"Awwww, Bun. Sakit ...," keluh Delia. Tangannya mendorong lengan Maura yang mengompres.
"Jangan gitu, Sayang, harus di kompres. Emang mau kening kamu jadi benjol besar nanti?" bujuk Maura, dibalas gelengan Delia.
"Ya sudah, Bun. Tapi kompresnya pelan-pelan jangan di pindah-pindahin." Delia memelas.
"Ya sudah." Maura dengan telaten mengompres kening sang buah hati.
"Bun, dia siapa?" tanya Delia. Tangannya menunjuk Mawar yang berdiri menatap khawatir Delia.
Maura menoleh memandang Mawar, ia mengembuskan napas kasar. Sungguh hatinya masih kesal dengan Mawar. Sudah merusak rumah tangga sekarang malah membuat Delia terluka walau tak sengaja.
"Dia Mbak Mawar, pembantu di sini. Nanti kamu minta tolong saja sama Mbak Mawar ya," seru Maura membuat Mawar menoleh menatapnya tak percaya.
"Iya, Bun. Mbak, tolong lanjutkan buat susu dong, ini juga, kan, salah Mbak."
Permintaan Delia membuat Mawar mengembuskan napas kasar, tapi tak kuasa menolak permintaan gadis itu. Delia selalu meminta ini itu pada Mawar, membuat perempuan tersebut frustasi dan kelelahan.
Jarum jam sudah menunjuk angka tujuh, terdengar deru mobil, membuat senyuman Delia mengembang lalu bergegas ke pintu utama. Maura dan Mawar mengikuti langkah gadis kecil itu. Semuanya menyambut Hamdan yang pulang.
Saat Mawar hendak menerima kecupan di kening oleh Hamdan, suara Delia berseru melarang.
"No, Ayah. Ayah gak boleh bersentuhan sama wanita yang bukan muhrim. Itukan yang Ayah ajarkan pada Delia," ujar gadis kecil itu.
Mendengarnya, Hamdan terasa bagai terhantap batu besar.
"Maaf, Sayang. Ayah lupa, ayo sini Ayah gendong," kata Hamdan.
Dia segera berjongkok setelah memberikan tas kerja pada Maura.
"Ayah, Lia kangen." Gadis kecil itu menghadiahi kecupan di wajah Hamdan.
Hamdan terkekeh lalu balas mengecup wajah Delia bertubi-tubi. Hamdan terdiam saat matanya menangkap benjolan di kening sang buah hati. Dia langsung menatap tajam istri pertamanya.
"Kenapa bisa benjol kening anakku?" hardik Hamdan dengan nada tinggi. Maura mendengkus karenanya.
"Ayah, ini bukan salah Bunda," bela Delia. Tangan kecilnya memegang wajah Hamdan agar memandangnya.
"Terus ini salah siapa?" tanya Hamdan dengan lembut. Ia tak menyadari riak wajah Mawar yang ketakutan.
"Mbak Mawar, dia masuk bukannya ketuk pintu dulu malah langsung bukan pintu, jadi deh jidat Lia begini," terang Delia.
Hamdan menatap kesal ke arah Mawar. Wanita tersebut lansung menunduk.
"Lain kali hati-hati!" nasehat Hamdan membuat Delia cemberut.
"Ayah, ini. Kenapa Mbak Mawar tidak diomelin, sedangkan Bunda tadi diomelin sama Ayah. Ayah gak adil."
Delia memukul dada Hamdan membuat lelaki itu mengadu.
"Maaf, Sayang, ya sudah. Ayo kita masuk!"
Hamdan menggandeng lengan Maura, membuat Mawar iri. Wanita itu hanya mengikuti dari belakang.
"Seperti benar-benar seperti pembantu saja," keluh Mawar.
Hamdan duduk di sofa sedangkan Delia di pangkuannya. Maura pergi menaruh tas kerja Hamdan ke kamar. Baru saja Mawar hendak duduk, Delia langsung melarang.
"Eittt, nanti, Mbak, jangan duduk dulu. Ayah, Ayah haus tidak?" tanya Delia membuat Hamdan mengeryitkan alisnya tapi masih menjawab.
"Haus, Sayang."
"Mau kopi atau jus?" tanya Delia sekali lagi. Bersamaan dengan itu Maura datang dan duduk di samping suaminya, ia tersenyum saat menampak pandangan iri dari mata Mawar.
"Kopi saja," sahut Hamdan. Ia masih kebingungan dengan pertanyaan sang putri.
"Mbak Mawar, buatin kopi, teh manis sama ambilin aku susu kotak aja. Ehhh, jangan lupa bawa cemilan juga," pinta Delia. Hamdan melongo.
Maura tersenyum geli lalu menatap Mawar yang memberengut kesal, mungkin karena di suruh anak kecil.
"Ayo cepat buatkan, Mawar! Jangan bengong aja," tegur Maura membuat Mawar menghentak-entakan kaki lalu berjalan pergi.
