Bip! Getaran ponsel yang kutaruh di bawah bantal telah membuat tidurku rusak. Padahal, baru saja aku bisa memejamkan kedua mata ini setelah direpotkan dengan demamnya Syifa, putri semata wayangku. Sejak pukul 17.00 sore hingga tengah malam, badannya panas. Setelah dua kali kuberi obat penurun panas sirup, kupijat, dan kukompres, barulah turun. Sudah sempat kupinta suamiku, Mas Faisal, untuk lekas pulang dari perjalanan dinasnya. Aku sudah berpikir kalau sakit Syifa bakalan parah dan butuh dekapan sang ayah agar bisa lekas sembuh. Namun, untungnya sejam lalu panas badan Syifa turun.
Cepat aku membuka mata. Melihat ke arah Syifa yang berbaring di sebelahku. Gadis kecil berusia 4 tahun itu tampak berkeringat dahinya. Saat kuraba, sejuk. Panasnya sudah tak naik-naik lagi. Aku lega. Artinya, Mas Faisal tak harus kudesak buat pulang segera untuk menemaniku membawa Syifa ke rumah sakit besok hari.
Beralih dari Syifa, aku lekas meraba bawah bantal. Meraih ponsel dan buru-buru membuka kunci layar. Ada sebuah pesan masuk. Dahiku mengernyit. Nomor tak dikenal tampak mengirimkan pesan W******p padaku. Siapa ini?
[Tolong jangan berlebihan. Anakmu hanya demam, bukan sakaratul maut. Apa suamiku tak berhak untuk tenang sebentar? Bebannya terlalu besar. Itu semua juga karena desakan gaya hidupmu yang tinggi! Jangan sok kaget dengan pesan ini. Jangan banyak tanya juga tentang apa yang sedang kamu hadapi! Aku sudah lelah menyembunyikan semua. Sudah saatnya juga kamu tahu. Sekarang, saatnya sadar diri, berbenah, dan berhenti merengek pada suamiku. Dia juga butuh ISTIRAHAT!]
Tanganku langsung gemetar hebat. Napas ini pun tercekat. Dadaku nyeri. Betapa dahsyatnya rasa syok yang menyerang.
Pesan macam apa ini? Makhluk iseng mana yang mengirimiku W* tengah malam buta dengan nada mengancam begini? Apa Mas Faisal tengah mengerjaiku? Namun, dalam rangka apa? Ulang tahunku sudah lewat dua bulan lalu. Anniversary pernikahan kami juga masih tiga bulan lagi. Lantas, apa maksudnya?
Dengan jemari yang masih gemetar, aku memberanikan diri untuk mengklik foto profil seorang wanita yang terpampang di pesan gila tersebut. Sontak, jantungku seperti dipukul dengan alu. Sakit! Luar biasa. Bahkan aku mengira akan terkena serangan jantung, saking terkejutnya.
“A-adelia … apa-apaan ini?”
Kuucap nama seorang perempuan yang kukenal sebagai adik sepupu Mas Faisal. Adelia Purnama, gadis cantik tiga puluh tahun yang bekerja sebagai pemilik agen travel dan salon kecantikan. Perempuan berpendidikan yang tak lain adalah anak dari Tante suamiku sendiri.
Adelia … pemilik mata cokelat dan tubuh seksi itu mengakui Mas Faisal sebagai suaminya? Ya Tuhan, apa ini tidak salah? Mengapa dia sampai hati menyebut anakku sakaratul maut segala? Apa yang sudah terjadi sebenarnya? Sungguh mati, aku belum paham!
“Mas Faisal, apa maksudnya?” lirihku seraya menekan tombol dial ke nomor ponsel suamiku.
Dengan debaran jantung yang luar biasa, kuberanikan diri untuk menelepon Mas Faisal yang tadi pagi berangkat dari rumah dengan membawa ransel berisi pakaian dan laptopnya. Dia mengatakan bahwa akan melakukan perjalanan dinas ke luar kota dengan menggunakan mobil travel bersama managernya. Mas Faisal bilang, lusa akan kembali. Namun, mengapa tiba-tiba saja Adelia mengirim W* dengan nomor barunya dan mengucapkan kalimat-kalimat tak masuk akal? Apakah … suamiku sudah berbohong?
