, mana mau Mawar ama Mamang. Inget umur, Mang!" ledek Mawar lalu menjulurkan lidah."Gak sopan kamu ngomong sama orang yang lebih tua, ternyata sikapmu yang asli seperti ini. Sangat menjijikan!" hina salah satu Ibu-Ibu yang memakai daster bercorak bunga."Apaan sih, Bu. Sewot aja, Mawar, kan, cuma bercanda. Iya, kan, Mang," ujar Mawar.Dia ingin membela dirinya tetapi, tidak didukung kang sayur itu."Cantik-cantik kok pelakor, menyedihkan sekali, kasihan ibunya yang berusaha agar anaknya sukses di Jakarta," seru salah satu yang bertetangga dengan Mawar di kontrakan Ce Idah. "Mah, Rania pengen sayur bayem nanti pulang sekolah," pinta Rania yang terbalut seragam SMP mendekati Ce Idah."Iya sayang, yang pinter ya belajarnya," balas Ce Idah sambil menyodorkan tangan agar Rania cepat pergi tanpa menyapa Mawar."Hai, Kak Mawar," sapa Rania.Sang anak menyapa Mawar, membuat Ce Idah merasa kecewa. Ia langsung menarik lengan Rania, agar tidak mencium punggung tangan Mawar."Nia, jangan deket-deket Kak Mawar! Dia itu jahat, udah nyakitin Tante Maura," tutur Ce Idah membuat Mawar kesal."Ceu ini, apa-apaan sih?" Mawar tak terima."Emang bener, kan, kamu tuh pelakor. Sampah masyarakat!" hina Ce Idah sambil menunjuk wajah Mawar."Ceu ... Anda gak sopan nunjuk-nunjuk seperti itu!" Mawar menepis tangan Ce Idah."Kamu memang pantas diperlakukan bak sampah, cepat pergi dari kontrakanku! Barang-barangmu sudah diluar," usir Ce Idah.Mawar membulatkan mata mendengar itu, ia langsung bergegas berjalan menuju kontrakan."Astaga," pekik Mawar terkejut. Barang-barang berantakan, pakaian berserakan di lantai."Cepat pergi sana, Pelakor! Jangan di sini, bikin malu aja, apa profesi lo pelacur," ucap seseorang yang melihatnya Mawar.Beberapa penghuni kontrakan langsung keluar saat mendengar suara makian seseorang yang tau bertuju ke siapa.Perempuan itu tak berdaya, tidak mungkin bukan! Jika dia melawan mereka. Bisa-bisa bonyok wajahnya kalau berantem, dengan kilat ia memasuki pakaian ke koper lalu berjalan keluar. Tetapi langkahnya terhenti saat banyak penghuni kontrakan melemparkan sampah ke arahnya."Pergi jauh sana, Pelakor! Beruntung Mbak Maura baik, tidak mengarak kau yang bugil semalam," hardik salah satu yang lalu melemparkan telur membuat pecah di kepala Mawar dan menyerbak bau amis."Iya, dasar gak tau diri! Pelakor begini harus di basmi," sahut yang lain.Dengan langkah cepat Mawar berlari, menghindar dari perlakukan mereka. Tubuh kotor, semua memperlakukan dia sangat tidak berperikemanusiaan. Apakah kesalahannya terlalu besar sampai diperlakukan seperti itu, Mawar hanya mengejar cinta pertama saja."Apa salahku, padahal aku hanya menjalin hubungan dengan pria yang kucintai, kami juga sama-sama mencintai," ucap Mawar lirih seraya mengusap air mata yang menetes.Di lain tempat, Maura menggandeng tangan kecil sang buah hati. Mereka turun dari taksi dan menuju kediaman. Lengan mungil yang halus, tawanya membuat di sekitar ikut mengembangkan bibir. Maura lekas mengeluarkan kunci dari tas dan bergegas membuka pintu, Delia langsung berhampuran bermain mainanan baru di karpet dari Oma."Delia, mau Bunda buatin susu?" tanya Maura.Wanita itu ikut selonjoran di karpet bulu tebal. Gadis kecil tersebut mengangguk tanda setuju, sangat fokus bermain sampai tidak mengalihkan tatapannya. Maura tertawa melihat tingkah menggemaskan sang buah cinta dari Hamdan dan dirinya. Ia bergegas ke dapur membuatkan pesanan yang tersayang. Berusaha menguatkan hati, agar selalu melihat kebahagiaan Delia."Aku harus semangat demi Delia," kata Maura. Dia mengembangkan senyuman saat menyuguhkan sebotol susu ke anaknya."Ayo, Sayang diminum sampai habis ya. Jangan dibuang-buang! Ingat ada yang lebih susah dari kita, kamu harus bersyukur karena memiliki semua ini," nasehat Mau