Saat Mawar melakukan pekerjaan sambil menggerutu, tanpa ia sadari salah menuangkan air mendidih. Akhirnya cairan itu mengetahui kaki membuat Mawar menjerit. Semua yang mendengar langsung tergopoh-gopoh ke dapur.
Mawar mengibaskan tangannya, ia terus berkata, "Aduh ... sakit."Hamdan masih menggendong Delia, menatap khawatir istri keduanya. Sedangkan Maura menatap kesal Mawar karna baru disuruh begitu saja sudh celaka. Ia mengembuskan napas lalu mendekat, menatap kaki adik madu yang sedikit memerah."Kukira parah, ternyata cuma segitu. Kamu lebay banget sih!" sinis Maura lalu menarik wanita itu agar ke kamar mandi."Mbak, mau ngapain!" hardik Mawar saat masuk kamar mandi."Mau bunuh kamu! Cepat pelan-pelan siram pake air, lalu cepat ke kamarmu. Jangan manja, Nanti Mbak ambilkan salep," sinis Maura lalu pergi meninggalkan Mawar.Benar ucapan Maura, setelah Mawar beristirahat sebentar. Wanita itu membuka pintu dan menyodorkan salep. Dia berlalu pergi, tidak mau terlalu lama dengan adik madunya, muak melihat wajah sok lugu."Bunda, Delia laper. Mbak Mawar sih, segala belum masak," keluh Delia mengusap perutnya."Ya sudah, kamu main aja sama
"Buuuu, kenapa pagi-pagi nelepon. Tenang saja, Mawar tidak hidup terlantar kok. Mawar masih tidur di kasur empu," ujar Mawar menjelaskan pada wanita yang melahirkannya."Sebutkan alamatmu Nak, Ibu hanya ingin memastikan," ucap Ibu Mawar dari telepon, wanita itu melost spaker karena hendak mengambil mengambil jajanan di atas."Ibu tak perlu ke sini, Mawar baik-baik aja," ucap Mawar menegaskan, ia sungguh tak mau sang Ibu mengetahui bahwa dia menjadi pelakor."Enggak, War. Ibu harus memastikan kamu tidak nakal di sana," ujar Ibunya tegas.Maura yang hendak mengambil air akhirnya berhenti untuk mendengar percakapan Mawar di telepon. Ia tersenyum senang lalu mendekat mengambil handphone Mawar membuat sang empu menjerit. Tatapan adik ipar membulat dan menyodorkan tangan meminta ponsel dikembalikan."Ini dengan Ibunya Mawar?" tanya Maura dengan nada sopan."Iya, ini siapa ya?" tanya Ibu Mawar."Mawar berada di rumah saya Bu, ban
"Kamu aja, Ra. Kamu masak sarapan, liat ... tangan Mawar kecipratan minyak," ujar Hamdan menunjukan bintik-bintik merah."Gitu aja lebay, War. Gimana kalau kaya Mbak dulu, ke guyur gara-gara kamu senggol wajan," sinis Maura lalu berbalik memilih ke dapur untuk membuatkan sarapan buat anaknya."Bun, kok masaknya cuma sedikit, nanti Ayah gimana?" tanya Delia saat Maura menyodorkan piring yang berisi nasi goreng."Udah mendingan kamu makan aja, Sayang. Biar Mbak Mawar aja yang masakin Ayah sarapan," sahut Maura membuat Delia mengangguk.Setelah sarapan keduanya beranjak keluar lalu menatap Hamdan yang ternyata berbincang dengan Mawar. Mereka tertawa bahagia membuat Maura tersenyum kecut, wanita itu langsung menyodorkan tangan ke hadapan suaminya membikin Hamdan menoleh. Delia sudah menarik-narik agar cepat pergi, kata Maura bentar lagi telat memicu takut Delia."Bun ... cepat, katanya Bunda udah telat," pinta Delia."Iya Sayang, bentar. M
Cepat kugoyangkan kepala ke kiri kanan. Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Memberikan Mawar hidup bahagia dengan Mas Hamdan, gak bisa egois memikirkan diri sendiri. Tanpa mementingkan Delia. Sudah banyak peristiwa orangtua bercerai lalu anak menjadi korban broken home. Harusnya itu menjadi pelajaran untukku."Bundaaa, Delia bisa!" pekik anakku saat waktu pulang sudah tiba, ia memeluk lalu melepaskan melompat-lompat girang."Anak Bunda, pintar," ucapku seraya berjongkok lalu mencium pipi Delia."Ayo sekarang kita pulang!" ajakku menggendong putri kecil tapi dia memberontak."Tidak, Bunda. Lia sudah besar, jangan digendong." Dia meminta diturunkan, membuatku kewalahan lalu minta agar dia diam untuk bisa menurunkannya."Oke-oke, anak Bunda sudah besar. Ayo kita pulang," ajakku lalu masuk ke taksi yang telah dipesan sejak tadi.Setelah sampai rumah, bergegas masuk untuk mengistirahatkan tubuh. Sungguh letih raga ini, padahal hanya dudu