“Apalagi, sih? Kamu nggak bisa baca pesanku tadi? Kenapa malah menelepon ke sini?!” Bentakan itu membuatku tergemap. Sontak aku turun dari ranjang dan berjalan menuju luar kamar dengan kaki yang gemetar. Gila! Apa-apaan ini? Mengapa ponsel suamiku malah dipegang Adelia?
“Mana suamiku?! Katakan!” jeritku setelah menutup pintu kamar dari luar. Getar suaraku yang tiba-tiba parau bahkan terdengar sangat menyedihkan di telingaku sendiri.
“Suamimu? Dia bukan hanya suamimu, tapi juga suamiku! Paham, kamu?” Adelia terdengar nyolot. Tak kusangka, perempuan yang terlihat baik hati dan pekerja keras itu, ternyata diam-diam menjadi pelakor yang lebih gilanya lagi malah berselingkuh dengan sepupunya sendiri. Apa dia sudah tak waras?
“Kamu sudah gila? Apa-apaan kamu, Del? Kamu lupa, bahwa Faisal itu sepupumu! Faisal itu sudah beristri dan punya anak! Di mana hatimu, Del? Apa yang telah kalian lakukan?!”
“Apaan, sih? Ngomong apa dia?” Terdengar suara Mas Faisal di ujung sana. Suaranya seperti orang marah. Bersamaan dengan itu, terdengar pula suara kresek-kresek seperti ponsel yang diambil alih paksa.
“Mila, kamu dengar. Berhenti menghubungiku, oke? Teleponmu dari sore tadi hingga sejam lalu sudah membuat kacau semuanya!” Mas Faisal ikut membentakku. Membuatku terduduk lemas di lantai. Tak percaya bahwa dia bisa menusuk dengan kalimat setajam pedang.
“M-mas …,” panggilku tergagap.
“Aku sudah sabar menghadapimu, Mil! Kubujuk kamu. Kutenangkan kamu. Namun, kamu tidak mengerti juga. Anak kita hanya demam biasa, jangan suruh aku untuk kembali lagi ke rumah. Paham?!”
Tangisanku mengguyur lebat. Hatiku berkecamuk luar biasa. Mas Faisal, yang sedari sore tak menunjukkan tanda-tanda berdusta, nyatanya kini telah mengungkap apa yang dia sembunyikan.
“Sejak kapan, Mas? Sejak kapan kamu berselingkuh?” tanyaku lirih.
“Itu bukan urusanmu, Mil. Yang penting, aku selalu memberi nafkah padamu. Tolong berhenti dulu menghubungiku.”
“Kamu di mana, Mas?! Jawab aku! Kamu tidak di luar kota, kan? Kamu di rumah Adelia, kan? Aku akan ke sana! Aku akan menjemputmu sekarang juga! Aku akan bawa anakmu!”
“Kalau kamu berani berbuat senekat itu, kita cerai saja, Mil!”
Hatiku panas. Penuh gejolak membara di dada. Seakan dihantam oleh palu godam kepalaku. Rasanya langsung pening berputar-putar. Enam tahun kita menikah, Mas. Satu setengah tahun kita habiskan untuk berikhtiar demi mendapatkan buah hati. Setelah Syifa lahir dan tumbuh besar menjadi pengobat duka lara kita, kamu tiba-tiba saja menguak aib yang sungguh melukai hatiku.
“Ceraikan saja aku kalau begitu! Aku lebih senang kamu tinggalkan, ketimbang harus memiliki madu!”
“Oh, lebih milih jadi gembel kamu, Mil?”