"Awwww, Bun. Sakit ...," keluh Delia. Tangannya mendorong lengan Maura yang mengompres."Jangan gitu, Sayang, harus di kompres. Emang mau kening kamu jadi benjol besar nanti?" bujuk Maura, dibalas gelengan Delia."Ya sudah, Bun. Tapi kompresnya pelan-pelan jangan di pindah-pindahin." Delia memelas."Ya sudah." Maura dengan telaten mengompres kening sang buah hati."Bun, dia siapa?" tanya Delia. Tangannya menunjuk Mawar yang berdiri menatap khawatir Delia.Maura menoleh memandang Mawar, ia mengembuskan napas kasar. Sungguh hatinya masih kesal dengan Mawar. Sudah merusak rumah tangga sekarang malah membuat Delia terluka walau tak sengaja."Dia Mbak Mawar, pembantu di sini. Nanti kamu minta tolong saja sama Mbak Mawar ya," seru Maura membuat Mawar menoleh menatapnya tak percaya."Iya, Bun. Mbak, tolong lanjutkan buat susu dong, ini juga, kan, salah Mbak."Permintaan Delia membuat Mawar mengembuskan napas kasar, tapi ta
Mawar mengibaskan tangannya, ia terus berkata, "Aduh ... sakit."Hamdan masih menggendong Delia, menatap khawatir istri keduanya. Sedangkan Maura menatap kesal Mawar karna baru disuruh begitu saja sudh celaka. Ia mengembuskan napas lalu mendekat, menatap kaki adik madu yang sedikit memerah."Kukira parah, ternyata cuma segitu. Kamu lebay banget sih!" sinis Maura lalu menarik wanita itu agar ke kamar mandi."Mbak, mau ngapain!" hardik Mawar saat masuk kamar mandi."Mau bunuh kamu! Cepat pelan-pelan siram pake air, lalu cepat ke kamarmu. Jangan manja, Nanti Mbak ambilkan salep," sinis Maura lalu pergi meninggalkan Mawar.Benar ucapan Maura, setelah Mawar beristirahat sebentar. Wanita itu membuka pintu dan menyodorkan salep. Dia berlalu pergi, tidak mau terlalu lama dengan adik madunya, muak melihat wajah sok lugu."Bunda, Delia laper. Mbak Mawar sih, segala belum masak," keluh Delia mengusap perutnya."Ya sudah, kamu main aja sama
"Buuuu, kenapa pagi-pagi nelepon. Tenang saja, Mawar tidak hidup terlantar kok. Mawar masih tidur di kasur empu," ujar Mawar menjelaskan pada wanita yang melahirkannya."Sebutkan alamatmu Nak, Ibu hanya ingin memastikan," ucap Ibu Mawar dari telepon, wanita itu melost spaker karena hendak mengambil mengambil jajanan di atas."Ibu tak perlu ke sini, Mawar baik-baik aja," ucap Mawar menegaskan, ia sungguh tak mau sang Ibu mengetahui bahwa dia menjadi pelakor."Enggak, War. Ibu harus memastikan kamu tidak nakal di sana," ujar Ibunya tegas.Maura yang hendak mengambil air akhirnya berhenti untuk mendengar percakapan Mawar di telepon. Ia tersenyum senang lalu mendekat mengambil handphone Mawar membuat sang empu menjerit. Tatapan adik ipar membulat dan menyodorkan tangan meminta ponsel dikembalikan."Ini dengan Ibunya Mawar?" tanya Maura dengan nada sopan."Iya, ini siapa ya?" tanya Ibu Mawar."Mawar berada di rumah saya Bu, ban
