Mawar mengibaskan tangannya, ia terus berkata, "Aduh ... sakit."
Hamdan masih menggendong Delia, menatap khawatir istri keduanya. Sedangkan Maura menatap kesal Mawar karna baru disuruh begitu saja sudh celaka. Ia mengembuskan napas lalu mendekat, menatap kaki adik madu yang sedikit memerah.
"Kukira parah, ternyata cuma segitu. Kamu lebay banget sih!" sinis Maura lalu menarik wanita itu agar ke kamar mandi.
"Mbak, mau ngapain!" hardik Mawar saat masuk kamar mandi.
"Mau bunuh kamu! Cepat pelan-pelan siram pake air, lalu cepat ke kamarmu. Jangan manja, Nanti Mbak ambilkan salep," sinis Maura lalu pergi meninggalkan Mawar.
Benar ucapan Maura, setelah Mawar beristirahat sebentar. Wanita itu membuka pintu dan menyodorkan salep. Dia berlalu pergi, tidak mau terlalu lama dengan adik madunya, muak melihat wajah sok lugu.
"Bunda, Delia laper. Mbak Mawar sih, segala belum masak," keluh Delia mengusap perutnya.
"Ya sudah, kamu main aja sama Ayah. Bunda buatkan makanan kesukaan kalian," ujar Maura mengecup pipi gembul Delia.
"Makasih Bunda," ucap Ayah dan anak itu secara bersamaan, Maura membalas dengan senyuman lalu bergegas ke dapur.
"Belum juga kukerjain, udah celaka sendiri. " Maura hanya menggelengkan kepala, lalu melakukan pekerjaannya.
Selesai memasak Maura langsung menghidangkan di meja makan. Wanita itu tersenyum melihat hasil karyanya, memanggil Hamdan dan Delia. Mereka duduk di kursi, Maura meminjam Handphone Hamdan dulu. Pria itu fokus sekali dengan benda pipih tersebut.
"Yah, minjem handphone dulu," pinta Maura menyodorkan tangan di hadapan Hamdan.
"Buat apa, Bun?" tanya Hamdan buru-buru kembali ke layar ponsel, ia sedang bercakap di chat dengan istri keduanya.
"Sudah Yah, sini aja napa," kata Maura sedikit geram karena biasanya Hamdan selalu memberikannya.
"Iya nih, Bun. Jangan marah-marah napa," seru Hamdan memberikan handphone itu ke Maura.
Maura tersenyum sinis saat melihat isi w******p Hamdan. Sekarang ia paham kenapa lelaki itu takut memberikan benda pipih ini padanya. Memencet tolong menelepon lalu dipasangkan ke telinga.
"Ternyata ini yang kamu takuti saat aku meminjam handphone," ucap Maura datar menatap suaminya dengan sulit diartikan.
"Maafkan Ayah, Bun. Ayah cuma khawatir," tutur Hamdan terdengar oleh Mawar karena telepon sudah tersambung, saat Maura bertanya pada suaminya.
"Mawar, cepat ke meja makan! Kita makan malam," perintah Maura.
"Tapi, Mbak. Kakiku kasih," keluh Mawar sebenarnya tak terlalu sakit semenjak diolesi salep, tapi ia sedang malas ke meja makan.
"Cepat ke meja makan, atau kamu tidak makan malam ini!" ancam Maura lalu mematikan sambungan telepon.
"Ini Mass." Maura menyodorkan handphone suaminya lagi dan diterima Hamdan.
"Sayang, aku antarkan makanan ke Mawar ya. Kasian dia," ucap Hamdan hendak menyendok nasi ke piring.
"Tidak! Biarkan dia datang ke sini, kalau tidak berarti dia memilih enggak makan malam. Jangan selalu memanjakannya," tutur Maura membuat Hamdan terdiam, dari mana istrinya tau bahwa dia memanjakan Mawar.
Mawar memilih menunggu di kamar, ia sangat yakin bahwa Hamdan akan membawakan makan malam untuknya. Setengah jam berlalu, Mawar memutuskan untuk ke meja makan. Perut sudah tidak bisa diajak kompromi, sehabis membersihkan diri. Melangkah perlahan melewati ruang tengah, terlihat keluarga itu tengah tertawa bahagia tanpa memikirkan dia yang kelaparan.
"Astaga, mereka sama sekali tidak mengkhawatirkanku, Mas Hamdan juga sama," keluh Mawar, ia memutuskan lekas ke meja makan untuk mengisi perut.
Maura yang mengambilkan cemilan untuk keluarga kecilnya tersenyum sinis saat melihat Mawar lahap sekali mengisi perut.