Gembel? Astaghfirullah. Mas Faisal, apakah harta yang telah menjadikanmu rela membagi cinta? Kau ingin menjadikanku gembel setelah berpisah denganmu, begitu Mas? Baiklah. Kita buktikan, apakah yang kamu ucapkan itu bakal menjadi kenyataan atau tidak!
Geram, aku langsung mematikan sambungan telepon. Kuremas ponsel pintarku seakan itu adalah muka Mas Faisal dan Adelia. Tak kuduga, permainan mereka sebusuk itu selama ini. Sejak kapan? Di mana mereka menikah? Siapa saksinya? Apakah Tante Silvia dan Om Bahtiar tahu tentang hal ini? Mereka setuju Adelia menikahi sepupunya sendiri yang sudah beristri? Gila! Semua ini tak masuk akal bagiku. Dengan bersimbah air mata, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Pelan-pelan aku menapaki lantai, takut bila Syifa kaget dan bangun dari lelapnya. Yang kutuju adalah lemari pakaian. Dengan penuh gejolak emosi, kukeluarkan seluruh pakaian Mas Faisal dari dalam sana. Tak hanya pakaiannya saja, segala dokumen penting juga ikut kukeluarkan. Malam ini juga, musnah hidupmu, Mas!&
Api menyala begitu besar. Membuat asap yang cukup tebal membumbung ke udara. Aku tak peduli jika ada tetangga yang terbangun. Mereka ingin melayangkan protes pun, silakan! Kemarahanku yang memuncak, membuatku begitu liar tak terkendali. Enam tahun aku menjadi istri Mas Faisal. Rela mendekatkan diri pada mertua yang dari awal memang kurang bersahabat. Nekat resign dari pekerjaan demi mengikuti program hamil sampai kami berdua pun akhirnya dikaruniai seorang putri yang cantik jelita. Ternyata, pengorbananku hanya dianggap seonggok sampah tiada guna oleh Mas Faisal. Apa yang dia inginkan dari pernikahannya dengan Adelia? Mengapa dia harus menyembunyikan semua dariku, lalu tiba-tiba memberi tahu dalam keadaan yang sangat tidak tepat begini? Mereka mau menghancurkan mentalku ketika anakku jatuh sakit, begitu? Maaf! Aku tak akan jatuh hanya ka
Tak berpikir lama, aku segera menyalakan fitur rekam suara untuk percakapan via telepon demi berjaga-jaga. Siapa tahu, ada kata-kata Abi yang bisa kujadikan bukti. Klu sudah mulai terungkap soalnya. Dia menyuruhku berkaca segala. Itu artinya … dia pasti sudah tahu tentang pernikahan tersebut! “Subhanallah! Kata-kata Abi sangat indah didengar. Persis penuturan motivator di televisi. Memangnya aku salah apa hingga harus bercermin segala? Lapor polisi? Aku yang akan melaporkan ke polisi terlebih dahulu atas tuduhan perzinahan dan penelantaran keluarga!” Aku memekik sinis. Meluahkan segala kedongkolan di dalam hati yang kini terluka. Kalian mau lapor polisi? Memangnya aku tidak bisa? “Jaga bicaramu, Mila! Semenjak menganggur, kelakuanmu tambah menjadi-jadi! Ternyata kami tidak salah memilih untuk menjadikan Adelia ma
“Terima kasih atas doanya, Abi. Semoga kalian sekeluarga selalu sehat dan jauh dari mara bahaya.” Getir lidahku berucap. Kutahan kalimatku agar sebisa mungkin tak balik menyumpahi Abi. Untuk apa? Bukankah doa yang jelek akan kembali kepada si pendoa? Cukuplah bagiku berlindung pada Allah agar aku dan Syifa dijauhkan dari bala serta diberikan umur yang berkah. “Doa perempuan berhati busuk tidak akan dikabulkan oleh Allah! Malaikat sudah melaknatmu sebab durhaka pada suami!” Seenak jidatnya Abi berkata padaku. Seolah-olah dialah panitia surga. Orang kalau sudah merasa paling suci, memang mudah mencap orang lains sebagai pendosa. Hidupnya sibuk menilai, seakan manusia lain itu muridnya yang tengah ujian. Menjijikan! “