"Kamu aja, Ra. Kamu masak sarapan, liat ... tangan Mawar kecipratan minyak," ujar Hamdan menunjukan bintik-bintik merah."Gitu aja lebay, War. Gimana kalau kaya Mbak dulu, ke guyur gara-gara kamu senggol wajan," sinis Maura lalu berbalik memilih ke dapur untuk membuatkan sarapan buat anaknya."Bun, kok masaknya cuma sedikit, nanti Ayah gimana?" tanya Delia saat Maura menyodorkan piring yang berisi nasi goreng."Udah mendingan kamu makan aja, Sayang. Biar Mbak Mawar aja yang masakin Ayah sarapan," sahut Maura membuat Delia mengangguk.Setelah sarapan keduanya beranjak keluar lalu menatap Hamdan yang ternyata berbincang dengan Mawar. Mereka tertawa bahagia membuat Maura tersenyum kecut, wanita itu langsung menyodorkan tangan ke hadapan suaminya membikin Hamdan menoleh. Delia sudah menarik-narik agar cepat pergi, kata Maura bentar lagi telat memicu takut Delia."Bun ... cepat, katanya Bunda udah telat," pinta Delia."Iya Sayang, bentar. M
Cepat kugoyangkan kepala ke kiri kanan. Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Memberikan Mawar hidup bahagia dengan Mas Hamdan, gak bisa egois memikirkan diri sendiri. Tanpa mementingkan Delia. Sudah banyak peristiwa orangtua bercerai lalu anak menjadi korban broken home. Harusnya itu menjadi pelajaran untukku."Bundaaa, Delia bisa!" pekik anakku saat waktu pulang sudah tiba, ia memeluk lalu melepaskan melompat-lompat girang."Anak Bunda, pintar," ucapku seraya berjongkok lalu mencium pipi Delia."Ayo sekarang kita pulang!" ajakku menggendong putri kecil tapi dia memberontak."Tidak, Bunda. Lia sudah besar, jangan digendong." Dia meminta diturunkan, membuatku kewalahan lalu minta agar dia diam untuk bisa menurunkannya."Oke-oke, anak Bunda sudah besar. Ayo kita pulang," ajakku lalu masuk ke taksi yang telah dipesan sejak tadi.Setelah sampai rumah, bergegas masuk untuk mengistirahatkan tubuh. Sungguh letih raga ini, padahal hanya dudu
Hamdan masuk ke kamarnya dan Maura tetapi tidak menemukan wanita itu. Melangkah menuju bilik Delia, lalu tatapan menangkap pandangan keseruan anak dan sang istri. Senyuman pria tersebut terukir, ikut bergabung duduk di samping Maura."Sayang ... lagi apa nih anak Ayah? kok Ayah gak di ajak," ujar Hamdan mengusap surai Delia.Delia menoleh mendengar ucapan sang Ayah. "Ayah sibuk terus, sampe gak bisa ngajak Lia jalan-jalan," ketus Delia membuat Hamdan terdiam."Maafin Ayah, Sayang. Ya sudah, besok kita jalan-jalan yuk!" ajak Hamdan lembut dibalas gelengan Delia."No ... Ayah. Lihat di sana, Lia tadi habis sekolah langsung jalan-jalan sama Bunda." Tolak Delia menunjukan beberapa tote bag yang belum dirapikan."Maaf, kapan-kapan kita liburan deh," kata Hamdan lalu mendongak melirik Maura yang membuang muka saat dia menatapnya."Mas ... aku izin mau jalan-jalan lusa sama Mawar, Delia mau aku titipkan ke Mama dulu." Mendengar ucapan san
Maura telah berpakaian rapi, wanita itu sudah mendandani Delia dengan sangat imut. Membuat semua orang yang melihat ingin menciumnya. Bulu mata lentik Maura mengerjap, dia sangat tampil menawan. Setelah puas memandang pantulan di cermin, bergegas turun menggandeng Delia."Asik ... Delia main ke rumah Oma lagi," pekik Delia girang membuat Maura tersenyum.Mawar terbengok melihat meja makan penuh makanan begitu pula Hamdan. Air liurnya sampai menetes saat melihat hidangan di hadapan itu semua kesukaan dia dan Delia. Pria tersebut langsung beralih menatap Maura, memandang dengan senyuman gembira lalu mendekat mengecup pipi sang istri membikin Mawar cemburu."Terimakasih, Sayang. Aku tau kamu tidak akan membiarkan aku sampai melupakan hasil masakan terlezat dari hasil tangan cantikmu," puji Hamdan lalu matanya terpana saat melihat penampilan baru sang istri."Kamu cantik banget, Sayang." Puji Hamdan memegang pipi Maura hendak mencium bibir ranum itu tet