"Buuuu, kenapa pagi-pagi nelepon. Tenang saja, Mawar tidak hidup terlantar kok. Mawar masih tidur di kasur empu," ujar Mawar menjelaskan pada wanita yang melahirkannya."Sebutkan alamatmu Nak, Ibu hanya ingin memastikan," ucap Ibu Mawar dari telepon, wanita itu melost spaker karena hendak mengambil mengambil jajanan di atas."Ibu tak perlu ke sini, Mawar baik-baik aja," ucap Mawar menegaskan, ia sungguh tak mau sang Ibu mengetahui bahwa dia menjadi pelakor."Enggak, War. Ibu harus memastikan kamu tidak nakal di sana," ujar Ibunya tegas.Maura yang hendak mengambil air akhirnya berhenti untuk mendengar percakapan Mawar di telepon. Ia tersenyum senang lalu mendekat mengambil handphone Mawar membuat sang empu menjerit. Tatapan adik ipar membulat dan menyodorkan tangan meminta ponsel dikembalikan."Ini dengan Ibunya Mawar?" tanya Maura dengan nada sopan."Iya, ini siapa ya?" tanya Ibu Mawar."Mawar berada di rumah saya Bu, ban
"Kamu aja, Ra. Kamu masak sarapan, liat ... tangan Mawar kecipratan minyak," ujar Hamdan menunjukan bintik-bintik merah."Gitu aja lebay, War. Gimana kalau kaya Mbak dulu, ke guyur gara-gara kamu senggol wajan," sinis Maura lalu berbalik memilih ke dapur untuk membuatkan sarapan buat anaknya."Bun, kok masaknya cuma sedikit, nanti Ayah gimana?" tanya Delia saat Maura menyodorkan piring yang berisi nasi goreng."Udah mendingan kamu makan aja, Sayang. Biar Mbak Mawar aja yang masakin Ayah sarapan," sahut Maura membuat Delia mengangguk.Setelah sarapan keduanya beranjak keluar lalu menatap Hamdan yang ternyata berbincang dengan Mawar. Mereka tertawa bahagia membuat Maura tersenyum kecut, wanita itu langsung menyodorkan tangan ke hadapan suaminya membikin Hamdan menoleh. Delia sudah menarik-narik agar cepat pergi, kata Maura bentar lagi telat memicu takut Delia."Bun ... cepat, katanya Bunda udah telat," pinta Delia."Iya Sayang, bentar. M
Cepat kugoyangkan kepala ke kiri kanan. Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Memberikan Mawar hidup bahagia dengan Mas Hamdan, gak bisa egois memikirkan diri sendiri. Tanpa mementingkan Delia. Sudah banyak peristiwa orangtua bercerai lalu anak menjadi korban broken home. Harusnya itu menjadi pelajaran untukku."Bundaaa, Delia bisa!" pekik anakku saat waktu pulang sudah tiba, ia memeluk lalu melepaskan melompat-lompat girang."Anak Bunda, pintar," ucapku seraya berjongkok lalu mencium pipi Delia."Ayo sekarang kita pulang!" ajakku menggendong putri kecil tapi dia memberontak."Tidak, Bunda. Lia sudah besar, jangan digendong." Dia meminta diturunkan, membuatku kewalahan lalu minta agar dia diam untuk bisa menurunkannya."Oke-oke, anak Bunda sudah besar. Ayo kita pulang," ajakku lalu masuk ke taksi yang telah dipesan sejak tadi.Setelah sampai rumah, bergegas masuk untuk mengistirahatkan tubuh. Sungguh letih raga ini, padahal hanya dudu
Hamdan masuk ke kamarnya dan Maura tetapi tidak menemukan wanita itu. Melangkah menuju bilik Delia, lalu tatapan menangkap pandangan keseruan anak dan sang istri. Senyuman pria tersebut terukir, ikut bergabung duduk di samping Maura."Sayang ... lagi apa nih anak Ayah? kok Ayah gak di ajak," ujar Hamdan mengusap surai Delia.Delia menoleh mendengar ucapan sang Ayah. "Ayah sibuk terus, sampe gak bisa ngajak Lia jalan-jalan," ketus Delia membuat Hamdan terdiam."Maafin Ayah, Sayang. Ya sudah, besok kita jalan-jalan yuk!" ajak Hamdan lembut dibalas gelengan Delia."No ... Ayah. Lihat di sana, Lia tadi habis sekolah langsung jalan-jalan sama Bunda." Tolak Delia menunjukan beberapa tote bag yang belum dirapikan."Maaf, kapan-kapan kita liburan deh," kata Hamdan lalu mendongak melirik Maura yang membuang muka saat dia menatapnya."Mas ... aku izin mau jalan-jalan lusa sama Mawar, Delia mau aku titipkan ke Mama dulu." Mendengar ucapan san