[Seorang istri apabila sudah kelewat batas sikapnya, tidak bisa dididik jadi perempuan salehah, dan tidak bersyukur WAJIB hukumnya dicerai.] Itulah sederet kalimat yang diunggah Mas Faisal di status Facebook miliknya. Degupan jantungku kian melesat cepat. Terhenyak aku dalam segala perasaan yang sulit digambarkan. Astaghfirullah, Mas Faisal … sekarang kamu mulai playing victim di sosial media. Menguak sebuah fitnah, seakan-akan akulah yang bersalah. Tega! Ini kejam namanya. Lekas kukeluarkan jendela chat WA bersama Anisa barusan. Kubuka Facebook milikku dan mulai mencari update status Mas Faisal di lini masaku. Nihil. Tak ada. Kuputuskan untuk mengetik namanya di kolom pencari
[Terima kasih atas malam ini, Sayangku. You’re my sunshine, my moon, my everything.] Caption itu terpampang jelas di atas foto yang menggambarkan dua tangan saling menggenggam. Tangan Adelia yang putih mulus dan mengenakan perhiasan berlian di jari manisnya tersebut sedang menggenggam tangan seorang pria berkulit langsat dengan sebuah arloji bertali kulit. Bagaimana aku tak sampai meneteskan air mata, tatkala melihat arloji pemberianku tengah dipakai Mas Faisal saat berselingkuh dengan perempuan lain. Iya, aku memang perempuan bodoh! Mau menangisi lelaki seperti Mas Faisal yang entah sejak kapan telah membohongiku. Ketika kuingat-ingat dengan pasti, sudah sekitar setahun belakangan ini suamiku memang kerap melakukan perjalanan dinas. Tak pernah terbesit sedikit pun bahwa perjalanan dinas yang dia lakukan adalah fiktif bela
Bagian 8 Dengan seribu keyakinan, aku pun mengangguk. Mas Faisal, bersiaplah menjadi artis dadakan setelah ini. Maafkan aku bila satu negara akan menghujatmu habis-habisan. “Baik, Ma. Aku minta kepada Mama untuk mendoakanku agar aku kuat menjalani ini semua, Ma. Mereka sudah sangat keterlaluan. Bahkan … Abi berkata jika suamiku dan Adelia sudah memiliki surat nikah resmi. Mana mungkin?! Mereka pasti telah mendapatkan surat bodong itu dari oknum yang disuap. Kejam Mas Faisal dan semua keluargnya. Bahkan sepupunya yang lain, Mas Kamal, juga ikut-ikutan berkomentar di F******k. Menyuruh Mas Faisal untuk melepaskanku segala. Sekarang sudah ketahuan bila satu keluarga memang kompak untuk menjatuhkanku, Ma.” Terdengar tarikan napas dalam dari ujung sana. Mama pasti sesak sekali mendengar pengakuanku. Maaf, Ma. Ceritaku harus melukai
Bagian 9 Puas! Aku sangat puas sekarang. Segala bukti telah kuunggah demi mempermalukan Mas Faisal sekeluarga. Aku tak akan mundur barang sejengkal pun. Hidupku kini untuk menang, meski di depan mata sempat terbayang meja hijau dan UU ITE yang cukup beracun apabila telah menyerang. Pasrah! Lillah! Semua kulakukan semata-mata untuk melindungi harga diriku dan anakku. Azan Subuh pun berkumandang. Terdengar syahdu sekaligus nyaring. Disiarkan melalui pengeras suara masjid yang berlokasi tak jauh dari rumahku. Demi mendengarkan penyeru untuk salat itu, aku pun bangkit. Kutapaki lantai dengan tegar. Sementara itu, ponsel yang kini kembali kumasukkan ke saku bergetar-getar terus menerus. Ada notifikasi masuk, pikirku. Namun, tak kupedulikan. Ponsel secepat kilat lalu kum