Hamdan masuk ke kamarnya dan Maura tetapi tidak menemukan wanita itu. Melangkah menuju bilik Delia, lalu tatapan menangkap pandangan keseruan anak dan sang istri. Senyuman pria tersebut terukir, ikut bergabung duduk di samping Maura."Sayang ... lagi apa nih anak Ayah? kok Ayah gak di ajak," ujar Hamdan mengusap surai Delia.Delia menoleh mendengar ucapan sang Ayah. "Ayah sibuk terus, sampe gak bisa ngajak Lia jalan-jalan," ketus Delia membuat Hamdan terdiam."Maafin Ayah, Sayang. Ya sudah, besok kita jalan-jalan yuk!" ajak Hamdan lembut dibalas gelengan Delia."No ... Ayah. Lihat di sana, Lia tadi habis sekolah langsung jalan-jalan sama Bunda." Tolak Delia menunjukan beberapa tote bag yang belum dirapikan."Maaf, kapan-kapan kita liburan deh," kata Hamdan lalu mendongak melirik Maura yang membuang muka saat dia menatapnya."Mas ... aku izin mau jalan-jalan lusa sama Mawar, Delia mau aku titipkan ke Mama dulu." Mendengar ucapan san
Maura telah berpakaian rapi, wanita itu sudah mendandani Delia dengan sangat imut. Membuat semua orang yang melihat ingin menciumnya. Bulu mata lentik Maura mengerjap, dia sangat tampil menawan. Setelah puas memandang pantulan di cermin, bergegas turun menggandeng Delia."Asik ... Delia main ke rumah Oma lagi," pekik Delia girang membuat Maura tersenyum.Mawar terbengok melihat meja makan penuh makanan begitu pula Hamdan. Air liurnya sampai menetes saat melihat hidangan di hadapan itu semua kesukaan dia dan Delia. Pria tersebut langsung beralih menatap Maura, memandang dengan senyuman gembira lalu mendekat mengecup pipi sang istri membikin Mawar cemburu."Terimakasih, Sayang. Aku tau kamu tidak akan membiarkan aku sampai melupakan hasil masakan terlezat dari hasil tangan cantikmu," puji Hamdan lalu matanya terpana saat melihat penampilan baru sang istri."Kamu cantik banget, Sayang." Puji Hamdan memegang pipi Maura hendak mencium bibir ranum itu tet
"Buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya," batin Indah berseru, tangannya mengepal saat mengingat peristiwa itu."Kamu tidak berbohong'kan?" tanya Indah menatap wajah Maura yang berlinang air mata.Maura mendongak mendengar nada emosi di suara Indah, wanita itu langsung menggeleng. "Tidak, Bu. Ini buktinya, mereka berzina. Aku meminta warga yang menvideokan agar tidak menviralkan ini," jelas Maura menyodorkan handphone.Napas Indah memburu melihat video penggerebekan sejoli mesum. Ia tercenah saat mendengar bahwa Maura memilih menikahkan mereka. Memberikan handphone itu kembali pada pemiliknya ia menatap manik yang menyejukan kalbu."Beri hukuman pada Mawar, agar dia jera," ucapan Indah membuat Maura terkejut."Kenapa kamu malah menikahkan, mereka?" tanya Indah menarik lengan Maura agar mereka duduk di kursi."Maaf, Bu. Itu caraku untuk membalas mereka," seloroh Maura pelan."Jika Ibu menjadi kamu, Ibu lebih memilih pergi
Maura dan Mawar dalam perjalanan pulang, mereka tak ada yang berbicara sepatah katapun. Jam enam tepat sampai ke kediaman orangtua Hamdan, bertamu sebentar lalu mengajak Delia karena harus sekolah. Sehabis sampai di rumah, Delia langsung menyuruh ini itu pada Mawar."Mas ... Aku sangat lelah, tapi Delia terus menyuruhku," keluh Mawar saat menjatuhkan tubuhnya di sofa, melihat suaminya telah rapi dengan setelan jas."Sudahlah, bersabar saja. Aku berusaha agar kita bisa menikah secara sah agama dan negara," rayu Hamdan agar tidak mendengar keluhan istrinya."Kamu juga harus belajar menjadi istri yang baik, kamu harus banyak belajar dari Mbakmu," ujar Hamdan membuat Mawar mengerucutkan bibirnya."Serius Mas? bukannya kita hanya," ucapan Mawar terhenti saat melihat Maura mendekat."Mas, aku pergi antar Delia dulu," kata Maura lalu tangannya ditahan Hamdan."Aku antar ya," ucap Hamdan meraih tas kerja meninggalkan Mawar sendiri di rum