Maura telah berpakaian rapi, wanita itu sudah mendandani Delia dengan sangat imut. Membuat semua orang yang melihat ingin menciumnya. Bulu mata lentik Maura mengerjap, dia sangat tampil menawan. Setelah puas memandang pantulan di cermin, bergegas turun menggandeng Delia."Asik ... Delia main ke rumah Oma lagi," pekik Delia girang membuat Maura tersenyum.Mawar terbengok melihat meja makan penuh makanan begitu pula Hamdan. Air liurnya sampai menetes saat melihat hidangan di hadapan itu semua kesukaan dia dan Delia. Pria tersebut langsung beralih menatap Maura, memandang dengan senyuman gembira lalu mendekat mengecup pipi sang istri membikin Mawar cemburu."Terimakasih, Sayang. Aku tau kamu tidak akan membiarkan aku sampai melupakan hasil masakan terlezat dari hasil tangan cantikmu," puji Hamdan lalu matanya terpana saat melihat penampilan baru sang istri."Kamu cantik banget, Sayang." Puji Hamdan memegang pipi Maura hendak mencium bibir ranum itu tet
"Buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya," batin Indah berseru, tangannya mengepal saat mengingat peristiwa itu."Kamu tidak berbohong'kan?" tanya Indah menatap wajah Maura yang berlinang air mata.Maura mendongak mendengar nada emosi di suara Indah, wanita itu langsung menggeleng. "Tidak, Bu. Ini buktinya, mereka berzina. Aku meminta warga yang menvideokan agar tidak menviralkan ini," jelas Maura menyodorkan handphone.Napas Indah memburu melihat video penggerebekan sejoli mesum. Ia tercenah saat mendengar bahwa Maura memilih menikahkan mereka. Memberikan handphone itu kembali pada pemiliknya ia menatap manik yang menyejukan kalbu."Beri hukuman pada Mawar, agar dia jera," ucapan Indah membuat Maura terkejut."Kenapa kamu malah menikahkan, mereka?" tanya Indah menarik lengan Maura agar mereka duduk di kursi."Maaf, Bu. Itu caraku untuk membalas mereka," seloroh Maura pelan."Jika Ibu menjadi kamu, Ibu lebih memilih pergi
Maura dan Mawar dalam perjalanan pulang, mereka tak ada yang berbicara sepatah katapun. Jam enam tepat sampai ke kediaman orangtua Hamdan, bertamu sebentar lalu mengajak Delia karena harus sekolah. Sehabis sampai di rumah, Delia langsung menyuruh ini itu pada Mawar."Mas ... Aku sangat lelah, tapi Delia terus menyuruhku," keluh Mawar saat menjatuhkan tubuhnya di sofa, melihat suaminya telah rapi dengan setelan jas."Sudahlah, bersabar saja. Aku berusaha agar kita bisa menikah secara sah agama dan negara," rayu Hamdan agar tidak mendengar keluhan istrinya."Kamu juga harus belajar menjadi istri yang baik, kamu harus banyak belajar dari Mbakmu," ujar Hamdan membuat Mawar mengerucutkan bibirnya."Serius Mas? bukannya kita hanya," ucapan Mawar terhenti saat melihat Maura mendekat."Mas, aku pergi antar Delia dulu," kata Maura lalu tangannya ditahan Hamdan."Aku antar ya," ucap Hamdan meraih tas kerja meninggalkan Mawar sendiri di rum
Hamdan keluar dari mobil, melihat kendaraan roda empat dibagasi. Matanya membulat, apalagi mengingat pengeluaran Maura beberapa hari yang lalu. Melangkah cepat masuk ke rumah, disambut oleh Mawar dengan wajah masam. Tak terlihat sang buah hati dan istri pertamanya."Mas ...!" pekik Mawar membuat Hamdan terkejut."Apaan sih kamu, War. Ngomong sama Mas sampe nada tinggi gitu!" geram Hamdan menatap tajam istri keduanya.Mawar langsung menunduk saat tau dia salah, Hamdan mengembuskan napasnya lalu menerobos masuk menjatuhkan tubuh ke sofa. Untuk menarik perhatian sang suami, Mawar berusaha melayani sebaik mungkin. Lelaki itu sampai terbingung-bingung, melihat tingkah si istri kedua tersebut."Tumben kamu gini," ujar Hamdan karena biasanya Mawar setelah melihat dia hanya keluhan yang keluar."Kamu tidak adil sebagai suami, Mas." Perkataan Mawar membuat Hamdan mengeryitkan alisnya bingung."Maksudmu apa, sih! Ngomong yang jelas, biar Mas tau," sah